Daftar Isi
Pernah dengar kisah tentang anjing yang setia menunggu tuannya, bahkan ketika harapan itu nyaris nggak ada? Nah, ini cerita tentang Senja, seekor anjing yang nggak pernah pergi dari dermaga, menunggu seseorang yang mungkin nggak akan pernah pulang.
Sebuah kisah tentang kesetiaan, kehilangan, dan penantian yang nggak semua orang bisa pahami. Siapin hati, karena ini bukan sekadar cerita biasa—ini cerita yang bakal ninggalin rasa nyesek di dada.
Senja yang Menunggu
Ombak yang Membawa Pergi
Laut sore itu tenang. Ombak menggulung dengan irama yang lembut, membelai pasir putih di tepian dermaga. Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan semburat jingga yang memantul di permukaan air. Di sana, seorang pria tua duduk bersila di ujung papan kayu yang mulai lapuk, ditemani seekor anjing berwarna cokelat keemasan yang setia duduk di sampingnya.
“Senja, lihat itu,” kata pria itu, menunjuk ke langit. “Cantik, kan?”
Anjing itu menatap ke arahnya sejenak sebelum kembali memandang laut, seakan mengerti apa yang dikatakan pemiliknya.
“Aku selalu suka waktu-waktu begini,” lanjut pria itu, mengusap kepala anjingnya. “Hening, damai, nggak ada yang berisik. Cuma ada laut, angin, dan kita berdua.”
Senja mengibas-ngibaskan ekornya perlahan, menikmati belaian lembut di kepalanya. Hembusan angin sore menyapu tubuhnya, membawa aroma asin yang khas.
Mahesa, pria tua itu, tersenyum kecil sambil menarik napas dalam-dalam. Laut adalah bagian dari hidupnya. Sejak muda, ia sudah akrab dengan deburan ombak dan bau kayu perahu yang basah. Ia seorang nelayan, dan laut adalah rumah keduanya setelah rumah kecilnya di desa.
“Kamu tahu, Senja,” Mahesa kembali berbicara. “Besok aku bakal melaut lebih jauh dari biasanya. Ada yang bilang di sana banyak ikan. Kalau beruntung, aku bisa pulang bawa tangkapan besar.”
Senja menoleh, seolah mencoba memahami kata-kata tuannya.
Mahesa tertawa kecil. “Apa kamu khawatir? Aku udah puluhan tahun di laut, Senja. Aku nggak akan kenapa-kenapa.”
Anjing itu mengendus tangan Mahesa, lalu menjilatnya pelan. Seakan ingin berkata, Aku percaya padamu, tapi aku tetap ingin kamu di sini.
Hari semakin larut, dan Mahesa akhirnya berdiri. Ia menepuk kepala Senja sekali lagi. “Ayo pulang. Besok aku harus bangun pagi.”
Mereka berjalan berdampingan melewati jalan setapak berbatu, menuju rumah kecil yang terletak tak jauh dari bibir pantai. Cahaya lampu dari jendela rumah memancarkan kehangatan, menyambut mereka pulang.
Pagi berikutnya, langit belum sepenuhnya terang saat Mahesa bersiap-siap. Ia mengenakan kemeja lusuhnya, memasukkan pisau dan jala ke dalam perahu kecilnya, lalu menarik tali pengikat yang menahan perahu di dermaga.
Senja duduk di dekatnya, diam tanpa suara.
Mahesa berjongkok dan mengelus kepala anjing itu. “Aku pergi dulu, ya. Jaga rumah.”
Senja tidak menggonggong, tidak merengek. Ia hanya menatap Mahesa dengan mata yang tenang namun dalam, seakan ingin mengingat wajah tuannya sejelas mungkin.
Mahesa naik ke perahunya, mendorongnya ke laut dengan sigap. Ombak kecil menggoyang perahu itu perlahan, menjauhkannya dari daratan.
Senja tetap duduk di ujung dermaga, matanya terus mengikuti sosok Mahesa yang semakin lama semakin jauh. Saat matahari mulai naik, hanya lautan luas yang tersisa di hadapannya.
Ia tetap menunggu. Entah untuk berapa lama.
