Sepatu yang Tertinggal: Kisah SMA yang Nggak Bisa Diulang, Penuh Pelajaran & Kenangan

Posted on

Masa SMA itu kayak roller coaster—penuh tawa, drama, dan momen-momen yang bakal terus keinget seumur hidup. Tapi di balik keseruan itu, ada juga pelajaran berharga yang tanpa sadar ngebentuk siapa kita di masa depan.

Nah, dalam cerpen “Sepatu yang Tertinggal”, ada kisah tentang perjuangan seorang siswa menghadapi pelajaran yang dianggap musuhnya, sampai akhirnya dia menemukan cara belajar yang cocok buat dirinya. Cerita ini nggak cuma bikin nostalgia, tapi juga bisa banget jadi inspirasi buat kamu yang lagi ngerasa stuck sama pelajaran di sekolah. Yuk, simak kisahnya!

Sepatu yang Tertinggal

Angka Merah di Kertas Ujian

Bel tanda pulang sekolah menggema di seluruh sudut SMA Nusantara, membuat para siswa berbondong-bondong keluar dari kelas dengan wajah lega. Beberapa bercanda riang, beberapa mengeluh soal tugas, dan sisanya sudah sibuk mengatur rencana nongkrong. Namun, di kelas XII-3, seorang siswa masih duduk diam di bangkunya, menatap selembar kertas ujian dengan sorot mata kosong.

Raksa.

Tangannya mencengkeram keras kertas itu, seolah berharap angka yang tertera di sana bisa berubah hanya dengan tatapan tajam. Tapi tidak—angka merah besar itu tetap di sana, mencolok seperti luka yang baru saja ditorehkan ke harga dirinya. 39.

Dari ambang pintu, Nayara berdiri dengan tangan bersedekap, memperhatikan sahabatnya yang tampak seperti baru saja dihantam truk. Ia mendekat, lalu menjulurkan tangannya untuk menarik kertas ujian itu.

“39?” Nayara mengernyit. “Lagi?”

Raksa tidak menjawab. Ia hanya membenamkan wajah di lengannya, frustasi.

Nayara duduk di bangku depan, membolak-balik kertas ujian itu. “Padahal kemarin kamu bilang udah belajar, kan?”

“Aku udah belajar,” gumam Raksa, suaranya terdengar teredam. “Aku nonton video pembahasan, nyoba latihan soal, bahkan nanya ke Pak Arya. Tapi tetep aja otak aku nggak bisa nyambung sama Matematika.”

Nayara menghela napas. “Mungkin caranya yang salah. Kamu belajar dengan cara yang cocok buat kamu nggak?”

Raksa menegakkan kepala, menatap Nayara dengan tatapan lelah. “Lagian cara belajar yang cocok buat aku tuh yang gimana? Aku udah nyoba semua cara, Nay. Tapi tiap kali ujian, ujung-ujungnya tetep gini.”

Suasana kelas mulai sepi. Sebagian besar siswa sudah pulang, menyisakan hanya beberapa yang masih sibuk merapikan buku atau bercanda dengan teman-teman mereka. Matahari sore yang hangat menerobos jendela kelas, membuat bayangan panjang di lantai.

Nayara menyandarkan punggung ke meja, memikirkan sesuatu. “Denger, ya. Aku juga bukan anak jenius. Aku juga nggak suka Matematika, tapi aku paham cara otakku bekerja. Aku belajar dengan metode yang gampang aku cerna. Nah, mungkin itu yang perlu kamu cari.”

Raksa menghembuskan napas panjang. “Aku udah nggak punya waktu buat nyari cara belajar lain, Nay. Semester depan kita udah kelas dua belas, terus ujian akhir, terus kuliah. Kalau kayak gini terus, aku bisa-bisa nggak lulus.”

Nayara menepuk bahu Raksa, lalu tersenyum tipis. “Ya nggak gitu juga. Pasti ada cara. Kamu cuma perlu tahu gimana cara otak kamu nangkep pelajaran.”

