Kenangan Sahabat SMP yang Tak Pernah Pudar: Kisah Perpisahan dan Janji Setia

Posted on

Gengs, siapa sih yang nggak pernah ngalamin masa-masa SMP yang penuh tawa dan kenangan? Dari teman sekelas yang jadi sahabat sejati, sampai hal-hal konyol yang kita lakuin bareng. Nah, cerpen ini bakal bawa kalian ke dalam dunia itu.

Gimana rasanya jadi sahabat sejati, harus berpisah karena jarak, tapi janji tetap mengikat kuat. Yuk, baca cerita seru tentang persahabatan dan perpisahan yang nggak akan pernah hilang, meskipun waktu dan jarak terus memisahkan!

 

Kisah Perpisahan dan Janji Setia

Pertemuan Tak Terduga di Hari Pertama

Hari pertama masuk SMP selalu penuh kejutan. Ada yang datang dengan semangat membara, ada yang terlihat canggung, dan ada juga yang sudah membentuk geng sejak hari pertama. Suasana di SMP Arunika saat itu tak jauh berbeda. Suara langkah kaki siswa-siswi baru menggema di sepanjang koridor, bercampur dengan tawa gugup serta bisikan-bisikan tentang siapa yang akan sekelas dengan siapa.

Di antara lautan siswa yang bergerombol, seorang anak laki-laki berjalan santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Elvano, dengan tinggi badan yang sedikit di atas rata-rata anak seusianya, tampak tak terlalu tertarik dengan keramaian. Berbeda dengan Razan yang berjalan di sampingnya, menatap sekitar dengan penuh rasa ingin tahu.

“Van, menurut kamu kita bakal sekelas nggak?” tanya Razan sambil mengintip papan pengumuman di depan aula.

Elvano menghela napas. “Harusnya sih iya. Tapi kalau nggak, ya udah. SMP ini nggak segede itu juga.”

Tak jauh dari mereka, dua anak perempuan juga berdiri di depan papan pengumuman. Nayara menyisir rambut panjangnya dengan jemarinya sambil membaca daftar nama dengan teliti, sementara Celine justru lebih sibuk melihat sekeliling, memperhatikan siswa-siswa lain yang sedang ribut mencari nama mereka.

“Aku sekelas sama kamu, kan?” tanya Celine dengan nada waspada.

Nayara memiringkan kepalanya, membaca nama-nama di daftar kelas. “Iya, tenang aja. Nama kita ada di kelas yang sama.”

Celine mendesah lega. “Syukurlah. Aku nggak mau sekelas sama anak yang nggak seru.”

Belum sempat Nayara menanggapi, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah kantin. Seorang siswa laki-laki bertubuh besar tengah berdiri dengan ekspresi marah, sementara seorang gadis berambut pendek berdiri di depannya dengan wajah penuh rasa bersalah.

“Astaga… Celine, itu bukan—” Nayara belum selesai bicara ketika Celine sudah berlari ke arah keributan.

Ternyata, seorang siswi tak sengaja menumpahkan jus jeruk ke seragam kakak kelas yang posturnya jauh lebih besar darinya. Gadis itu tampak panik, sesekali membungkuk meminta maaf, tetapi kakak kelas itu malah mendekatinya dengan ekspresi semakin kesal.

“Ya ampun, berani-beraninya kamu bikin bajuku kotor di hari pertama?” suara kakak kelas itu terdengar mengintimidasi.

Celine, yang selalu bertindak tanpa berpikir panjang, langsung berdiri di depan gadis itu. “Ya udah, terus mau apa? Namanya juga nggak sengaja!”

Kakak kelas itu mengernyit. “Eh, kamu ngebela dia?”

“Bukan ngebela, tapi kamu nggak usah lebay gitu. Ini cuma jus jeruk. Bisa dicuci, tahu,” sahut Celine.

Nayara yang baru saja tiba di tempat kejadian langsung menarik tangan Celine. “Kamu tuh ya, bisanya bikin masalah!” bisiknya kesal.

Sementara itu, Elvano dan Razan yang sedari tadi memperhatikan ikut menghampiri.

“Kalau ada masalah, selesain baik-baik, Kak. Lagian, ini hari pertama. Masa udah ribut?” kata Elvano dengan nada tenang.

Razan mengangguk setuju. “Iya, Kak. Kalau mau marah-marah, kenapa nggak marahin bajunya aja?”

