Misteri Ruang Musik Tersembunyi: Cerita Seru dari Sekolah SMP yang Bikin Merinding!

Posted on

Siapa yang nggak punya kenangan unik waktu SMP? Masa-masa itu penuh kejadian seru, dari pertemanan, tantangan, sampai kejadian-kejadian misterius yang bikin penasaran. Nah, bayangin kalau di sekolahmu ada ruang musik tersembunyi yang menyimpan rahasia masa lalu!

Di cerpen ini, kamu bakal diajak menyelami kisah sekelompok anak SMP yang nggak sengaja menemukan ruang musik tua yang penuh misteri. Tapi, semakin mereka mencari tahu, semakin banyak fakta mengejutkan yang terungkap—termasuk kejadian misterius yang membuat ruangan itu ditutup bertahun-tahun! Penasaran dengan cerita lengkapnya? Yuk, baca sampai habis dan temukan apa yang sebenarnya terjadi di ruang musik itu!

Misteri Ruang Musik Tersembunyi

Piket dan Rasa Penasaran

Udara siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Matahari bersinar garang, membuat ubin di lorong sekolah seakan menyerap panas dan memantulkannya kembali. Di kelas 8B, empat anak tengah mengerjakan tugas piket dengan wajah yang tidak terlalu antusias.

“Aku heran kenapa kita harus piket pas hari paling panas gini,” keluh Farel sambil mengelap keringat di lehernya. Ia memegang sapu dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya sibuk mengibaskan kerah seragamnya.

“Udah jangan ngeluh, biar cepet selesai,” sahut Keysha, yang sedang mengelap papan tulis. “Lagipula kita yang kebagian giliran.”

Dimas mendengus kecil. “Iya, tapi kan… ini kerja rodi. Kita harus dapet kompensasi minimal es teh gratis di kantin.”

Aku tertawa kecil, meletakkan tempat sampah yang baru saja aku kosongkan di sudut kelas. “Nih aku traktir angin.”

Farel tertawa miring. “Cih, pelit.”

Kami melanjutkan tugas dengan setengah hati. Dari luar jendela, terdengar suara anak-anak lain yang sudah selesai kelas lebih awal, tertawa lepas di lapangan. Rasanya menyebalkan, tapi mau bagaimana lagi?

Saat aku hendak mengambil sapu dari tangan Farel, mataku tertuju ke arah gedung tua di ujung sekolah. Itu adalah bangunan paling sepi di sini, hampir seperti bagian sekolah yang terlupakan. Jendelanya berdebu, cat temboknya mulai mengelupas, dan yang paling menarik perhatianku—pintu ruang musik yang sedikit terbuka.

Aku menatapnya cukup lama sampai akhirnya Keysha menyikut lenganku. “Kenapa sih?”

Aku mengangguk ke arah gedung itu. “Lihat deh, pintu ruang musik kebuka.”

Dimas, yang sedang duduk di meja paling belakang, ikut melihat. “Seriusan? Setahuku ruangan itu udah lama nggak dipakai.”

Farel mendekat. “Dulu katanya ada yang sering main musik di sana, terus tiba-tiba ruangan itu ditutup. Aneh banget, kan?”

“Katanya ada anak yang ilang setelah sering ke sana,” bisik Keysha, nada suaranya seperti sedang menceritakan cerita hantu.

Aku mendengus, mencoba tidak terlalu memikirkan cerita itu. “Mana ada anak ilang di sekolah tapi nggak ada berita? Nggak masuk akal.”

“Terserah kamu mau percaya atau nggak,” ujar Keysha. “Tapi buktinya nggak ada yang berani ke sana.”

Dimas menyandarkan tubuhnya ke meja dan menatapku dengan pandangan penuh arti. “Jadi, kita ke sana?”

Aku, yang awalnya hanya penasaran, kini merasa tertantang. “Boleh juga.”

Farel mengangkat bahu. “Selama nggak ada yang ngunciin kita di dalem, aku sih ikut.”

“Huh, cowok-cowok emang selalu gini,” Keysha menghela napas, tapi dari sorot matanya, dia juga tertarik.

