Daftar Isi [hide]
Pernah nggak sih, ngerasain momen yang nggak terduga tapi akhirnya jadi kenangan paling berharga? Bayangin aja, sebuah pertemuan sederhana di perpustakaan sekolah dasar bisa berubah jadi kisah yang penuh makna—tentang buku, misteri, persahabatan, bahkan… perasaan yang sulit diungkapkan.
Cerpen ini nggak cuma soal membaca buku di rak yang berdebu, tapi juga tentang perjalanan emosional dua remaja yang tanpa sadar menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah dalam halaman buku. Penasaran gimana cerita ini berakhir? Yuk, simak kisahnya dan rasakan sendiri hangatnya nostalgia serta getirnya sebuah perpisahan yang indah!
Kisah Manis di Perpustakaan
Pertemuan di Antara Rak Buku
Langit sore menyala jingga ketika Raka melangkah masuk ke dalam perpustakaan sekolah. Udara di dalam terasa sejuk, bercampur dengan aroma khas buku-buku lama yang tertata rapi di rak-rak kayu. Cahaya matahari menyorot lembut dari jendela besar di sisi ruangan, memberikan kesan damai yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini.
Raka berjalan menuju rak buku sejarah, tempat favoritnya setiap kali berkunjung ke perpustakaan. Ia sudah tahu buku mana yang ingin ia ambil—sebuah buku tentang sejarah kerajaan Nusantara yang sejak lama ingin ia baca lebih dalam. Namun, saat tangannya hampir menyentuh punggung buku itu, sebuah suara lembut menyapanya dari belakang.
“Kamu suka sejarah juga?”
Raka menoleh. Seorang gadis berdiri di belakangnya, ekspresinya datar, tapi matanya menyimpan rasa ingin tahu. Itu Sena—gadis yang selalu terlihat misterius di sekolah. Raka mengenalnya dari kejauhan, tapi tidak pernah sekalipun mengobrol langsung dengannya.
“Iya,” jawab Raka agak ragu. “Aku suka membaca kisah-kisah dari masa lalu.”
Sena mengangguk pelan, lalu menarik sebuah buku dari rak di sebelahnya. Ia menatap sampulnya sebentar sebelum menoleh ke arah Raka lagi.
“Aku lebih suka sejarah yang nggak banyak orang tahu,” katanya, memperlihatkan buku di tangannya.
Raka membaca judul buku itu—Misteri Bangunan Tua yang Terlupakan.
“Kayaknya aku belum pernah lihat buku itu sebelumnya,” ujar Raka, penasaran.
Sena tersenyum kecil. “Karena kamu mungkin selalu ambil buku yang mainstream.”
“Hei, nggak juga,” Raka tertawa kecil. “Aku cuma… lebih suka sejarah yang jelas sumbernya.”
Sena mendengus pelan, seolah menahan tawa. “Jadi kamu nggak suka misteri?”
“Bukan nggak suka, cuma… aku lebih suka sesuatu yang pasti.”
“Pasti itu kadang membosankan.” Sena menatap buku di tangannya, lalu melirik ke arah Raka. “Mau baca bareng?”
Raka terdiam sejenak. Tawaran itu cukup mengejutkan. Ia tidak menyangka Sena, yang terkenal dingin dan jarang bergaul, tiba-tiba ingin membaca buku bersamanya.
“Boleh,” jawabnya akhirnya.
Mereka pun mencari tempat duduk di sudut perpustakaan, di dekat jendela yang menghadap halaman sekolah. Suasana di sana lebih tenang dibandingkan area lain. Hanya ada suara pelan dari beberapa siswa lain yang sedang membaca atau mengerjakan tugas.
Sena membuka halaman pertama dan mulai membaca, sementara Raka mencondongkan tubuhnya untuk ikut melihat. Mereka membaca dalam diam selama beberapa menit, sampai akhirnya Sena membuka suara.
“Kamu tahu nggak, ada satu bangunan tua di kota ini yang katanya pernah jadi tempat persembunyian saat perang?” tanyanya sambil menunjuk bagian dalam buku.
Raka mengerutkan dahi. “Serius? Aku belum pernah dengar.”
Sena mengangguk. “Di sini dijelasin, tapi nggak terlalu detail. Aku jadi penasaran.”
Raka ikut membaca bagian yang ditunjukkan Sena. Ia mengangguk pelan. “Menarik juga. Tapi kira-kira bangunan itu masih ada nggak, ya?”