Mendengar ucapan mereka, beberapa siswa yang menonton ikut tertawa kecil. Kakak kelas itu tampak semakin kesal, tapi ia akhirnya melangkah pergi dengan mendengus kesal. Setelah kepergiannya, gadis yang tadi hampir dimarahi langsung menunduk dalam-dalam.

“Makasih, ya!” ucapnya dengan suara kecil sebelum buru-buru pergi.

Celine menyeringai. “Lihat kan? Kita berhasil!”

Nayara memutar matanya. “Kalau aku nggak ikut, mungkin kamu udah kena gampar.”

Sementara itu, Elvano melirik Razan sambil menyeringai kecil. “Kita ketemu anak-anak unik di sini.”

Razan mengangkat bahu. “Semoga aja kelas kita seru.”

Dan tanpa mereka sadari, itulah awal dari persahabatan yang tak akan terlupakan.

 

Petualangan dan Kenakalan di SMP Arunika

Hari-hari pertama di SMP Arunika penuh dengan rasa penasaran. Kelas sudah dimulai, dan empat sahabat itu sudah membentuk kebiasaan-kebiasaan baru yang aneh namun seru. Mereka tidak lagi canggung, malah menjadi sangat dekat, seakan sudah berteman sejak lama. Kehadiran mereka di kelas selalu menciptakan kegembiraan, meskipun tak jarang, kebisingan itu disertai dengan protes dari guru-guru yang mulai merasa bahwa mereka adalah kelompok yang cukup “berwarna.”

Elvano, yang sejak awal sudah punya pengaruh di kelas, selalu menjadi orang pertama yang mengusulkan ide-ide konyol. Misalnya, ketika mereka memiliki tugas membuat presentasi kelompok tentang sejarah Indonesia, Elvano yang biasanya cuek tiba-tiba datang dengan ide “presentasi menggunakan lagu rap.”

“Ayo, kita buat sejarah Indonesia jadi lebih asyik. Kita bikin rap aja! Biar nggak bosen,” usul Elvano pada mereka satu hari saat pelajaran tiba-tiba menjadi sangat membosankan.

Razan yang selalu siap dengan ide-ide lucu langsung setuju, “Iya, seru tuh! Lagian kalau presentasi biasa-biasa aja, siapa yang dengerin?”

Nayara yang biasanya lebih tenang dan tertata, terlihat ragu, tapi setelah melihat semangat Elvano, ia akhirnya mengangguk. “Tapi harus rapi, ya. Jangan asal-asalan.”

Celine, yang selalu siap mengikuti alur, langsung tertawa. “Aku sih setuju. Lagian kan cuma tugas, ya udah buat yang lucu aja!”

Selama seminggu penuh, mereka pun berlatih menyusun rap mereka. Tentu saja, latihan itu lebih banyak diisi dengan tawa daripada benar-benar fokus pada materi. Namun, entah bagaimana, ketika mereka akhirnya tampil di depan kelas, hasilnya cukup mengesankan. Mereka tidak hanya berhasil membuat sejarah Indonesia terdengar lebih “hip,” tetapi juga berhasil membuat seluruh kelas tertawa dan bahkan memberikan tepuk tangan meriah.

“Ternyata kalian bukan hanya bisa nyontek, ya,” kata guru mereka, Pak Jaya, yang tampak bingung sekaligus terhibur setelah melihat penampilan mereka.

Itulah momen yang membuat mereka semakin dikenal di kelas. Dari situ, mereka mulai sering mendapatkan tugas kelompok bersama, dan hampir selalu menjadi tim yang paling seru dan paling berisik di kelas. Tidak ada tugas yang tidak mereka selesaikan tanpa sedikit kegilaan.

Mereka juga menjadi semakin dekat di luar kelas. Suatu sore, setelah sekolah selesai, mereka memutuskan untuk pergi ke taman kota. Celine yang selalu penuh ide mengusulkan permainan “kejar-kejaran” yang biasa mereka lakukan saat SD.

“Yuk, kita main petak umpet! Tapi yang kali ini, lebih seru, ya! Ada tantangan-tantangannya!” ajak Celine dengan senyum lebar.

“Maksud kamu tantangan apa?” tanya Nayara, sedikit curiga.