Senja yang Tak Pernah Berubah
Senja duduk diam di ujung dermaga, tatapannya tetap tertuju ke lautan luas. Ombak berkejaran dengan angin, menggulung lebih kencang dari biasanya. Matahari mulai merunduk, cahayanya memudar di antara awan-awan yang menggantung berat di langit.
Perahu Mahesa tak juga terlihat.
Orang-orang di desa sudah mulai berbisik-bisik. Nelayan lain yang kembali dari laut berkata bahwa ombak hari itu tak bersahabat. Angin berembus lebih kencang, dan awan gelap menggantung sepanjang siang.
“Aku nggak lihat perahu Pak Mahesa di mana-mana,” kata seorang nelayan saat melepas jalanya di tepi pantai. “Bisa jadi dia cari tempat berteduh di pulau seberang.”
“Iya, mungkin dia terlambat pulang aja,” sahut yang lain, mencoba menghibur diri.
Namun, seiring berlalunya waktu, harapan itu semakin menipis.
Malam pertama, Senja tetap di dermaga. Duduk di tempat yang sama. Menunggu.
Malam kedua, ia masih di sana. Orang-orang mulai mencoba mengusirnya, membawanya pulang, memberinya makanan. Namun ia selalu kembali, dengan mata yang tak pernah lepas dari laut.
Hari demi hari berlalu. Ombak tetap berkejaran, langit tetap berubah warna di setiap senja, tapi perahu itu tak pernah kembali.
“Wah, anjing ini masih di sini?”
Seorang bocah laki-laki berdiri tak jauh dari dermaga, memperhatikan Senja yang duduk dengan kepala tegak, menatap cakrawala.
“Iya, Elang,” jawab seorang lelaki paruh baya di sampingnya, yang tak lain adalah ayahnya. “Sejak Pak Mahesa hilang di laut, dia nggak pernah pergi dari sini.”
Elang menatap Senja dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Dia masih nunggu?”
Lelaki itu menghela napas. “Sepertinya begitu.”
Elang berjalan mendekat, berjongkok di samping anjing itu. “Senja…” panggilnya pelan.
Senja menoleh sebentar, lalu kembali menatap laut.
Elang tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangannya. Namun, sebelum ia bisa menyentuhnya, Senja berdiri dan berjalan beberapa langkah ke depan, lebih dekat ke ujung dermaga.
Seakan takut sesuatu akan muncul dari balik cakrawala dan ia harus jadi yang pertama melihatnya.
“Ayo pulang, Elang,” panggil ayahnya.
Bocah itu menatap Senja sekali lagi sebelum bangkit berdiri. “Dia setia banget, ya, Yah?”
Ayahnya tersenyum samar, lalu menatap langit senja yang mulai meredup. “Iya. Setia banget.”
Tapi kesetiaan Senja tak mengubah kenyataan.
Hari-hari terus berlalu. Orang-orang mulai melupakan Mahesa, menganggapnya bagian dari cerita lama yang hanya sesekali dibicarakan di antara gelas kopi dan angin laut. Namun Senja tidak.
Bagi anjing itu, waktu seolah berhenti di dermaga ini.
Di tempat ia terakhir melihat tuannya.
Di tempat ia akan terus menunggu.
Aroma yang Menghidupkan Kenangan
Hujan turun tipis di sore itu, membasahi kayu dermaga yang semakin lapuk dimakan waktu. Ombak menggulung lebih pelan, seolah ikut larut dalam kesunyian yang menyelimuti. Senja masih di sana. Duduk di tempat yang sama, menatap ke laut dengan mata yang tak lagi secerah dulu.
Tubuhnya lebih kurus, bulunya tak lagi berkilau seperti dulu. Tapi ia tetap menunggu.
Orang-orang desa sudah berhenti mencoba membawanya pulang. Mereka tahu, tak ada yang bisa memisahkan anjing itu dari penantiannya. Beberapa ada yang datang sesekali, meninggalkan makanan atau sekadar menatapnya dari jauh dengan tatapan iba.
Salah satunya adalah Elang.
Bocah itu semakin sering datang, duduk di samping Senja tanpa berkata apa-apa. Ia hanya menatap laut bersamanya, seakan mencoba mengerti perasaan anjing itu.
Hingga suatu hari, Elang datang dengan membawa sesuatu.