Sena mengangkat bahu. “Mungkin. Aku pernah dengar cerita dari kakekku soal bangunan tua yang udah ditinggalkan. Bisa aja itu bangunan yang sama.”
Raka terdiam sesaat, lalu menatap Sena dengan mata berbinar. “Kita harus cari tahu.”
Sena tersenyum tipis. “Akhirnya kamu tertarik juga sama misteri.”
Mereka melanjutkan membaca dengan semangat baru. Obrolan kecil terus mengalir di antara mereka, membahas berbagai teori dan kemungkinan yang mereka temukan di buku. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat.
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Sena menutup bukunya dan menatap Raka. “Besok kita ke sini lagi?”
Raka mengangguk tanpa ragu. “Jelas.”
Sena tersenyum kecil sebelum berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Raka yang masih duduk di tempatnya. Ia menatap buku di tangannya, lalu tersenyum tanpa sadar.
Hari ini, perpustakaan yang selama ini selalu jadi tempatnya menyendiri, tiba-tiba terasa berbeda. Dan itu semua karena satu pertemuan yang tidak terduga.
Kisah-Kisah yang Tak Terlupakan
Keesokan harinya, seperti janji yang mereka buat tanpa perlu diucapkan ulang, Raka dan Sena kembali bertemu di perpustakaan. Kali ini, mereka tidak hanya membaca dalam diam, tetapi mulai tenggelam dalam diskusi panjang tentang berbagai hal—bukan hanya sejarah, tetapi juga buku-buku lain yang kebetulan menarik perhatian mereka.
“Aku nggak nyangka kamu bisa betah berlama-lama di perpustakaan,” ujar Raka sambil melirik Sena yang asyik membalik halaman.
Sena mendengus kecil. “Karena kamu mikir aku cuma suka nongkrong di luar, kan?”
“Bukan gitu,” Raka tertawa. “Cuma, kamu jarang kelihatan di sini.”
Sena menutup bukunya perlahan dan menatap Raka. “Aku suka tempat sepi, tapi bukan berarti aku harus selalu ada di sini.”
Raka mengangguk pelan. Ia menyadari sesuatu—Sena memang punya aura yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang di sekolah. Ia bukan tipe yang suka mencari perhatian, tapi entah bagaimana, kehadirannya selalu terasa mencolok.
“Kalau gitu, kenapa sekarang sering ke sini?” tanya Raka iseng.
Sena diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Karena aku suka ngobrol sama kamu.”
Raka tertegun. Ia tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut Sena secepat itu, tanpa ragu. Entah kenapa, jantungnya berdegup lebih cepat.
“Tapi jangan geer dulu,” lanjut Sena dengan ekspresi santai. “Mungkin karena kita suka buku yang sama aja.”
Raka tersenyum kecil, mencoba mengabaikan rasa aneh yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. “Iya, iya, aku ngerti.”
Mereka kembali tenggelam dalam bacaan masing-masing. Namun, obrolan ringan terus mengalir di antara mereka, seolah tak ada batasan lagi.
Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka di perpustakaan menjadi kebiasaan. Tidak ada yang pernah mereka rencanakan, tapi seolah ada sesuatu yang selalu menarik mereka kembali ke rak buku yang sama.
Suatu hari, saat Raka tiba lebih dulu, ia melihat Sena sudah duduk di tempat biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Gadis itu terlihat gelisah, memainkan ujung kertas buku yang sedang ia baca.
“Kamu kenapa?” tanya Raka sambil duduk di sebelahnya.
Sena mendongak, lalu menghela napas pelan. “Aku kepikiran sesuatu.”
Raka menunggu, membiarkan Sena melanjutkan tanpa mendesak.
“Aku penasaran sama bangunan tua yang kita bahas kemarin,” ujar Sena akhirnya. “Aku cari tahu sedikit di internet, dan ada kemungkinan tempat itu masih ada.”
Raka langsung tertarik. “Serius? Di mana?”
Sena menunjukkan sebuah artikel yang ia cetak dari internet. Ada foto bangunan tua yang hampir runtuh, dengan deskripsi singkat tentang sejarahnya.
“Aku nggak tahu pasti ini bangunan yang sama atau bukan, tapi kakekku pernah bilang kalau tempat ini dulu sempat jadi tempat persembunyian waktu masa penjajahan,” kata Sena.
