Daftar Isi
Siapin tisu dulu, deh. Cerita ini bakal bikin dada sesak, mata panas, dan hati kayak diremas-remas. Ini bukan sekadar kisah tentang seorang ibu dan anaknya, tapi tentang perjuangan, ketakutan, harapan yang perlahan pupus, sampai akhirnya… perpisahan yang nggak bisa dihindari. Ini cerita tentang Nayara dan Aksara, tentang pelukan terakhir yang penuh makna—dan tentang bagaimana kehilangan bisa terasa begitu kejam.
Pelukan Terakhir untuk Ibu
Di Ujung Harapan
Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan udara dingin. Dari balik jendela kamar rumah sakit, tetesan air masih jatuh dari dedaunan, menciptakan suara pelan yang mengiringi kesunyian ruangan itu.
Nayara duduk di tepi ranjang, jemarinya yang kurus menggenggam tangan putrinya, Aksara. Gadis itu terbaring lemah, kulitnya pucat dengan lingkaran hitam yang semakin jelas di bawah matanya. Selang infus masih tertancap di lengan kecilnya, sementara monitor jantung berbunyi dengan ritme yang lemah namun masih stabil.
“Kamu masih sakit, Sayang?” tanya Nayara pelan, suaranya nyaris berbisik.
Aksara mengerjap pelan, bibirnya bergerak membentuk senyuman kecil. “Kalau aku bilang nggak sakit, kamu pasti bohongin aku lagi, kan?”
Nayara terdiam. Sejak awal, ia selalu berusaha menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyuman. Ia bilang semuanya akan baik-baik saja, bahwa Aksara akan sembuh, bahwa mereka akan pulang dan menjalani hidup normal seperti dulu. Tapi semakin hari, semakin sulit baginya untuk berbohong.
“Kamu harus tetap percaya, Nak. Aku akan cari cara, cari dokter terbaik… Kita pasti bisa lawan ini,” ujar Nayara, mencoba terdengar yakin.
Aksara hanya tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Hujannya udah berhenti,” gumamnya.
“Iya. Mau aku buka jendela biar kamu bisa hirup udara segar?”
Aksara menggeleng. “Aku cuma kepikiran sesuatu.”
“Apa?”
“Kenapa hujan selalu berhenti? Maksudku… setelah turun deras, dia selalu berakhir juga. Padahal kalau dilihat dari awal, rasanya kayak nggak akan berhenti sama sekali.”
Nayara menatap putrinya lama. Ada sesuatu dalam nada suara Aksara yang membuat dadanya terasa sesak.
“Kamu bicara apa, Nak?” tanya Nayara pelan, berusaha menekan getaran di suaranya.
Aksara tersenyum, tapi matanya tak lagi berbinar seperti dulu. “Aku cuma penasaran. Kalau hujan bisa berhenti, rasa sakit juga bisa, kan?”
Nayara meremas tangannya sendiri di bawah selimut. Hatinya berteriak menolak.
“Kita pasti bisa lawan ini,” ulang Nayara lagi, seperti mantra yang terus ia bisikkan sejak Aksara divonis sakit dua tahun lalu.
“Tapi kalau nggak bisa?” Aksara menoleh, menatap mata ibunya dengan tatapan jujur yang membuat Nayara ingin menangis.
“Kita pasti bisa,” Nayara menegaskan, menggenggam tangan Aksara lebih erat, seakan itu bisa menahan putrinya tetap di sisinya.
Aksara menghela napas pelan. “Aku nggak takut, Ibu.”
Ucapan itu membuat Nayara semakin sulit bernapas. Ia menunduk, menyembunyikan air matanya agar Aksara tidak melihat.
“Kamu nggak boleh nyerah,” bisiknya.
“Aku nggak nyerah.” Aksara menutup matanya sejenak, lalu membuka lagi dengan tatapan yang lebih tenang. “Aku cuma pengin kamu siap.”
Nayara menggeleng cepat. “Jangan bicara kayak gitu. Aku nggak mau dengar.”
“Tapi kamu harus dengar…”
“Tidak.”
Suara Nayara bergetar, hampir menyerupai isakan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menempelkan dahinya ke tangan Aksara. “Kamu akan baik-baik saja. Aku janji. Kamu percaya aku, kan?”
