Daftar Isi
Gak semua orang punya kesempatan buat sekolah di tempat yang bagus, apalagi kalau lahir di desa kecil dengan segala keterbatasannya. Tapi Mahesa buktiin kalau tekad yang kuat bisa ngalahin segalanya!
Dari anak desa yang dianggap remeh sampai jadi yang terbaik di sekolah elit, perjalanan Mahesa penuh dengan tantangan, ejekan, dan perjuangan yang bikin merinding. Mau tahu gimana dia menghadapi dunia yang gak selalu ramah? Simak ceritanya di sini!
Ilmu Itu Mahal
Cahaya Di Ujung Desa
Di sebuah desa kecil bernama Cakrawana, malam selalu datang lebih cepat. Lampu-lampu jalan tidak ada, listrik masih menjadi barang langka, dan satu-satunya cahaya yang menemani penduduk hanyalah lentera minyak yang berkedip-kedip di depan rumah mereka.
Di antara rumah-rumah sederhana itu, terdapat sebuah gubuk kayu di ujung desa. Di dalamnya, seorang anak laki-laki bernama Mahesa sedang duduk di atas lantai tanah, menulis sesuatu dengan pensil pendek yang ujungnya hampir habis. Di depannya, selembar kertas penuh coretan angka dan tulisan. Hanya ada satu cahaya kecil dari lampu minyak yang membantu menerangi lembaran itu.
Suara derit pintu kayu terdengar. Seorang pria paruh baya melangkah masuk dengan tubuh yang tampak kelelahan. Pak Darya, ayah Mahesa, baru saja pulang dari sawah. Tangannya masih berlumur tanah, tapi sorot matanya tetap hangat saat melihat anaknya masih terjaga.
“Belum tidur?” tanya Pak Darya sambil duduk di sebelah Mahesa.
“Belum, Yah. Aku masih ngerjain soal dari Bu Laras,” jawab Mahesa tanpa mengalihkan pandangan dari kertasnya.
Pak Darya mengangguk pelan. Ia mengusap kepala anaknya dengan tangan yang kasar karena bertahun-tahun bekerja di ladang.
“Kamu memang beda dari anak-anak lain di desa ini,” gumamnya. “Mereka lebih suka main di sungai atau bantu orang tua mereka di sawah, tapi kamu malah lebih banyak sama buku-buku itu.”
“Aku pengen sekolah tinggi, Yah,” ujar Mahesa dengan suara mantap. “Aku nggak mau cuma bisa baca dan nulis doang. Aku mau ngerti banyak hal, kayak cara kerja listrik, kenapa hujan turun, kenapa siang bisa jadi malam…”
Pak Darya terdiam. Ada kebanggaan di matanya, tapi juga kekhawatiran. Ia tahu pendidikan itu penting, tapi untuk keluarga sederhana seperti mereka, sekolah lebih tinggi bukanlah sesuatu yang mudah.
“Kamu tau kan, Nak… sekolah di kota itu mahal. Belum lagi biaya hidup di sana…”
Mahesa menundukkan kepala. Tentu saja ia tahu. Di desa kecil ini, hanya sedikit anak yang bisa lanjut sekolah ke kota. Sebagian besar akan berakhir di sawah seperti orang tua mereka, bekerja dari pagi hingga sore, lalu tidur dalam kelelahan.
Namun, sebelum Mahesa sempat berkata apa-apa, suara lain memecah keheningan.
“Mahesa!”
Dari balik pintu, seorang wanita dengan kain lusuh melongok masuk. Itu ibunya, Bu Sari. Wajahnya tampak cemas.
“Ibu baru dengar dari tetangga, katanya ada guru baru di sekolah! Katanya dia ngasih kesempatan buat anak-anak yang mau lanjut sekolah ke kota. Kamu harus ketemu dia besok!”
Mata Mahesa berbinar. Guru baru? Kesempatan untuk sekolah ke kota? Itu seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi nyata.
Pak Darya hanya tersenyum kecil melihat semangat anaknya. Ia tahu, Mahesa tidak akan menyerah begitu saja.
Pagi harinya, Mahesa berlari ke sekolah dengan langkah cepat. Bangunan sekolah desa itu sederhana, hanya terdiri dari dua ruangan dengan dinding kayu yang sudah mulai lapuk. Beberapa anak lainnya sudah berkumpul di depan, berbisik-bisik membicarakan sosok guru baru yang sedang berdiri di depan kelas.
Ibu Laras, seorang wanita dengan rambut sebahu dan senyum ramah, berdiri tegap di depan murid-muridnya. Berbeda dengan guru-guru sebelumnya yang tampak kelelahan menghadapi keterbatasan desa ini, ada semangat di matanya.
