Daftar Isi
Pernah nggak sih, nungguin seseorang yang entah bakal datang atau nggak? Kayak nunggu chat yang nggak kunjung centang dua, atau janji yang cuma manis di awal doang. Astari tahu rasanya.
Setiap senja, dia duduk di tempat yang sama, berharap seseorang yang dia tunggu bakal balik. Tapi yang ada, waktu terus jalan, dan bangku kayu di sampingnya tetap kosong. Sampai kapan sih, seseorang harus bertahan dalam penantian?
Sebuah Penantian di Ujung Senja
Janji di Ujung Senja
Langit senja memerah, membentang luas seperti kanvas yang dilukis dengan warna lembut. Laut di bawahnya berkilauan, memantulkan cahaya keemasan yang hampir tenggelam di ufuk barat. Angin berembus tenang, membawa aroma asin yang khas dari ombak yang perlahan menyapu tepian dermaga.
Di salah satu bangku kayu yang menghadap ke laut, seorang gadis duduk diam. Rambut hitamnya tergerai, beberapa helainya bergerak mengikuti arah angin. Gaun putih selutut yang ia kenakan tampak melambai-lambai ringan. Di sampingnya, seorang pria duduk dengan posisi santai, tangannya menyentuh permukaan bangku yang mulai lapuk dimakan waktu.
“Senja selalu begini, ya?” ujar gadis itu tiba-tiba.
Pria di sampingnya melirik ke arah langit yang mulai meredup, lalu mengangkat bahunya ringan. “Memangnya harus berubah?” tanyanya balik.
Gadis itu mengerucutkan bibir. “Maksudku, selalu sama… warna jingganya, lautnya, anginnya. Tapi rasanya setiap senja yang aku lewati punya cerita yang berbeda.”
Pria itu tersenyum kecil, menoleh ke arahnya. “Mungkin karena kamu yang berubah, bukan senjanya.”
Gadis itu terdiam, sejenak memikirkan kata-kata yang baru saja ia dengar. Angin kembali bertiup, membawa keheningan yang tidak terasa canggung.
Mereka sudah sering duduk di sini bersama. Dermaga tua ini menjadi tempat yang tak terhitung berapa kali mereka singgahi. Tempat di mana mereka berbagi cerita, tawa, kadang juga diam tanpa alasan.
Gadis itu menarik napas dalam, seakan ingin mengabadikan aroma laut ke dalam memorinya. “Kamu yakin mau pergi?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lebih pelan dibanding sebelumnya.
Pria di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menatap laut yang semakin gelap, bibirnya mengatup rapat sebelum akhirnya menghela napas. “Aku harus pergi, Tar,” ucapnya.
Astari mengeratkan genggamannya di atas pahanya. Ada bagian dalam hatinya yang enggan mendengar jawaban itu, meskipun ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Adibrata.
“Berapa lama?” tanyanya lagi.
Adibrata tersenyum kecil. “Aku nggak tahu.”
Jawaban yang terdengar sangat menyebalkan bagi Astari. Matanya beralih menatap wajah pria itu. “Terus, aku harus gimana?”
“Kamu tunggu aku.”
Astari terkekeh, bukan karena senang, tapi karena tidak percaya dengan betapa mudahnya Adibrata mengatakannya. “Tunggu?” ulangnya. “Aku nggak tahu kapan kamu bakal balik, tapi aku harus nunggu?”
Adibrata menatapnya lebih dalam. “Aku bakal balik, Tar.”
“Tapi kapan?”
Pria itu terdiam sejenak. Ia lalu menoleh ke langit, seperti mencari sesuatu di antara awan-awan yang mulai gelap. “Tiap senja, duduklah di sini. Kalau aku datang, aku bakal duduk di sebelah kamu.”
Astari menatapnya, mencari kesungguhan dalam kata-kata itu. Adibrata tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan. Ia mengatakannya seolah itu adalah sebuah janji yang tidak bisa dibatalkan.
“Kalau kamu nggak datang?” tanya Astari, suaranya sedikit bergetar.
Adibrata tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya untuk mengacak rambut gadis itu dengan lembut. “Aku pasti datang.”
Senja semakin meredup. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam, meninggalkan warna merah tua yang perlahan digantikan oleh kelam. Ombak masih berbisik pelan di bawah dermaga, seolah menjadi saksi bagi janji yang baru saja terucap.
Astari menatap garis cakrawala, lalu kembali menoleh ke arah Adibrata. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi ia urungkan.
Mungkin, jawabannya baru akan datang bersama senja berikutnya.
Dan hari-hari setelahnya.
Langit Jingga yang Sama
Senja kembali datang, seperti biasa, seperti kemarin, seperti hari-hari sebelumnya.
Astari duduk di bangku kayu yang sama, dengan posisi yang sama, menatap laut yang tak pernah berubah. Angin berembus pelan, menyapu rambutnya yang tergerai. Gaunnya sedikit berkibar, mengikuti irama hembusan angin.
