Daftar Isi
Persahabatan itu kayak sungai—nggak selalu mengalir di jalur yang sama, tapi nggak pernah benar-benar hilang. Kadang ada sahabat yang tetap tinggal, kadang ada yang pergi mengejar mimpinya. Tapi, apakah itu berarti pertemanan berakhir? Nggak juga.
Kisah ini tentang dua sahabat yang tumbuh bersama, tapi harus memilih jalan yang berbeda. Apa mereka masih bisa disebut sahabat kalau udah nggak selalu ada di sisi satu sama lain?
Sahabat Sejati Tak Harus Selalu Bersama
Retak yang Tak Terlihat
Di bawah pohon beringin tua di tepi sungai, dua anak lelaki duduk berdampingan. Raka bersandar pada batang pohon yang kokoh, sementara Senja duduk dengan kaki terjulur, menatap arus sungai yang mengalir pelan. Langit mulai berwarna jingga, dan suara jangkrik sudah mulai terdengar dari kejauhan.
Raka mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke sungai, menciptakan riak-riak di permukaan air. “Kau pikir, kalau kita lempar batu ke sungai, batu itu masih ada di sana, di dasar?” tanyanya tiba-tiba.
Senja meliriknya sebentar sebelum ikut mengambil batu dan melemparkannya. “Mungkin. Tapi mungkin juga arus sudah membawanya pergi.”
Raka mengangguk pelan. Ia menatap air yang terus mengalir, seakan membawa semua hal tanpa bisa dikendalikan. Entah kenapa, ada sesuatu dalam jawaban Senja yang membuat dadanya terasa sesak.
Senyap sejenak. Hanya suara gemerisik angin di antara dedaunan yang menemani mereka. Lalu Senja menarik napas dalam.
“Kau tahu, aku ingin kuliah di kota besar,” katanya, dengan suara lebih pelan dari biasanya.
Raka menghentikan gerakan tangannya. Ia menoleh, menatap sahabatnya yang sejak kecil selalu ada di sisinya. “Serius?”
Senja mengangguk. “Aku ingin jadi seseorang yang bisa mengubah hidup banyak orang. Kota ini terlalu kecil untuk mimpiku.”
Angin berhembus, membawa keheningan di antara mereka. Raka menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Kapan kamu mulai berpikir begitu?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
“Dari dulu,” jawab Senja, masih menatap sungai. “Tapi aku baru yakin sekarang. Aku mau daftar beasiswa.”
Raka mengalihkan pandangannya ke arah langit yang semakin gelap. Dadanya terasa berat.
“Jadi kamu bakal ninggalin semuanya di sini?”
“Bukan ninggalin, Rak.” Senja menoleh, menatap sahabatnya. “Aku cuma mau pergi sebentar. Aku harus pergi untuk mencapai sesuatu yang lebih besar.”
“Bukankah di sini juga ada banyak hal yang bisa kamu lakukan?”
“Ada,” kata Senja, suaranya lebih lembut. “Tapi aku butuh lebih dari ini. Aku nggak bisa cuma di sini selamanya.”
Raka menghela napas, lalu kembali melempar batu ke sungai. Kali ini lebih keras, seakan ingin membuktikan sesuatu.
“Terus aku gimana?” tanyanya pelan.
Senja terdiam. Ia menggenggam rerumputan di bawahnya, seakan mencari jawaban. “Kamu bisa tetap di sini, menjalani apa yang memang kamu mau.”
“Tapi tanpa kamu.”
Senja tak menjawab.
Raka terkekeh kecil, tapi suaranya terdengar pahit. “Kupikir kita bakal selalu bareng, Sen. Kupikir kita nggak akan berubah.”
“Kita nggak berubah,” kata Senja buru-buru. “Cuma… kita punya jalan masing-masing.”
Raka menggeleng, masih menatap sungai. “Kamu bilang tadi, arus bisa bawa batu yang kita lempar pergi.”
