Daftar Isi
Hai, kamu pernah nggak sih punya guru yang tiap hari cuma kasih tugas, tanpa penjelasan apa-apa? Pasti ngeselin banget kan? Nah, cerpen ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri!
Cerita tentang murid-murid yang akhirnya ngasih pelajaran keras buat guru mereka yang malas ngajar. Gimana ceritanya? Simak deh, karena ini nggak cuma lucu, tapi juga penuh pelajaran!
Cerpen Lucu Tentang Guru Malas
Kelas Tanpa Pelajaran
Jam pelajaran Sejarah di kelas XII IPS 2 seharusnya dimulai lima menit yang lalu, tapi Pak Bram belum juga datang. Murid-murid mulai gelisah, beberapa mengobrol, ada yang merebahkan kepala di meja, dan sebagian besar menatap kosong ke depan kelas, menunggu sosok lelaki berperut buncit itu muncul.
“Dia telat lagi,” gumam Gibran, ketua kelas, sambil melirik jam tangannya.
Dinda, yang duduk di sebelahnya, mendengus pelan. “Udah biasa. Paling nanti masuk, nyuruh kita ngerangkum, terus duduk main HP.”
Gibran mendesah. “Capek, Din. Kita nggak dapet pelajaran sama sekali.”
Belum sempat Dinda menjawab, pintu kelas terbuka. Pak Bram akhirnya datang, mengenakan kemeja biru yang agak kusut dengan dasi longgar. Ia berjalan santai menuju meja guru tanpa ekspresi tergesa-gesa, seolah waktu bukan hal yang penting baginya.
“Pagi.” Suaranya datar. Ia menaruh tas di atas meja, lalu merogoh kantongnya, mengeluarkan ponsel, dan meletakkannya di atas meja, layar tetap menyala. Beberapa detik kemudian, ia mengambil selembar kertas dari tasnya dan menempelkannya ke papan tulis dengan magnet kecil.
“Tugas kalian hari ini, rangkum bab 5 di buku Sejarah. Paling lambat dikumpulkan sebelum bel pulang.”
Selesai. Itu saja.
Seketika kelas menjadi gaduh. Beberapa murid mengeluh, ada yang tertawa sinis, dan ada yang hanya menggeleng pelan seolah sudah menyerah dengan keadaan.
“Pak, jelasin dulu, dong,” ucap Rian dari barisan tengah.
Pak Bram menoleh sekilas, lalu kembali ke ponselnya. “Kan bisa baca sendiri.”
“Tapi kalau cuma baca buku, apa gunanya guru, Pak?” sahut Dinda.
Pak Bram mengangkat kepalanya, menatapnya sebentar, lalu mendecakkan lidah. “Kalian udah gede. Bisa belajar sendiri.”
Gibran mengetukkan jemarinya ke meja, matanya menatap tajam ke arah Pak Bram. “Aku ngerti kalau kita bisa belajar sendiri, Pak. Tapi kalau kayak gini terus, kenapa kita nggak homeschooling aja sekalian?”
Beberapa murid tertawa kecil, tapi ada nada frustrasi di balik suara mereka. Pak Bram mendengus, lalu bersandar di kursinya dengan tangan disilangkan di depan dada.
“Kalau nggak mau ngerjain, ya sudah. Tapi jangan protes kalau nanti nilai kalian jeblok.”
Seketika kelas hening. Bukan karena takut, tapi lebih ke rasa kesal yang semakin menumpuk.
Gibran menoleh ke teman-temannya, matanya menangkap ekspresi kecewa mereka. Ia tahu, bukan hanya dirinya yang geram. Semua orang di kelas ini merasakan hal yang sama.
Saat itulah sebuah ide mulai terbentuk di benaknya. Sesuatu harus dilakukan. Mereka harus memberi Pak Bram sebuah pelajaran.
Bukan dengan cara kekanak-kanakan, tapi dengan cara yang akan membuatnya sadar betapa buruknya sikapnya selama ini.
Dan kali ini, mereka tidak akan tinggal diam.
Topeng Didepan Kepala Sekolah
Hari itu cuaca cerah, dengan matahari yang tak terlalu menyengat, cukup untuk membuat suasana sekolah terasa lebih santai dari biasanya. Namun, di kelas XII IPS 2, ketegangan mulai terasa. Murid-murid sudah menyiapkan rencana mereka untuk memberikan pelajaran kepada Pak Bram. Mereka tidak berniat merusak kelas atau membuat kekacauan, tetapi mereka ingin agar guru itu merasakan sedikit dari apa yang mereka rasakan setiap hari.
