Menunggu yang Tak Pernah Kembali: Kisah Penantian Tanpa Janji

Posted on

Pernah nggak sih, nunggu seseorang yang bahkan nggak pernah janji buat balik? Rasanya kayak ngecek ponsel terus-terusan, tapi nggak pernah ada pesan masuk. Kayak datang ke tempat yang sama, di waktu yang sama, berharap ada keajaiban. Tapi yang ada, cuma sepi yang makin lama makin menusuk.

Ini bukan cerita tentang cinta yang berakhir bahagia, bukan juga soal seseorang yang akhirnya sadar dan kembali dengan maaf serta pelukan. Ini tentang seseorang yang tetap tinggal, meskipun yang ditunggu sudah lama pergi. Karena kadang, penantian itu bukan tentang orang yang kita tunggu. Tapi tentang kita sendiri—yang nggak tahu gimana caranya berhenti.

Kisah Penantian Tanpa Janji

Hujan di Bangku Kayu

Di depan sebuah kafe kecil yang aroma kopinya menguar hingga ke trotoar, seorang wanita duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk dimakan waktu. Payung besar bertengger di atas meja, tapi ia tidak menggunakannya. Rintik hujan membasahi bahunya, meresap ke kain cardigan yang dikenakannya, tapi ia tak peduli.

Di atas meja, ada secangkir kopi hitam yang uapnya mulai menghilang.

“Aksara lagi, ya?” seorang barista berbisik ke rekannya.

“Seperti biasa.”

Wanita itu—Aksara—memang sudah menjadi bagian dari pemandangan sore di kafe itu. Lima tahun terakhir, ia selalu datang di jam yang sama, duduk di bangku yang sama, dengan pesanan yang sama. Semua orang di sekitar kafe mengenalnya. Bukan karena ia sering berbicara atau berinteraksi, tapi karena kehadirannya yang tetap, tak berubah, seakan menunggu sesuatu yang hanya ia pahami sendiri.

Orang-orang mulai berhenti bertanya. Mereka hanya melihatnya dengan tatapan kasihan atau simpati yang disembunyikan. Namun, ada satu orang yang tetap penasaran.

“Kenapa sih dia selalu di situ?” tanya seorang pria yang baru saja datang ke kafe, kepada barista yang baru selesai mengantarkan pesanan.

Barista itu mengangkat bahu. “Katanya sih, dia nunggu seseorang.”

“Siapa?”

“Entahlah. Yang jelas, dia udah kayak patung di situ. Hujan kek, panas kek, selalu duduk di sana dengan kopi yang sama. Udah lima tahun, bro.”

Pria itu melirik ke arah Aksara. Wajahnya tenang, tapi tatapannya kosong. Seakan ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar seseorang yang menunggu.

Sebuah langkah mendekat.

“Kopi kamu udah dingin.”

Aksara menoleh. Di depannya, seorang pria berdiri dengan tangan di saku jaketnya. Ia bukan orang asing, bukan juga seseorang yang akrab. Hanya seorang pengunjung tetap di kafe yang terkadang memperhatikannya dari jauh.

“Memang sengaja aku biarin dingin,” jawab Aksara santai.

“Kamu nggak suka kopi panas?”

Aksara tersenyum kecil. “Aku suka. Tapi kalau aku minum sebelum dingin, aku bakal selesai lebih cepat. Terus aku nggak punya alasan buat tetap di sini.”

Pria itu diam. Jawaban Aksara terdengar sederhana, tapi ia bisa merasakan ada sesuatu di baliknya.

“Jadi, kamu emang nunggu seseorang?” tanyanya akhirnya.

Aksara mengaduk kopinya yang sudah dingin tanpa benar-benar ingin meminumnya. “Mungkin.”

“Udah lama?”

“Lima tahun.”

Kali ini, pria itu benar-benar terdiam. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi tatapan Aksara mengisyaratkan bahwa percakapan ini sudah selesai.

Dan seperti biasa, Aksara tetap menunggu. Sementara langit semakin gelap, dan rintik hujan berubah menjadi deras.

 

Lelaki yang Pergi Tanpa Janji

Suatu sore lima tahun lalu, di kafe yang sama, di bangku kayu yang sama, Aksara tidak menunggu. Saat itu, ia hanya seorang wanita yang datang ke kafe untuk menikmati waktu luangnya, tanpa beban, tanpa penantian.

Di seberang meja, ada seorang pria dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Ia sedang membaca buku dengan tatapan serius, alisnya sedikit berkerut. Aksara, yang baru saja datang dengan membawa pesanannya, sempat mencuri pandang.

“Novel terakhir di rak fiksi, kan?” suara itu muncul begitu saja.

Aksara mengangkat alis, menyadari bahwa pria itu sedang melihat ke arah buku di tangannya.

“Aku duluan yang ambil,” jawabnya santai.

