Pelajaran Berharga dari Ayah: Cerita yang Bikin Hati Anget & Penuh Makna

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kalau orang tua itu kadang terlalu baik sama orang lain, sampai kita sendiri nggak ngerti kenapa mereka mau repot-repot?

Nah, ini cerita tentang seorang ayah yang bukan cuma ngajarin anaknya soal hidup, tapi juga nunjukin kalau kebaikan itu bukan sekadar omongan. Dijamin, cerita ini bakal bikin kamu merenung dan mungkin… sedikit terharu!

 

Pelajaran Berharga dari Ayah

Buku di Ujung Jalan

Sepeda tua itu berderit pelan di sepanjang gang sempit. Keranjang di bagian belakangnya penuh dengan buku-buku yang tertata rapi, sebagian sudah menguning di ujung-ujung halamannya. Adiwira mengayuhnya dengan tenang, sesekali melambat untuk menyapa orang-orang yang dilewatinya. Beberapa anak kecil berlari menyambutnya, wajah mereka penuh antusias.

“Paman Adiwira! Ada buku baru?” teriak seorang bocah dengan baju lusuh, matanya berbinar saat melihat tumpukan buku di keranjang.

Adiwira tersenyum, menurunkan sepeda, dan mulai membuka keranjang. “Ada, tapi hati-hati ya, tanganmu harus bersih. Buku juga butuh dirawat.”

Anak-anak itu tertawa, lalu satu per satu mulai membolak-balik halaman buku yang menarik perhatian mereka. Ada yang memeluk buku cerita bergambar, ada yang sibuk mengeja kata-kata di lembaran usang, sementara yang lain hanya menatap tak percaya bahwa mereka bisa menyentuh buku-buku itu secara langsung.

Di seberang jalan, Nayaka berdiri dengan tangan terlipat. Ia memperhatikan semua itu dari depan rumah mereka, perasaan campur aduk menggelayuti pikirannya. Setiap kali melihat ayahnya dengan sepeda dan buku-buku tua itu, entah kenapa ada rasa jengkel yang sulit dijelaskan.

Ketika anak-anak itu bubar, Nayaka menghampiri ayahnya yang tengah menyusun kembali buku-buku di keranjang. “Ayah, kenapa kamu masih melakukan ini?”

Adiwira menatap anaknya sebentar sebelum melanjutkan pekerjaannya. “Melakukan apa?”

“Menjual buku keliling, bersepeda ke mana-mana, sementara orang lain sudah beralih ke teknologi. Kamu tahu kan, sekarang orang lebih suka baca dari ponsel atau tablet? Kamu buang-buang waktu.”

Adiwira terkekeh pelan, lalu menutup keranjang dengan hati-hati. “Kalau semua orang berpikir seperti itu, maka tak akan ada lagi bau kertas yang bisa dihirup, tak ada halaman yang bisa dibolak-balik dengan jari, dan tak ada pengalaman membaca yang benar-benar dirasakan.”

Nayaka mendengus. “Tapi… mereka bisa mendapat ilmu yang sama dari internet.”

“Tidak semua orang bisa mengakses internet dengan mudah,” kata Adiwira sambil mengangkat sepeda ke sandaran. “Dan membaca buku itu bukan cuma soal mendapat ilmu, tapi juga soal merasakan. Buku itu seperti teman, Nak. Mereka hadir dalam bentuk nyata, menemani tanpa gangguan notifikasi, tanpa layar yang melelahkan mata.”

Nayaka terdiam, tapi rasa tidak puasnya masih ada. Ia melihat ke arah rumah-rumah sekitar. Beberapa orang tua yang duduk di teras tersenyum ramah ke arah ayahnya, seolah menghargai apa yang dia lakukan. Namun, bagi Nayaka, itu tetap tidak cukup.

“Teman-temanku selalu nanya soal pekerjaan ayahku,” ujar Nayaka akhirnya.