Aksara terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, “Aku percaya.”
Tapi entah kenapa, meskipun jawaban itu seharusnya membuatnya lega, Nayara justru merasa lebih takut. Seolah, untuk pertama kalinya, kepercayaan itu bukan tentang harapan… melainkan tentang perpisahan yang diam-diam mulai dirancang oleh takdir.
Saat Dunia Tak Berpihak
Ruangan itu semakin terasa sempit meski dinding-dindingnya tetap sama. Mesin medis berbunyi pelan, menciptakan ritme monoton yang bagi Nayara terasa seperti hitungan mundur menuju sesuatu yang ia takuti.
Aksara terbatuk pelan, wajahnya semakin pucat, tetapi ia tetap tersenyum kecil seperti biasa. Seakan-akan tubuhnya yang kian melemah bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
“Kamu haus?” tanya Nayara cepat, meraih gelas air di meja kecil di samping ranjang.
Aksara menggeleng. “Nggak… aku cuma ingin ngomong sama kamu lebih lama.”
Nayara menelan ludah, berusaha mengabaikan firasat buruk yang terus menghantui. “Kita bisa bicara kapan pun. Kamu harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”
Aksara tersenyum samar. “Ibu nggak capek?”
“Capek?”
“Iya. Selama ini kamu selalu sibuk ngurus aku. Kayaknya aku nggak pernah lihat kamu tidur nyenyak atau makan dengan tenang.”
Nayara menggeleng cepat. “Aku nggak capek. Aku cuma…” Ia menghentikan ucapannya, menggigit bibirnya sendiri.
“Cuma apa?”
“Cuma nggak mau kehilangan kamu.”
Ruangan itu sunyi sesaat. Hanya ada suara napas Aksara yang semakin berat.
“Ibu…” panggil Aksara pelan.
“Hm?”
“Aku udah lama nggak keluar rumah sakit, ya?”
Nayara mengangguk. “Udah cukup lama.”
“Aku kangen…”
“Kangen apa?”
“Apa aja. Langit sore, suara jalanan, bau tanah setelah hujan…”
Nayara terdiam, matanya menatap jendela. Hujan memang sudah berhenti sejak tadi, tetapi awan kelabu masih menggantung di langit.
“Ayo,” ujar Nayara tiba-tiba.
Aksara mengerutkan kening. “Ayo ke mana?”
“Kita jalan-jalan sebentar.”
Aksara menatap ibunya seakan wanita itu baru saja mengatakan sesuatu yang gila. “Ibu, aku bahkan nggak bisa jalan sendiri tanpa kursi roda.”
“Kita bisa pakai kursi roda. Aku dorong kamu.”
“Ibu serius?”
“Serius.”
Mata Aksara berbinar, meski tubuhnya tetap lemah. Nayara bergerak cepat, mengambil kursi roda di sudut ruangan, lalu dengan hati-hati membantu Aksara duduk. Butuh sedikit usaha karena tubuh Aksara kini terasa jauh lebih ringan daripada yang seharusnya.
Mereka berjalan keluar dari kamar, menyusuri koridor rumah sakit yang dingin. Beberapa perawat sempat menatap mereka dengan ragu, tetapi tidak ada yang menghentikan langkah mereka.
Begitu sampai di halaman rumah sakit, angin sore langsung menyapa wajah mereka. Udara masih terasa lembap setelah hujan, dan aroma tanah basah yang tadi Aksara rindukan begitu jelas tercium.
Aksara memejamkan mata sejenak, menghirup udara dalam-dalam. “Ah… rasanya enak banget,” gumamnya.
Nayara tersenyum, meski hatinya terasa perih. Melihat Aksara seperti ini, menikmati sesuatu yang selama ini begitu sederhana, membuatnya sadar betapa banyak hal yang sudah direnggut oleh penyakit itu.
“Ibu…”
“Hm?”
“Aku senang.”
“Apa yang bikin kamu senang?”
“Kita ada di sini. Bersama-sama.”
Nayara menelan ludah. “Kita akan selalu bersama.”
Aksara menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. “Kalau nanti aku nggak ada, Ibu harus tetap bahagia, ya?”
Jantung Nayara mencelos.
“Jangan bicara kayak gitu.”