Raka membaca informasi itu dengan saksama. “Kita harus ke sana.”
Sena menatapnya, seolah memastikan apakah Raka benar-benar serius. “Kamu yakin?”
“Tentu aja. Kita nggak bisa cuma baca sejarah, kita harus lihat sendiri.”
Sena tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi kita harus hati-hati.”
Mereka pun mulai merencanakan perjalanan mereka ke bangunan tua itu. Bagi mereka, ini bukan sekadar petualangan, tapi juga perjalanan untuk menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah di dalam buku.
Apa yang akan mereka temukan di sana?
Mereka belum tahu. Tapi satu hal yang pasti—hari-hari di perpustakaan ini telah mengubah sesuatu dalam diri mereka. Sesuatu yang perlahan mulai terasa lebih berarti.
Senja yang Berbeda
Sabtu sore, langit mulai berwarna jingga saat Raka dan Sena berdiri di depan gerbang besi tua yang berkarat. Bangunan tua yang mereka cari akhirnya ditemukan—sebuah rumah besar dengan dinding yang retak dan jendela yang pecah di beberapa bagian. Rumput liar tumbuh di sekelilingnya, seolah-olah tempat ini sudah lama terlupakan.
“Tempatnya… lebih menyeramkan dari yang aku bayangkan,” gumam Raka, menelan ludah.
Sena melipat tangannya. “Tapi menarik, kan?”
Raka meliriknya. “Menarik buat kamu, mungkin.”
Sena tersenyum tipis lalu mendorong gerbang besi itu perlahan. Suaranya berderit, seakan memberi peringatan. Tapi mereka tidak mundur. Dengan hati-hati, mereka melangkah masuk ke halaman yang dipenuhi dedaunan kering.
Begitu memasuki bangunan, udara di dalam terasa lebih dingin. Langit-langitnya tinggi, dengan beberapa bagian yang hampir runtuh. Debu beterbangan di udara, menyelimuti meja dan kursi kayu yang tampak usang.
“Dulu tempat ini dipakai sebagai persembunyian saat penjajahan,” kata Sena, suaranya menggema di ruangan kosong itu. “Kalau tempat ini bisa bicara, pasti banyak cerita yang bisa dia kasih tahu.”
Raka mengangguk pelan. Ia bisa merasakan aura sejarah yang masih tersisa di sini.
Tiba-tiba, angin bertiup dari jendela yang terbuka, membuat tirai usang berkibar pelan. Sena menoleh dan berjalan ke arah jendela itu, melihat ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Raka,” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Aku mau cerita sesuatu.”
Raka menatapnya, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam suara gadis itu. “Kenapa?”
Sena menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pindah.”
Seketika, suasana terasa membeku.
Raka mengerjap. “Apa?”
“Ayahku dipindahkan tugas. Minggu depan aku harus ikut,” lanjut Sena, masih menatap ke luar jendela. “Aku nggak bisa nolak.”
Raka menatapnya dalam diam, otaknya berusaha mencerna kata-kata itu. Rasanya seperti tersambar petir di tengah langit cerah.
“Jadi… ini terakhir kalinya kita bisa ke sini?” tanya Raka pelan.
Sena mengangguk tanpa menoleh.
Raka menatap sekeliling ruangan itu. Tempat ini awalnya hanya sejarah dalam buku, lalu menjadi petualangan mereka, dan sekarang… menjadi tempat perpisahan.
“Kenapa baru bilang sekarang?” tanyanya akhirnya.
“Aku nggak tahu gimana cara ngomongnya,” jawab Sena jujur. “Aku juga nggak mau mikirin ini.”
Mereka terdiam cukup lama. Angin sore terus berhembus, membawa ketidakpastian yang semakin berat.
“Aku nggak nyangka…” Raka menggigit bibirnya, menatap lantai. “Baru aja kita mulai dekat.”
Sena akhirnya menoleh ke arahnya. “Kamu nggak akan lupa, kan?”
Raka menatap matanya. Ada sesuatu di sana yang berbeda dari biasanya—bukan hanya misteri, tapi juga sesuatu yang lebih dalam.
“Enggak,” jawab Raka mantap. “Aku nggak akan lupa.”
Sena tersenyum tipis, lalu meraih sesuatu dari tasnya—sebuah buku.