Adiwira menaikkan alis. “Terus?”

“Mereka heran, kenapa ayahku masih melakukan pekerjaan yang sudah nggak relevan. Bahkan ada yang bilang kalau aku harusnya malu.”

Adiwira menatap anaknya lama, lalu menepuk pundaknya dengan ringan. “Dan kamu? Apa kamu malu?”

Nayaka mengalihkan pandangannya, tidak langsung menjawab.

Sore itu, langit mulai berubah jingga saat mereka duduk di beranda rumah. Teh hangat mengepul dari cangkir yang dipegang Adiwira, sementara Nayaka hanya memainkan ujung baju kausnya, pikirannya masih dipenuhi rasa jengkel.

Saat itu, seorang lelaki tua muncul dari arah gang dengan langkah tertatih. Pak Raharja, pensiunan guru yang tinggal beberapa rumah dari mereka. Tangannya menggenggam tongkat kayu, sementara di pangkuannya ada sebuah buku lusuh.

“Ada yang bisa kubantu, Pak Raharja?” tanya Adiwira sambil berdiri dan membantu lelaki tua itu duduk.

Pak Raharja tersenyum, lalu menepuk buku yang dibawanya. “Aku sudah lama tidak bisa membaca sendiri, mataku semakin kabur. Tapi kamu tahu? Aku selalu menunggu sore karena kamu akan membacakannya untukku.”

Nayaka melirik ke arah ayahnya yang tersenyum hangat. Tanpa ragu, Adiwira mengambil buku itu dan mulai membacanya dengan suara pelan namun jelas. Pak Raharja memejamkan matanya, mendengarkan dengan penuh penghayatan.

Saat itu, untuk pertama kalinya, Nayaka melihat sesuatu yang berbeda dalam diri ayahnya. Ia bukan sekadar menjual buku keliling. Ia membawa lebih dari sekadar kata-kata dalam halaman-halaman kertas itu—ia membawa kehidupan bagi mereka yang masih ingin belajar, meskipun dunia terus berubah.

Namun, meski mulai melihat hal itu, Nayaka masih belum sepenuhnya mengerti. Yang ia tahu, ayahnya tetap saja pria bersahaja dengan sepeda tua dan tumpukan buku yang menurutnya tidak relevan lagi.

Dan itu, baginya, masih belum cukup untuk menghilangkan rasa jengkel yang ia rasakan.

 

Kisah yang Tak Terlihat

Malam itu, angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dari hujan sore tadi. Nayaka masih duduk di beranda rumah, memikirkan kejadian sore itu. Ia bisa melihat bagaimana Pak Raharja begitu menikmati suara ayahnya saat membacakan buku. Namun, baginya, itu tetap tidak mengubah apa pun.

Ia masih merasa apa yang dilakukan ayahnya tidak lebih dari pekerjaan sia-sia.

Di dalam rumah, Adiwira sedang merapikan buku-buku yang baru ia dapatkan dari pasar loak. Beberapa masih cukup layak, tapi ada yang sampulnya sudah koyak. Namun, itu tidak menjadi masalah baginya. Selama isi bukunya masih bisa dibaca, ia yakin masih ada orang yang akan menghargainya.

“Besok ada banyak buku baru, mungkin anak-anak di kampung sebelah suka,” gumamnya sambil menepuk-nepuk debu dari sampul sebuah novel tua.

Nayaka yang sejak tadi mengamati ayahnya akhirnya bersuara, “Kenapa kamu nggak cari kerjaan lain aja?”

Adiwira menoleh, tidak langsung menjawab. Ia meletakkan buku di tangannya, lalu duduk di kursi dekat meja kayu. “Kerjaan lain?”

“Iya. Maksudku, kerja yang lebih menghasilkan. Kamu udah capek muter-muter jualan buku, tapi apa sih yang kamu dapat?” Nayaka menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap ayahnya dengan penuh tanya.