“Iya. Terus?”
Raka menoleh, matanya tajam. “Gimana kalau kita adalah batu itu?”
Senja terdiam. Ia tahu Raka bukan orang yang suka mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Tapi saat ini, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
“Kita nggak akan terbawa arus,” katanya akhirnya. “Aku janji.”
Raka tidak menjawab. Dalam hatinya, ia ingin percaya. Tapi sejak kecil, ia tahu bahwa air tidak pernah mengembalikan apa yang sudah hanyut.
Senja menepuk pundaknya pelan. “Aku nggak bakal lupa sama kamu, Rak. Kita sahabat, kan?”
Raka masih diam.
Matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, meninggalkan mereka dalam remang cahaya bulan. Di antara riak sungai dan gemerisik angin, dua sahabat itu duduk dalam diam. Masing-masing menyimpan kata yang tidak bisa diucapkan.
Dan tanpa mereka sadari, sesuatu di antara mereka mulai retak.
Jalan yang Berbeda
Senja benar-benar pergi.
Beberapa bulan setelah percakapan di tepi sungai itu, ia berangkat ke kota dengan wajah penuh semangat. Raka tidak datang ke terminal saat Senja pergi. Bukan karena ia tidak peduli, tapi karena ia tidak tahu harus berkata apa.
Awalnya, mereka masih sering berkirim pesan. Senja bercerita tentang kampus barunya, tentang betapa sibuknya ia mengikuti berbagai seminar dan kegiatan mahasiswa. Raka mendengar semuanya dengan perasaan campur aduk. Ia senang sahabatnya berkembang, tapi di sisi lain, ia mulai merasa semakin jauh.
Sementara itu, Raka tetap tinggal di desa. Rutinitasnya tetap sama—bangun pagi, membantu ayahnya di ladang, lalu menghabiskan sore di bawah pohon beringin. Bedanya, sekarang ia selalu sendirian.
Pesan dari Senja semakin jarang. Jika dulu mereka berbagi cerita setiap hari, kini butuh berhari-hari sebelum Raka mendapat balasan. Kadang-kadang, tidak ada balasan sama sekali.
Sampai akhirnya, Raka berhenti mengirim pesan terlebih dahulu.
Satu tahun berlalu.
Suatu sore, Raka duduk di beranda rumahnya, memeriksa ponselnya yang mulai berdebu. Tidak ada pesan baru dari Senja. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berbicara.
Ia menghembuskan napas, lalu membuka media sosial. Sebuah unggahan terbaru dari Senja muncul di berandanya. Foto Senja dengan beberapa teman kuliahnya di sebuah kafe mewah di kota. Mereka tertawa, terlihat begitu akrab.
Raka membaca caption-nya. “Dunia baru, tantangan baru, petualangan baru!”
Senyum kecil muncul di wajah Raka, tapi tidak sampai ke matanya. Ia tidak tahu apakah ia masih bagian dari “petualangan baru” itu.
Dari kejauhan, ayahnya memanggil, menyuruhnya membantu di ladang. Dengan satu tarikan napas panjang, Raka mengunci ponselnya dan bangkit.
Senja punya jalannya sendiri. Dan ia juga punya jalannya.
Bulan demi bulan berlalu. Hubungan mereka semakin merenggang, meskipun tidak pernah benar-benar terputus. Kadang-kadang, Senja masih mengirim pesan, tapi isinya terasa… hambar. Seperti sekadar basa-basi.
“Gimana kabarmu, Rak?”
“Ladang masih aman?”
“Nanti aku pulang kalau ada waktu.”
Dulu, mereka bisa menghabiskan berjam-jam mengobrol tanpa kehabisan topik. Sekarang, percakapan mereka hanya bertahan beberapa kalimat sebelum akhirnya mati begitu saja.
Suatu malam, saat sedang berbaring di kamarnya, Raka menatap langit-langit dan bertanya pada dirinya sendiri—apa persahabatan mereka masih sama seperti dulu?