Pria itu tersenyum tipis, sama sekali tidak terlihat kesal. “Aku boleh baca setelah kamu selesai?”

Aksara mendengus kecil. “Kalau aku nggak mau?”

“Berarti aku harus cari cara lain buat dapetin buku itu.”

Sejak saat itu, pertemuan mereka menjadi kebiasaan. Bukan sesuatu yang direncanakan, bukan sesuatu yang diatur, tapi selalu ada. Kadang di kafe, kadang di toko buku, kadang di taman kota saat Aksara duduk sendirian dengan segelas kopi dingin di tangannya.

Pria itu bernama Dirga.

Tidak ada yang berlebihan dalam dirinya—tidak terlalu banyak bicara, tidak terlalu banyak bertanya. Tapi tatapannya selalu penuh makna, seolah ia memahami sesuatu yang tidak perlu diucapkan.

“Aku penasaran,” kata Aksara suatu hari, ketika mereka duduk di kafe. “Kenapa kamu selalu muncul di tempat yang sama denganku?”

Dirga mengangkat bahu. “Mungkin semesta pengen kita ketemu terus.”

Aksara tertawa kecil. “Semesta atau kamu?”

Dirga hanya tersenyum, tidak memberi jawaban.

Hari-hari berlalu seperti itu—tenang, mengalir, tanpa ada label atau kepastian. Mereka bukan sepasang kekasih, tapi lebih dari sekadar teman biasa. Dirga tidak pernah menyatakan perasaan, dan Aksara pun tidak pernah bertanya.

Sampai suatu hari, Dirga menghilang.

Tidak ada pesan. Tidak ada alasan. Tidak ada perpisahan.

Aksara datang ke kafe seperti biasa, mengira bahwa ia hanya telat. Tapi Dirga tidak muncul.

Hari berikutnya pun sama.

Dan hari-hari setelahnya, semakin kosong.

Orang-orang mulai bertanya, lalu berhenti bertanya ketika melihat Aksara tetap datang ke kafe yang sama, di jam yang sama. Mereka mengira Aksara akan menyerah, akan melupakan.

Tapi Aksara tidak pernah melupakan.

Karena Dirga pergi tanpa janji, tanpa kata-kata terakhir. Karena Aksara tidak tahu apakah ia memang harus berhenti menunggu, atau jika Dirga sebenarnya sedang dalam perjalanan kembali.

Dan begitulah penantian panjangnya dimulai.

 

Tahun-Tahun yang Sunyi

Pada awalnya, Aksara masih percaya bahwa Dirga akan kembali dalam hitungan hari.

Minggu pertama, ia masih menatap pintu kafe setiap kali bel berdenting, berharap melihat sosok pria berkemeja putih dengan lengan tergulung itu masuk dengan langkah santai. Ia membayangkan Dirga duduk di hadapannya, tersenyum seperti biasa, seolah-olah kepergian itu hanya lelucon kecil yang terlambat dijelaskan.

Minggu kedua, harapan mulai terasa samar.

Bulan pertama, Aksara mulai dihantui pertanyaan. Apa dia baik-baik saja? Apa dia pergi karena sesuatu yang mendesak? Apa dia pernah berniat kembali?

Tahun pertama, orang-orang masih berusaha menghiburnya.

“Udahlah, Sar. Kalau dia mau balik, dari dulu dia udah balik.”

Tapi Aksara tidak pernah menjawab.

Tahun kedua, dia masih datang ke kafe yang sama, di jam yang sama.

Tapi kali ini, bukan hanya Dirga yang perlahan menghilang—Aksara pun mulai merasa dirinya memudar.

Saat ia berjalan di trotoar, melihat orang-orang lalu lalang dengan hidup mereka yang terus berjalan, Aksara merasa seperti hantu. Ada, tapi tidak benar-benar ada. Terjebak dalam sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.

Di malam-malam sepi, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, ia bertanya pada dirinya sendiri.

Kenapa aku masih menunggu?

Jawabannya selalu sama.

Karena Dirga tidak pernah bilang bahwa ia tidak akan kembali.

Tahun ketiga, orang-orang mulai menyerah.

Barista di kafe berhenti memberinya tatapan kasihan. Penjaga toko buku di seberang jalan berhenti menawarkan novel-novel baru untuk mengalihkan pikirannya.

Mereka semua tahu, Aksara tidak akan berubah.

Kadang, seorang pelanggan baru di kafe akan bertanya, “Kenapa dia selalu di situ?”

Dan seseorang akan menjawab, “Oh, dia? Dia menunggu seseorang yang udah pergi bertahun-tahun lalu.”

“Masih berharap?”

“Entahlah. Kayaknya udah bukan soal berharap lagi. Mungkin dia udah lupa caranya berhenti.”

Tahun keempat, Aksara mulai mempertanyakan ingatannya sendiri.

Wajah Dirga masih jelas di pikirannya, tapi suara pria itu terasa semakin jauh.