Raksa tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah luar jendela, melihat siswa-siswa lain berjalan riang menuju gerbang sekolah. Mereka tidak perlu pusing soal angka merah, soal takut nggak lulus, atau soal merasa bodoh. Tapi dia? Dia terjebak dalam lingkaran setan yang nggak ada ujungnya.

Sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Raksa dan Nayara menoleh. Dari ujung koridor, seorang pria dengan kemeja lengan panjang dan celana kain berdiri dengan tangan menyelip di saku.

Pak Arya.

Tatapan mata gurunya jatuh ke kertas ujian di tangan Raksa. Tak perlu bertanya, ia sudah tahu apa yang terjadi.

“Kamu belum pulang?” tanyanya dengan nada datar.

Raksa hanya menggeleng pelan.

Pak Arya berjalan mendekat, lalu menepuk meja dengan lembut. “Nilai kamu masih segitu, ya?”

Raksa mengangguk, kali ini lebih pelan, hampir tidak terlihat.

Pak Arya melipat tangannya. “Jadi, kamu mau nyerah?”

Raksa mengangkat kepala, menatap Pak Arya dengan kening berkerut. “Maksudnya?”

Pak Arya tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya—tatapan yang tidak sekadar menegur, tapi mencoba memahami. “Dulu saya juga pernah berpikir kalau saya nggak akan pernah bisa paham Matematika.”

Raksa dan Nayara sama-sama menatap Pak Arya dengan ekspresi terkejut.

“Kamu pikir saya selalu jago Matematika?” lanjutnya. “Dulu saya sering dapat nilai merah, lebih jelek dari ini. Sampai akhirnya ada satu kejadian yang mengubah cara saya melihat pelajaran ini.”

Raksa menelan ludah, penasaran. “Apa itu, Pak?”

Pak Arya tersenyum tipis, lalu menunjuk sepatu Raksa. “Sepatu. Lebih tepatnya, sepatu yang tertinggal.”

Raksa dan Nayara saling berpandangan, bingung.

Tapi sebelum mereka sempat bertanya lebih jauh, belasan siswa lain tiba-tiba muncul dari kelas sebelah, menutup percakapan mereka untuk sementara waktu. Namun, di kepala Raksa, rasa ingin tahu sudah mulai tumbuh.

Sepatu yang tertinggal? Apa maksudnya?

Dan bagaimana mungkin sesuatu sesederhana itu bisa mengubah cara seseorang belajar?

Setiap Orang Punya Cara Belajar

Raksa duduk di bangku panjang dekat taman sekolah, masih memikirkan ucapan Pak Arya. “Sepatu yang tertinggal.” Apa maksudnya? Kenapa Pak Arya bilang itu mengubah cara dia belajar?

Nayara duduk di sebelahnya sambil membuka bekal sisa makan siangnya. “Kamu kepikiran, ya?”

“Jelas,” jawab Raksa cepat. “Guru Matematika bilang dulu dia juga jelek di Matematika? Terus tiba-tiba ada kisah sepatu yang bisa bikin dia berubah? Itu aneh, kan?”

Nayara mengunyah rotinya perlahan. “Ya, tapi Pak Arya nggak mungkin bohong juga.”

Raksa menghela napas. “Aku cuma nggak ngerti… Gimana caranya sesuatu yang sesederhana itu bisa bikin orang jadi ngerti pelajaran?”

Baru saja Nayara hendak menjawab, seseorang berdiri di depan mereka. Pak Arya.

“Kalian masih di sini,” katanya, lalu duduk di bangku yang sama. “Sepertinya kamu penasaran, Raksa.”

Raksa mengangguk pelan.

Pak Arya mengamati halaman sekolah yang mulai sepi. “Dulu, waktu saya seusia kalian, saya juga sering frustrasi gara-gara nilai jelek. Suatu hari, setelah terima hasil ujian yang buruk, saya pulang dengan lesu. Saya jalan kaki, nggak naik angkot seperti biasa, soalnya saya malas dengar ocehan ibu tentang nilai saya.”

