MOS SMA Paling Seru: Dari Game Gila sampai Ujian Persahabatan

Posted on

MOS SMA itu biasanya antara dua pilihan: seru atau bikin capek. Tapi di SMA Anindya Jaya, MOS berubah jadi petualangan yang nggak bakal dilupain!

Dari tantangan absurd, game rahasia, sampai ujian yang bikin baper—semuanya ada di sini. Dan yang paling gokil? Ini bukan cuma soal kenalan sama sekolah, tapi juga nentuin siapa teman beneran buat tiga tahun ke depan. Penasaran? Langsung aja baca sampai habis!

 

MOS SMA Paling Seru

Gerbang Awal

Hari pertama sekolah selalu punya aroma yang khas—perpaduan antara semangat baru, kecemasan, dan harapan. Pagi itu, gerbang SMA Anindya Jaya dipenuhi wajah-wajah baru, sebagian tampak bersemangat, sebagian lagi terlihat canggung, bahkan ada yang tampak seperti ingin pulang saja.

Kumpulan siswa baru bergerombol di depan pintu gerbang. Ada yang sibuk membenahi seragam, ada yang memeluk tas erat-erat, dan ada pula yang dengan gugup melirik ke kanan-kiri, mencari seseorang yang dikenal. Tapi yang pasti, semua terkejut saat mendengar suara lantang membahana dari mikrofon.

“SELAMAT PAGI, PEJUANG ANINDYA JAYA!”

Suara itu berasal dari seorang pemuda tinggi dengan jas merah marun, berdiri di atas podium kecil dekat gerbang. Dia adalah Raynald Aditya, Ketua OSIS yang terkenal karismatik.

“Lho, kok kayak di acara-acara motivasi gitu sih?” bisik seorang siswi kepada temannya.

“Makanya! Baru masuk sekolah, udah kayak tentara yang mau diklat,” jawab temannya, terkekeh pelan.

Raynald melanjutkan, “Mulai sekarang, kalian bukan lagi anak SMP yang bisa sembarangan main ke kantin pas pelajaran atau pura-pura sakit biar nggak ikut olahraga. Kalian adalah siswa SMA Anindya Jaya—sekolah yang bukan hanya mencetak orang pintar, tapi juga orang hebat! Nah, sebelum MOS dimulai, ada satu syarat wajib. Kalian harus masuk lewat gerbang dengan cara yang… spesial.”

Para siswa baru saling pandang. Apa maksudnya?

Tiba-tiba, beberapa kakak OSIS muncul membawa beberapa gulung karpet panjang berwarna-warni. Mereka membentangkannya di gerbang masuk, tapi alih-alih karpet biasa, permukaannya penuh dengan tulisan-tulisan aneh seperti: “Lewat sini sambil lompat tiga kali!”atau“Masuk sambil gaya robot!”

Salah seorang siswa baru, Damar, menggaruk kepalanya. “Serius nih?”

“Serius!” sahut seorang kakak OSIS dengan senyum licik.

Mau tak mau, mereka mengikuti aturan. Ada yang berjalan sambil lompat-lompat, ada yang bergerak seperti robot kaku, bahkan ada yang harus berjalan sambil memegang hidung sendiri. Suasana yang tadinya kaku dan penuh kecanggungan berubah menjadi gelak tawa dan keriuhan.

“Ya ampun, ini sih bukan masuk sekolah, tapi masuk taman hiburan!” ujar seorang siswa bernama Azka sambil tertawa.

Setelah melewati ‘gerbang spesial’, para siswa baru dikumpulkan di lapangan utama. Sebuah panggung megah berdiri di sana, dihiasi lampu-lampu kecil dan bendera warna-warni yang berkibar tertiup angin. Di atas panggung, selain Raynald, ada beberapa guru dan staf sekolah yang duduk rapi di kursi.

Saat semua sudah berkumpul, seorang wanita dengan kemeja batik hijau berdiri di podium. Wajahnya ramah, tapi sorot matanya tegas.

“Selamat datang di SMA Anindya Jaya,” ucapnya. “Saya Ibu Dewi, Wakil Kepala Sekolah. Kami di sini bukan hanya untuk mendidik kalian, tapi juga memastikan kalian tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, dan punya rasa kebersamaan yang tinggi. MOS bukan hanya soal perkenalan sekolah, tapi juga awal dari perjalanan kalian di sini. Jadi, ikuti semuanya dengan hati yang terbuka, ya.”

Para siswa baru mengangguk, meski sebagian masih merasa sedikit tegang.

Setelah Ibu Dewi turun dari podium, Raynald kembali mengambil alih mikrofon.