“Tapi…”
“Tidak.” Nayara menunduk, matanya menatap wajah putrinya yang semakin tirus. “Kita nggak akan bicara soal itu, oke? Kamu masih di sini. Aku masih di sini. Itu yang penting.”
Aksara menatap ibunya lama, lalu tersenyum kecil. “Oke.”
Mereka tetap di sana, menikmati sore yang terasa lebih tenang dari biasanya. Namun di dalam hati Nayara, ketakutan yang selama ini ia tolak mulai tumbuh semakin besar. Seolah dunia sudah mengambil keputusan… dan ia tak bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya.
Pelukan Terakhir
Malam itu, rumah sakit terasa lebih sunyi dari biasanya. Udara dingin menyelinap masuk melalui celah jendela yang tertutup, menambah keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Lampu redup menerangi wajah Aksara yang semakin pucat. Napasnya naik turun pelan, hampir tak terdengar.
Nayara duduk di samping ranjang, tangannya tak pernah melepaskan genggaman dari tangan Aksara. Ia sudah terbiasa begadang, berjaga di sisi putrinya sepanjang malam, tapi kali ini ada sesuatu yang membuat dadanya terasa lebih berat.
“Ibu…” suara Aksara begitu lirih, hampir seperti bisikan.
Nayara langsung menoleh, menajamkan pendengarannya. “Aku di sini, Sayang. Ada apa? Kamu butuh sesuatu?”
Aksara menggeleng pelan, bibirnya melengkung dalam senyum samar. “Aku mimpi.”
“Mimpi apa?”
“Aku mimpi jalan-jalan di tempat yang bagus banget. Ada bunga-bunga warna-warni, langitnya biru banget, nggak ada awan mendung, nggak ada rasa sakit…”
Nayara berusaha tersenyum, meskipun matanya mulai berkaca-kaca. “Mungkin itu pertanda kalau kamu akan sembuh.”
Aksara tertawa kecil, tapi suaranya lemah. “Mungkin juga itu pertanda aku akan pergi ke tempat yang lebih baik, ya?”
Nayara menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang sudah mendesak di tenggorokannya. “Jangan bicara seperti itu, Nak.”
Aksara menatap ibunya dengan mata lembut, seakan ia yang justru ingin menenangkan wanita itu. “Aku nggak takut, Ibu.”
“Tapi aku takut…” bisik Nayara, suaranya hampir tak keluar.
Keheningan kembali mengisi ruangan. Detik jam di dinding terus berjalan, tapi bagi Nayara, waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
“Ibu…”
“Hm?”
“Boleh aku minta satu hal?”
“Apa saja, Sayang.”
Aksara mengangkat tangannya yang lemah. “Aku mau dipeluk.”
Nayara tersentak, dadanya seperti diremas. Ia segera naik ke ranjang sempit itu, dengan hati-hati menarik Aksara ke dalam pelukannya. Tubuh putrinya terasa dingin, lebih ringan dari yang seharusnya.
Aksara menyandarkan kepalanya di dada ibunya, mendengar detak jantung yang selama ini selalu menenangkan dirinya. “Aku senang… Ibu ada di sini.”
Nayara membelai rambut putrinya yang semakin menipis, mencium puncak kepalanya dengan penuh kasih. “Aku selalu di sini, Sayang… Aku selalu ada untuk kamu…”
Aksara menghela napas pelan, seperti sedang melepaskan sesuatu yang sudah lama ia genggam. “Aku sayang Ibu…”
Nayara merasakan tubuh Aksara semakin rileks dalam pelukannya. Tapi detik berikutnya, jantungnya seakan berhenti.
“Aksara?”
Hening.
“Aksara…?”
Genggaman tangan Aksara melemah. Dadanya tak lagi naik turun.
Nayara merasakan tubuh putrinya benar-benar lemas dalam dekapannya.
“Aksara, bangun…” suara Nayara bergetar, ia mengguncang pelan tubuh Aksara. “Sayang, kamu masih bisa dengar Ibu, kan? Tolong, Nak… Jangan tinggalin Ibu…”
Monitor jantung di samping mereka mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga.
Perawat dan dokter bergegas masuk, menarik Nayara dari pelukan putrinya.