Kami menyelesaikan piket dengan kecepatan di luar kebiasaan. Meskipun pekerjaan itu masih setengah hati, kali ini kami punya alasan untuk segera kabur. Begitu kelas rapi, kami mengambil tas dan berjalan ke lorong belakang sekolah, menuju gedung tua yang menyimpan banyak misteri.

Semakin dekat ke ruangan itu, semakin terasa bahwa tempat ini berbeda dari bagian sekolah lainnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, padahal siang tadi begitu panas. Pintu ruang musik tetap terbuka sedikit, seperti mengundang kami masuk.

Aku berdiri di depan pintu dan menoleh ke teman-temanku. “Jadi… beneran kita masuk?”

Farel melirik Dimas dan Keysha, lalu mengangguk. “Masa udah sejauh ini terus mundur?”

Aku menelan ludah. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku sedikit ragu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan rasa penasaranku. Aku mengulurkan tangan dan mendorong pintu itu lebih lebar.

Seketika, aroma kayu tua dan debu menyambut kami. Ruangan itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari jendela yang berdebu. Di tengah ruangan, sebuah piano tua berdiri kokoh, sementara rak-rak penuh dengan partitur musik mengelilinginya.

Kami saling berpandangan. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh. Tapi tetap saja, ada perasaan seakan kami baru saja melangkah masuk ke dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar ruang musik yang terbengkalai.

Dan kami belum tahu bahwa ini baru permulaan.

Ruang Musik yang Tersembunyi

Cahaya matahari yang menerobos lewat jendela berdebu menciptakan pola abstrak di lantai kayu yang tua. Ruang musik itu terasa sunyi, hanya ada suara langkah kaki kami yang bergema pelan.

“Aku nggak nyangka ruangan ini masih ada,” gumam Keysha, suaranya terdengar samar. Ia berjalan mendekati piano tua di tengah ruangan, jemarinya menyapu debu di permukaannya.

Dimas melangkah ke rak di sisi kanan ruangan, matanya menyisir partitur-partitur yang tampak tua. “Ini gila sih, kenapa ruangan sebagus ini malah ditinggalin?”

Aku melirik sekeliling. Beberapa gitar masih tergantung di dinding, meskipun senarnya sudah kendur. Ada juga drum kecil di pojok ruangan, tertutup kain lusuh. Di atas meja, ada lembaran-lembaran kertas penuh coretan nada.

Farel berjalan ke sudut ruangan, memperhatikan sebuah lemari kayu besar yang terlihat mencolok dibandingkan dengan furnitur lain. “Eh, lemari ini kayaknya nggak kayak yang lain, deh.”

Aku dan yang lain mendekat. Lemari itu memang berbeda—warnanya lebih gelap, lebih bersih, seolah-olah lebih baru dibanding perabotan lainnya. Ada ukiran kecil di bagian atasnya, tapi karena terlalu banyak debu, sulit untuk dibaca.

Dimas mencoba menarik pegangan pintunya, tapi tidak bisa dibuka. “Kuncian.”

“Kira-kira isinya apa, ya?” Keysha berbisik, matanya berbinar penuh rasa penasaran.

Aku menatap sekeliling, mencari kemungkinan adanya kunci. Saat itulah mataku tertuju pada laci kecil di meja dekat piano. Aku berjalan ke sana dan menariknya dengan perlahan. Laci itu berderit, seolah sudah lama tidak dibuka.

Di dalamnya, ada sebuah kunci kecil berwarna perak. Aku meraihnya dan menunjukkan ke yang lain. “Mungkin ini?”

Farel langsung mengulurkan tangan. “Coba gue yang buka.”

Kami mundur sedikit, memberi ruang untuknya. Farel memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya perlahan. Ada bunyi klik, lalu dengan sedikit tenaga, lemari itu akhirnya terbuka.

Kami menahan napas.

Di dalamnya, terdapat beberapa tumpukan buku catatan, kaset lama, dan… sebuah foto yang tergantung di pintu bagian dalam lemari.