Raksa dan Nayara diam, mendengarkan.

“Waktu itu, saya lihat seorang bocah kecil di pinggir jalan. Kakinya telanjang, penuh debu, dan dia lagi jalan sambil mengangkat sepatu bolong di tangannya.” Pak Arya tersenyum kecil, seperti mengenang sesuatu. “Anak itu tersenyum, meskipun kakinya pasti kepanasan. Dia seperti nggak peduli kalau sepatunya rusak atau dia harus jalan kaki jauh. Saya penasaran, jadi saya bertanya: ‘Kenapa nggak dipakai sepatunya?’”

Raksa mencondongkan tubuh ke depan, semakin tertarik. “Terus dia jawab apa, Pak?”

Pak Arya menghela napas pelan. “Dia bilang, ‘Karena lebih baik kaki saya sakit daripada saya nggak bisa sekolah.’”

Raksa dan Nayara terdiam.

“Saya tertegun saat itu,” lanjut Pak Arya. “Saya yang punya seragam bagus, buku lengkap, dan bisa duduk nyaman di kelas, malah menyia-nyiakan kesempatan dengan terus mengeluh. Sementara ada anak kecil yang bahkan sepatunya aja bolong, tapi dia tetap berusaha sekolah tanpa mengeluh.”

Raksa menggigit bibirnya. Ia merasa tersentil.

“Sejak hari itu, saya nggak lagi mikirin Matematika sebagai sesuatu yang menyeramkan atau nggak cocok buat saya,” kata Pak Arya. “Saya belajar pelan-pelan, cari cara yang paling cocok buat saya sendiri. Bukan cuma hafal rumus, tapi benar-benar paham konsepnya.”

Pak Arya menatap Raksa. “Kamu belum telat buat cari cara yang paling cocok buat kamu, Raksa. Kamu cuma perlu berhenti melihat pelajaran ini sebagai musuh. Coba buat jadi teman.”

Raksa terdiam lama.

“Jadi, aku harus belajar kayak gimana, Pak?” tanyanya akhirnya.

Pak Arya tersenyum. “Itu yang harus kamu temukan sendiri. Tapi kita bisa mulai dari sini—apa yang paling bikin kamu sulit paham Matematika?”

Raksa berpikir sejenak. “Aku cepat lupa rumus. Setiap kali belajar, kayaknya udah ngerti, tapi pas ngerjain soal, tiba-tiba blank.”

Pak Arya mengangguk. “Berarti cara belajarmu harus dibuat lebih menyenangkan. Pernah coba pakai metode mind mapping atau visualisasi?”

Raksa menggeleng.

Pak Arya menarik buku dari tasnya, lalu menggambar diagram di halaman kosong. “Kalau kamu kesulitan menghafal rumus, coba buat seperti ini. Misalnya, kalau belajar tentang trigonometri, jangan cuma hafal rumusnya, tapi buat diagram pohon. Hubungkan setiap konsep dengan gambar atau warna-warna yang berbeda. Otak kita lebih mudah mengingat sesuatu kalau ada gambarnya.”

Raksa menatap lembaran itu dengan mata berbinar.

“Jadi, aku harus cari cara yang lebih visual?”

“Betul,” kata Pak Arya. “Setiap orang punya cara belajarnya sendiri. Kamu tinggal cari yang paling cocok buat kamu.”

Raksa mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, Matematika terasa tidak seburuk yang ia kira.

Kisah Sepatu yang Tertinggal

Raksa pulang dengan kepala penuh pikiran. Kata-kata Pak Arya tadi terus terngiang di kepalanya. Setiap orang punya cara belajarnya sendiri.”

Setibanya di rumah, ia langsung masuk ke kamar, melempar tas ke atas kasur, dan duduk bersandar di kursi belajarnya. Ia membuka buku Matematika, menatap halaman penuh angka dan rumus dengan sedikit perasaan berbeda kali ini.

