Daftar Isi
Ada yang lebih sakit dari sekadar kehilangan—yaitu dipaksa melepaskan seseorang yang masih kita genggam erat di hati. Ini bukan tentang cinta yang pudar atau perasaan yang berubah, tapi tentang keadaan yang kejam, yang bikin dua hati harus saling menjauh meski masih ingin bertahan.
Kalau kamu pernah ngerasain perpisahan yang nggak adil, yang bikin dada sesak setiap kali diingat, cerita ini bakal ngena banget buat kamu.
Pelukan Terakhir
Di Bawah Langit Senja
Langit di atas taman sore itu dihiasi semburat jingga keemasan, berpadu dengan bias ungu yang samar. Angin berhembus pelan, menggoyangkan ranting-ranting jacaranda yang bunganya berjatuhan seperti hujan kecil di atas rerumputan. Taman itu tak sepenuhnya sepi, tapi juga tak begitu ramai. Beberapa orang masih duduk di bangku-bangku kayu, entah menikmati senja atau menghabiskan waktu sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Di antara suasana yang tenang itu, seorang pria berdiri dengan tangan yang terkepal di sisi tubuhnya. Tatapannya lurus ke depan, ke arah seorang gadis yang berdiri beberapa langkah darinya. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak—sesuatu yang kelam, mungkin juga menyakitkan.
Naura menggigit bibirnya. Ia menatap Arya dengan mata yang bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
“Kamu sengaja milih tempat ini?” tanya Arya akhirnya, suaranya terdengar datar.
Naura mengangguk pelan. “Aku suka tempat ini.”
Arya mendengus kecil, menendang-nendang kerikil di bawah kakinya. “Dulu kamu pernah bilang, tempat ini terlalu sepi dan bikin bosan.”
Naura menunduk, jemarinya mencubit lengan bajunya sendiri. “Itu dulu.”
Angin kembali berhembus, membawa keheningan yang semakin menyesakkan. Keduanya sama-sama tahu alasan mereka bertemu di sini. Tapi tak ada yang berani mengatakannya lebih dulu.
“Kamu sehat?” suara Arya kembali terdengar, mencoba memecah kebekuan di antara mereka.
Naura mengangguk. “Aku baik.”
“Benar?” Arya menyipitkan mata.
Naura mengangkat bahu. “Nggak tahu. Mungkin enggak.”
Arya mendesah, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Kalau kamu nggak baik, kenapa malah ngajak ketemu di sini?”
Naura menggigit bibirnya semakin kuat, menatap Arya dengan mata yang sedikit memerah. “Karena… aku pengen ketemu kamu.”
Arya diam. Jawaban itu tidak menjelaskan apa pun, tapi di saat yang sama, sudah menjelaskan segalanya.
Naura mengambil napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Arya. “Aku harus pergi.”
Arya masih diam. Ia menatap gadis di depannya dengan pandangan yang sulit ditebak.
Naura menelan ludah. “Aku harus pergi, Arya. Aku nggak punya pilihan.”
Arya tertawa kecil, tapi suaranya terdengar begitu hambar. “Pasti ada pilihan lain, Naura. Selalu ada.”
Naura menggeleng. “Nggak untuk aku.”
Arya melirik ke samping, menatap langit yang mulai berubah warna. “Jadi… kita harus selesai?”
Naura tidak langsung menjawab. Ia menunduk, menatap kakinya sendiri seolah di sanalah jawaban yang ia cari. Lalu, perlahan, ia mengangguk.
Arya terkekeh pelan, tapi matanya tidak mencerminkan tawa itu. “Lucu, ya. Aku selalu pikir kita bakal tetap bareng. Apa pun yang terjadi.”
Naura tersenyum tipis, tapi senyumnya penuh kepedihan. “Aku juga pikir begitu.”
“Jadi kenapa kita nggak bisa?”
Naura menggigit bibirnya lagi, berusaha menahan isakan yang nyaris lolos dari bibirnya. “Karena dunia nggak mengizinkan kita.”
Arya menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. “Dunia? Atau mereka?”
Naura terdiam. Hening yang menyusul setelahnya lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.
