Es yang Terpahat: Kisah Tentang Perubahan, Kehilangan, dan Keindahan yang Sementara

Posted on

Pernah gak kepikiran kalau sesuatu yang indah itu justru karena sifatnya yang sementara? Es yang Terpahat adalah kisah yang gak cuma bicara soal seni, tapi juga tentang kehidupan—tentang bagaimana kita sering berusaha mempertahankan sesuatu yang akhirnya memang harus berubah.

Melalui perjalanan seorang pematung es bernama Vassel, cerpen ini membawa kita menyelami dilema antara keabadian dan kefanaan, antara keteguhan dan kebebasan. Yuk, simak kisahnya dan temukan makna mendalam di balik seni yang perlahan mencair!

 

Es yang Terpahat

Es yang Terpahat

Langit Celestara sore itu berwarna keunguan, menyisakan jejak matahari yang perlahan tenggelam di balik atap-atap rumah tua. Udara dingin mengembun di kaca jendela, membentuk pola-pola abstrak yang sekejap indah lalu lenyap begitu saja. Di sebuah studio kecil yang dipenuhi aroma es beku dan kayu basah, seorang pemuda bernama Vassel sedang berdiri di depan sebuah balok es besar.

Tangannya kokoh menggenggam pahat, matanya tajam mengamati permukaan es yang masih kasar. Beberapa coretan kapur sudah ia buat di sana, sebagai penanda detail-detail yang harus ia pahat. Setiap goresan di balok es itu terasa seperti kelanjutan dari tarikan napasnya—teratur, presisi, dan terkendali.

Ketukan pelan di pintu membuatnya terhenti. Ia menoleh, sedikit mendengus karena tak suka diganggu saat sedang bekerja.

“Masuk.”

Pintu terbuka, dan seorang wanita dengan mantel tebal melangkah masuk. Ia melepas sarung tangannya, meniup kedua telapak tangannya yang merah karena dingin, lalu memandang sekeliling studio dengan mata berbinar.

“Kamu Vassel, kan?” tanyanya sambil tersenyum tipis.

Vassel mengangguk tanpa banyak bicara. Matanya kembali tertuju ke balok es di hadapannya, berharap wanita itu segera menyampaikan maksud kedatangannya tanpa banyak basa-basi.

“Aku Lirra,” katanya, berjalan mendekat. “Studio kamu keren juga, ya. Udara di sini lebih dingin dari luar.”

“Harus begitu kalau ingin patung es bertahan lebih lama,” jawab Vassel singkat.

Lirra mengangguk paham. Matanya kini tertuju pada beberapa patung es yang sudah selesai. Ada burung hantu dengan mata tajam, seekor serigala yang seperti siap melolong, dan sepasang tangan manusia yang terjalin seolah sedang berpegangan erat.

“Kenapa selalu es?” tanyanya tiba-tiba.

Vassel menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap Lirra sekilas sebelum kembali fokus pada pahatan. “Karena es itu solid. Kuat. Bisa bertahan selama diperlakukan dengan benar.”

Lirra tertawa kecil. “Bisa bertahan? Kamu yakin? Bukannya es selalu mencair pada akhirnya?”

Vassel mendesah pelan. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan ia tak suka. “Kalau disimpan di tempat yang tepat, es bisa bertahan selamanya.”

“Tapi itu berarti kamu harus menahannya di satu tempat terus, kan?” Lirra menyentuh salah satu patung es dengan ujung jarinya. “Bukankah lebih indah kalau sesuatu bisa bebas bergerak?”

Vassel mengernyit. “Seni bukan soal bergerak. Seni soal bentuk, keseimbangan, dan keabadian.”

Lirra tersenyum kecil, lalu menghela napas seolah mengalah. Ia menatap patung burung hantu itu lebih lama, lalu berkata, “Aku suka burung hantu ini. Matanya kelihatan cerdas. Tapi kalau di dunia nyata, dia pasti lebih suka terbang bebas daripada diam membeku begini.”

Vassel tidak langsung menjawab. Ada sesuatu dalam nada suara Lirra yang entah bagaimana terdengar mengganggunya. Bukan karena ia tidak suka dibantah, tapi karena dalam kata-kata itu ada kebenaran yang enggan ia akui.

“Kamu datang ke sini buat lihat-lihat atau ada yang mau kamu pesan?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Lirra tertawa pelan, lalu menggeleng. “Aku cuma penasaran. Aku dengar kamu pematung es terbaik di Celestara, jadi aku ingin lihat sendiri seperti apa karyamu.”