“Pokoknya nanti kalau ketahuan, harus jaga posisi selama tiga menit!” jawab Celine, lalu lari meninggalkan mereka.

Mereka pun langsung mengejar, melupakan semua penat yang biasanya datang setelah seharian belajar. Rasanya seperti kembali ke masa kecil, di mana tidak ada yang perlu dipikirkan selain tawa dan adrenalin. Mereka saling kejar, bersembunyi di balik pohon besar, tertawa terbahak-bahak, dan sesekali harus berhenti karena kelelahan.

Namun, bukan petualangan tanpa beberapa masalah kecil. Setelah mereka berhenti berlari dan duduk di bangku taman, Elvano tiba-tiba berkata dengan nada serius.

“Eh, kalian sadar nggak sih kalau kita udah nggak punya waktu banyak lagi?”

Semua menatapnya bingung.

“Ngapain?” tanya Celine, yang sedikit bingung dengan perubahan sikap Elvano.

“Ya, kita nggak akan selalu punya waktu buat begini, kan? Mungkin nanti kita udah sibuk, kita nggak bisa ngumpul bareng kayak gini lagi.”

Razan mengangguk pelan. “Iya juga sih… waktu SMA, kuliah, pasti beda lagi.”

Nayara menunduk, berpikir sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan santai, “Bener juga sih. Tapi, kita pasti bisa nyuri waktu, kan? Selama masih ada kesempatan, kita manfaatin aja.”

Elvano tersenyum tipis. “Ya, selama itu masih bisa, kita harus nikmatin.”

Malam itu, mereka pulang dengan rasa yang campur aduk. Seperti ada perasaan yang mengganjal, namun juga rasa syukur karena bisa melalui hari-hari yang penuh dengan kebersamaan. Petualangan mereka di SMP Arunika masih baru dimulai, dan mereka belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, mereka tahu satu hal: apapun yang terjadi, kenangan ini akan selalu mereka ingat.

Keempat sahabat ini tak pernah tahu bahwa hari-hari yang penuh tawa dan kegilaan itu akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Mereka hanya tahu bahwa, untuk saat itu, mereka adalah satu-satunya yang mengerti arti persahabatan yang sebenarnya.

 

Janji di Ujung Perpisahan

Tahun kedua di SMP Arunika berlalu begitu cepat, dan mereka mulai menyadari bahwa waktu semakin mendekati akhir perjalanan mereka. Hari-hari penuh tawa dan keisengan yang mereka lakukan semakin terasa terbatas. Di balik kebersamaan yang penuh warna itu, ada perasaan yang tak bisa dihindari: perpisahan.

Keempat sahabat itu duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, tempat yang selalu mereka pilih untuk berkumpul. Udara sore itu terasa hangat, dengan sinar matahari yang sedikit meredup dan angin yang berhembus perlahan. Mereka selalu bertemu di sini, menceritakan berbagai hal—dari masalah rumah tangga orang tua, tugas sekolah, hingga masalah yang hanya mereka mengerti. Namun hari itu, suasananya terasa berbeda.

“Eh, lo ada rencana nggak setelah lulus?” tanya Razan, memecah keheningan yang sempat melanda.

Elvano menatap langit, melipat tangannya di belakang kepala. “Entahlah. Pindah ke Bandung sih katanya.”

“Bandung?” Celine menyentak. “Kamu serius? Gila, jauh banget!”

“Iya, gue nggak bisa ngehindar, Cel,” Elvano menjawab pelan. “Ayah gue dipindah tugas, jadi nggak ada pilihan.”

Razan ikut menimpali. “Kita udah pasti bakal ke tempat yang beda-beda, ya. Gue ke Jogja, Nayara di Jakarta. Lo tetap di sini, Cel, cuma kita yang lain jauh.”

Celine menatap mereka semua bergantian. “Kalian pasti bakal sibuk banget nanti, kan?”

Nayara, yang sedari tadi hanya diam, menghela napas. “Pasti. Dan kalau udah ke SMA, kita bakal makin jarang ketemu. Nggak cuma kita, semua orang juga bakal sibuk dengan dunia mereka sendiri.”

Suasana jadi hening lagi. Semua mulai menyadari bahwa mereka akan berpisah. Perpisahan itu bukan karena mereka tidak ingin bersama lagi, melainkan karena kehidupan akan membawa mereka ke arah yang berbeda.