Adiwira mengusap dagunya, lalu tersenyum kecil. “Kamu tahu, Nak… Aku pernah kerja di kantor dulu. Dapat gaji tetap, pakai kemeja rapi, pulang malam. Tapi apa kamu tahu kenapa aku berhenti?”

Nayaka mengangkat bahu.

“Karena aku merasa hampa,” kata Adiwira dengan nada ringan. “Aku lihat orang-orang sibuk mengejar target, bertahan dalam persaingan, tapi aku bertanya pada diriku sendiri… untuk apa semua itu kalau aku nggak merasa bahagia?”

Nayaka diam, tidak tahu harus menjawab apa.

Adiwira melanjutkan, “Lalu aku ingat, dulu kakekmu selalu membacakan cerita sebelum tidur. Itu momen yang paling aku rindukan. Aku sadar, membaca bukan sekadar memahami kata-kata, tapi juga berbagi perasaan. Dan aku ingin melakukan hal yang sama ke lebih banyak orang.”

“Tapi kamu nggak capek?” tanya Nayaka, kali ini suaranya sedikit lebih pelan.

Adiwira tertawa kecil. “Capek, tapi hati tenang. Aku bisa melihat anak-anak kecil belajar membaca, orang tua yang matanya berbinar saat menemukan buku yang mereka cari, atau orang-orang seperti Pak Raharja yang masih ingin merasakan cerita meski penglihatannya mulai memudar.”

Nayaka terdiam cukup lama. Ia memikirkan kata-kata ayahnya, mencoba memahami sudut pandangnya. Tapi bagi anak seusianya yang hidup di era modern, itu semua terdengar seperti sesuatu yang terlalu… kuno.

Keesokan harinya, saat matahari mulai tinggi, Adiwira kembali mengayuh sepedanya, membawa tumpukan buku di keranjang belakang. Namun kali ini, Nayaka memutuskan untuk ikut.

Ia ingin melihat langsung, mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan ayahnya selama ini.

Perjalanan pertama mereka adalah ke sebuah lapangan kecil di pinggir kampung. Di sana, sekelompok anak sudah menunggu, duduk di atas tikar lusuh. Saat melihat Adiwira datang, mereka berlari menghampiri.

“Paman Adiwira! Ada cerita baru?” teriak salah satu anak dengan penuh semangat.

Adiwira menepikan sepedanya, lalu mulai menata buku di atas tikar. “Ada banyak! Tapi sebelum itu, siapa yang bisa menceritakan kembali buku yang kemarin?”

Seorang anak perempuan dengan rambut kepang mengangkat tangan. Dengan penuh percaya diri, ia mulai menceritakan kembali kisah yang pernah didengar dari Adiwira. Anak-anak lain menyimak dengan serius, sesekali tertawa atau bersorak saat cerita mencapai bagian yang seru.

Nayaka berdiri agak jauh, memperhatikan semua itu. Ia tidak menyangka bahwa anak-anak ini benar-benar menikmati kegiatan sederhana seperti ini. Tidak ada gadget, tidak ada layar. Hanya buku dan cerita yang mengalir dari satu mulut ke mulut lainnya.

Setelah sesi bercerita selesai, beberapa anak memilih buku yang ingin mereka baca. Ada yang membolak-balik halaman dengan penuh semangat, ada yang bertanya kata-kata yang sulit mereka pahami. Dan yang paling mengejutkan bagi Nayaka, anak-anak itu terlihat begitu menghargai buku-buku tersebut.

Saat perjalanan pulang, Nayaka akhirnya bertanya, “Kamu ngelakuin ini tiap hari?”

Adiwira mengangguk. “Hampir setiap hari, kalau cuaca memungkinkan.”

“Kamu nggak pernah bosan?”

“Bosan?” Adiwira tertawa kecil. “Kalau kamu lihat wajah mereka saat menemukan cerita yang mereka suka, kamu nggak akan pernah bisa bosan.”