Jam pelajaran Sejarah pun tiba. Seperti biasa, pintu kelas terbuka perlahan dan Pak Bram masuk dengan langkah yang malas. Namun, hari ini ada yang berbeda.
Di belakang Pak Bram, kepala sekolah, Bu Ratna, muncul di ambang pintu. Ia membawa map tebal di tangannya dan mengenakan blazer biru yang rapi. Semua murid menoleh dengan kaget.
Pak Bram berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan wajahnya langsung berubah. Seperti ada sinar yang tiba-tiba menyala di matanya. Tiba-tiba, ia berdiri tegak, merapikan dasinya yang sebelumnya longgar, dan menyembunyikan ponselnya ke dalam sakunya.
“Selamat pagi, Bu Ratna!” sapa Pak Bram dengan suara yang kini lebih lantang, ceria, dan penuh semangat.
Bu Ratna mengangguk pelan. “Selamat pagi, Pak Bram. Saya ingin mengamati kelas Anda hari ini.”
Murid-murid saling melirik, sebagian mengangkat alis dengan bingung. Mereka sudah tahu permainan ini. Pak Bram, yang biasa malas dan acuh tak acuh, tiba-tiba menjadi sangat antusias jika ada orang yang lebih tinggi jabatannya di sekitar.
“Baik, Bu Ratna! Hari ini kita akan membahas tentang Revolusi Industri!” Pak Bram berkata dengan suara yang jauh lebih tegas, dengan nada seperti seorang pengajar berpengalaman.
Ia mulai menulis dengan rapi di papan tulis, menggambar diagram dan menguraikan materi dengan kalimat yang seolah-olah ia kuasai sepenuhnya. Semua murid di kelas, yang biasanya terbiasa dengan sikap acuh tak acuh Pak Bram, kini terdiam. Mereka bingung, hampir tak percaya dengan perubahan sikap guru mereka yang begitu drastis.
Bu Ratna, yang berdiri di dekat pintu, menatap dengan seksama. Ia tampak puas dengan apa yang dilihatnya. Pak Bram kini benar-benar berusaha menunjukkan kemampuannya, meskipun sudah terlambat.
Gibran, yang duduk di bangku depan, tidak bisa menahan diri. Ia mengangkat tangan.
“Pak, boleh saya bertanya?”
Pak Bram terhenti sejenak, seolah baru menyadari bahwa Gibran ada di sana. “Oh, tentu saja, Gibran. Silakan.”
“Apa alasan Bapak baru semangat menjelaskan kalau ada Bu Ratna atau orang lain yang datang ke kelas?” tanya Gibran, langsung pada intinya.
Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Gibran, dan wajah Pak Bram tiba-tiba memerah.
Bu Ratna, yang mendengar pertanyaan itu, menatap Pak Bram dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Pak Bram, yang sebelumnya begitu percaya diri, kini terlihat gelagapan. “S-saya… saya ingin memberikan yang terbaik saat ada pengawasan, Gibran,” jawabnya, meski dengan nada yang terdengar ragu.
Gibran tidak puas. “Kenapa kalau nggak ada pengawasan, Bapak jadi cuma ngasih tugas aja tanpa jelasin apa-apa? Itu yang kami rasakan selama ini, Pak. Kami nggak bisa belajar kalau cuma dikasih tugas tanpa penjelasan.”
Suasana semakin tegang. Beberapa murid mulai menatap Pak Bram dengan tatapan penuh pertanyaan. Bu Ratna tetap diam, hanya mengamati.
Pak Bram, yang sudah terbiasa dengan situasi di mana ia tidak perlu terlalu serius, kali ini tidak tahu harus berkata apa. Ia menggigit bibir, mencoba mencari jawaban yang tepat, tetapi tidak ada yang keluar.
Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Bu Ratna akhirnya membuka mulut. “Pak Bram, saya harap Anda bisa lebih serius dalam mengajar. Ini bukan hanya soal pengawasan, tapi tentang tanggung jawab terhadap murid-murid Anda.”
Pak Bram hanya mengangguk, tidak berani membalas apa pun.