Atau hanya dia yang masih menggenggam sesuatu yang sudah seharusnya dilepaskan?
Dua tahun berlalu.
Suatu hari, saat sedang beristirahat di bawah pohon beringin, Raka mendengar nama Senja disebut-sebut oleh anak-anak muda di desa.
“Dia masuk berita, loh,” kata salah satu dari mereka. “Dapat beasiswa ke luar negeri! Hebat banget!”
“Serius? Wah, udah kayak orang penting aja!” yang lain menimpali.
Raka terdiam. Ia menatap langit yang cerah, tapi dadanya terasa berat.
Senja berhasil. Ia benar-benar mencapai impiannya.
Tapi kenapa, saat mendengar kabar itu, yang ia rasakan bukan lagi kebanggaan?
Ia memejamkan mata. Di suatu tempat jauh di luar sana, Senja sedang meraih bintang. Dan di sini, ia hanya seorang pemuda desa yang masih terjebak di tempat yang sama.
Saat itu, Raka menyadari sesuatu.
Persahabatan mereka tidak hilang begitu saja. Tapi terkadang, beberapa orang memang ditakdirkan berjalan di jalur yang berbeda.
Ujian Waktu
Senja kembali.
Bukan sebagai anak desa yang dulu duduk bersama Raka di bawah pohon beringin, melainkan sebagai seseorang yang sudah mengenal dunia luar. Wajahnya masih sama, tapi caranya berbicara, caranya berjalan—semuanya terasa berbeda.
Raka melihatnya dari kejauhan, berdiri di depan rumah orang tuanya yang sudah mulai berdebu. Senja sedang berbicara dengan beberapa tetangga yang menyambutnya dengan penuh antusias.
“Kapan pulang, Sen?” tanya seseorang.
“Baru tadi pagi,” jawabnya dengan senyum lelah. “Cuma sebentar, habis ini aku harus pergi lagi.”
Raka tidak mendekat. Ia hanya mengamati dari balik pagar kayu yang mulai lapuk.
Sore itu, Senja datang mencarinya.
Raka sedang duduk di teras rumah ketika langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dulu ia anggap sebagai sahabat terbaiknya berdiri di sana, membawa sekantong plastik berisi dua botol minuman dingin—kebiasaan lama mereka setiap kali berkumpul.
“Masih suka yang rasa jeruk?” tanya Senja, mengulurkan salah satu botol.
Raka menatap botol itu, lalu mengambilnya tanpa banyak bicara.
Senja menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Lama nggak pulang, rasanya aneh.”
“Kamu udah jadi orang kota sekarang,” jawab Raka santai.
Senja tertawa kecil. “Kamu masih sama aja ya, Rak.”
Raka hanya mengangkat bahu. Ia membuka botol minuman dan meminumnya perlahan. Tidak ada yang berubah dari rasa jeruk itu, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda dalam percakapan mereka.
Dulu, mereka bisa bicara berjam-jam tanpa merasa canggung. Sekarang, keheningan terasa lebih banyak daripada kata-kata.
Mereka akhirnya pergi ke sungai, tempat yang dulu menjadi saksi segala cerita mereka.
Tapi kini, pohon beringin itu terasa lebih tua. Daunnya lebih jarang, dan beberapa cabangnya patah. Raka tidak bisa menahan diri untuk berpikir—apakah persahabatan mereka juga seperti itu?
Senja duduk di atas akar besar yang mencuat dari tanah, mengayunkan kakinya sambil menatap air yang mengalir. “Dulu kita sering ke sini, ya?”
“Iya,” jawab Raka singkat.
“Masih ingat waktu aku pertama kali bilang mau pergi?” Senja tertawa kecil. “Kamu marah, kan?”
Raka menghela napas. “Aku nggak marah. Cuma… aku tahu semuanya nggak bakal sama lagi.”
Senja terdiam. Ia menunduk, meremas rerumputan di tangannya.
