Daftar Isi
Ceritanya tentang sahabat sejati yang terpisah oleh maut, tapi kenangannya tetap hidup dalam setiap langkah. Kisah tentang pengorbanan yang nggak pernah terbayar, tapi juga nggak pernah terlupakan.
Siapa sih yang nggak pernah ngerasain kehilangan seseorang yang udah jadi bagian hidup kita? Nah, cerpen ini mungkin bakal bikin kamu berpikir ulang tentang apa itu persahabatan yang sesungguhnya.
Persahabatan Sejati yang Tak Akan Pernah Pudar
Jejak Langkah di Pematang Sawah
Langit di atas desa itu membentang luas, biru jernih dengan awan tipis yang berarak pelan. Burung-burung kecil melintas, berkicau riang, seakan mengiringi dua anak laki-laki yang berlari di pematang sawah.
“Kamu larinya lambat banget, Reksa! Masa kalah sama aku?” seru Adiwira sambil menoleh ke belakang, tawanya meledak melihat sahabatnya tertinggal beberapa langkah.
“Awas aja kamu! Aku nyusul!” Reksa menggerutu, napasnya sedikit tersengal, tapi kakinya tetap berusaha mengejar.
Pematang sawah yang mereka lalui sempit, hanya cukup untuk satu orang berjalan dengan hati-hati. Tapi mereka? Mereka berlari tanpa takut jatuh, seakan sudah hafal setiap lekukan tanah di bawah kaki mereka.
Saat hampir sampai di ujung, tiba-tiba—
“WIRAAA!!!”
Bukk!
Adiwira terpeleset. Tubuhnya ambruk ke sawah berlumpur, menciptakan cipratan besar ke mana-mana. Seketika, suara tawa Reksa membahana di udara.
“Hahaha! Rasain! Katanya jago lari, kok jatuh?”
Adiwira mengangkat wajahnya yang penuh lumpur, menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. “Kamu ketawain aku?”
Reksa masih cekikikan. “Jelas!”
Adiwira menyipitkan mata. “Ya udah.”
Tanpa aba-aba, dia menarik kaki Reksa dengan cepat. Seketika, tubuh Reksa ikut terjerembab ke dalam lumpur. Kini, tawa Reksa terhenti.
Giliran Adiwira yang tertawa puas.
“Kamu—Wira, dasar curang!” Reksa berusaha bangkit, tapi lumpur membuatnya sulit bergerak.
Adiwira, masih dengan tawa yang belum reda, berdiri dan menepuk-nepuk celana pendeknya yang sudah belepotan. “Katanya jago lari? Kok malah nyemplung?”
Reksa menatapnya tajam, lalu tiba-tiba menyeringai.
“Ya udah, kalau gitu sekalian aja!”
Dia melompat ke arah Adiwira, membuat mereka berdua jatuh lagi. Kini, tidak ada yang selamat dari tumpahan lumpur.
Mereka tergelak keras, tak peduli bagaimana wajah dan baju mereka sudah tak berbentuk. Langit tetap biru di atas kepala mereka, angin berhembus sejuk, dan suara tawa mereka menggema di antara hamparan hijau.
Di desa kecil itu, Reksa dan Adiwira adalah dua bocah yang tak terpisahkan. Rumah mereka bersebelahan, hanya dipisahkan oleh pagar bambu yang mulai lapuk. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, Adiwira sudah berdiri di depan rumah Reksa, mengetuk pintu keras-keras.
“Bangun, Reksa! Kita ke sungai!”
Tapi jawaban yang dia dapat hanyalah gerutuan dari dalam rumah.
“Lima menit lagi…”
“Lima menit kamu tuh nggak pernah bener, Rek! Udah, aku masuk aja!”
Dan benar saja, Adiwira langsung menerobos masuk ke kamar sahabatnya, tanpa izin, tanpa basa-basi. Dia menarik selimut Reksa dengan paksa.
“Wiraaaa! Aku belum mau bangun!” Reksa meronta, tapi Adiwira sudah lebih dulu menyeret kakinya turun dari tempat tidur.
“Nggak ada alasan. Ayo, kita harus ke sungai sebelum anak-anak lain datang duluan!”
Akhirnya, dengan mata masih setengah terbuka, Reksa menyerah. Mereka berjalan ke sungai yang mengalir di tepi desa, tempat favorit mereka sejak kecil.
Di tepi sungai itu, mereka mengumpulkan batu-batu kecil, melemparkannya ke permukaan air, berlomba siapa yang bisa membuatnya memantul lebih banyak.