“Selamat pagi, anak-anak. Nama saya Ibu Laras, dan saya di sini bukan hanya untuk mengajar, tapi juga untuk memastikan bahwa kalian punya kesempatan yang sama dengan anak-anak di kota,” ucapnya.
Murid-murid saling berpandangan. Sejak kapan ada orang dari kota yang benar-benar peduli dengan mereka?
“Dengar-dengar Bu Laras mau bantu anak yang mau sekolah ke kota,” bisik seorang anak di sebelah Mahesa.
Mahesa menelan ludah. Jika itu benar, ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya.
“Sekarang, siapa di sini yang benar-benar ingin belajar lebih tinggi?” tanya Ibu Laras.
Tidak ada yang menjawab. Beberapa anak tampak ragu. Mereka tahu, sekolah ke kota bukan hanya masalah kemauan, tapi juga uang dan keberanian.
Namun, di tengah keheningan itu, satu tangan terangkat.
Mahesa berdiri dengan mantap. “Aku mau, Bu.”
Mata Ibu Laras bertemu dengan matanya. Ada keteguhan di sana. Senyum kecil terulas di wajah guru itu.
“Baik, Mahesa. Kalau kamu benar-benar mau, kamu harus siap bekerja keras. Ilmu itu mahal, tapi bukan berarti kamu nggak bisa mendapatkannya. Aku akan membantu, tapi kamu harus berusaha lebih dari siapa pun.”
Mahesa mengangguk. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Tapi satu hal yang pasti: ia telah mengambil langkah pertama menuju cahaya.
Harga dari Sebuah Ilmu
Malam itu, Mahesa tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Ibu Laras siang tadi.
“Aku akan membantu, tapi kamu harus berusaha lebih dari siapa pun.”
Berusaha lebih dari siapa pun? Itu bukan hal yang mudah, apalagi bagi seorang anak desa yang terbiasa dengan keterbatasan. Namun, Mahesa tahu, jika ia ingin keluar dari lingkaran kehidupan yang sama seperti orang-orang di desanya, ia harus melangkah.
Keesokan paginya, ia datang ke sekolah lebih awal. Di kelas, hanya ada Ibu Laras yang sedang merapikan beberapa buku.
“Kamu datang lebih pagi, Mahesa?” tanya guru itu sambil tersenyum.
“Aku mau belajar lebih banyak, Bu. Aku siap buat ujian beasiswa ke kota,” jawabnya mantap.
Ibu Laras menatapnya dengan bangga. Ia tahu semangat Mahesa bukan sekadar omong kosong.
“Kalau begitu, kita mulai sekarang. Ujian beasiswa itu bukan cuma soal hafalan, tapi juga soal pemahaman. Kamu harus bisa berpikir kritis,” katanya sambil membuka buku di tangannya.
Hari-hari berikutnya menjadi lebih berat bagi Mahesa. Ia bukan lagi sekadar anak desa yang belajar seadanya. Kini, ia harus menguasai berbagai materi, dari matematika yang lebih kompleks, sains yang lebih mendalam, hingga membaca artikel berbahasa Indonesia baku yang jarang ia dengar di desa.
Sementara anak-anak lain pulang lebih awal untuk bermain di sungai atau membantu orang tua mereka di sawah, Mahesa memilih untuk tinggal lebih lama di sekolah.
Bahkan, saat malam tiba dan lentera minyak menjadi satu-satunya sumber cahaya, ia masih duduk di depan rumah, membaca buku dan mencatat hal-hal yang sulit ia mengerti.
“Kamu yakin nggak capek, Nak?” tanya Pak Darya suatu malam, saat ia melihat anaknya masih sibuk mencoret-coret kertas.
“Capek, Yah. Tapi aku lebih takut kalau nanti aku nyerah dan nggak bisa sekolah ke kota,” jawab Mahesa tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Pak Darya tersenyum kecil. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Beberapa minggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mahesa dan beberapa anak lain dari desa Cakrawana harus pergi ke kota untuk mengikuti ujian beasiswa.
Perjalanan itu tidak mudah. Tidak ada kendaraan yang bisa mereka tumpangi langsung ke kota, sehingga mereka harus berjalan kaki sejauh lima belas kilometer sebelum akhirnya naik truk sayur yang kebetulan lewat.
Sesampainya di kota, Mahesa tertegun. Bangunan sekolah yang akan menjadi tempat ujian terlihat begitu besar, jauh berbeda dengan sekolah kecil di desanya. Anak-anak yang datang pun terlihat berbeda—mereka berpakaian rapi, membawa tas berisi buku-buku tebal, dan tampak percaya diri.