Nayaka tidak bisa menyangkal. Ia memang melihatnya. Tapi apakah itu cukup untuk mengubah cara pandangnya?

Entahlah. Namun, satu hal yang pasti, untuk pertama kalinya, ia mulai melihat bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar menjual buku di pinggir jalan.

Sesuatu yang… mungkin selama ini ia abaikan.

 

Hujan di Malam Itu

Langit sore mulai kelabu ketika Adiwira dan Nayaka tiba di rumah. Udara lembap, pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Nayaka masih memikirkan apa yang ia lihat tadi—anak-anak yang begitu menikmati buku, bagaimana mereka menghargai setiap halaman yang mereka sentuh, dan ekspresi puas di wajah ayahnya.

Tapi meskipun hatinya mulai terbuka, ada sesuatu yang masih mengganjal. Ia belum bisa memahami bagaimana ayahnya begitu rela mengorbankan tenaga dan waktu untuk sesuatu yang tampaknya tidak memberikan keuntungan besar.

“Aku ke dalam dulu,” kata Nayaka akhirnya, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu.

Adiwira hanya tersenyum tipis, lalu mulai membersihkan sepeda dan merapikan buku-buku yang tersisa. Ia tahu, perubahan tidak datang dalam sehari.

Malamnya, hujan turun dengan deras. Petir menyambar sesekali, menerangi langit gelap dengan kilatan putih menyilaukan. Angin bertiup kencang, membuat ranting-ranting pohon bergoyang liar.

Nayaka sedang membaca buku di kamarnya ketika terdengar ketukan keras di pintu depan. Suara itu tergesa-gesa, hampir seperti teriakan.

“Pak Adiwira! Tolong! Ada anak kecil kedinginan di luar!”

Nayaka buru-buru keluar kamar dan melihat ayahnya sudah membuka pintu. Seorang pria dengan jas hujan basah berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan.

“Di mana?” tanya Adiwira segera.

“Di gubuk dekat pasar, Pak! Saya lewat sana tadi dan melihat dia sendirian, gemetar, pakaiannya basah semua. Saya coba ajak dia ke rumah, tapi dia malah ketakutan.”

Tanpa ragu, Adiwira mengambil mantel tebal dari gantungan dan bergegas mengambil payung.

“Ayah, kamu mau ke luar sekarang?” tanya Nayaka, terkejut.

“Ada anak yang butuh bantuan, Nak,” jawab Adiwira singkat sambil mengenakan sandalnya.

Hujan masih mengguyur deras ketika mereka berlari menuju pasar. Jalanan licin dan beberapa genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut gang. Napas mereka memburu, tapi Adiwira terus berjalan tanpa ragu.

Sesampainya di gubuk tua yang dimaksud, mereka menemukan seorang anak kecil, mungkin berusia delapan tahun, meringkuk di sudut, tubuhnya menggigil hebat. Bajunya basah kuyup, rambutnya lepek menempel di wajahnya yang pucat. Matanya besar dan ketakutan, seperti hewan liar yang tersudut.

Adiwira berjongkok, mengulurkan tangan dengan lembut. “Nak, namamu siapa?”

Anak itu tidak menjawab, hanya menatapnya dengan waspada.

“Kami tidak akan menyakitimu,” lanjut Adiwira dengan suara hangat. “Kamu pasti kedinginan, ayo ikut kami ke rumah. Nanti kita bisa cari pakaian kering dan makan sesuatu yang hangat.”

Anak itu tetap diam. Hanya giginya yang beradu karena kedinginan.

Adiwira melepas mantelnya dan dengan hati-hati menyelimuti tubuh kecil itu. “Baju ini tebal, pasti hangat. Aku juga punya buku cerita, kamu suka membaca?”