Arya melangkah mendekat, tapi Naura justru mundur. Jarak di antara mereka semakin lebar.
“Arya…” suara Naura lirih, hampir tak terdengar. “Aku nggak pengen pergi. Tapi aku harus.”
Arya menatapnya dalam-dalam. “Kalau aku bilang jangan?”
Naura menutup matanya. “Kamu nggak akan sekejam itu, kan?”
Arya terkekeh lagi, kali ini lebih miris. “Jadi aku harus ngelepas kamu? Gitu?”
Naura tidak menjawab, tapi air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi.
Arya mengepalkan tangannya, menahan sesuatu di dadanya yang terasa ingin meledak. “Berapa lama waktu yang kita punya?”
Naura menatapnya dengan mata yang basah. “Sampai hari ini aja.”
Angin berhembus lebih kencang, membawa guguran bunga jacaranda yang jatuh di antara mereka. Dan di antara serpihan kelopak ungu itu, mereka berdiri berhadapan—sepasang hati yang saling mencintai, tapi harus terpisah oleh sesuatu yang lebih besar dari mereka.
Hari ini masih belum berakhir, tapi keduanya tahu, waktu mereka bersama sudah hampir habis.
Dunia yang Tak Adil
Cahaya senja mulai meredup, berganti dengan bayangan malam yang perlahan menyelimuti taman. Suara gemerisik daun kering yang terbawa angin semakin terdengar jelas di antara keheningan mereka. Arya menatap Naura yang masih berdiri dengan kepala tertunduk.
“Kamu yakin nggak ada cara lain?” suara Arya terdengar serak.
Naura menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Kalau ada, aku pasti udah milih itu.”
Arya mengepalkan tangannya, matanya menatap kosong ke arah tanah. “Jadi, mereka maksa kamu?”
Naura menelan ludahnya susah payah. “Mereka bilang ini yang terbaik.”
“Tapi bukan yang terbaik buat kita.”
Naura terdiam. Ia tahu itu. Semua ini bukan yang ia inginkan, bukan yang ia harapkan. Tapi dunia tidak pernah peduli pada hati yang mencintai—dunia hanya peduli pada aturan, status, dan kehormatan.
“Mereka bakal ngirim aku ke luar negeri.”
Arya mengangkat wajahnya. “Apa?”
Naura menggigit bibirnya, berusaha menahan isak yang mulai merayap di tenggorokannya. “Besok aku udah harus pergi. Nggak ada waktu lagi, Arya.”
Arya menggeleng pelan, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. “Mereka serius?”
Naura tertawa kecil, tapi air mata mengalir di pipinya. “Kamu pikir aku bakal bercanda soal ini?”
Arya merasakan dadanya seperti dihantam sesuatu yang berat. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan semua ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia bukan siapa-siapa di mata mereka.
“Kalau aku nyamperin mereka, kalau aku bicara baik-baik sama orangtuamu—”
“Kamu pikir mereka bakal dengerin?” potong Naura cepat. “Arya, mereka bahkan nggak pernah nganggep kamu ada.”
Arya terdiam. Kata-kata Naura lebih tajam dari pisau.
“Mereka udah mutusin semuanya. Aku nggak bisa nolak.” Naura mengusap air matanya yang jatuh. “Aku harus pergi.”
Arya mendekat, matanya menatap dalam ke arah Naura, mencari sisa-sisa harapan yang mungkin masih bisa ia genggam. “Kamu bisa lari sama aku.”
Naura tersenyum pahit. “Dan setelah itu?”
Arya terdiam.
“Kita bakal hidup dengan apa? Kamu belum lulus, aku juga. Kita nggak punya apa-apa. Kamu mau kita kabur cuma buat akhirnya hidup menderita? Aku nggak mau lihat kamu susah, Arya.”
Arya mengembuskan napas berat. Ia tahu Naura benar. Sekalipun mereka melawan, dunia ini terlalu besar untuk mereka hadapi berdua.
“Kalau aku minta kamu tinggal?” suara Arya melemah.
Naura menggeleng, matanya mulai memerah. “Kalau aku tinggal, semuanya bakal lebih buruk. Mereka bakal terus ngontrol hidupku, mereka bakal bikin kita lebih sengsara. Kita bakal tetap kalah, Arya.”