“Reksa, nanti kalau kita udah gede, menurut kamu kita bakal tetap sahabatan?” tanya Adiwira tiba-tiba.
Reksa mengernyit. “Pertanyaan macam apa itu? Ya jelas!”
Adiwira tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan.
“Biarpun kita berubah?”
Reksa menghela napas panjang. Dia mengambil satu batu, menimbang-nimbang di tangannya sebelum melemparkannya ke sungai. Batu itu memantul tiga kali sebelum tenggelam.
“Kalau kamu tetap jadi Adiwira yang nyebelin ini, aku tetap bakal jadi Reksa yang bakal ngeladenin semua keisengan kamu.”
Adiwira terkekeh. “Bagus. Karena aku nggak mau punya sahabat lain selain kamu.”
Reksa menoleh, menatap Adiwira dengan tatapan serius. “Jangan ngomong gitu. Kayak kita bakal pisah aja.”
Adiwira tak langsung menjawab. Dia hanya menatap arus sungai yang mengalir pelan, membawa dedaunan kering yang jatuh dari pepohonan di tepiannya.
Reksa mendengus. “Udah, jangan aneh-aneh. Ayo, kita balapan berenang!”
Mata Adiwira berbinar kembali. “Siap! Tapi jangan nangis kalau kalah!”
Dan seperti biasa, mereka pun melompat ke dalam sungai, mengabaikan dunia di sekitar mereka. Yang mereka tahu, saat itu mereka bersama. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Hari-hari berlalu, namun kebiasaan mereka tetap sama. Mereka masih sering duduk di atas bukit kecil di pinggir desa, memandangi matahari terbenam sambil membicarakan hal-hal yang bahkan mungkin tak masuk akal.
“Menurut kamu, kalau kita jadi orang terkenal, kita bakal tetep sesantai ini nggak sih?” tanya Reksa suatu sore.
“Jelas nggak,” jawab Adiwira. “Kalau aku terkenal, aku pasti bakal sibuk.”
Reksa menatapnya dengan pandangan skeptis. “Halah, terkenal aja belum.”
Adiwira tertawa. “Tapi kalaupun suatu hari aku sibuk, aku nggak bakal lupa sama kamu.”
Reksa menghela napas. “Ya jelas lah. Aku juga bakal kejar kamu sampai ke mana pun kalau kamu sok sibuk dan lupa sahabat sendiri.”
Adiwira tersenyum lebar. “Bagus. Karena aku juga nggak bakal lupa sama kamu, Rek.”
Di bawah langit senja yang berpendar keemasan, mereka berdua duduk berdampingan. Dua anak laki-laki dengan impian mereka masing-masing, tanpa tahu bahwa suatu hari, dunia akan menguji arti persahabatan mereka.
Janji di Bawah Langit Senja
Angin sore berembus pelan, mengibarkan pucuk-pucuk padi yang mulai menguning. Desa kecil itu tetap sama, damai dan sunyi, hanya sesekali terganggu oleh suara ayam berkokok atau anjing yang menyalak. Namun, bagi Reksa dan Adiwira, sesuatu mulai berubah.
Mereka tak lagi bocah yang bisa menghabiskan hari dengan berlari di pematang sawah atau bercanda di tepi sungai. Usia mereka telah beranjak, dan dengan bertambahnya usia, datang pula tanggung jawab yang mereka tak bisa hindari.
“Rek, aku dapet beasiswa ke luar kota.”
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Adiwira, seakan tak perlu persiapan. Mereka tengah duduk di atas bukit, seperti biasa, menikmati matahari terbenam. Tapi kali ini, matahari terasa lebih cepat tenggelam dari biasanya.
Reksa terdiam, tangannya mencengkeram rumput di bawahnya. “Luar kota?” ulangnya pelan.
Adiwira mengangguk. “Sekolah di sana jauh lebih bagus. Kalau aku pergi, aku bisa bantu orang-orang di desa ini suatu hari nanti.”
Seharusnya itu kabar baik. Adiwira berhasil mendapatkan sesuatu yang tidak semua orang bisa dapatkan. Tapi, mengapa rasanya seperti ada sesuatu yang runtuh di dalam dada Reksa?
“Kamu serius mau pergi?”
Adiwira menoleh, menatap sahabatnya dengan pandangan heran. “Ya, tentu aja. Aku pikir kamu bakal seneng buat aku.”
Reksa tertawa kecil, tapi suaranya terdengar hambar. “Seneng? Ya… aku seneng. Cuma, aku pikir kita bakal tetap di sini, sama-sama.”