Sementara itu, Mahesa hanya membawa sebuah tas kecil berisi satu buku tulis dan pensil yang hampir habis ujungnya.
“Nggak apa-apa,” gumamnya pada diri sendiri. “Yang penting aku sudah sampai di sini.”
Di dalam ruang ujian, Mahesa duduk dengan tegang. Lembar soal dibagikan, dan begitu ia melihat pertanyaannya, hatinya mencelos.
Soal-soal itu lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Matematika yang ia pelajari di desa terasa sangat sederhana dibandingkan dengan soal di kertas itu. Ada beberapa istilah yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya.
Tangannya mulai gemetar, tapi ia tidak boleh menyerah. Ia menarik napas dalam, mengingat setiap pelajaran yang pernah diajarkan Ibu Laras.
Waktu berjalan cepat. Mahesa menulis secepat yang ia bisa, berusaha memahami setiap soal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Hingga akhirnya, bel berbunyi. Ujian selesai.
Mahesa menatap lembar jawabannya dengan napas tertahan. Apakah ia cukup pintar? Apakah usahanya selama ini cukup?
Ia menoleh ke kiri dan kanan, melihat anak-anak lain yang tampak santai dan percaya diri.
“Mungkin aku memang cuma anak desa biasa,” pikirnya lirih.
Tapi ia cepat-cepat mengusir pikiran itu. Ia sudah berusaha sekuat tenaga. Sekarang, ia hanya bisa menunggu hasilnya.
Beberapa minggu kemudian, saat Mahesa sedang membantu ayahnya di ladang, seseorang datang tergesa-gesa.
“Mahesa! Mahesa!” suara itu terdengar dari kejauhan.
Ia menoleh dan melihat Bu Laras berlari ke arahnya dengan senyum lebar.
“Kamu lulus, Mahesa! Nama kamu ada di daftar penerima beasiswa!”
Dunia seakan berhenti berputar.
Mahesa menatap gurunya dengan mata melebar.
“Aku… aku lulus?”
Ibu Laras mengangguk dengan penuh bangga.
“Ya, Mahesa. Kamu akan sekolah di kota!”
Pak Darya yang berdiri di dekatnya langsung menepuk bahu anaknya dengan bangga.
“Kamu berhasil, Nak,” katanya dengan suara bergetar.
Namun, sebelum Mahesa bisa merayakan kebahagiaan itu lebih lama, ia sadar satu hal: meskipun ia mendapatkan beasiswa untuk sekolah, itu tidak berarti masalahnya selesai.
Ia masih harus menghadapi kehidupan di kota, di antara anak-anak yang jauh lebih beruntung darinya.
Apakah ia bisa bertahan?
Hanya waktu yang akan menjawab.
Dunia yang Tak Ramah
Hari itu, Mahesa berdiri di depan gerbang sekolah barunya di kota. Bangunan tinggi menjulang di sekelilingnya, begitu megah dan modern, jauh berbeda dari sekolah kayu di desanya.
Murid-murid berlalu-lalang dengan seragam rapi, sepatu mengkilap, dan tas mahal yang tampak berat berisi buku. Beberapa dari mereka sibuk berbicara tentang liburan di luar negeri, gadget terbaru, atau les privat dengan tutor terkenal.
Mahesa menelan ludah. Ia hanya membawa satu tas kecil berisi dua buku dan satu kotak pensil yang bahkan sudah mulai aus. Seragamnya sedikit kebesaran, hasil jahitan tangan ibunya. Sepatunya, meski telah ia bersihkan sebaik mungkin, tetap tidak bisa menyembunyikan bekas jahitan di ujungnya.
Ia baru melangkah beberapa langkah ketika sebuah suara terdengar dari sampingnya.
“Hei, anak baru, dari mana kamu?”
Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dengan kemeja tersetrika rapi menatapnya dengan pandangan meremehkan. Di sampingnya, beberapa anak lain tertawa kecil.
“Kayaknya bukan dari sini, deh. Lihat deh, tasnya aja kayak barang antik,” ejek salah satu anak perempuan sambil menahan tawa.
Mahesa hanya diam. Ia tahu, sejak awal, ia akan menghadapi ini. Anak-anak kota ini tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya tumbuh di desa, bagaimana rasanya berjuang hanya untuk mendapatkan kesempatan yang mereka anggap biasa saja.
Namun, sebelum ia sempat membalas, seorang gadis berambut panjang datang menghampiri.
“Udahlah, biarin aja,” katanya pada anak-anak yang mengejek Mahesa.