Gibran dan Dinda saling bertukar pandang, merasa sedikit lega. Mereka sudah mengungkapkan apa yang seharusnya didengar oleh Pak Bram. Mereka tahu bahwa kali ini, semuanya akan berbeda. Pak Bram tidak bisa lagi berpura-pura.
Namun, mereka tahu ini bukanlah akhir. Ada lebih banyak yang harus mereka lakukan agar Pak Bram benar-benar mengerti betapa pentingnya menjadi seorang guru yang tidak hanya hadir fisik, tetapi juga sepenuh hati.
Rencana Kelas
Setelah kejadian tadi, suasana di kelas XII IPS 2 semakin terasa tegang. Pak Bram kembali ke kebiasaannya yang malas mengajar, hanya memberikan tugas dan duduk diam sambil menatap ponselnya. Meski begitu, murid-murid mulai memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan lebih cermat. Mereka sudah tahu, hari itu adalah titik balik. Tidak ada lagi yang bisa membuat mereka diam begitu saja.
“Gimana, nih? Kita harus ngapain lagi supaya dia sadar?” tanya Gibran, berbisik kepada Dinda yang duduk di sampingnya.
Dinda menatap papan tulis kosong, pikirannya sibuk merancang strategi. “Gini aja, kita bikin dia malu, tapi nggak terlalu langsung. Kita ajak dia ngomong, tapi bukan soal pelajaran. Kita bikin dia ngerti kalau murid nggak bodoh-bodoh banget, cuma dia aja yang nggak paham cara ngajar.”
Gibran mengangguk setuju. “Itu ide bagus, Din. Kita nggak bakal bikin dia malu banget, tapi cukup supaya dia merasa dipermalukan di depan kelas.”
Beberapa hari kemudian, suasana kelas mulai terasa lebih santai, namun dengan rasa waspada yang tak terlihat. Semua murid sudah sepakat untuk melancarkan rencana mereka. Gibran dan Dinda memimpin dengan hati-hati, memastikan semuanya berjalan sesuai dengan yang mereka rencanakan.
Hari itu, Pak Bram kembali masuk kelas dengan sikap seperti biasa—membuka pintu dengan malas, lalu duduk di mejanya dan langsung membuka ponsel. Ia tidak memberi salam atau memperhatikan murid-muridnya yang tampak menunggu instruksi. Begitu ia duduk, ia langsung berkata, “Kerjakan soal-soal di buku halaman 32, paling lambat dikumpulkan besok.”
Rian, yang duduk di belakang, mengangkat tangan. “Pak, boleh saya tanya dulu?”
Pak Bram hanya melirik sebentar dan mengangguk malas. “Apa lagi?”
“Kenapa Bapak nggak pernah jelasin pelajaran? Kenapa cuma suruh ngerjain tugas terus?” tanya Rian dengan nada yang terdengar sedikit lebih berani.
Murid-murid lainnya mulai memperhatikan dengan cermat. Mereka tahu pertanyaan itu adalah bagian dari rencana mereka.
Pak Bram, seperti biasa, menghela napas panjang. “Kalian bisa baca sendiri, nggak perlu dijelasin. Belajar itu harus mandiri.”
Gibran berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan. Ia berdiri tepat di samping Pak Bram dan menatapnya dengan mata tajam. “Pak, kami bukan nggak mau belajar. Tapi kalau cuma disuruh baca sendiri tanpa ada penjelasan, gimana kami bisa paham? Ini bukan sekolah kalau nggak ada pengajaran. Kami mau belajar, Pak. Kami butuh penjelasan, bukan cuma tugas.”
Seluruh kelas terdiam. Mereka tahu, kali ini Gibran benar-benar menyampaikan apa yang mereka semua rasakan.
Pak Bram menatap Gibran dengan bingung. “Tapi kalian bisa cari di buku, kan? Itu kan tugas kalian.”
Dinda, yang merasa tidak bisa menunggu lebih lama, akhirnya berdiri dan menambahkan. “Kami paham kalau Bapak merasa tugas itu cukup. Tapi kalau gitu, kenapa Bapak nggak pernah terlihat serius saat mengajar? Kalau nggak ada pengawasan, Bapak hanya duduk di kursi dan main ponsel. Itu yang kami lihat setiap hari.”
