Syahdan: Pemuda yang Dirindukan Surga, Dibenci Dunia

Posted on

Pernah nggak sih ketemu seseorang yang bener-bener baik, tapi justru selalu ditindas? Orang yang nggak pernah marah walau dihina, yang tetap nolong meski disakiti? Nah, ini kisah tentang Syahdan—pemuda luar biasa yang nggak cuma dirindukan manusia, tapi juga surga.

Tapi, hidupnya? Jauh dari kata mudah. Bersiaplah buat baca cerita yang bukan sekadar kisah biasa. Ini cerita tentang kesabaran, keikhlasan, dan bagaimana satu orang bisa mengubah banyak hati.

Syahdan

Cahaya di Tengah Cemoohan

Di bawah pohon mangga tua di sudut desa, seorang pemuda duduk bersila, merapikan dedaunan kering yang berserakan di tanah. Syahdan Ramadhana, pemuda berusia delapan belas tahun itu, dikenal bukan karena hartanya, bukan juga karena ketenarannya, melainkan karena hatinya yang bersih.

Ia tak pernah mengeluh meskipun hidupnya berat. Pakaiannya lusuh, sandal jepitnya sudah menipis, dan tangannya kasar karena sering membantu ibunya berjualan sayur di pasar. Namun, senyum di wajahnya selalu hadir, seolah beban hidup tak mampu menundukkannya.

“Syahdan, aku heran, kenapa sih kamu selalu kelihatan bahagia?” tanya seorang bocah kecil bernama Wibi, yang sejak tadi memperhatikan pemuda itu mengumpulkan dedaunan.

Syahdan tersenyum, mengambil sehelai daun dan meniupnya hingga menghasilkan bunyi seperti seruling. “Karena aku bersyukur. Selama aku masih bisa melihat langit, mendengar suara ayam berkokok di pagi hari, dan makan walau cuma sekali sehari, aku nggak punya alasan buat bersedih.”

Wibi mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya mengerti.

Tiba-tiba, suara tawa kasar terdengar dari kejauhan. Dari arah gang sempit yang menuju ke lapangan desa, sekumpulan pemuda datang dengan gaya angkuh. Salah satunya adalah Raga, anak kepala desa yang paling berkuasa di antara mereka.

“Lihat siapa yang duduk santai di sini!” seru Raga dengan nada mengejek. Ia melipat tangannya di dada, sorot matanya penuh keangkuhan.

Teman-temannya tertawa, seolah keberadaan Syahdan hanyalah hiburan bagi mereka.

“Apa yang kamu lakuin, hah? Ngumpulin daun buat dimakan?” tanya Rendi, salah satu pengikut setia Raga.

Tawa mereka pecah.

Syahdan tidak marah. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan teduh. “Aku cuma bersihin halaman. Biar nggak ada yang kepleset atau jatuh.”

“Dengar itu, guys! Dia ini bukan cuma miskin, tapi juga sok suci!” Raga mencibir, lalu mengambil sejumput pasir dan menaburkannya di kepala Syahdan. “Udah deh, nggak usah capek-capek bersihin desa ini. Desa ini nggak butuh orang kayak kamu.”

Syahdan menepuk-nepuk rambutnya yang berdebu. “Kalau aku nggak bersihin, siapa lagi?”

Jawaban itu membuat wajah Raga seketika berubah. Ia tidak suka. Ia ingin melihat Syahdan marah, membalas, atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Namun, yang ia dapatkan hanyalah senyum tenang.

“Dasar bodoh,” gumam Raga.

Mereka pun pergi, meninggalkan Syahdan yang tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa peduli pada sisa pasir di rambutnya.

Tak jauh dari sana, seorang gadis bernama Rena, anak pedagang yang sering membeli sayur di lapak ibu Syahdan, menyaksikan kejadian itu dengan mata yang sedikit berair. Ia mendekati Syahdan, menyerahkan sebotol air.

“Kamu nggak sakit hati, Syahdan?” tanyanya pelan.

Syahdan mengambil botol itu, meneguk sedikit, lalu tersenyum. “Aku nggak punya waktu buat sakit hati, Rena. Hidup ini terlalu singkat kalau cuma dihabiskan buat benci sama orang lain.”

Rena terdiam. Ada sesuatu dalam diri Syahdan yang berbeda. Pemuda itu tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga memiliki hati yang tak tergoyahkan.