Seperti yang dijanjikan, ia menunggu.
Namun, tempat di sampingnya tetap kosong.
Astari menekan ujung jarinya ke permukaan kayu yang kasar, merasakan tekstur yang semakin lama semakin rapuh. Bangku ini sudah tua, mungkin lebih tua darinya, tapi ia tetap bertahan. Sama seperti dirinya, yang tetap di sini, di tepi dermaga yang kini semakin sepi.
Sudah berapa hari berlalu?
Ia tidak menghitung. Tidak mau menghitung.
Yang ia tahu, senja selalu datang, dan ia selalu ada di sini.
“Astari,” suara berat yang familiar menyadarkannya dari lamunannya.
Astari menoleh. Seorang wanita paruh baya berdiri di dekatnya, mengenakan kain batik dengan rambut yang sudah diselimuti uban. Ibu pemilik warung kopi di dekat dermaga.
“Kamu masih di sini lagi?” tanya wanita itu dengan nada setengah heran, setengah kasihan.
Astari hanya tersenyum tipis. “Seperti biasa, Bu.”
Wanita itu menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat. Ia membawa segelas teh panas dalam cangkir enamel tua, lalu menyodorkannya kepada Astari.
“Ini, buat kamu. Anginnya mulai dingin.”
Astari menatap teh itu sejenak sebelum akhirnya menerimanya dengan kedua tangan. Kehangatan dari cangkir itu meresap ke kulitnya, memberi sedikit rasa nyaman di tengah dinginnya senja yang berangsur menuju malam.
Wanita itu ikut duduk di bangku kayu, di tempat yang seharusnya diisi oleh seseorang yang masih dinantikannya.
“Kamu tahu, dulu ada seseorang yang juga sering menunggu di sini,” kata wanita itu tiba-tiba, menatap laut dengan tatapan yang seolah menyelami masa lalu.
Astari menoleh penasaran. “Siapa?”
“Seorang perempuan… waktu itu usianya masih muda, mungkin seumuran kamu sekarang. Dia juga duduk di sini, setiap senja, menunggu seseorang.”
Astari mengernyit. “Lalu? Apa orang yang dia tunggu akhirnya datang?”
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ada jeda panjang sebelum ia akhirnya menggeleng pelan.
“Tidak pernah,” jawabnya singkat.
Astari menggenggam cangkirnya lebih erat. Entah kenapa, ada sesuatu yang menekan dadanya mendengar jawaban itu.
“Tapi dia tetap menunggu,” lanjut wanita itu. “Hari demi hari, senja demi senja. Sampai akhirnya…”
“Sampai akhirnya apa?” Astari bertanya pelan, hampir takut mendengar jawabannya.
Wanita itu menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. “Sampai dia sadar kalau penantian yang terlalu lama bisa mengubah seseorang.”
Astari terdiam.
Angin berembus lebih dingin, membawa aroma laut yang semakin pekat. Langit jingga mulai memudar, berganti dengan warna ungu kebiruan yang mengisyaratkan malam segera tiba.
Ia menoleh ke samping.
Bangku itu tetap kosong.
Namun, ia masih menunggu.
Bangku Kayu yang Kosong
Senja datang lagi.
Dan seperti kemarin, Astari masih ada di sini.
Ia duduk dengan tenang, kedua tangannya terlipat di pangkuan. Tidak ada cangkir teh hangat di tangannya hari ini, hanya jemarinya sendiri yang saling menggenggam erat, mencoba mencari kehangatan di antara udara yang mulai mendingin.
Dermaga masih sepi. Hanya ada suara deburan ombak yang setia menemani.
Astari menatap ke samping. Bangku kayu itu tetap kosong.
Ia menarik napas dalam, membiarkan udara laut mengisi paru-parunya, lalu mengembuskannya perlahan.
Sudah berapa lama ia menunggu? Ia masih tidak menghitung. Tapi ia mulai mengingat dengan pasti perubahan kecil yang terjadi di sekelilingnya.
Bangku kayu yang mulai lebih rapuh.
Ombak yang kini terdengar lebih nyaring.
Dan dirinya sendiri, yang semakin lama semakin terasa hampa.
Tadi pagi, ibunya menatapnya dengan khawatir.
“Kamu nggak bosan, Tar?” tanya ibunya saat Astari bersiap berangkat ke dermaga seperti biasa.
Astari hanya tersenyum kecil. “Nggak.”
Ibunya menghela napas panjang. “Kalau dia memang mau balik, dia pasti udah balik dari dulu, Nak…”
Astari tidak menjawab. Ia hanya mengambil tas kecilnya dan pergi, sebelum ibunya berkata lebih banyak hal yang mungkin akan membuat hatinya goyah.
Sekarang, duduk di sini, menatap langit jingga yang mulai meredup, kata-kata ibunya terngiang di benaknya.
Memangnya dia tidak bosan?
Astari menggigit bibirnya pelan.
Tentu saja ia pernah bertanya pada dirinya sendiri. Tentu saja ada hari-hari di mana ia ingin berhenti.