Arya memejamkan mata, menahan sakit yang semakin dalam menggerogoti hatinya.
Naura melangkah mendekat, mengulurkan tangannya, tapi ragu-ragu sebelum benar-benar menyentuh tangan Arya. “Aku pengen kamu janji satu hal.”
Arya membuka matanya. “Apa?”
Naura menarik napas dalam-dalam, suaranya hampir bergetar. “Jangan benci aku.”
Arya menatapnya tajam. “Aku nggak akan pernah bisa benci kamu.”
Naura tersenyum tipis, meski air mata masih membasahi pipinya. “Aku takut… setelah aku pergi, kamu bakal nganggep aku pengecut.”
Arya mendekap kedua bahunya dengan lembut, menatapnya dalam-dalam. “Aku cuma bakal nganggep dunia ini yang pengecut, Naura. Bukan kamu.”
Naura tak lagi bisa menahan tangisnya. Ia membiarkan air matanya jatuh, membiarkan hatinya mengerang dalam diam.
Hari semakin gelap. Tapi di dalam dada mereka, kesedihan justru semakin terang. Dan mereka tahu, malam ini akan menjadi malam terpanjang yang harus mereka lewati.
Pelukan Terakhir
Langit sudah sepenuhnya gelap saat Arya dan Naura masih berdiri di tempat yang sama, di bawah pohon jacaranda yang kini hanya menyisakan kelopak-kelopak ungu berserakan di tanah. Lampu-lampu taman mulai menyala, menerangi wajah mereka yang sama-sama sembab.
Naura menggigit bibirnya, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Setiap detik yang berlalu terasa seperti hukuman.
“Aku harus pulang,” katanya akhirnya, suaranya lirih.
Arya menatapnya tanpa berkata apa pun. Hatinya berteriak, ingin meminta Naura tetap di sini, bersamanya, meski ia tahu itu mustahil.
Naura melangkah mundur.
Tapi belum sempat ia benar-benar menjauh, Arya meraih pergelangan tangannya. Tarikan yang lembut, tapi cukup untuk membuat langkah Naura terhenti.
“Sebentar lagi.”
Naura menatapnya dengan mata yang mulai berair lagi.
“Sebentar lagi aja, Naura.” Suara Arya terdengar hampir memohon.
Naura menggigit bibirnya lebih kuat, lalu tanpa pikir panjang, ia melangkah maju dan merengkuh Arya dalam pelukannya.
Pelukan yang dalam. Erat. Seolah dunia bisa runtuh kapan saja dan mereka ingin tetap berada dalam satu sama lain.
Arya mengeratkan tangannya di punggung Naura, menyembunyikan wajahnya di bahu gadis itu. “Kalau aku bisa menghentikan waktu…”
Naura tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan di dalam pelukan Arya, air matanya membasahi bahu pria itu.
“Kalau ini pelukan terakhir…” suara Arya nyaris bergetar. “Aku nggak mau ngelepas kamu.”
Naura semakin tenggelam dalam dekapan Arya, tubuhnya bergetar. “Jangan bilang kayak gitu…”
“Tapi ini terakhir, kan?”
Naura mencengkeram punggung Arya lebih erat, seolah bisa menghancurkan kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi.
“Kalau ini terakhir…” suara Arya melemah, nyaris tenggelam dalam isakan Naura. “Biar aku ingat rasanya.”
Naura memejamkan mata, dadanya semakin sesak.
Mereka berdua tahu, setelah malam ini, pelukan ini hanya akan menjadi kenangan. Sentuhan ini hanya akan jadi bayangan di ingatan mereka.
Pelukan terakhir.
Dada Arya naik turun dengan napas yang berat. Naura tahu pria itu sedang menahan sesuatu yang besar. Kemarahan? Kesedihan? Keputusasaan?
Naura menarik napas panjang dan dengan perlahan melepaskan pelukannya.
Arya tidak langsung melepasnya, seolah masih ingin menggenggam sisa-sisa kehangatan yang mungkin tidak akan pernah ia rasakan lagi.