Aku mengambil foto itu dan meniup debunya. Ada lima orang di dalam foto itu—empat di antaranya adalah anak-anak berseragam SMP, sementara satu lagi adalah pria dewasa. Mereka tersenyum, memegang alat musik seperti gitar dan biola.

Namun yang membuat kami terdiam adalah salah satu wajah dalam foto itu.

“Itu… Pak Arman?” Dimas menunjuk pria dewasa dalam foto itu, yang tak lain adalah kepala sekolah kami saat ini.

Aku menatap foto itu lebih lama. Pak Arman memang terlihat lebih muda, tapi tidak mungkin salah. Itu memang dia.

“Tunggu, ini berarti… dulu dia pernah di sini?” gumam Keysha.

Aku melihat ke bawah, ke tumpukan buku catatan. Aku mengambil salah satunya dan membuka halaman pertamanya. Tulisan tangan yang rapi memenuhi lembaran itu.

“Grup musik kami akhirnya punya tempat latihan tetap! Aku harap ruang musik ini tetap ada selamanya, biar semua anak bisa merasakan nyamannya bermain musik di sini.”

Aku membalik halaman berikutnya, menemukan banyak coretan lagu, nama-nama orang, dan jadwal latihan.

Namun, semakin aku membaca, semakin terasa ada sesuatu yang aneh.

Di halaman terakhir yang tertulis, ada kalimat yang membuat bulu kudukku berdiri.

“Aku nggak ngerti kenapa tiba-tiba semuanya berubah. Setelah kejadian itu, ruang musik ini ditutup. Aku harap suatu hari ada yang menemukan ini.”

Aku menatap teman-temanku. Mereka juga membaca tulisan itu, wajah mereka mencerminkan rasa penasaran yang sama.

“Apa maksudnya ‘kejadian itu’?” Farel bertanya pelan.

Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti—ruang musik ini menyimpan rahasia lebih besar dari yang kami bayangkan.

Foto Lama dan Celah Misterius

Keheningan menyelimuti ruangan setelah membaca kalimat terakhir di buku catatan itu. Kami saling berpandangan, mencoba memahami maksud dari tulisan tersebut.

“Apa maksudnya ‘kejadian itu’?” ulang Farel, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.

“Aku juga nggak tahu,” aku menggeleng. “Tapi kalau ruangan ini ditutup karena sesuatu yang buruk terjadi, berarti ini bukan cuma ruang musik biasa.”

Dimas mengambil buku catatan itu dan membolak-balik halamannya lagi. “Nama-nama yang disebut di sini siapa aja, ya?”

Kami mendekat, melihat lebih jelas. Di beberapa halaman, tertulis nama-nama seperti Andi, Bayu, Reza, dan di antaranya, ada nama yang sangat familiar.

Arman.

Aku menunjuknya dengan jari. “Ini Pak Arman, kan?”

“Udah jelas,” Keysha mengangguk. “Berarti dia bagian dari grup musik ini.”

Farel menyandarkan tubuhnya ke lemari yang baru saja kami buka, menghela napas panjang. “Oke, kita udah tahu kalau ruang musik ini dulu pernah dipakai sama grupnya Pak Arman. Tapi yang belum kita tahu, kenapa tempat ini ditutup.”

Kami kembali terdiam, sampai tiba-tiba terdengar suara klik yang pelan dari belakang Farel.

“Apa itu?” tanyaku spontan.

Farel mengangkat bahu. “Gue nggak tahu, tadi cuma nyender…”

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, lemari di belakangnya bergerak sedikit. Bukan karena dia yang mendorongnya, tapi karena bagian belakangnya bergeser.

Kami semua refleks mundur. Rak di dalam lemari itu ternyata bukan sekadar penyimpanan biasa—ada celah di baliknya.

Mata kami membelalak.

“Ini… ruangan tersembunyi?” Keysha berbisik, nyaris tak percaya.

Dimas menyentuh bagian yang bergeser, lalu dengan hati-hati menariknya lebih jauh. Celah itu cukup besar untuk kami masuki, dan di dalamnya, ada ruang kecil yang penuh dengan debu dan… foto-foto lama.