Suasana kelas makin tegang. Pak Bram tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya memerah. Ia tidak menyangka murid-muridnya akan berani menyuarakan ketidakpuasan mereka begitu terang-terangan.
Tiba-tiba, Dinda mengangkat tangan lagi. “Pak, kami nggak nyalahin Bapak. Kami cuma ingin tahu kenapa Bapak nggak bisa lebih serius. Kalau Bapak ngasih pelajaran dengan lebih baik, kami pasti bakal lebih semangat.”
Pak Bram menatap mereka semua, dan wajahnya terlihat seperti terjepit. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Oke, aku ngerti. Tapi… aku nggak tahu kalau kalian merasa begitu. Aku… aku akan coba lebih serius.”
Gibran tersenyum tipis. “Tapi jangan cuma janji, Pak. Tunjukin kalau Bapak bisa jadi guru yang ngajar, bukan cuma ngasih tugas.”
Pak Bram hanya mengangguk pelan, terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, mulai hari ini aku akan coba lebih serius. Aku janji.”
Dengan itu, pelajaran berlanjut, meskipun suasana di kelas terasa jauh lebih berat dari biasanya. Murid-murid tetap menyelesaikan tugas mereka, tetapi kali ini mereka melakukannya dengan rasa puas. Mereka tahu, meski Pak Bram mungkin akan kesulitan mengubah kebiasaannya, setidaknya hari itu ia sudah belajar bahwa tidak ada lagi yang akan diam begitu saja.
Mereka sudah memberikan pelajaran yang tidak hanya akan diingat oleh Pak Bram, tetapi juga akan menjadi pengingat bagi dirinya—bahwa seorang guru bukan hanya bertugas memberi tugas, tetapi juga memberi bimbingan dan pengetahuan dengan sepenuh hati.
Pelajaran Untuk Sang Guru
Minggu-minggu setelah peristiwa itu, suasana di kelas XII IPS 2 sedikit berbeda. Pak Bram, meski masih sering tampak malas dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan ponselnya, mulai menunjukkan usaha lebih dalam mengajar. Ia tidak langsung memberi tugas tanpa penjelasan. Kini, ia setidaknya memulai pelajaran dengan sedikit uraian, meskipun tidak selalu menyeluruh. Murid-murid, yang semula kecewa, mulai merasa ada perubahan kecil yang patut dihargai.
Namun, meskipun ada usaha dari Pak Bram, banyak yang merasa masih kurang. Rasa frustrasi tidak hilang begitu saja. Seiring berjalannya waktu, Gibran, Dinda, dan beberapa teman mereka mulai merencanakan langkah terakhir. Mereka merasa tidak cukup hanya dengan mengubah sikap Pak Bram sedikit demi sedikit; mereka ingin agar perubahan itu nyata dan bertahan lama.
Hari itu, setelah pelajaran selesai, mereka berkumpul di luar kelas, di dekat taman sekolah, dengan wajah serius. Gibran membuka pembicaraan.
“Jadi, ini langkah terakhir kita, guys,” katanya, memandang satu per satu temannya. “Kita harus bawa ini ke Bu Ratna lagi. Kali ini, kita harus lebih jelas. Kita nggak mau Pak Bram cuma janji-janji doang tanpa ada bukti nyata.”
Dinda mengangguk. “Iya, Gibran. Kalau cuma gitu doang, nanti bisa balik lagi ke kebiasaan lama. Kita harus buktikan ke Bu Ratna kalau ini bukan cuma omongan, tapi masalah yang perlu diselesaikan.”
Beberapa murid lain juga memberi dukungan. “Kita udah cukup sabar, sekarang waktunya bilang yang seharusnya.”
Mereka sepakat untuk mengumpulkan bukti—bukan hanya sekadar keluhan, tetapi juga hasil-hasil dari pelajaran yang tidak memadai. Setiap minggu, mereka mulai mencatat ketidakhadiran Pak Bram dalam memberikan pelajaran, tugas yang tidak jelas, dan bagaimana mereka lebih sering menghabiskan waktu untuk menyelesaikan soal tanpa penjelasan apapun. Semua itu mereka susun dengan rapi, tidak ada yang terlewat.
Satu minggu kemudian, kesempatan itu datang. Bu Ratna datang untuk memantau kelas Sejarah sekali lagi. Kali ini, Gibran tidak menunggu lama. Begitu Bu Ratna memasuki kelas, Gibran langsung berdiri dan mengangkat tangannya.