Coba buat lebih visual.”

Raksa meraih pulpen warna-warni dari laci mejanya. Ia mulai membuat diagram pohon seperti yang Pak Arya tunjukkan tadi. Ia membagi halaman menjadi beberapa bagian, menggambar simbol, memberi warna pada setiap kategori rumus. Setelah beberapa menit, ia menatap hasilnya.

“Hmm…” gumamnya. “Kayaknya lebih masuk akal.”

Ia mencoba membaca kembali. Kali ini, rumus-rumus itu tidak terasa sesulit sebelumnya. Memang belum langsung paham sepenuhnya, tapi setidaknya, otaknya tidak langsung menolak seperti biasanya.

Keesokan harinya, di sekolah, Raksa bertemu Nayara di kantin.

“Jadi, kamu udah coba metode baru?” tanya Nayara sambil mengaduk es tehnya.

Raksa mengangguk. “Aku bikin diagram pohon buat rumus-rumus Matematika. Nggak nyangka, ternyata lumayan membantu.”

Nayara tersenyum lebar. “Tuh, kan! Aku bilang juga apa. Kamu cuma perlu nemuin cara belajar yang cocok buat kamu.”

Raksa menghela napas lega. “Tapi ini baru awal. Aku masih harus latihan soal biar nggak cuma hafal teori doang.”

Bel masuk berbunyi, menandakan jam pelajaran berikutnya akan segera dimulai. Mereka berdua berjalan menuju kelas sambil terus mengobrol. Saat mereka tiba di depan ruang kelas, mereka melihat Pak Arya berdiri di depan pintu, menunggu para siswa masuk.

Raksa ragu sejenak, lalu memberanikan diri berbicara. “Pak Arya.”

Pak Arya menoleh. “Ya?”

Raksa tersenyum kecil. “Aku udah coba metode yang Bapak kasih. Kayaknya mulai ada perkembangan.”

Pak Arya mengangkat alis, tampak puas. “Bagus. Yang penting jangan berhenti mencoba.”

Raksa mengangguk mantap.

Di dalam kelas, pelajaran Matematika dimulai. Kali ini, Raksa mencoba lebih fokus. Ia menggunakan diagram yang ia buat di rumah untuk memahami materi yang diajarkan. Sesekali, ia mencoret-coret buku catatannya dengan simbol dan warna, membuat pelajaran terasa lebih menarik.

Saat pelajaran hampir berakhir, Pak Arya tiba-tiba berkata, “Baiklah, kita akan uji pemahaman kalian. Siapa yang mau mencoba menjawab soal di papan tulis?”

Seisi kelas langsung terdiam. Beberapa siswa berpura-pura sibuk mencatat, sementara yang lain sengaja menghindari tatapan Pak Arya.

Namun, untuk pertama kalinya, Raksa mengangkat tangannya.

Seluruh kelas menoleh kaget. Bahkan Nayara sampai tersedak air minumnya.

Pak Arya tersenyum. “Silakan, Raksa.”

Raksa berjalan ke depan, mengambil spidol, dan menatap soal di papan tulis. Ia menarik napas dalam-dalam. Kali ini, ia tidak akan menyerah. Dengan perlahan, ia mulai menuliskan jawabannya, menggunakan diagram yang ada di kepalanya untuk membantunya menyelesaikan soal.

Beberapa detik kemudian, ia meletakkan spidol dan menoleh ke Pak Arya.

Pak Arya memeriksa jawaban itu. Lalu, ia tersenyum.

“Benar.”

Raksa terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar.

Saat ia kembali ke bangkunya, Nayara menepuk punggungnya dengan bangga. “Gila! Raksa yang aku kenal kemarin pasti sudah diculik alien.”

Raksa tertawa kecil. “Mungkin bukan alien. Mungkin aku baru sadar kalau aku nggak seburuk yang aku kira.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Matematika tidak lagi terasa seperti musuh.