Elvano akhirnya menatap mereka semua dengan senyum tipis. “Tapi gue yakin kita pasti bisa ketemu lagi, kan? Meskipun jauh, tetap bisa ngobrol, kan?”

Celine mengangguk pelan. “Iya, setuju banget. Kita kan tetap sahabat.”

Razan memukul-mukul meja kayu di dekat mereka. “Ayo, kita buat janji. Janji kalau nanti kita akan tetap saling ingat, nggak peduli seberapa jauh pun jaraknya.”

Nayara menatap mereka semua dengan serius. “Janji ini jangan cuma kata-kata. Kita harus buktikan. Mungkin kita nggak bisa sering-sering ketemu, tapi kita pasti bisa jaga komunikasi.”

Elvano berdiri, mengulurkan tangannya ke arah Nayara. “Janji. Walaupun beda kota, kita akan tetap jadi sahabat.”

Celine menyambut tangan Elvano dengan cepat. “Kita nggak bakal jadi asing buat satu sama lain, ya. Harus tetap saling ingat.”

Razan dan Nayara kemudian bergabung, menciptakan lingkaran kecil di bawah pohon besar itu. Masing-masing mengulurkan tangan mereka, saling berpegangan erat. “Janji, ya. Kita nggak akan lupa satu sama lain, nggak peduli apapun yang terjadi.”

Keempat sahabat itu pun berjanji untuk tetap saling mengingat, untuk menjaga persahabatan mereka meski nanti terpisah jauh. Mereka tahu bahwa perpisahan itu tak bisa dihindari, namun kenangan bersama akan selalu hidup dalam hati mereka. Mereka tak tahu seberapa lama hubungan ini akan bertahan, tapi untuk saat itu, mereka merasa bahwa persahabatan ini adalah sesuatu yang akan selalu terjaga, tak terhitung seberapa jauh jarak memisahkan mereka.

Setelah mereka saling berpelukan, Elvano memecah kesunyian dengan sebuah lelucon, dan tiba-tiba suasana menjadi lebih ringan lagi. “Yah, siapa tahu nanti bisa reuni di Jakarta, Bandung, atau Jogja. Kita masih muda, kan?”

Mereka tertawa bersama. Saat itulah, mereka merasa bahwa perpisahan tak akan pernah bisa benar-benar memisahkan mereka. Sebab, persahabatan sejati tak mengenal jarak.

Namun, meski mereka berjanji, hari kelulusan akhirnya datang lebih cepat daripada yang mereka duga. Dan setelah hari itu, tidak ada lagi pertemuan yang bisa mereka jadwalkan. Tidak ada lagi tawa yang mengisi ruang kosong di kelas. Tak ada lagi lari-lari ke taman setelah sekolah. Semuanya berubah menjadi kenangan yang semakin pudar oleh waktu.

Setiap mereka menjalani hidup mereka yang baru, sebuah bagian dari masa lalu mereka tetap hidup, terpatri dalam hati. Mereka tidak pernah benar-benar bisa melupakan satu sama lain, bahkan ketika jarak dan waktu mulai mengikis komunikasi yang dulu begitu mudah.

 

Kenangan yang Tak Pernah Pudar

Waktu berlalu begitu cepat. SMP Arunika yang dulu terasa sangat besar kini seolah hanya menjadi tempat kenangan. Setiap kali Elvano kembali ke Jakarta, kota yang dulu begitu familiar kini terasa asing. Banyak hal telah berubah, dan dirinya pun turut berubah. Meskipun begitu, satu hal yang tidak pernah berubah adalah kenangan bersama sahabat-sahabatnya yang tak tergantikan.

Elvano sedang duduk di balkon apartemennya di Bandung, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Pikirannya melayang kembali ke masa-masa di SMP. Terkadang, kenangan itu terasa begitu dekat, seolah-olah mereka baru saja bersama-sama, tertawa dan bercanda. Tapi ketika melihat sekelilingnya, Elvano tahu itu hanya sebuah kenangan.

Satu pesan singkat masuk ke ponselnya, dari Celine.

“Gimana, Van? Sudah lama nggak ngobrol.”

Elvano tersenyum membaca pesan itu. Ia langsung membalas dengan cepat.

“Iya, Cel, lama banget. Kangen banget ngobrol-ngobrol kayak dulu.”