Vassel menatapnya lebih lama kali ini. Ada sesuatu pada Lirra—bukan sekadar rasa ingin tahu biasa, tapi juga semacam pemahaman mendalam tentang hal-hal yang biasanya tidak diperhatikan orang lain.

“Kamu seorang seniman?” tanyanya akhirnya.

Lirra mengangkat bahunya. “Bisa dibilang begitu. Aku melukis.”

Vassel menghela napas kecil, seolah mendapat jawaban yang sudah ia duga. “Itu menjelaskan kenapa cara pandangmu berbeda.”

Lirra tersenyum lebar. “Kenapa? Karena aku lebih suka melihat sesuatu berubah daripada diam di tempat?”

Vassel tidak menjawab. Ia kembali mengambil pahatnya dan mulai bekerja, membiarkan suara ketukan logam di atas es menjadi satu-satunya suara yang terdengar di studio itu. Tapi meskipun ia tampak tidak peduli, di dalam kepalanya, kata-kata Lirra terus berputar, mengganggu ketenangan yang selama ini ia jaga.

Di luar, matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Embun di jendela mulai membeku kembali, seperti menolak untuk mencair.

Percakapan tentang Cair

Es di pahatan Vassel terus terkelupas sedikit demi sedikit, membentuk lekukan halus di permukaannya. Udara dingin yang menggantung di dalam studio membuat setiap napas terasa lebih berat, seolah ruangan itu bukan hanya membekukan es, tapi juga semua yang ada di dalamnya.

Lirra masih berdiri di dekat salah satu patung, mengamati detailnya dengan ekspresi penasaran. Meski Vassel berharap perempuan itu pergi setelah puas melihat-lihat, kenyataannya ia masih di sana, seolah menunggu sesuatu.

“Kamu gak keberatan kalau aku tetap di sini sebentar?” tanya Lirra, akhirnya.

Vassel tidak menoleh. “Asal kamu gak ganggu aku kerja.”

Lirra tertawa kecil. “Baiklah.”

Hening sesaat. Hanya suara pahat yang beradu dengan es yang terdengar. Vassel berpikir Lirra akan diam dan menikmati pemandangan seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Tapi ternyata ia salah.

“Kamu tahu? Aku pernah melukis sesuatu yang hampir mirip dengan ini.”

Vassel menghela napas pelan. “Mirip gimana?”

“Bukan bentuknya,” kata Lirra sambil menyentuh salah satu pahatan. “Tapi perasaannya. Dingin. Tegas. Diam.”

Vassel masih tetap memahat, tapi kini perhatiannya terbagi.

“Apa yang kamu lukis?” tanyanya, setengah penasaran.

“Danau beku di luar kota,” jawab Lirra. “Waktu itu musim dingin, dan airnya benar-benar membeku. Tapi anehnya, saat aku berdiri di sana cukup lama, aku sadar ada sesuatu yang masih bergerak di bawah permukaan.”

Vassel menghentikan tangannya untuk sesaat. Ia melirik Lirra. “Maksud kamu?”

“Aku pikir, meskipun sesuatu tampak beku di luar, bukan berarti di dalamnya juga mati.”

Hening. Kalimat itu menggantung di udara.

Vassel berusaha mengabaikan efeknya, tapi kata-kata itu entah bagaimana terasa lebih tajam dari pahatan yang ia buat di es.

“Kamu mau bilang kalau es itu gak benar-benar diam?” tanyanya akhirnya.

Lirra tersenyum kecil. “Mungkin. Mungkin dia hanya menunggu saat yang tepat untuk mencair.”

Vassel kembali bekerja, kali ini dengan gerakan yang lebih pelan. Seumur hidupnya, ia menganggap es sebagai sesuatu yang statis, sesuatu yang bisa ia kendalikan. Ia lupa bahwa es bukan benda mati yang hanya menunggu dipahat. Ia juga punya keinginan sendiri—keinginan untuk mencair, untuk mengalir, untuk berubah.

Lirra menatap pahatan yang sedang ia buat. “Apa yang sedang kamu bentuk?”

“Seekor phoenix,” jawab Vassel singkat.

Lirra mengangguk, terlihat tertarik. “Burung api dalam bentuk es. Itu menarik.”

“Kenapa?”

Lirra menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap patung itu seolah bisa melihat sesuatu yang lebih dari sekadar bentuknya. “Phoenix selalu dilambangkan sebagai kebangkitan. Dia terbakar, hancur, lalu lahir kembali dari abunya. Tapi ini dibuat dari es. Apa yang terjadi kalau es ini mencair?”

Vassel tidak langsung menjawab. Ia menatap pahatan yang sudah setengah jadi, mencoba membayangkan bagaimana bentuknya jika suatu saat meleleh perlahan.