Seketika ada sedikit perubahan di wajah anak itu. Matanya yang tadi penuh ketakutan kini menunjukkan sedikit rasa ingin tahu.

“Aku punya buku dengan gambar-gambar menarik,” lanjut Adiwira. “Kita bisa lihat bersama nanti.”

Perlahan, anak itu mengangguk.

Dengan hati-hati, Adiwira menggendongnya, sementara Nayaka berjalan di sampingnya, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Sesampainya di rumah, Nayaka membantu menyiapkan pakaian kering dan segelas susu hangat. Anak itu duduk di dekat perapian kecil, masih menggigil, tapi wajahnya tidak lagi setakut tadi. Setelah beberapa menit, ia akhirnya berbicara.

“Namaku Raka,” katanya lirih.

Adiwira tersenyum. “Raka, kamu dari mana?”

Anak itu menunduk, mencengkeram gelas susunya. “Aku… aku lari dari rumah.”

“Kenapa?” tanya Nayaka, kali ini tanpa nada menghakimi.

Raka menggigit bibirnya. “Ayah sering marah. Ibuku sudah nggak ada. Aku takut kalau aku tetap di rumah…”

Kata-katanya menggantung di udara. Nayaka bisa merasakan ketakutan yang tersembunyi di balik suaranya.

Adiwira tidak langsung bertanya lebih jauh. Ia hanya mengambil sebuah buku dari rak dan meletakkannya di pangkuan Raka. “Kalau begitu, untuk malam ini, anggap rumah ini tempatmu beristirahat. Besok kita pikirkan apa yang bisa kita lakukan, oke?”

Raka menatap buku itu, lalu menatap Adiwira. Untuk pertama kalinya sejak mereka menemukannya, anak itu tersenyum kecil.

Malam itu, Nayaka duduk di kamarnya, merenung. Ia melihat bagaimana ayahnya membantu Raka tanpa ragu, bagaimana ia tidak hanya memberikan bantuan, tapi juga rasa aman.

Dan yang lebih aneh lagi, ia mulai merasa bahwa selama ini ia melihat ayahnya dengan cara yang salah.

Mungkin… pekerjaan ayahnya bukan hanya tentang buku.

Mungkin, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar menjual dan membaca.

Dan malam ini, untuk pertama kalinya, ia mulai ingin mencari tahu lebih jauh.

 

Warisan yang Tak Terlihat

Pagi datang dengan udara segar dan sisa embun yang menggantung di dedaunan. Hujan deras semalam telah berlalu, meninggalkan tanah yang masih basah dan aroma khas pagi hari.

Di ruang tengah, Raka masih terbungkus selimut tebal, tidur dengan nyenyak di atas sofa. Napasnya sudah lebih tenang, tidak lagi menggigil seperti semalam.

Nayaka berdiri di ambang pintu, memperhatikan anak itu. Ada perasaan aneh di dadanya—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Raka, seorang anak kecil yang harus melarikan diri dari rumahnya sendiri.

Di dapur, Adiwira tengah menyeduh teh. “Kamu tidur nyenyak tadi malam?” tanyanya tanpa menoleh.

Nayaka berjalan masuk, duduk di kursi. “Iya… Aku masih kepikiran anak itu.”

Adiwira tersenyum kecil. “Aku juga.”

“Kita mau gimana?”

Adiwira mengaduk tehnya perlahan. “Kita nggak bisa mengambil keputusan untuknya. Tapi kita bisa jadi tempat yang aman sampai dia siap menghadapi apa pun yang menunggunya di luar sana.”

Nayaka mengangguk pelan. Dulu, ia mungkin akan mempertanyakan kenapa ayahnya harus repot-repot membantu orang yang bahkan tidak mereka kenal. Tapi setelah melihat bagaimana ayahnya memperlakukan Raka, ia mulai memahami.

Ayahnya tidak hanya berbagi buku. Ia berbagi perhatian.