“TIDAK! Jangan ambil dia dari aku!” Nayara meronta, berusaha tetap memegang tubuh Aksara yang kini terasa begitu jauh.
Tapi dunia tak peduli.
Nayara jatuh berlutut di lantai, tubuhnya bergetar hebat. Air mata yang selama ini ia tahan pecah begitu saja. Ia menatap putrinya yang terbaring diam, wajahnya begitu tenang seolah hanya tertidur.
Tapi Nayara tahu… Aksara tak akan pernah bangun lagi.
Pelukan itu adalah yang terakhir.
Rindu yang Tak Terjawab
Hari itu hujan turun lagi.
Tidak ada angin kencang, hanya rintik-rintik kecil yang membasahi tanah. Langit abu-abu menggantung rendah, seakan ikut berduka bersama seorang ibu yang kini berdiri di depan pusara anaknya.
Nayara memeluk dirinya sendiri, jaket tipis yang ia kenakan tak cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Tapi ia tak peduli. Yang lebih dingin adalah ruang kosong di hatinya, tempat di mana Aksara seharusnya masih ada.
Sudah tiga hari sejak putrinya pergi. Tiga hari yang terasa seperti seumur hidup.
“Aksara…” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara hujan yang menetes di dedaunan.
Tidak ada jawaban.
Tentu saja tidak ada.
Nayara mengulurkan tangan, menyentuh batu nisan dengan jemarinya yang gemetar. Nama Aksara terukir rapi di sana, bersama tanggal lahir dan tanggal kepergiannya yang begitu cepat, terlalu cepat.
“Maaf…” bisiknya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Maaf, Nak… Ibu nggak bisa menyelamatkan kamu… Ibu gagal jadi ibu yang baik…”
Dadanya bergetar, isakannya pecah di antara rintik hujan.
Sejak Aksara pergi, dunia terasa begitu sepi. Rumah yang dulu penuh suara tawa kini hanya berisi keheningan yang menyakitkan. Tak ada lagi suara panggilan lembut dari kamar sebelah, tak ada lagi permintaan kecil yang sering Aksara ucapkan. Tidak ada lagi yang memanggilnya “Ibu” dengan cara yang begitu lembut seperti putrinya.
Setiap pagi, Nayara masih terbangun dengan refleks ingin mengecek kamar Aksara, hanya untuk kembali diingatkan bahwa kamar itu kini kosong. Tempat tidurnya masih rapi, boneka favoritnya tetap berada di sana, tetapi pemiliknya tak akan pernah kembali.
“Ibu kangen…” suara Nayara bergetar. “Kamu tahu, Nak? Sejak kamu pergi, hujan turun hampir setiap hari. Kayak waktu itu… waktu kita lihat hujan berhenti dari jendela rumah sakit. Tapi… buat Ibu, hujan ini nggak pernah benar-benar berhenti…”
Ia terisak lagi, tangannya mencengkram kain bajunya sendiri, berusaha menahan rasa sakit yang terus mencengkeram dadanya.
Nayara tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa Aksara.
“Ibu nggak kuat, Nak…” bisiknya.
Angin berhembus pelan, membuat dedaunan di sekitar berbisik satu sama lain. Entah kenapa, di tengah dinginnya udara, Nayara merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti dirinya. Seolah ada tangan tak terlihat yang memeluknya, menenangkannya.
Mungkin itu hanya perasaannya. Atau mungkin… itu Aksara.
Nayara menutup matanya, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti. Ia tak tahu apakah ia bisa menjalani hari-hari selanjutnya. Ia tak tahu apakah ia bisa belajar menerima kehilangan ini.
Tapi satu hal yang pasti…
Rindunya tak akan pernah terjawab.
Napas terasa berat, kan? Rasanya kayak ada yang ngganjel di dada, kayak ada sesuatu yang hilang. Ya, kehilangan itu memang nggak pernah mudah. Nayara mungkin kehilangan Aksara, tapi cinta mereka nggak akan pernah hilang.
Kadang, orang yang kita sayang nggak benar-benar pergi—mereka cuma berubah jadi angin yang menyentuh lembut kulit kita, jadi hujan yang turun setiap sore, atau jadi kenangan yang nggak akan pernah pudar. Hujan boleh berhenti, tapi rindu… nggak akan pernah benar-benar usai.