Pesan-pesan singkat itu menjadi salah satu cara mereka tetap terhubung, meskipun tidak bisa bertemu langsung. Mereka, yang dulu selalu bersama, kini hanya bisa berbagi cerita lewat layar ponsel. Namun, Elvano tahu bahwa hubungan mereka tak akan pernah berubah meski waktu memisahkan mereka.

Tak lama kemudian, pesan dari Nayara masuk.

“Elv, aku bawa kenangan kita semua di foto-foto. Punya waktu nggak untuk ngobrol?”

Elvano merasakan hangatnya kenangan yang datang. Foto-foto mereka dari masa SMP masih terimpan dengan rapi, kenangan-kenangan kecil yang tak pernah pudar. Sebuah foto di mana mereka berempat duduk di bawah pohon besar, tertawa lepas, adalah salah satu favoritnya. Itu adalah momen di mana mereka berjanji untuk tetap menjadi sahabat, meskipun jarak akan memisahkan mereka.

Dengan sedikit senyum, Elvano membuka aplikasi pesan dan membalas, “Punya waktu kok. Aku kangen banget sama kalian.”

Razan, yang entah bagaimana selalu punya cara untuk menepuk-nepuk punggung teman-temannya meski sudah terpisah jauh, akhirnya ikut masuk ke dalam grup percakapan itu.

“Yuk, kita video call. Udah lama nggak denger suara kalian.”

Tak lama, layar ponsel Elvano menampilkan wajah sahabat-sahabatnya. Walau mereka tidak berada di tempat yang sama, meskipun hanya sebentar, Elvano merasa seperti kembali ke masa SMP.

“Eh, kalian baik-baik aja, kan?” tanya Nayara dengan senyum ceria meskipun ada rona kelelahan di matanya. “Bosen banget deh kuliah gini. Kalau inget kita dulu, rasanya waktu berjalan cepat banget.”

Celine tertawa ringan. “Iya, tapi setidaknya kita masih saling ingat, kan? Aku nggak bakal lupa perjanjian kita dulu.”

Razan mengangguk setuju. “Betul, kan? Walau sekarang masing-masing sibuk, kita tetap sahabat. Gue nggak peduli kalau kita nggak sering ketemu.”

“Ya, walaupun semuanya berubah, kenangan kita nggak akan pernah hilang,” kata Elvano, seraya menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap wajah-wajah sahabatnya.

Mereka tertawa bersama, merasakan kedekatan yang tak pernah hilang meski fisik mereka terpisah jauh. Mereka semua tahu, meskipun pertemuan-pertemuan langsung semakin jarang, mereka selalu punya satu sama lain dalam hati.

“Kalau nanti kita bisa ketemu lagi, ayo kita jalan bareng, ya?” tanya Celine, berharap.

Elvano tersenyum. “Pasti. Kita janji kok.”

Waktu terus berjalan. Masing-masing dari mereka menjalani kehidupan mereka sendiri. Elvano melanjutkan pendidikannya di Bandung, Razan di Jogja, Nayara di Jakarta, dan Celine tetap di kota yang sama. Mereka semua menemukan jalannya masing-masing, namun satu hal tetap mereka bawa: kenangan masa SMP yang penuh tawa, kegilaan, dan janji yang tak akan pernah pudar.

Suatu hari nanti, mereka tahu, mereka akan bertemu lagi. Bukan hanya karena waktu yang membawanya, tapi karena mereka berempat sudah saling berjanji untuk selalu menjaga kenangan itu, apapun yang terjadi. Sebuah janji yang tak akan pernah luntur, meski waktu mengikis segala sesuatu.

Sahabat sejati tak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya berubah bentuk, namun tetap ada di dalam hati, di setiap tawa yang mereka kenang, di setiap cerita yang mereka bagi. Seperti kenangan indah yang tak akan pernah hilang, mereka tetap hidup dalam ingatan satu sama lain, selamanya.

 

Jadi, gitu deh ceritanya. Kadang, hidup bawa kita jauh dari orang-orang yang kita sayang, tapi kenangan yang kita buat bareng mereka, itu yang bakal tetep ada, gengs.

Persahabatan sejati itu bukan soal sering ketemu, tapi soal saling inget, saling dukung, dan tetap ada meskipun jarak memisahkan. So, jangan pernah lupakan teman-teman yang udah jadi bagian penting di hidup kita, ya!

Leave a Reply