“Bu Ratna, bolehkah kami berbicara?” katanya, dengan suara yang tegas.
Bu Ratna menoleh, terkejut dengan keberanian Gibran. “Ada apa, Gibran?”
Gibran berjalan ke meja guru, diikuti oleh Dinda dan beberapa murid lainnya. Dengan percaya diri, ia mulai berbicara. “Bu Ratna, kami ingin melaporkan beberapa hal yang sudah kami rasakan selama ini. Kami tidak bisa lagi diam saja.”
Dinda menyusul, mengeluarkan dokumen yang sudah mereka siapkan—catatan tentang absennya Pak Bram dalam mengajar dan bukti tugas-tugas yang tidak diikuti dengan penjelasan yang cukup. “Kami tidak merasa mendapatkan pelajaran yang pantas, Bu. Kami nggak cuma disuruh ngerjain tugas, tapi kami butuh penjelasan. Kami harus belajar, bukan cuma ngisi lembaran kosong.”
Bu Ratna menatap mereka dengan serius, membaca setiap catatan yang mereka serahkan. Ia tidak berbicara sesaat, memberikan waktu untuk mencerna semua informasi yang ada di tangannya.
Pak Bram, yang sejak tadi duduk di meja guru, terlihat gelagapan. Ia menatap Bu Ratna dengan cemas, tidak tahu apa yang akan terjadi.
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Bu Ratna menatap Pak Bram. “Pak Bram, ini bukan pertama kalinya saya mendengar keluhan seperti ini. Saya sudah memberitahu Anda untuk lebih serius mengajar. Tapi sepertinya Anda belum menunjukkan perubahan yang cukup.”
Pak Bram mengangguk pelan, wajahnya memerah. “Saya… saya akan berusaha lebih baik, Bu.”
Namun, Bu Ratna tidak tampak puas. “Saya rasa ini bukan hanya soal usaha, Pak. Ini soal profesionalisme Anda sebagai seorang guru. Anda seharusnya menjadi contoh yang baik, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi rekan-rekan Anda.”
Ia menoleh ke arah murid-murid. “Saya sangat mengapresiasi keberanian kalian untuk berbicara. Itu menunjukkan bahwa kalian peduli dengan pendidikan kalian. Dan saya akan pastikan masalah ini tidak terulang lagi.”
Murid-murid merasa sedikit lega, meskipun mereka tahu masih ada langkah yang harus diambil untuk memastikan Pak Bram benar-benar berubah. Namun, mereka tahu, langkah yang diambil kali ini akan memberikan dampak jangka panjang.
Bu Ratna melanjutkan, “Pak Bram, saya akan mengatur pertemuan untuk Anda dengan pihak sekolah untuk membicarakan hal ini lebih lanjut. Kita harus memastikan bahwa proses belajar mengajar di sekolah ini berjalan dengan baik.”
Pak Bram hanya bisa diam, wajahnya semakin tampak cemas.
Setelah pertemuan itu, suasana di kelas menjadi lebih tenang. Pak Bram mulai lebih sering memberikan penjelasan di kelas, meski tetap dengan cara yang terbatas. Namun, murid-murid merasa mereka telah berhasil membuat perubahan yang diperlukan. Mereka telah mengajarkan Pak Bram sebuah pelajaran penting—bahwa seorang guru harus memberi lebih dari sekadar tugas. Ia harus memberi pemahaman, perhatian, dan pengajaran dengan hati.
Dan meskipun perubahan itu tidak datang dalam semalam, mereka tahu bahwa langkah-langkah mereka telah membuka mata banyak pihak.
Sejak hari itu, kelas XII IPS 2 tidak lagi hanya menjadi tempat untuk mengerjakan tugas. Kini, mereka memiliki suara.
Gimana, seru kan? Kadang emang kita harus lebih berani untuk ngomong dan menunjukkan kalau ada yang nggak beres, meski itu sama guru. Tapi ingat, kita harus tetap punya niat baik dan bukan cuma buat nyari sensasi.
Siapa tahu, cerpen ini bisa jadi pengingat buat kita semua—bahwa pelajaran hidup nggak cuma didapet di kelas, tapi juga dari kejadian sehari-hari. Jadi, kalau kamu juga pernah ngerasain hal yang sama, jangan ragu buat speak up, ya!