Sementara itu, di sudut lain desa, Raga masih menyimpan amarah. Ia menggenggam kerikil di tangannya, melemparkannya ke sungai dengan kesal.

“Kenapa sih orang kayak dia masih bisa senyum?” gumamnya sendiri.

Seorang temannya, Bima, menepuk pundaknya. “Lupakan aja, Ga. Dia cuma bocah miskin. Kita yang berkuasa di desa ini.”

Raga mengangguk, tetapi dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang membuatnya semakin ingin menghancurkan Syahdan.

Dan di bawah langit yang mulai gelap, nasib pemuda yang dirindukan surga itu perlahan mulai diuji.

 

Ujian Kesabaran

Siang itu, langit desa mendung. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah yang kering. Syahdan baru saja selesai membantu ibunya berjualan di pasar ketika seorang anak kecil berlari-lari ke arahnya dengan napas terengah-engah.

“Kak Syahdan! Kak Syahdan! Kakek Rusdi pingsan di rumahnya!” seru bocah itu, wajahnya panik.

Tanpa pikir panjang, Syahdan bergegas menuju rumah Kakek Rusdi. Rumah itu kecil dan reyot, terletak di tepi desa. Saat ia tiba, tubuh renta Kakek Rusdi tergeletak di lantai, napasnya tersengal-sengal.

“Air… aku butuh air…” bisiknya lemah.

Syahdan langsung mencari kendi di dapur. Kosong. Sumur di belakang rumah pun mengering. Dengan cepat, ia menggendong tubuh ringkih itu ke punggungnya dan berlari menuju rumahnya sendiri.

“Ibu! Tolong Kakek Rusdi!”

Ibunya, yang tengah menata sayur, segera berlari ke dapur, mengambil mangkuk berisi air dan menyuapkannya perlahan ke bibir Kakek Rusdi. Lelaki tua itu meneguk air dengan mata berkaca-kaca.

“Terima kasih, Nak…” suaranya hampir tak terdengar.

Syahdan hanya tersenyum, sementara ibunya mulai menyiapkan bubur agar Kakek Rusdi bisa makan sesuatu. Namun, dalam hati, pemuda itu mulai merasa gelisah. Kekeringan ini semakin parah. Sumur-sumur mulai mengering, dan air menjadi barang berharga di desa.

Malamnya, Syahdan duduk di teras rumah, memikirkan cara agar desa mereka bisa mendapatkan air. Tidak mungkin hanya menunggu hujan. Ia harus melakukan sesuatu.

Keesokan paginya, Syahdan berjalan kaki sejauh belasan kilometer menuju desa tetangga. Keringat mengalir di pelipisnya, kulitnya terbakar matahari, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Ia mengetuk setiap pintu, meminta bantuan.

Sebagian orang menolak, sebagian lainnya hanya memberi sedikit. Namun, ada seorang dermawan yang tergerak oleh ketulusan Syahdan. Ia memberikan beberapa gerobak air yang bisa dibawa kembali ke desa.

Syahdan hampir menangis haru. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali sebelum mulai menarik gerobak itu dengan susah payah. Roda-roda kayu berdecit di jalan berbatu, tapi langkahnya tak terhenti.

Ketika ia tiba di desa, orang-orang terkejut.

“Syahdan bawa air! Dia bawa air untuk kita!” teriak seorang ibu.

Warga mulai berkumpul. Wajah-wajah yang tadinya letih dan pasrah kini berubah penuh harapan. Syahdan membagikan air itu dengan adil, memastikan setiap keluarga mendapatkan jatah mereka.

Namun, di sudut lain, ada yang tidak senang melihat ini. Raga menyaksikan semuanya dengan mata penuh kebencian.

“Dia pikir dia siapa? Pahlawan?” gumamnya.

Raga tak bisa terima. Ia merasa posisinya sebagai anak kepala desa seharusnya membuatnya lebih dihormati, tapi kini semua orang justru memuji Syahdan.

Ia mengepalkan tangan. Ia tidak akan membiarkan Syahdan mendapatkan semua pujian itu.

Malam itu, ia dan teman-temannya menyusun rencana.

“Aku udah capek lihat dia sok baik terus,” bisik Raga penuh dendam. “Kita bakal kasih dia pelajaran.”

Di luar sana, Syahdan masih terjaga. Ia duduk di bawah pohon mangga tua, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit.