Naura mengangkat wajahnya, menatap Arya dengan mata yang sembab. “Aku harus pergi.”
Arya mengangguk pelan, meskipun seluruh tubuhnya menolak untuk melepaskan Naura.
Naura melangkah mundur, mencoba mengukir senyum meski bibirnya bergetar.
“Kamu bakal baik-baik aja, kan?”
Arya menatapnya dalam-dalam sebelum mengangkat satu sudut bibirnya dengan getir. “Aku nggak yakin.”
Naura tersenyum, meski matanya semakin basah. “Aku juga.”
Malam semakin larut.
Dan dengan langkah yang berat, Naura akhirnya berbalik, pergi meninggalkan Arya.
Arya tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung gadis yang semakin menjauh, seolah menunggu Naura menoleh untuk terakhir kalinya.
Tapi Naura tidak menoleh.
Karena jika ia melakukannya, ia tidak akan pernah sanggup pergi.
Aku Masih di Sini
Langkah Naura semakin jauh, menghilang di balik jalan setapak yang menuju gerbang taman. Arya masih berdiri di tempatnya, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang kini tanpa ekspresi. Hatinya kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengembalikannya.
Naura benar-benar pergi.
Arya menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. Kelopak bunga jacaranda masih berserakan, seperti saksi bisu atas perpisahan yang baru saja terjadi. Ia merasa dunia terlalu kejam malam ini.
Perlahan, ia mengangkat tangannya, menyentuh dadanya sendiri. Ada rasa sakit yang mengendap di sana—bukan luka yang terlihat, tapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tidak bisa sembuh dengan cepat.
Di kejauhan, suara kendaraan mulai terdengar. Naura pasti sudah naik mobil sekarang, mungkin tengah duduk di balik jendela, menatap kota yang perlahan menjauh dari pandangannya. Atau mungkin… ia sedang menangis. Sama seperti dirinya.
Arya tersenyum getir. “Kamu masih nangis, Naura?” bisiknya pada angin malam.
Ia menatap langit. Gelap, tapi ada satu bintang yang bersinar lebih terang dari yang lain. Ia tidak tahu kenapa, tapi itu membuat dadanya semakin sesak.
Langkahnya goyah saat ia akhirnya memutuskan untuk berjalan meninggalkan taman.
Satu hal yang pasti—malam ini terasa lebih dingin dari biasanya.
Waktu berjalan dengan kejam.
Hari berlalu, berubah menjadi minggu. Minggu berlalu, berubah menjadi bulan. Naura tidak lagi ada di kota ini. Jejaknya perlahan pudar, meski di hati Arya, bayangannya tetap bertahan.
Ia pernah berpikir, mungkin setelah beberapa waktu berlalu, perasaan itu akan memudar. Mungkin setelah cukup lama, luka itu akan sembuh. Tapi ternyata, waktu tidak sebaik itu padanya.
Malam-malam terasa lebih panjang. Hari-hari terasa lebih sepi. Ia bisa saja tersenyum, tertawa di depan teman-temannya, tapi di dalam hatinya, ia tahu betapa kosongnya semua itu.
Terkadang, saat ia melewati taman itu lagi, langkahnya terhenti tanpa sadar. Ia berdiri di tempat yang sama, di bawah pohon jacaranda yang masih berdiri kokoh. Kelopak bunganya masih jatuh ke tanah, persis seperti malam itu.
Dan setiap kali ia berdiri di sana, hatinya berbisik satu hal yang sama.
“Aku masih di sini.”
Naura sudah pergi, tapi sebagian dari dirinya masih tertinggal di tempat ini.
Dan Arya?
Arya tetap di sini. Masih menunggu, meski ia tahu… tidak ada yang akan kembali.
Kadang, hidup emang sekejam itu. Kadang, kita harus pura-pura kuat meskipun sebenarnya hancur di dalam. Tapi yang paling menyakitkan dari semua ini? Bukan sekadar kehilangan, tapi kenyataan bahwa seseorang yang dulu ada dalam genggaman, kini cuma bisa kita temui di ingatan.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, meskipun waktu terus berjalan… hati tetap diam di tempat yang sama, masih menunggu sesuatu yang nggak akan pernah kembali.