Langkah Baru di Koridor Sekolah

Hari-hari berikutnya, sesuatu dalam diri Raksa berubah. Setiap kali ada pelajaran Matematika, ia tidak lagi merasa ingin menghilang di bawah meja atau berharap bel segera berbunyi. Ia masih belum jadi jenius dalam semalam, tentu saja, tapi setidaknya, ia tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangannya.

Nayara, yang biasanya lebih banyak mengomeli kebiasaan malasnya, sekarang sering menemaninya belajar. Kadang mereka belajar di perpustakaan, kadang di kantin, bahkan pernah di bawah pohon beringin dekat lapangan sekolah. Raksa mulai menyadari bahwa Matematika bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dipahami dengan caranya sendiri.

Suatu siang, setelah bel istirahat berbunyi, Pak Arya memanggil Raksa ke ruang guru.

“Bagaimana perkembanganmu?” tanya Pak Arya sambil menyeruput kopi dari cangkirnya.

Raksa tersenyum kecil. “Sejauh ini, aku mulai ngerti konsep-konsepnya. Aku masih salah kalau ngerjain soal, tapi aku jadi tahu kenapa aku salah.”

Pak Arya mengangguk puas. “Itu lebih penting daripada sekadar menghafal jawaban. Kesalahan itu bagian dari proses.”

Raksa mengangguk. Ia terdiam sebentar sebelum berkata, “Dulu aku pikir aku memang ditakdirkan nggak bisa Matematika, Pak. Tapi ternyata… aku cuma nggak pernah benar-benar mencoba dengan cara yang cocok buat aku.”

Pak Arya tersenyum. “Dan kamu akhirnya menemukannya.”

Hari itu, Raksa berjalan keluar ruang guru dengan langkah lebih ringan. Ia melewati koridor sekolah yang ramai, tapi semuanya terasa berbeda. Ia melihat teman-temannya bercanda, beberapa siswa sibuk membaca catatan sebelum ujian, dan beberapa lainnya berlari kecil menuju kantin.

Di sudut koridor, Nayara sudah menunggunya dengan dua bungkus roti di tangan.

“Aku tahu kamu dipanggil Pak Arya, jadi aku beliin kamu roti buat merayakan pencapaian kecil ini,” kata Nayara sambil menyodorkan satu bungkusan.

Raksa tertawa. “Pencapaian kecil?”

“Iya. Raksa yang dulu nggak akan pernah ngerjain soal Matematika di depan kelas. Raksa yang sekarang? Dia bahkan mulai ngerti rumus. Itu perkembangan besar!”

Raksa mengambil roti itu dan menggigitnya. Ia menatap langit biru di atas gedung sekolah.

“Kalau gitu, ini bukan akhir cerita, ya?” katanya pelan.

Nayara mengernyit. “Maksud kamu?”

Raksa tersenyum. “Ini bukan akhir dari perjuangan aku. Ini baru awal.”

Mereka berdua tertawa sambil berjalan ke kelas, meninggalkan jejak langkah penuh semangat di koridor sekolah yang tak akan pernah bisa mereka ulangi lagi setelah lulus nanti.

Tapi satu hal yang pasti—perjalanan ini adalah bagian dari cerita yang akan selalu mereka kenang.

(TAMAT.)

Setiap orang punya tantangannya sendiri di sekolah, entah itu pelajaran yang sulit, pertemanan yang rumit, atau tekanan buat jadi yang terbaik. Tapi seperti Raksa dalam “Sepatu yang Tertinggal”, selalu ada cara buat melewati semua itu—asal kita mau mencoba dan nggak gampang nyerah.

Masa SMA mungkin nggak bisa diulang, tapi pelajaran yang kita dapet bakal terus kebawa sampai nanti. Jadi, nikmati setiap momennya, ambil hikmahnya, dan jadikan pengalaman itu sebagai langkah buat jadi versi terbaik dari diri sendiri!

Leave a Reply