Mereka mendengus, tapi akhirnya pergi meninggalkan Mahesa. Gadis itu kemudian menatapnya.
“Kamu anak beasiswa, kan?” tanyanya.
Mahesa mengangguk pelan.
“Aku Livia. Kamu duduk di mana?”
“Belum tahu.”
“Kalau gitu, ayo, aku tunjukin kelasnya.”
Mahesa hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah gadis itu. Setidaknya, tidak semua orang di sini jahat padanya.
Pelajaran di sekolah kota jauh lebih sulit daripada yang Mahesa bayangkan.
Di desa, ia adalah murid paling pintar, tetapi di sini, ia hanyalah anak biasa yang harus berusaha keras agar tidak tertinggal.
Guru-guru berbicara cepat, menggunakan istilah-istilah yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Beberapa teman sekelasnya dengan mudah menjawab pertanyaan sulit, sementara Mahesa masih mencoba memahami pertanyaannya saja.
Bahkan, saat ia ingin bertanya, ia ragu.
Bagaimana jika mereka menertawakannya?
Bagaimana jika mereka menganggapnya bodoh?
Namun, meskipun berat, Mahesa tidak menyerah. Ia belajar lebih keras, menghabiskan waktu di perpustakaan saat anak-anak lain pergi bermain. Ia menyalin catatan, membaca buku tambahan, bahkan mencatat ulang pelajaran yang belum ia pahami agar bisa mempelajarinya di rumah.
Tapi usaha saja tidak cukup.
Di kelas, ia sering merasa terasing.
Saat ada tugas kelompok, tidak ada yang mau mengajaknya bekerja sama. Ia lebih sering bekerja sendirian, sementara yang lain berbagi tugas dengan teman-teman mereka.
Saat jam istirahat, ia makan di sudut kantin, jauh dari anak-anak yang sibuk mengobrol dan tertawa.
“Hei, anak desa!”
Suara itu kembali terdengar suatu siang. Mahesa menoleh dan melihat anak yang mengejeknya di hari pertama, kini berdiri di depannya sambil menyeringai.
“Dengar-dengar, kamu dapat beasiswa, ya? Wah, kasihan banget, berarti keluargamu miskin, ya?”
Tawa terdengar dari anak-anak di sekitarnya.
Mahesa mengepalkan tangan, tapi ia menahan diri. Ia tidak boleh terprovokasi.\
“Ilmu nggak punya harga, dan sekolah seharusnya bukan cuma buat orang kaya,” jawab Mahesa tenang.
Anak itu tertawa.
“Iya, tapi di dunia nyata, orang miskin nggak punya tempat di antara kami.”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan.
Mahesa ingin marah, ingin membela diri, tapi ia sadar satu hal: kata-kata tidak akan mengubah keadaan.
Satu-satunya cara untuk membuktikan dirinya adalah dengan bertahan.
Suatu hari, saat Mahesa berada di perpustakaan, seorang pria paruh baya menghampirinya.
“Kamu anak baru, ya?”
Mahesa menoleh. Pria itu berkacamata dan membawa tumpukan buku tebal.
“Saya Pak Banyu, guru fisika di sini.”
Mahesa langsung berdiri sopan. “Iya, Pak. Saya Mahesa.”
Pak Banyu menatap buku-buku di meja Mahesa dan tersenyum.
“Sepertinya kamu belajar lebih keras daripada anak-anak lain.”
Mahesa hanya mengangguk.
Pak Banyu duduk di depannya, lalu menatapnya dengan serius.
“Saya tahu, kamu pasti merasa sendirian di sini. Tapi ingat, ilmu itu bukan tentang dari mana kamu berasal. Ilmu adalah tentang siapa yang paling keras berjuang untuk mendapatkannya.”
Mahesa menatap guru itu dalam diam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa begitu dalam baginya.
“Kalau kamu butuh bantuan, saya di sini. Jangan ragu untuk bertanya.”
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak datang ke kota, Mahesa merasa tidak sendiri.
Ia sadar, selama ia mau bertahan dan berjuang, akan selalu ada orang yang percaya padanya.
Dan ia tidak akan mengecewakan mereka.
Cahaya yang Kembali
Waktu berlalu. Mahesa mulai terbiasa dengan kehidupan barunya di kota. Meskipun tidak mudah, ia tetap bertahan. Setiap ejekan yang diterimanya hanya membuatnya semakin bertekad untuk membuktikan bahwa ia pantas berada di sini.
Ia belajar lebih giat, datang lebih pagi ke sekolah, dan sering kali pulang paling akhir dari perpustakaan. Bahkan, di malam hari, saat anak-anak lain sudah tertidur nyenyak, Mahesa masih menyalakan lampu kecil di kamarnya untuk membaca buku dan mengerjakan latihan soal.