Sebuah baju tua, lusuh dan pudar warnanya.
Baju itu dulunya milik Mahesa, dan masih menyimpan aroma laut yang sudah melekat bertahun-tahun. Aroma yang begitu dikenal oleh Senja.
Saat Elang meletakkan baju itu di atas papan dermaga, Senja terdiam. Hidungnya bergerak-gerak, mengendus pelan, lalu dengan sangat hati-hati, ia merebahkan kepalanya di atas kain itu.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ekor Senja bergerak sedikit.
Elang menelan ludah, merasakan sesuatu yang hangat menggenang di matanya.
“Kamu masih ingat, ya?” bisiknya pelan.
Senja tidak menjawab, tentu saja. Tapi cara ia berbaring di atas kain itu, cara matanya perlahan terpejam, sudah cukup sebagai jawaban.
Ia mengingatnya.
Aroma itu membawa kembali bayangan Mahesa yang duduk di dermaga, menatap senja bersama, berbicara dengan suara hangatnya. Membawa kembali ingatan tentang tangan kasar yang selalu mengelus kepalanya, suara tawa yang terdengar menenangkan.
Malam itu, Senja tidur lebih nyenyak daripada biasanya.
Namun, Elang tak menyadari bahwa penantian yang begitu lama akhirnya mulai mencapai ujungnya.
Pulang dalam Cahaya Senja
Langit sore itu dipenuhi warna jingga yang lebih pekat dari biasanya. Matahari merambat turun dengan perlahan, cahayanya menyelimuti desa kecil itu dengan kehangatan yang aneh—seperti selimut tipis yang melapisi luka-luka lama yang belum juga sembuh.
Senja masih di dermaga. Tapi kali ini, ia tidak duduk tegak seperti biasa.
Tubuhnya terbaring di atas papan kayu yang dingin, kepalanya masih bersandar di baju tua milik Mahesa. Nafasnya pelan, nyaris tak terdengar. Ekor yang dulu selalu bergerak ketika angin menyentuh bulunya, kini diam tak bergerak.
Elang datang lebih awal hari itu. Ia berlari kecil ke arah dermaga, membawa sekeranjang ikan kecil yang ia curi dari ember ayahnya.
“Senja! Aku bawa makanan buat kamu!” serunya riang.
Namun, langkahnya terhenti begitu melihat tubuh anjing itu yang begitu diam.
Hati Elang tiba-tiba mencelos. Ia melangkah pelan, berjongkok di samping Senja, lalu menyentuh bulunya dengan tangan gemetar.
Dingin.
Seketika, ada sesuatu yang menggumpal di tenggorokannya.
“Senja…?”
Tak ada reaksi.
Elang menatap wajah anjing itu. Matanya tertutup, seolah sedang tidur nyenyak setelah sekian lama begadang menunggu seseorang yang tak pernah datang.
Tapi Elang tahu.
Senja tidak sedang tidur.
Dadanya naik-turun pelan untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya berhenti sama sekali.
Dan di saat yang bersamaan, hembusan angin laut menerpa lebih kencang.
Elang menggigit bibirnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, menetes ke bulu Senja yang sudah mulai kehilangan hangatnya. Ia mencoba mengucapkan sesuatu, tapi suaranya tercekat.
Senja sudah pergi.
Ia telah menyelesaikan penantiannya.
Mungkin, di tempat lain yang tak bisa dilihat manusia, Mahesa akhirnya kembali. Menepuk kepala anjing itu seperti dulu, membisikkan, “Maaf membuatmu menunggu terlalu lama.”
Dan kali ini, Senja bisa pergi dengan tenang.
Matahari tenggelam sepenuhnya di cakrawala, menutup cerita penantian panjang di ujung senja.
Kadang, kesetiaan itu nggak butuh alasan. Nggak perlu imbalan. Senja nggak pernah tahu apakah Mahesa bakal pulang atau nggak, tapi dia tetap menunggu.
Sampai akhirnya, takdir membiarkan dia pulang dengan caranya sendiri. Mungkin, di dunia ini, ada hal-hal yang nggak harus dimengerti, cukup dirasakan. Dan Senja, dalam kesetiaannya yang diam, sudah mengajarkan itu semua.