Ia tidak tahu, di balik kegelapan malam, bahaya sedang menunggunya.

 

Dendam yang Membutakan

Malam turun dengan sunyi. Suara jangkrik bercampur dengan desir angin yang sesekali mengusik dedaunan. Syahdan masih terjaga di bawah pohon mangga tua, tangannya sibuk merajut harapan-harapan kecil dalam doa.

Tanpa ia sadari, di balik kegelapan, Raga dan teman-temannya mengintai. Mata mereka penuh dengan dendam yang membara.

“Sekarang,” bisik Raga.

Dalam hitungan detik, sekelompok pemuda itu melompat keluar dari persembunyiannya. Salah satu dari mereka membawa seember penuh air kotor bercampur lumpur. Tanpa peringatan, mereka menyiramkan isi ember itu ke tubuh Syahdan.

Byuur!

Syahdan terkejut. Tubuhnya yang lelah kini basah kuyup oleh air bercampur tanah dan sampah. Aroma busuk menyengat hidungnya.

“Hahaha! Lihat dirimu sekarang, Syahdan! Masih mau pura-pura jadi orang suci?” Raga menertawakan pemuda itu dengan puas.

Syahdan menghela napas, mengusap wajahnya yang belepotan lumpur. Ia menatap mereka dengan mata yang tetap teduh, meski dingin menusuk tubuhnya.

“Kenapa kalian melakukan ini?” tanyanya pelan.

“Karena aku muak!” Raga menghunuskan jarinya ke dada Syahdan. “Kamu sok baik! Sok pahlawan! Semua orang selalu ngomongin kamu, selalu memujamu, sementara aku, anak kepala desa, malah nggak dianggap!”

“Jadi… karena itu?” Syahdan menatapnya dalam.

“YA! Karena itu!” suara Raga semakin keras. “Kamu nggak pantas dihormati! Kamu cuma bocah miskin yang seharusnya tahu diri!”

Suasana hening sesaat. Angin malam berembus lembut, seolah berusaha meredakan ketegangan. Namun, bukan Syahdan namanya jika membalas dengan amarah.

Ia tersenyum kecil. “Kalau aku memang nggak pantas dihormati, kenapa kamu repot-repot melakukan ini? Apa yang kamu cari dari menyakitiku?”

Raga terdiam. Pertanyaan itu seperti tamparan baginya.

Namun, ia tak mau kalah. Dengan gerakan cepat, ia mendorong Syahdan hingga jatuh ke tanah.

“Kamu pikir kamu siapa?” desisnya. “Jangan pernah sok-sokan jadi orang baik lagi di depan kami, ngerti?”

Teman-temannya tertawa, puas melihat Syahdan terkapar di tanah becek.

Namun, Syahdan tak melawan. Ia hanya menatap mereka dengan sorot mata yang tidak menunjukkan kebencian sedikit pun.

“Kalau itu bisa membuatmu bahagia, silakan,” ucapnya lirih.

Mendengar itu, Raga justru semakin marah. Ia ingin Syahdan melawan, ingin melihat pemuda itu jatuh ke dalam amarah yang sama seperti dirinya. Tapi Syahdan tidak memberinya kepuasan itu.

Amarah yang membara dalam dada Raga perlahan terasa hampa. Ada sesuatu dalam diri Syahdan yang tak bisa ia pahami, sesuatu yang membuat hatinya tak tenang.

Malam itu, Syahdan berjalan pulang dengan pakaian penuh lumpur. Saat tiba di rumah, ibunya terkejut melihat kondisinya.

“Nak, siapa yang melakukan ini padamu?” tanyanya cemas, mengambil kain untuk mengelap wajah putranya.

Syahdan tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Aku baik-baik saja.”

“Tapi—”

“Aku nggak mau membalas,” potongnya lembut. “Kalau aku membalas, aku sama saja dengan mereka.”

Sang ibu menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya perih melihat anaknya terus-menerus disakiti, tapi di saat yang sama, ia juga bangga. Syahdan memiliki hati yang lebih besar dari luka yang diberikan dunia kepadanya.

Dan di luar sana, Raga masih terjaga di kamarnya.

Ia menggigit bibirnya, menatap kedua tangannya sendiri. Ada sesuatu yang terasa salah.

Tapi ia terlalu angkuh untuk mengakuinya.