“Ini buat kamu,” katanya, menyerahkannya pada Raka.
Raka melihat sampulnya—buku pertama yang mereka baca bersama di perpustakaan.
Sena tersenyum kecil. “Jadi, kalau kamu kangen, kamu bisa baca ini lagi.”
Raka menggenggam buku itu erat, menahan sesuatu yang mulai mengganjal di dadanya.
Senja semakin meredup, dan mereka berdua berdiri di sana, di dalam bangunan tua yang kini menjadi saksi bisu perpisahan mereka.
Kenangan di Halaman Terakhir
Hari terakhir Sena di sekolah datang lebih cepat dari yang Raka inginkan. Pagi itu, langit mendung seolah memahami suasana hatinya. Raka duduk di perpustakaan, di tempat biasa mereka membaca bersama. Tapi kali ini, hanya ada satu kursi yang terisi.
Di tangannya, ia memegang buku yang Sena berikan. Ia belum membuka satu halaman pun sejak hari di bangunan tua itu. Rasanya seperti jika ia mulai membaca, maka semuanya benar-benar akan berakhir.
Suara langkah pelan terdengar mendekat. Raka mendongak dan menemukan Sena berdiri di hadapannya, dengan seragam sekolah yang hari ini terlihat lebih rapi dari biasanya.
“Kamu nggak ke kelas?” tanya Sena, menarik kursi dan duduk di seberangnya.
Raka menggeleng. “Aku mau di sini dulu.”
Sena tersenyum kecil. “Aku tahu kamu pasti ke perpustakaan.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang biasanya terasa nyaman, tapi kini terasa berbeda.
“Aku nggak tahu gimana rasanya nanti sekolah tanpa kamu,” kata Raka akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
Sena menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Aku juga nggak tahu gimana rasanya tanpa tempat ini.” Ia melirik sekeliling perpustakaan, matanya menyusuri rak-rak buku yang telah menjadi bagian dari kisah mereka.
“Kamu akan cari perpustakaan baru?” tanya Raka, setengah bercanda, setengah serius.
Sena mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi nggak akan sama.”
Raka tersenyum kecil, meski dadanya terasa berat. “Kamu bakal kangen?”
Sena menatapnya lama sebelum menjawab, “Aku pasti kangen.”
Raka terdiam, merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.
Tiba-tiba, Sena menarik sesuatu dari tasnya—sebuah kertas kecil yang sudah dilipat. Ia meletakkannya di atas buku yang masih ada di tangan Raka.
“Jangan dibuka sekarang,” katanya pelan.
Raka menatapnya bingung, tapi mengangguk.
Bel berbunyi. Tanda istirahat telah berakhir. Tanda bahwa waktu mereka juga sudah hampir habis.
Sena berdiri perlahan. “Aku harus pergi.”
Raka ingin mengatakan sesuatu—menahan, atau setidaknya meminta Sena untuk tinggal sedikit lebih lama. Tapi kata-kata itu tidak keluar.
Sena melangkah pergi, meninggalkan Raka yang masih duduk di tempatnya. Ia hanya bisa menatap punggung gadis itu, yang semakin menjauh di antara rak-rak buku.
Setelah Sena menghilang di balik pintu perpustakaan, Raka akhirnya membuka kertas yang ditinggalkan Sena.
Hanya ada satu kalimat di sana.
“Beberapa cerita nggak harus berakhir, selama masih ada yang mengingatnya.“
Senyum kecil muncul di wajah Raka.
Ia menutup buku di tangannya, tapi tidak dengan kisah mereka. Sebab, seperti yang Sena katakan, beberapa cerita akan tetap hidup—di dalam kenangan, di dalam halaman-halaman yang telah mereka baca bersama.
Setiap pertemuan pasti punya akhir, tapi bukan berarti kisahnya harus terlupakan. Seperti Raka dan Sena, ada momen-momen dalam hidup yang mungkin singkat, tapi meninggalkan jejak yang nggak akan hilang begitu saja.
Perpustakaan yang dulu hanya tempat membaca, kini menjadi saksi bisu dari kisah mereka—kisah yang tetap hidup dalam kenangan, meski waktu terus berjalan. Jadi, pernahkah kamu punya cerita tak terlupakan di perpustakaan? Atau mungkin, seseorang yang meninggalkan jejak di hidupmu, seperti halaman buku yang nggak pernah bisa kamu lupakan?