Adiwira menghela napas. “Kita nggak bisa terus di desa ini, Rek. Dunia lebih luas dari yang kita lihat dari atas bukit ini.”
Reksa menunduk, mencabut beberapa helai rumput dan melemparkannya ke tanah. “Tapi aku nggak pernah mikirin soal pergi,” gumamnya.
Sunyi. Yang terdengar hanya gesekan dedaunan dan suara jangkrik di kejauhan.
Setelah beberapa saat, Adiwira menepuk pundak sahabatnya. “Kamu nggak perlu ikut pergi kalau kamu nggak mau. Aku bakal tetap jadi sahabat kamu, Rek. Nggak peduli sejauh apa aku nanti.”
Reksa masih diam.
“Ayo, janji sama aku,” lanjut Adiwira. “Biarpun kita jauh, kita nggak akan lupa satu sama lain.”
Matahari sudah hampir tenggelam seluruhnya di ufuk barat. Langit berubah warna menjadi jingga keunguan, membiaskan siluet dua anak muda yang duduk berdampingan.
Reksa menghela napas panjang. “Janji?” tanyanya, masih ragu.
Adiwira tersenyum. “Janji.”
Akhirnya, dengan berat hati, Reksa mengulurkan tangannya. Mereka saling mengaitkan jari kelingking, seperti yang sering mereka lakukan saat kecil dulu.
Namun, tak ada yang tahu bahwa janji itu akan diuji lebih dari yang mereka bayangkan.
Hari keberangkatan Adiwira tiba lebih cepat dari yang Reksa harapkan.
Orang-orang desa berkumpul di depan rumah Adiwira, memberi ucapan selamat dan doa-doa. Ibunya sibuk menangis, ayahnya memasukkan koper ke dalam mobil, sementara teman-teman mereka yang lain berbaris untuk berjabat tangan.
Reksa berdiri di belakang, tidak langsung mendekat. Ia tak ingin menjadi orang terakhir yang harus berpamitan.
Tapi Adiwira menemukannya lebih dulu.
“Kamu nggak mau bilang sesuatu, Rek?” tanyanya, berdiri di depan sahabatnya dengan ransel besar di punggungnya.
Reksa menyeringai kecil, berusaha menutupi perasaan berat di hatinya. “Hati-hati di sana. Jangan lupa desa ini, jangan lupa aku.”
Adiwira meninju ringan bahu Reksa. “Mana mungkin aku lupa kamu?”
Reksa hanya mengangguk. Tapi matanya tak bisa menatap langsung ke arah Adiwira.
“Dan jangan sering-sering bikin orang nangis,” lanjut Reksa, setengah bercanda. “Kasian cewek-cewek di sana nanti.”
Adiwira tertawa. “Kalau ada yang nangis, paling-paling kamu.”
Reksa mendengus. “Bodo amat.”
Klakson mobil berbunyi, pertanda waktu berpamitan sudah habis.
Adiwira menghela napas panjang sebelum berkata, “Rek, aku pergi ya.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, Adiwira berjalan menjauh dari Reksa.
Mobil itu melaju perlahan, melewati jalanan desa yang berdebu, hingga akhirnya menghilang di tikungan.
Saat itu, Reksa baru menyadari sesuatu.
Hari-harinya tak akan pernah sama lagi tanpa kehadiran Adiwira.
Malam Tanpa Bintang
Malam itu gelap, tak ada bintang yang tampak di langit. Hujan turun deras, rintikannya terdengar seperti alunan melodi yang seakan menyesakkan dada. Angin berhembus kencang, membawa kabut tebal yang menyelimuti desa. Sepertinya, langit pun merasakan kesepian yang melanda hati Reksa.
Hari-hari berlalu sejak Adiwira pergi. Reksa mencoba untuk tidak terlalu merindukannya, tetapi itu seperti berusaha menahan air hujan agar tidak membasahi tanah. Setiap sudut desa, setiap jalan setapak, seolah membawa kenangan tentang sahabatnya. Meskipun begitu, Reksa terus melanjutkan hidupnya. Ia bekerja di ladang, membantu orang tua, dan sesekali berkunjung ke sungai, tempat mereka dulu sering bermain.
Namun, malam itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Reksa duduk sendirian di kamar, menatap hujan dari jendela. Ponselnya bergetar. Satu pesan muncul di layar.
“Reksa, aku butuh kamu. Tolong.”
Itu adalah pesan dari Adiwira. Hanya tiga kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Reksa. Pesan itu datang begitu tiba-tiba, tanpa penjelasan lebih lanjut. Hanya kata-kata itu yang tertulis, dan sebuah rasa takut yang mulai merayapi hati Reksa.
Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari keluar dari rumah, meski hujan semakin lebat. Langkahnya tergesa-gesa, jantungnya berdetak kencang, seperti mengikuti irama hujan yang semakin deras. Sesampainya di jalan utama, Reksa berhenti sejenak. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
Malam itu, tak ada orang yang berkumpul di jalan. Semua orang sudah mengungsi, mencari tempat aman di rumah masing-masing. Tanah yang basah dan licin semakin menyulitkan langkah Reksa. Namun, perasaan yang menggerakkan tubuhnya lebih kuat daripada segala hambatan fisik.
Lalu, di tengah hujan yang semakin deras, Reksa melihat sesuatu yang membuat darahnya serasa membeku.
Di ujung jalan, di tengah gelapnya malam, ada sebuah mobil yang terbalik, terjebak di dalam lumpur. Lampu-lampunya redup, dan ada suara minta tolong yang terdengar samar dari dalam mobil itu.
Tanpa ragu, Reksa berlari menuju mobil itu. Di dalamnya, terlihat Adiwira, tubuhnya terjepit antara kaca pecah dan kursi mobil yang terbalik. Wajahnya pucat, dan darah mengalir dari luka di kepalanya.
“Wira!” teriak Reksa, berlari menghampiri.
Namun, Adiwira hanya bisa tersenyum lemah. “Kamu… datang…” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, terengah-engah.
“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku dulu? Kenapa nggak nelpon?” tanya Reksa dengan suara gemetar, cemas.
Adiwira berusaha tertawa, meski terlihat sangat kesakitan. “Aku nggak bisa… nelpon… aku cuma… butuh kamu.”
Reksa mencoba menarik tubuh Adiwira, tapi posisi mereka terhalang oleh puing-puing mobil yang terbalik. Tangannya gemetar saat ia melihat luka-luka di tubuh sahabatnya.
“Aduh… jangan… jangan tinggalkan aku, Wira,” katanya dengan suara parau, hampir menangis.
Namun, Adiwira hanya bisa mengangguk lemah. “Aku nggak bisa bertahan… lama, Rek. Airnya mulai masuk.”
Reksa segera mencoba membebaskan Adiwira, meski tangannya terasa lemas dan otot-ototnya nyeri karena berusaha mengangkat puing-puing mobil. Hujan semakin deras, dan suara gemuruh air semakin menakutkan.
“Aku nggak bisa… aku nggak bisa…!” Reksa hampir putus asa, air matanya bercampur dengan hujan yang membasahi wajahnya.
Adiwira mengangkat tangannya, mencoba memegang tangan Reksa. “Janji… janji kalau kamu nggak akan lupakan aku, Rek. Aku nggak mau kamu… melupakan kita…”
Reksa menggigil, dan untuk sesaat, dia merasa seperti dunia ini akan terhempas begitu saja. Ia tahu, jika dia tidak bisa menyelamatkan sahabatnya kali ini, ia akan kehilangan Adiwira selamanya.
“Jangan bilang gitu, Wira! Kamu nggak boleh pergi! Aku masih butuh kamu!”
Namun, seiring waktu berlalu, semakin banyak air yang menggenang di sekitar mereka. Adiwira mulai kehilangan kesadaran, dan tubuhnya semakin lemas.
Dengan penuh usaha, Reksa akhirnya berhasil menarik tubuh Adiwira ke luar dari reruntuhan mobil itu, meski itu terasa seperti menarik seluruh dunia dari bahunya. Saat itulah, ia merasakan betapa beratnya beban itu.
“Ayo, Wira. Bertahanlah sedikit lagi,” katanya, suaranya pecah oleh air mata yang menetes tanpa henti.
Namun, meski Reksa sudah berusaha sekuat tenaga, Adiwira hanya bisa memejamkan matanya. Seperti sudah tak ada lagi kekuatan dalam dirinya untuk bertahan.
Dalam hening yang menggelap, Reksa memegang tangan Adiwira dengan erat, berharap dia akan mendengar hatinya.
Tapi tak lama kemudian, Adiwira menghembuskan napas terakhirnya.
Seperti itu, sahabat sejatinya, yang selalu ada untuknya dalam segala hal, pergi meninggalkannya tanpa peringatan.
Dan malam itu, Reksa merasakan kesendirian yang tak terlukiskan, tanpa Adiwira di sampingnya. Hujan yang turun begitu deras seolah menjadi saksi bisu dari akhir yang tak terelakkan.