“Kamu bener,” katanya akhirnya. “Kita memang berubah.”
Raka menoleh, menatapnya. “Kamu menyesal?”
Senja butuh waktu untuk menjawab. “Nggak,” ujarnya pelan. “Tapi aku juga nggak pernah lupa tempat ini, atau kamu.”
Raka tidak tahu apakah itu cukup.
“Kamu pergi,” katanya. “Dan aku tetap di sini.”
“Dan sekarang aku kembali.”
“Untuk sementara,” Raka mengoreksi.
Senja tersenyum miris. “Iya… untuk sementara.”
Angin bertiup pelan, membawa gemerisik daun dan aroma tanah basah. Raka melempar batu kecil ke sungai, menciptakan riak kecil di permukaan air.
“Kita seperti batu yang kita lempar ke sungai, kan?” kata Senja tiba-tiba.
Raka menoleh.
“Dulu kamu bilang, arus bisa membawa batu pergi.” Senja tersenyum kecil. “Tapi ada beberapa yang tetap tinggal di dasar.”
Raka menatap sungai yang mengalir.
Mungkin benar, beberapa batu memang terbawa pergi. Tapi ada juga yang tetap di tempatnya, tertutup lumpur dan waktu.
Dan mungkin, begitu pula persahabatan mereka.
Tetap ada. Tapi tidak lagi terlihat seperti dulu.
Jejak yang Tak Akan Hilang
Senja pergi lagi.
Kali ini, tidak ada janji-janji manis tentang kepulangan yang cepat. Tidak ada kata-kata seperti “Aku bakal sering kirim kabar.” Ia hanya meninggalkan senyum kecil dan genggaman tangan yang terasa lebih ringan daripada seharusnya.
Raka mengantar Senja sampai ke terminal, berdiri beberapa langkah di belakang sambil mengamati punggung sahabatnya yang semakin lama semakin menjauh.
Tak ada kata perpisahan. Hanya ada angin sore yang berhembus pelan, membawa bayangan dua anak laki-laki yang dulu berlari-lari di pinggir sungai.
Waktu berjalan.
Setelah kepergian Senja, Raka kembali pada rutinitasnya. Bangun pagi, bekerja di ladang, duduk di teras rumah saat sore, lalu terkadang pergi ke sungai seorang diri.
Namun, ada yang berbeda.
Ia tidak lagi menunggu pesan dari Senja. Tidak lagi mengecek media sosial untuk mencari tahu kabarnya. Tidak lagi bertanya-tanya apakah sahabatnya akan kembali.
Ia tidak marah. Tidak kecewa. Tidak sedih.
Karena kini, ia mengerti.
Beberapa persahabatan memang tidak berakhir dengan pertengkaran. Tidak berakhir dengan saling membenci atau melupakan. Kadang-kadang, persahabatan hanya berubah bentuk—seperti air sungai yang terus mengalir, membawa kenangan tanpa benar-benar menghilangkannya.
Senja dan Raka mungkin tidak lagi berjalan di jalur yang sama, tapi jejak mereka masih tertinggal di tempat yang pernah mereka lalui bersama.
Di bawah pohon beringin yang tua. Di sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Di angin yang berhembus membawa cerita lama.
Persahabatan mereka tidak hilang.
Hanya berbeda.
Dan itu sudah cukup.
Nggak semua sahabat harus selamanya bersama. Kadang, mereka cuma mampir sebentar, meninggalkan jejak, lalu berjalan lagi ke arah masing-masing. Tapi jejak itu nggak akan hilang, meski waktu terus berjalan.
Persahabatan yang sejati nggak diukur dari seberapa sering ketemu atau ngobrol, tapi dari seberapa dalam mereka pernah ada di hidup kita. Jadi, kalau punya sahabat yang jalannya mulai menjauh, jangan sedih. Mungkin mereka tetap ada, cuma dalam bentuk yang berbeda.