Kami melangkah masuk. Cahaya yang masuk dari sela lemari membuat tempat itu tidak sepenuhnya gelap. Dinding-dindingnya dipenuhi foto yang ditempel sembarangan. Beberapa sudah menguning, tapi masih cukup jelas untuk dikenali.

Salah satu foto menarik perhatianku.

Aku mengambilnya dan meniup debunya. Di foto itu, terlihat lima anak berseragam SMP sedang duduk santai, memegang alat musik masing-masing. Salah satu di antaranya adalah Pak Arman.

Tapi bukan itu yang membuatku merinding.

Di bagian belakang foto, ada satu bayangan hitam di dekat jendela. Seperti sosok seseorang yang berdiri di luar ruangan, melihat ke dalam.

“Lihat ini…” Aku menyerahkan foto itu ke Keysha.

Dia menatapnya lama, lalu wajahnya berubah pucat. “Astaga, ini siapa?”

Dimas mengambil foto lain. Kali ini, fotonya lebih dekat—sekelompok anak sedang bermain gitar dan biola di ruang musik ini. Tapi lagi-lagi, di sudut ruangan, ada bayangan yang tidak seharusnya ada.

Farel menggeleng. “Gue nggak suka ini. Semakin kita nyari tahu, semakin aneh semuanya.”

Aku menelan ludah, menatap dinding penuh foto itu dengan perasaan tidak nyaman. Apa pun yang terjadi dulu, pasti ada hubungannya dengan ruang musik ini.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar ruangan.

Kami langsung menegang.

Seseorang ada di luar.

Aku melirik ke pintu, lalu berbisik, “Kita harus keluar sekarang.”

Tanpa membuang waktu, kami keluar dari ruang tersembunyi itu, menutup lemari dengan hati-hati. Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang saat langkah kaki itu semakin mendekat.

Dan tepat saat kami kembali berdiri di tengah ruang musik, pintu terbuka lebar.

Di sana, berdiri seseorang yang tak pernah kami duga akan menemukan kami di sini.

Pak Arman.

Nada yang Kembali Berbunyi

Pak Arman berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan dengan tatapan tajam. Jantungku hampir berhenti berdetak. Aku bisa merasakan Keysha di sebelahku menegang, sementara Farel dan Dimas sama-sama menahan napas.

Tidak ada yang berani bicara.

Pak Arman akhirnya melangkah masuk. Dengan satu gerakan, ia menutup pintu di belakangnya, menciptakan suara duk yang terdengar jelas di ruangan kosong ini.

“Kalian ngapain di sini?” suaranya rendah, tapi cukup tajam untuk membuat bulu kudukku berdiri.

Aku berusaha merangkai kata-kata di kepalaku. “Kami… kami cuma penasaran, Pak.”

Tatapan Pak Arman jatuh pada lemari besar di pojok ruangan, lalu kembali ke kami. “Kalian buka ini?”

Tidak ada gunanya berbohong. Aku mengangguk pelan.

Pak Arman mendesah panjang, lalu berjalan mendekati lemari itu. Tangannya menyentuh bagian atasnya dengan hati-hati, seolah-olah sedang mengingat sesuatu dari masa lalu.

“Dulu,” katanya dengan nada lebih lembut, “tempat ini adalah bagian terbaik dalam hidupku.”

Kami bertukar pandang, tapi tetap diam, membiarkan beliau melanjutkan.

“Waktu aku seusia kalian, aku dan teman-temanku sering menghabiskan waktu di sini. Kami main musik, nulis lagu, dan bahkan pernah tampil di acara sekolah. Tempat ini… dulunya penuh dengan suara.”

Suaranya terdengar berat, seakan ada sesuatu yang mengganjal.

“Tapi sesuatu terjadi, kan?” Dimas akhirnya membuka suara.

Pak Arman mengangguk. “Suatu hari, salah satu teman kami, Reza, menghilang.”

Kami membelalak.