Siang itu, Raka akhirnya mulai terbuka. Ia bercerita lebih banyak tentang ayahnya yang pemarah, tentang bagaimana ia sering merasa tidak diinginkan di rumahnya sendiri.

“Ayahku selalu bilang aku beban,” katanya pelan, menunduk. “Aku cuma ingin pergi dari sana…”

Adiwira mendengar tanpa menyela. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Aku tahu rasanya nggak diterima. Rasanya seperti kamu sendirian di dunia ini, kan?”

Raka mengangguk kecil.

“Tapi kamu nggak sendirian, Raka. Dunia ini lebih besar dari yang kamu pikirkan. Kadang, kita cuma perlu mencari tempat yang tepat untuk kita,” lanjut Adiwira.

“Kalau tempat itu nggak ada?” Raka bertanya, suaranya nyaris seperti bisikan.

Adiwira tersenyum. “Kalau tempat itu nggak ada, kita buat sendiri.”

Raka menatapnya, lalu tanpa diduga, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis, tapi akhirnya air mata itu jatuh juga.

Nayaka, yang sejak tadi mendengar, merasa dadanya sesak. Ia tidak pernah mengira bahwa satu malam bisa mengubah cara pandangnya tentang banyak hal.

Beberapa hari kemudian, setelah berbicara dengan pihak berwenang, mereka menemukan cara untuk membantu Raka. Seorang kerabat jauhnya yang tinggal di kota lain bersedia merawatnya.

Hari itu, Raka berdiri di depan rumah dengan tas kecil berisi beberapa pakaian dan buku yang Adiwira berikan padanya.

“Kamu yakin nggak mau tinggal lebih lama?” tanya Nayaka.

Raka mengangguk. “Aku takut, tapi aku mau coba. Kata Paman Adiwira, kalau tempatku nggak ada, aku harus buat sendiri.”

Adiwira tertawa pelan. “Bagus. Ingat, membaca bukan cuma tentang kata-kata di halaman, tapi juga tentang belajar memahami dunia ini.”

Raka tersenyum. “Aku bakal ingat itu.”

Saat mobil yang menjemputnya pergi, Nayaka berdiri di samping ayahnya, memperhatikan kepergian anak itu.

“Kamu memang selalu begini ya?” tanya Nayaka tiba-tiba.

Adiwira menoleh. “Begini gimana?”

“Peduli sama orang, meskipun mereka bukan siapa-siapa buat kamu.”

Adiwira menghela napas, lalu menatap langit yang mulai cerah. “Dulu, aku berpikir dunia ini bisa berubah lewat hal-hal besar. Tapi semakin ke sini, aku sadar… perubahan datang dari hal kecil. Dari satu buku. Dari satu cerita. Dari satu orang yang diberi kesempatan kedua.”

Nayaka menatap ayahnya dalam-dalam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat sosok ayahnya bukan sebagai orang yang membuang waktu dengan menjual buku, tapi sebagai seseorang yang benar-benar mengubah hidup orang lain.

Dan entah kenapa, ia merasa bangga.

Sore itu, sebelum pulang, Nayaka mengambil satu buku dari rak ayahnya.

Adiwira menatapnya dengan alis terangkat. “Kamu mau baca?”

Nayaka hanya tersenyum kecil. “Mungkin aku mau coba memahami dunia ini dengan cara yang berbeda.”

Adiwira tersenyum bangga. “Bagus. Dunia ini luas, Nak. Selamat membaca.”

 

Jadi, setelah baca cerita ini, masih mikir kalau hal kecil nggak bisa ngubah dunia? Kadang, kita nggak sadar kalau satu tindakan kecil bisa nyelametin seseorang dari hal yang lebih besar. Ayah dalam cerita ini ngajarin kita kalau kebaikan itu nggak harus ditunggu—kita yang harus mulai duluan. So, kapan terakhir kali kamu berbuat baik tanpa mikirin imbalan?

Leave a Reply