Di Bawah Langit yang Sama
Pagi itu, langit masih kelabu. Awan tebal menggantung rendah di atas desa, seperti melapisi seluruh dunia dengan kesedihan yang tak bisa digambarkan. Reksa berdiri di samping pemakaman, menatap nisan yang baru saja terpasang dengan nama Adiwira terukir di atasnya.
Angin pagi berhembus pelan, membelai wajahnya yang basah oleh air mata yang tak bisa lagi dihentikan. Semua yang terjadi dalam semalam terasa seperti mimpi buruk, yang seolah tak ingin ia bangun darinya. Semua kenangan tentang Adiwira kini hanya tinggal bayang-bayang yang terus menghantui.
Reksa terdiam, menunduk, seolah berusaha memahami bahwa sahabatnya kini telah tiada. Semua yang mereka rencanakan, semua impian mereka untuk masa depan yang lebih baik, kini lenyap dalam sekejap.
Di samping makam, ibu Adiwira berdiri, menangis tanpa suara, sementara ayahnya duduk terpaku, matanya kosong. Hujan yang mulai reda perlahan, dan udara pun terasa semakin dingin, seolah turut merasakan kehilangan ini.
Reksa menatap tanah, berpikir sejenak. Tiba-tiba, dia merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan. Sesuatu yang harus diubah, sesuatu yang mungkin bisa memberi arti pada semua kenangan yang ia miliki bersama Adiwira.
Dengan langkah berat, Reksa berjalan mendekati ibu Adiwira.
“Ibu…” suaranya terbata, tetapi ia melanjutkan. “Aku akan terus menjaga desa ini. Aku janji, aku akan melanjutkan semua yang sudah Adiwira impikan.”
Ibu Adiwira hanya mengangguk, matanya yang sembab menatap Reksa. Tak ada kata-kata yang keluar. Hanya ada isak tangis yang meresap dalam keheningan yang panjang.
Reksa kembali menunduk. “Aku akan berusaha. Aku tidak akan biarkan semuanya sia-sia.”
Hari-hari berlalu, dan meski Reksa merasakan beratnya hidup tanpa sahabatnya, ia tahu bahwa ia tak boleh menyerah. Setiap langkahnya membawa kenangan Adiwira, dan setiap keputusan yang diambilnya, ia tahu sahabatnya akan selalu mengawasi dari jauh.
Beberapa bulan kemudian, Reksa kembali ke sungai tempat mereka dulu bermain. Kali ini, ia datang bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk memulai sesuatu yang baru. Di sana, di bawah pohon besar yang biasa mereka naungi, Reksa menanam sebuah pohon baru. Sebuah pohon yang akan tumbuh seiring berjalannya waktu, menjadi saksi hidup dari janji yang telah dibuatnya.
“Aku akan melanjutkan semuanya, Wira,” bisiknya pada pohon yang baru saja ia tanam. “Kamu tidak akan pernah dilupakan.”
Sambil memandang pohon kecil itu, Reksa merasakan sedikit ketenangan. Mungkin hidupnya tak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa tenang. Bagian dari dirinya yang tahu bahwa persahabatan mereka tidak akan pernah benar-benar berakhir. Adiwira telah pergi, namun apa yang mereka bangun bersama tetap hidup, tidak hanya di hati Reksa, tetapi juga di setiap langkah yang diambilnya.
Di bawah langit yang sama, Reksa merasa Adiwira tetap ada—seperti bintang yang hilang dari pandangan, tetapi sinarnya tetap ada, mengiringi langkahnya di sepanjang hidup ini.
Dan meski malam datang dan hari berganti, Reksa tahu satu hal pasti: persahabatan sejati tidak pernah mati. Itulah yang akan terus menguatkan dirinya, meskipun dunia berubah dan waktu terus berjalan. Adiwira mungkin telah tiada, tapi kenangan tentangnya akan selalu abadi, dan itulah yang akan mengisi hari-harinya ke depan.
Karena di bawah langit yang sama, dua sahabat sejati akan selalu terhubung, meski tak bisa lagi saling menyentuh.
Dan gitu deh cerita tentang persahabatan yang nggak akan pernah pudar, walaupun maut udah memisahkan. Kadang, kita nggak pernah tahu kalau seseorang yang kita anggap sahabat itu bakal jadi bagian abadi dalam hidup kita.
Tapi, apa pun yang terjadi, kenangan dan pengorbanan mereka nggak akan pernah hilang. Jadi, hargai teman-teman kamu, karena siapa tahu suatu saat mereka bisa memberikan lebih dari yang kamu bayangkan.