“Kalau dia mencair,” katanya pelan, “maka dia akan hilang.”

Lirra tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Atau mungkin dia hanya berubah menjadi sesuatu yang lain.”

Vassel tidak tahu kenapa, tapi kalimat itu membuat dadanya terasa sesak.

Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa seni adalah sesuatu yang tetap, sesuatu yang seharusnya abadi. Tapi di sudut hatinya, ada bisikan kecil yang bertanya: Apa benar begitu?

Di luar, angin musim dingin berembus lebih kencang, menyapu butiran salju dari atap rumah-rumah tua Celestara. Dan di dalam studio itu, untuk pertama kalinya, Vassel merasa bahwa sesuatu di dalam dirinya mulai retak.

Ketika Es Mencair

Festival Musim Dingin Celestara tinggal dua hari lagi. Seluruh kota bersiap menyambut acara tahunan yang selalu meriah itu. Jalanan dipenuhi lampu-lampu gantung berwarna keemasan, sementara kios-kios kecil mulai menjajakan cokelat panas dan makanan khas musim dingin.

Di dalam studionya, Vassel berdiri di depan karya terbesarnya tahun ini—seekor phoenix yang hampir selesai. Sayapnya terbentang lebar, paruhnya terbuka seolah hendak bernyanyi, dan detail bulu-bulunya begitu halus hingga hampir tampak seperti api yang membeku. Ini adalah karya terbaiknya. Ia tahu itu.

Namun, di balik kepuasan yang seharusnya ia rasakan, ada sesuatu yang mengganjal.

Sejak percakapannya dengan Lirra, pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tak pernah ia pertanyakan sebelumnya. Dulu, baginya, es hanyalah es. Tapi sekarang, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya luput dari matanya—butiran es yang perlahan meleleh di ujung jari, tetesan air yang terbentuk di dasar patungnya, dan embun yang muncul di permukaan kaca ketika suhu mulai berubah.

Sore itu, Lirra kembali datang.

“Kamu kelihatan tegang,” katanya sambil berjalan mendekat.

“Aku gak tegang,” sahut Vassel tanpa menoleh.

Lirra tertawa kecil. “Oh ya? Lalu kenapa kamu berdiri diam begitu lama di depan patung itu?”

Vassel menghela napas pelan. Ia enggan mengakuinya, tapi ia memang sudah berdiri di situ selama hampir sepuluh menit, hanya menatap patung phoenix-nya tanpa melakukan apa-apa.

“Aku cuma mikir,” gumamnya akhirnya.

Lirra melipat tangannya, menunggu.

Setelah beberapa detik, Vassel menoleh padanya. “Menurut kamu… kalau patung ini mencair, apa masih bisa disebut seni?”

Lirra mengerjap, lalu tersenyum. “Akhirnya kamu bertanya.”

Vassel mengernyit. “Maksud kamu?”

“Kamu selalu menganggap seni sebagai sesuatu yang harus tetap ada, sesuatu yang bisa bertahan selamanya,” kata Lirra. “Tapi sekarang kamu mulai mempertanyakan itu, kan?”

Vassel tak menjawab.

Lirra berjalan mendekat dan menyentuh ujung sayap patung itu dengan hati-hati. “Menurutku, keindahan gak selalu ada di dalam keabadian. Kadang, justru karena sesuatu bisa hilang, makanya itu berharga.”

Vassel menatapnya dalam-dalam. “Jadi kamu bilang… kalau patung ini mencair, itu gak masalah?”

Lirra mengangguk. “Mungkin itu bagian dari perjalanannya.”

Vassel ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara keras dari luar mengejutkan mereka berdua.

BRUK!

Mereka menoleh ke arah pintu studio yang sedikit terbuka, dan dalam sekejap, udara hangat dari luar menyelinap masuk.

Saat itu juga, Vassel menyadari sesuatu yang membuat dadanya mencelos—lampu pemanas festival yang dipasang di sepanjang jalan telah dinyalakan, dan salah satunya mengarah tepat ke jendela studionya.

Ia berlari ke depan kaca, melihat dengan ngeri bagaimana pantulan cahaya itu mulai menaikkan suhu ruangan sedikit demi sedikit. Di bawahnya, lantai kayu yang tadi kering kini mulai basah oleh genangan kecil.

Esnya mulai mencair.

Matanya melebar. Ia bergegas mengambil kain untuk menutup kaca, tapi ia tahu itu tak akan cukup. Temperatur di ruangan ini sudah berubah, dan ia tak bisa menghentikan waktu.

Lirra berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Vassel—”

“Tutup pintunya,” potong Vassel cepat. Suaranya sedikit bergetar, tapi ia berusaha tetap tenang.