Tanpa ia sadari, di langit yang gelap, awan mulai berkumpul. Seolah semesta tahu, akan ada sesuatu yang besar terjadi di desa ini. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.

 

Langit Merindukannya

Hujan pertama setelah berbulan-bulan akhirnya turun di desa. Bumi yang lama kering menyerap air dengan rakus, jalanan tanah berubah menjadi lumpur, dan atap-atap rumah berdenting terkena tetesan air. Bagi sebagian orang, ini adalah berkah. Tapi bagi Raga, hujan itu terasa seperti penghakiman.

Ia duduk di teras rumahnya, menatap langit kelam yang seolah menyimpan beban di dadanya. Semalaman ia tak bisa tidur. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian semalam.

Syahdan tidak marah. Tidak membalas. Bahkan tidak membenci.

Kenapa?

Kenapa pemuda itu bisa sekuat itu?

Di tengah lamunannya, terdengar keributan di luar. Seorang lelaki berlari-lari menerjang hujan, napasnya tersengal.

“Syahdan! Syahdan hanyut di sungai!”

Jantung Raga seakan berhenti berdetak.

Beberapa warga bergegas ke tepi sungai yang airnya meluap akibat hujan deras. Mereka menemukan Syahdan, terkapar di bebatuan dekat aliran deras. Tubuhnya penuh luka, darah bercampur dengan air hujan yang mengguyurnya.

Warga segera mengangkatnya, membawanya ke rumahnya dengan panik.

Di dalam rumah yang sederhana itu, ibunya menangis, menggenggam tangan anaknya yang dingin.

“Nak… bangun, Nak…” suaranya bergetar.

Syahdan membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi ia masih bisa tersenyum.

“Aku… hanya ingin… memastikan sumur desa nggak tersumbat… air harus tetap mengalir…” suaranya nyaris tak terdengar.

Raga yang berdiri di ambang pintu menggigit bibirnya. Napasnya berat, matanya berkaca-kaca.

Semua orang di sini berduka… semua orang peduli pada Syahdan…

Dan ia, satu-satunya yang selalu berusaha menjatuhkan pemuda itu, justru yang paling terluka melihat kondisinya sekarang.

Dengan langkah berat, Raga maju, berlutut di samping tempat tidur Syahdan. Tangannya gemetar saat ia menggenggam tangan pemuda itu.

“Syahdan…” suaranya serak. “Aku… aku yang salah… Aku selalu iri sama kamu… selalu ingin kamu jatuh… tapi kamu nggak pernah benci aku…”

Syahdan menatapnya, masih dengan mata yang penuh ketenangan. Bibirnya melengkung dalam senyum lemah.

“Aku… nggak pernah benci kamu, Raga…” bisiknya.

Saat itu, sesuatu di dalam diri Raga hancur. Semua kebenciannya, egonya, amarahnya… luruh bersama air mata yang akhirnya jatuh dari matanya.

Hujan terus turun ketika desa itu berduka.

Langit menangis bersama mereka.

Syahdan, pemuda yang selalu membantu tanpa pamrih, yang tetap tersenyum meski dihina, yang lebih memilih bersabar daripada membalas dendam… telah pergi.

Namun, warisannya tetap ada.

Raga, yang dulu membenci Syahdan, kini menjadi orang pertama yang berdiri di garis depan membantu warga. Ia memastikan sumur desa tetap bersih, membantu orang-orang yang kesulitan, dan menjaga nilai-nilai yang dulu selalu dijalankan Syahdan.

Desa itu berubah.

Dan di suatu pagi yang tenang, di bawah pohon mangga tua tempat Syahdan dulu sering duduk, Raga menatap langit biru yang cerah.

Ia menutup mata dan berbisik pelan.

“Syahdan… Surga pasti merindukanmu.”

 

Nggak semua pahlawan pakai jubah. Nggak semua orang baik hidup bahagia selamanya. Kadang, mereka pergi lebih cepat—karena tempat mereka bukan di dunia, tapi di surga. Syahdan mungkin sudah tiada, tapi jejaknya nggak akan pernah hilang.

Dan Raga? Ia adalah bukti bahwa bahkan hati yang paling keras pun bisa luluh oleh ketulusan. Jadi, kalau suatu hari kamu ketemu orang baik yang selalu dihina, selalu disakiti, jangan ikut menertawakan mereka. Karena bisa jadi, dia adalah orang yang dirindukan surga.

Leave a Reply