“Menghilang?” ulang Keysha dengan nada hampir berbisik.

“Bukan menghilang dalam arti diculik atau kabur,” jelasnya. “Dia… jatuh dari jendela belakang ruangan ini.”

Aku menoleh ke jendela yang kini tertutup debu tebal.

Pak Arman melanjutkan, “Hari itu hujan deras. Kami sedang latihan, dan tiba-tiba listrik padam. Saat kami menyalakan lilin, kami sadar Reza nggak ada di tempatnya. Kami mencarinya ke mana-mana, dan akhirnya menemukannya tergeletak di luar, tepat di bawah jendela itu.”

Suasana ruangan mendadak dingin.

“Ada yang mendorong dia?” tanya Farel pelan.

Pak Arman menggeleng. “Nggak ada yang tahu. Beberapa bilang dia terpeleset, yang lain bilang dia lihat sesuatu di luar dan mendekat ke jendela sebelum jatuh. Tapi nggak ada saksi. Setelah kejadian itu, ruang musik ini ditutup.”

Aku merasakan tenggorokanku kering. Foto-foto yang kami lihat di ruang tersembunyi tadi langsung terbayang di kepalaku.

“Pak… bayangan di foto-foto itu…” aku ragu-ragu, tapi tetap melanjutkan, “itu siapa?”

Pak Arman diam sebentar, lalu tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Dulu, kami juga sering lihat bayangan itu di luar jendela. Kami pikir itu cuma ilusi, atau mungkin penjaga sekolah yang lagi patroli. Tapi setelah kejadian Reza… kami nggak pernah benar-benar tahu siapa atau apa itu.”

Kami semua terdiam, memproses cerita yang baru saja kami dengar.

Setelah beberapa saat, Pak Arman berbalik, menatap piano tua di tengah ruangan. Tangannya menyentuh tuts yang berdebu, lalu dengan pelan, ia menekan salah satu nada.

Plink.

Suara itu bergema di ruangan yang sudah terlalu lama sunyi.

“Sebenarnya, aku nggak pernah setuju waktu ruang musik ini ditutup,” katanya pelan. “Aku pikir, kalau ada yang mau menghidupkan tempat ini lagi… mungkin itu bisa jadi cara untuk mengenang Reza, bukan melupakannya.”

Aku menelan ludah. “Jadi… kalau misalnya ada yang mau pakai tempat ini lagi?”

Pak Arman tersenyum. “Aku nggak akan melarang.”

Kami saling berpandangan, lalu tanpa sadar, senyum kecil mulai muncul di wajah kami.

Farel menepuk bahuku. “Gimana kalau kita bersihin tempat ini?”

Dimas mengangguk. “Biar nggak lagi jadi ruang hantu, tapi ruang musik beneran.”

Keysha tersenyum tipis. “Dan kita pastikan nggak ada jendela yang terbuka pas hujan.”

Aku tertawa kecil. “Setuju.”

Pak Arman mengamati kami sejenak, lalu mengangguk bangga. “Kalau begitu, mari kita mulai.”

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ruang musik yang terlupakan itu kembali diisi dengan suara—bukan lagi suara hening yang penuh misteri, tapi suara tawa, langkah kaki, dan nada-nada yang akan menghidupkannya kembali.

Wah, perjalanan yang seru dan penuh kejutan, ya! Dari awalnya cuma iseng masuk ke ruang musik lama, sampai akhirnya menemukan rahasia besar yang terkubur bertahun-tahun. Tapi yang paling penting, mereka berhasil mengubah tempat penuh misteri itu menjadi ruang yang penuh kehidupan lagi!

Jadi, gimana? Pernah ngalamin kejadian unik atau misterius waktu SMP? Atau mungkin sekolahmu juga punya tempat tersembunyi yang belum banyak orang tahu? 🤔 Yuk, share pengalamanmu di kolom komentar! Jangan lupa juga buat bagikan cerita ini ke teman-temanmu, siapa tahu mereka juga suka cerita penuh nostalgia dan teka-teki seperti ini!

Leave a Reply