Tapi setiap kali ia berpikir untuk tidak datang ke dermaga ini, sesuatu dalam dirinya menolak.
Bagaimana kalau hari itu adalah hari di mana Adibrata akhirnya kembali?
Bagaimana kalau ia benar-benar datang, dan ia tidak ada di sini?
Pikirannya terus melayang, sampai sebuah suara menyentaknya kembali ke kenyataan.
“Kamu lagi-lagi di sini?”
Astari menoleh. Seorang pria berdiri di belakangnya, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung sampai siku. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena angin.
Raka.
Teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.
“Kamu?” Astari mengernyit heran. “Ngapain di sini?”
Pria itu melangkah lebih dekat, lalu memasukkan tangannya ke saku celana. “Aku yang harusnya tanya itu ke kamu. Aku sering lihat kamu di sini, duduk sendirian, nungguin sesuatu yang aku nggak tahu bakal datang atau nggak.”
Astari terdiam.
Raka ikut duduk di sebelahnya, di tempat yang seharusnya diduduki Adibrata. Tapi anehnya, bangku kayu itu tetap terasa kosong.
“Dia udah pergi lama, kan?” Raka bertanya hati-hati.
Astari mengangguk kecil.
“Terus, kenapa kamu masih nunggu?”
Astari menggigit bibirnya. “Karena aku percaya dia bakal balik.”
Raka menghela napas. “Percaya itu baik, Tar. Tapi kamu yakin dia juga percaya sama janji yang dia buat?”
Astari menoleh padanya. “Maksud kamu?”
Raka menatapnya dalam. “Aku cuma nggak mau kamu terlalu lama menunggu sesuatu yang nggak pasti.”
Astari terdiam.
Angin sore kembali berembus, lebih kencang dari biasanya. Langit senja hampir habis, menyisakan warna jingga yang berangsur gelap.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Karena di satu sisi, ia ingin percaya.
Tapi di sisi lain, ia mulai bertanya-tanya…
Apakah Raka benar?
Apakah bangku kayu ini akan tetap kosong selamanya?
Senja yang Tak Berjawab
Senja kembali datang.
Dan Astari masih di sini.
Hanya saja, kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Ia tidak lagi duduk dengan tenang seperti biasanya. Jemarinya yang dulu hanya menggenggam gaunnya sendiri kini saling bertaut dengan gelisah. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya entah berada di mana.
Bangku kayu di sampingnya masih kosong.
Sudah berapa lama sejak Raka mengatakan kata-kata itu?
Sejak pertanyaan itu terukir dalam benaknya?
Apakah Adibrata benar-benar percaya pada janji yang ia buat?
Astari menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
Ia lelah.
Bukan karena menunggu, tapi karena hatinya mulai ragu.
Tadi siang, Raka datang lagi. Ia berdiri di depan rumahnya, menatapnya dengan ekspresi yang sama seperti ibunya—tatapan kasihan, tatapan seseorang yang ingin mengatakan sesuatu tapi ragu akan diterima.
“Astari.”
Astari hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa.
Raka menghela napas, lalu berkata pelan, “Aku nggak minta kamu berhenti menunggu. Tapi kalau suatu hari kamu capek, aku cuma mau kamu tahu… ada orang lain yang bakal tetap ada buat kamu.”
Astari tidak menjawab.
Tapi hatinya bergetar.
Dan sekarang, duduk di sini, di bawah langit senja yang masih sama seperti kemarin, seperti minggu lalu, seperti bulan lalu, ia mulai mempertanyakan sesuatu yang selama ini ia tolak untuk pikirkan.
Apakah menunggu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan?
Senja semakin meredup. Ombak terus berbisik, seolah membujuknya untuk segera pulang.
Astari menatap laut, lalu menoleh ke samping.
Bangku kayu itu masih kosong.
Dan akhirnya, untuk pertama kalinya, ia menerima kemungkinan bahwa mungkin… bangku itu akan selamanya kosong.
Angin bertiup, lebih kencang dari sebelumnya, seperti ingin menyingkirkan bayangan yang selama ini ia peluk erat dalam hatinya.
Astari berdiri.
Ia menatap laut sekali lagi, mencoba mengabadikan tempat ini dalam memorinya, lalu melangkah pergi.
Dan saat langit senja berubah menjadi malam, bangku kayu itu tetap di sana.
Kosong.
Menunggu.
Seperti yang pernah dilakukan Astari.
Tapi kali ini, ia memilih untuk berhenti.
Kadang, menunggu itu bukan soal seberapa lama kita bisa bertahan, tapi seberapa rela kita menerima kenyataan. Astari akhirnya sadar… nggak semua yang pergi bakal balik.
Dan nggak semua janji harus ditagih. Karena pada akhirnya, ada saatnya kita harus berhenti menunggu dan mulai melangkah. Karena hidup nggak akan menunggu siapa pun, termasuk untuk orang yang terus menunggu.