Pak Banyu menjadi salah satu orang yang paling berjasa dalam perjalanannya. Guru fisika itu tidak hanya mengajarinya soal pelajaran, tapi juga memberi Mahesa kepercayaan diri.
“Tidak ada yang instan dalam hidup ini, Mahesa. Semua butuh proses. Tapi percayalah, usaha tidak akan mengkhianati hasil,” kata Pak Banyu suatu sore di perpustakaan.
Mahesa mengingat kata-kata itu dalam hati. Ia tahu, jika ia ingin membuktikan dirinya, tidak ada jalan lain selain terus berjuang.
Akhir semester pun tiba. Ujian besar akan menentukan siapa siswa terbaik di sekolah.
Mahesa tahu ini adalah kesempatan besarnya. Jika ia bisa mendapatkan nilai tinggi, tidak akan ada lagi yang meragukan keberadaannya di sini.
Malam sebelum ujian, ia belajar lebih keras dari sebelumnya. Buku-buku berserakan di mejanya, catatan-catatan penuh coretan memenuhi kertas-kertasnya.
Ia mengingat kembali setiap pelajaran, mengulang semua materi, dan mencoba menenangkan diri.
“Aku pasti bisa,” gumamnya.
Keesokan harinya, ia duduk di bangkunya dengan tenang. Soal-soal di depannya tidak mudah, tapi ia sudah siap. Ia menjawab satu per satu dengan penuh konsentrasi, mengingat setiap rumus yang diajarkan Pak Banyu, setiap strategi yang diajarkan Bu Laras di desa.
Ketika bel berbunyi menandakan ujian berakhir, Mahesa menarik napas lega. Ia sudah melakukan yang terbaik.
Kini, ia hanya perlu menunggu hasilnya.
Beberapa hari kemudian, pengumuman hasil ujian ditempel di papan pengumuman sekolah.
Mahesa berjalan pelan menuju kerumunan siswa yang sudah berkumpul di sana.
Ia tidak berharap terlalu tinggi, tapi jauh di dalam hatinya, ada sedikit harapan.
Begitu ia berhasil menerobos kerumunan dan melihat daftar peringkat, matanya membelalak.
Nama Mahesa berada di peringkat pertama.
Ia mengedipkan mata beberapa kali, memastikan ia tidak salah lihat. Tapi tidak. Namanya benar-benar ada di sana.
Suara bisik-bisik mulai terdengar di sekitarnya.
“Serius? Anak desa itu peringkat satu?”
“Nggak mungkin! Dia cuma anak beasiswa!”
“Tapi ini nyata… dia mengalahkan semuanya.”
Mahesa tidak bisa menahan senyum kecil di wajahnya. Semua kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil.
Di kejauhan, ia melihat Pak Banyu tersenyum bangga.
“Aku tahu kamu bisa, Mahesa,” katanya ketika mereka bertemu di lorong sekolah.
Tidak lama setelah itu, Livia datang menghampirinya.
“Selamat, ya. Aku udah bilang, kamu pasti bisa.”
Mahesa tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa diterima di tempat ini.
Malam itu, Mahesa menulis surat untuk Bu Laras di desa.
“Bu, aku berhasil. Aku tidak akan mengecewakan semua yang sudah Ibu ajarkan padaku. Aku akan terus belajar, karena aku tahu ilmu itu tidak murah. Tapi aku juga tahu, ilmu adalah satu-satunya hal yang bisa mengubah hidup seseorang. Terima kasih, Bu. Berkat Ibu, aku bisa berdiri di sini hari ini.”
Ia melipat surat itu dengan hati-hati, lalu menatap ke luar jendela.
Di luar sana, kota masih terang dengan lampu-lampu gemerlapnya.
Mahesa tersenyum.
Perjalanannya belum selesai.
Masih banyak yang harus ia pelajari.
Masih banyak yang harus ia capai.
Tapi satu hal yang pasti: ia tidak akan berhenti berjuang.
Gila, perjuangan Mahesa keren banget, kan? Dari awal yang penuh rintangan sampai akhirnya berhasil nunjukin ke semua orang kalau ilmu itu gak cuma buat mereka yang lahir di keluarga kaya. Kadang, dunia memang gak adil, tapi kerja keras gak akan pernah sia-sia.
Jadi, kalau lagi ngerasa down gara-gara belajar atau perjuangan hidup yang berat, ingat kisah Mahesa! Jangan pernah nyerah, karena siapa tahu, kamu juga bisa jadi bukti kalau mimpi besar bisa dicapai sama siapa aja!