Apakah senyum itu benar-benar seperti yang ia ingat? Apakah suara itu masih terdengar sama? Apakah Dirga memang pernah ada di sini, atau ia hanya menciptakan sosok itu dari kenangan yang ia paksakan untuk tetap hidup?

Tapi jika semuanya hanya khayalan, lalu kenapa setiap kali ia duduk di bangku kayu ini, hatinya masih terasa kosong?

Tahun kelima, hujan turun lebih sering dari biasanya.

Aksara masih di sana. Masih dengan kopi yang sama. Masih dengan tatapan yang sama ke jalanan yang tak pernah menjawab penantiannya.

Orang-orang sudah tidak lagi bertanya kenapa.

Karena kini, ia bukan lagi sekadar wanita yang menunggu.

Ia sudah menjadi bagian dari kafe ini, bagian dari kota ini. Seperti lampu jalan yang selalu menyala di malam hari, atau trotoar basah yang selalu ada setelah hujan.

Tidak ada yang tahu kapan, atau apakah, ia akan berhenti.

Dan mungkin, Aksara pun tidak tahu.

 

Mungkin, Hanya Mungkin

Hujan turun deras malam itu.

Bukan rintik ringan yang membasahi bahu seperti biasanya, tapi hujan lebat yang mengguyur tanpa ampun, menghantam atap-atap bangunan dan jalanan berbatu dengan suara yang nyaring. Kafe mulai sepi. Para pelanggan bergegas pulang, menutup payung mereka dan melangkah cepat agar tak terlalu basah.

Tapi Aksara tetap duduk di bangku kayunya.

Cardigannya sudah basah, tapi ia tidak bergerak. Di depannya, secangkir kopi yang belum disentuh mulai dipenuhi titik-titik air hujan. Ia tidak peduli.

Tidak ada lagi yang peduli, sejujurnya.

Barista di dalam kafe hanya meliriknya sekilas sebelum kembali mengelap meja. Para pegawai toko buku di seberang jalan sudah terbiasa melihatnya bertahan dalam badai. Bahkan langit pun seolah tahu—hujan bisa turun sekeras apa pun, tapi Aksara akan tetap di sana.

Namun malam itu, ada satu orang yang peduli.

Langkah kaki mendekat. Pelan, ragu-ragu.

Aksara tidak menoleh sampai seseorang berbicara.

“Kamu nggak takut sakit?”

Suara itu tidak asing. Bukan suara Dirga, bukan suara yang ia nanti, tapi tetap terasa familier.

Aksara menoleh perlahan. Seorang pria berdiri di sana, memegang payung hitam. Seseorang yang selama bertahun-tahun hanya melihatnya dari kejauhan, tapi entah kenapa, malam ini memutuskan untuk mendekat.

Pria itu menurunkan payungnya, membiarkan hujan membasahi dirinya juga.

“Aku nggak suka sendirian,” lanjutnya, duduk di seberang Aksara tanpa izin, tanpa pertanyaan, seolah-olah bangku kayu itu memang selalu memiliki ruang untuknya.

Aksara menatap pria itu dalam diam.

Ia tidak mengerti kenapa seseorang yang bukan Dirga bisa ada di sini. Kenapa seseorang yang tidak pernah menjadi bagian dari penantiannya malah memilih duduk menemaninya.

Tapi untuk pertama kalinya dalam lima tahun, seseorang duduk di hadapannya.

Bukan untuk bertanya, bukan untuk menasihatinya agar berhenti menunggu, bukan untuk memberinya tatapan kasihan.

Hanya untuk diam bersama.

Entah kenapa, sesuatu yang selama ini terasa begitu berat di dadanya tiba-tiba sedikit mereda. Tidak hilang, tidak sepenuhnya pergi, tapi cukup ringan untuk membuatnya menarik napas lebih dalam.

Aksara menatap secangkir kopi di depannya.

Lalu untuk pertama kalinya sejak lima tahun lalu, ia mengangkatnya.

Menyesap pelan.

Kopi itu masih dingin, tapi malam ini, rasanya tidak terlalu pahit.

Di hadapannya, pria itu tersenyum tipis.

Tidak ada janji. Tidak ada kata-kata bahwa Aksara akan berhenti menunggu, bahwa ia akan melupakan Dirga, bahwa ia akan membuka lembaran baru.

Tapi mungkin, hanya mungkin, ia tidak harus terus menunggu sendirian.

 

Kadang hidup emang nggak adil. Ada orang yang pergi tanpa pamit, ada yang datang tanpa diminta, dan ada yang tetap tinggal meski udah nggak ada alasan buat bertahan. Tapi satu hal yang pasti, waktu nggak pernah berhenti.

Mungkin, suatu hari nanti, tanpa sadar kita udah melangkah lebih jauh dari yang kita kira. Mungkin, kita masih menunggu—tapi nggak lagi sendirian. Atau mungkin… kita udah berhenti, tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal.

Leave a Reply