Lirra menurut, menutup pintu dengan pelan. Tapi mereka berdua tahu, itu tidak akan menghentikan proses yang sudah terjadi.

Vassel berjongkok di depan patung phoenix-nya, mengamati bagaimana tetesan kecil mulai terbentuk di ujung-ujung sayapnya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh bulu es yang halus itu—dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa sesuatu yang ia buat benar-benar lepas dari genggamannya.

Di luar, festival mulai terasa lebih hidup. Orang-orang tertawa, musik dimainkan, dan cahaya lampu berkelap-kelip di atas jalanan yang tertutup salju.

Tapi di dalam studio kecil itu, seorang pematung berdiri diam di depan karyanya yang perlahan berubah bentuk.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berbuat apa.

Mengalir dan Menjadi

Malam festival akhirnya tiba. Kota Celestara dipenuhi cahaya dan suara tawa. Langit berwarna ungu tua, dihiasi kembang api yang mekar seperti bunga es di udara. Di sepanjang jalan, kios-kios menjual cokelat panas, kue kayu manis, dan berbagai kerajinan tangan khas musim dingin.

Di tengah keriuhan itu, Vassel berjalan menuju lapangan utama dengan langkah berat.

Di dalam studionya, patung phoenix dari es yang telah ia buat dengan hati-hati kini tinggal separuh. Sayapnya yang dulu kokoh kini terlihat tirus, bulu-bulunya yang terukir detail telah melunak menjadi tetesan air. Meleleh. Hilang.

Dan untuk pertama kalinya, Vassel tidak ingin menyelamatkannya.

“Kamu datang juga,” suara Lirra menyambutnya saat ia tiba di alun-alun.

Vassel menoleh. Lirra berdiri di bawah lampu gantung berwarna emas, dengan syal tebal melilit lehernya. Ia tersenyum kecil, seolah sudah menebak isi kepala Vassel bahkan sebelum pria itu membuka mulut.

“Kamu gak ke studio?” tanya Lirra.

Vassel menggeleng. “Buat apa? Aku udah tahu hasil akhirnya.”

Lirra tersenyum, lalu mengangkat secangkir cokelat panas yang dipegangnya. “Selamat datang di dunia orang-orang yang menerima perubahan.”

Vassel mendesah, menatap langit yang dipenuhi letupan warna-warni. “Aku masih gak ngerti. Kalau sesuatu yang kita buat bakal hilang, buat apa kita buat dari awal?”

Lirra menyeruput cokelatnya pelan. “Karena prosesnya yang penting.”

Vassel menoleh ke arahnya.

Lirra mengangkat bahu. “Kamu pikir orang-orang yang bikin es krim bakal sedih karena esnya bakal mencair? Atau musisi bakal berhenti main musik karena nada yang mereka ciptakan akhirnya menghilang di udara?”

Vassel diam.

“Semua yang ada di dunia ini pada akhirnya bakal berubah, Vassel,” lanjut Lirra, suaranya lebih lembut. “Tapi perubahan itu bukan berarti kehilangan. Bisa jadi itu hanya bentuk lain dari bertahan.”

Vassel menatap tangannya. Ia ingat bagaimana rasanya saat pertama kali menyentuh es. Dingin. Keras. Tak tergoyahkan. Tapi kini, ia sadar bahwa bahkan es pun punya caranya sendiri untuk bertahan—dengan berubah menjadi sesuatu yang lain.

“Jadi,” kata Vassel pelan, “aku cuma perlu… menerima?”

Lirra tersenyum. “Atau lebih baik lagi, menikmati.”

Vassel menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lega. Bukan karena ia menemukan jawaban pasti, tapi karena ia menyadari bahwa mungkin jawaban itu memang tidak perlu pasti.

Di kejauhan, suara musik festival terdengar semakin ramai. Salju turun perlahan, mencair begitu menyentuh tanah.

Dan di dalam studio kecil yang kini kosong, sisa-sisa pahatan phoenix mengalir menjadi air, bergabung dengan dunia yang lebih luas. Tidak hilang. Hanya berubah.\

Pada akhirnya, Es yang Terpahat bukan sekadar kisah tentang seni atau pahatan es yang mencair. Ini adalah cerita tentang hidup—tentang bagaimana kita harus menerima bahwa perubahan itu tak terelakkan.

Kadang, kita ingin sesuatu bertahan selamanya, tapi justru dalam kefanaan itulah keindahan sejati muncul. Jadi, apa kamu masih berpikir bahwa yang berharga itu harus abadi? Atau justru yang sementara itulah yang membuat segalanya lebih bermakna?

Leave a Reply