“Oke, sekarang waktunya kalian kenalan dengan keluarga baru kalian!” serunya. “Kalian akan dibagi ke dalam kelompok. Setiap kelompok punya nama sendiri, jadi jangan sampai lupa, ya!”

Para kakak OSIS mulai membagikan kartu nama kelompok. Nama-nama kelompoknya terdengar unik dan keren—ada “Phoenix Squad,””Vortex Crew,”dan“Nebula Clan.” Para siswa baru mulai mengenal teman-teman satu kelompok mereka, beberapa ada yang langsung akrab, sementara yang lain masih canggung.

Setelah pembagian kelompok, mereka diberi waktu untuk saling mengenal lebih jauh. Namun, cara perkenalan kali ini berbeda. Alih-alih menyebut nama dan asal sekolah, mereka harus memperkenalkan diri dengan cara kreatif: bisa dengan menyanyi, berpuisi, atau bahkan bermain peran.

Seorang siswi bernama Kayra menghela napas panjang sebelum maju. “Duh, aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa baca puisi. Aku ngapain, ya?” gumamnya.

“Ngedance aja!” celetuk salah satu teman kelompoknya.

“Aku juga nggak bisa ngedance!”

Akhirnya, dengan ragu-ragu, Kayra maju dan dengan suara kecil berkata, “Aku Kayra. Aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa baca puisi, nggak bisa ngedance, tapi aku bisa bikin kalian ketawa!” Lalu, ia mengeluarkan ekspresi wajah paling konyol yang bisa dibuatnya.

Seluruh kelompoknya langsung tertawa. “Ya ampun, ini sih komedi!”

Perlahan, suasana yang tadinya masih kaku mulai mencair. Mereka mulai tertawa bersama, mengobrol, dan bahkan saling memberi semangat untuk giliran perkenalan berikutnya.

Matahari mulai naik tinggi, menandakan waktu makan siang sudah dekat. Namun sebelum itu, Raynald kembali berbicara melalui mikrofon.

“Perkenalan sudah selesai, tapi perjalanan kalian baru dimulai! Setelah ini, kalian akan mengikuti Exploration Game! Bersiaplah untuk menjelajahi sekolah ini dengan cara yang nggak biasa!”

Seruan penuh antusias langsung menggema di lapangan. MOS baru saja dimulai, dan hari pertama di SMA Anindya Jaya sudah terasa begitu seru dan tak terlupakan.

 

Perkenalan di Panggung

Setelah sesi perkenalan kelompok yang penuh gelak tawa, suasana di lapangan kembali riuh saat Raynald mengumumkan sesi berikutnya.

“Oke, para pejuang Anindya Jaya! Sekarang saatnya Exploration Game!” serunya dari atas panggung. “Tugas kalian sederhana—kenali sekolah ini, kenali lingkungan kalian, dan yang paling penting… kenali diri kalian sendiri!”

Beberapa siswa baru saling pandang, sementara yang lain terlihat antusias. Exploration Game? Terdengar menarik, tapi juga mencurigakan.

“Jangan khawatir, game ini nggak sesulit ujian matematika,” lanjut Raynald sambil tertawa kecil. “Setiap kelompok akan mendapatkan peta sekolah dan kartu misi. Kalian harus mencari pos-pos tersembunyi yang ada di seluruh area sekolah, lalu menyelesaikan tantangan yang diberikan. Tapi ingat, ini bukan lomba cepat-cepatan. Fokus utama game ini adalah kerja sama dan kreativitas!”

Seorang kakak OSIS kemudian membagikan peta dan kartu misi kepada masing-masing kelompok. Damar dan teman-temannya dari Phoenix Squad menatap kertas di tangan mereka dengan penuh penasaran.

MISI 1: Temukan Kak Bima, pembina ekskul basket, dan mintalah tanda tangannya. Tapi awas! Kak Bima tidak akan memberikan tanda tangan dengan mudah.

MISI 2: Kunjungi perpustakaan dan cari sebuah buku yang di halaman 37-nya ada stiker berwarna merah. Gunakan petunjuk dalam buku itu untuk menemukan lokasi berikutnya.

MISI 3: Buat yel-yel unik kelompok kalian dan tampilkan di depan pos teater!

Tanpa menunggu lama, setiap kelompok mulai bergegas ke berbagai penjuru sekolah.

Lapangan basket SMA Anindya Jaya sudah ramai ketika kelompok Phoenix Squad tiba. Namun, alih-alih langsung bertemu dengan Kak Bima, mereka malah disambut oleh seorang kakak OSIS berbadan tegap dengan kaos olahraga berwarna hitam.

“Kalian cari Kak Bima?” tanyanya dengan senyum misterius.

“Iya, Kak,” jawab Damar. “Kata kartu misi, kami harus dapet tanda tangan beliau.”

Kakak OSIS itu tertawa kecil. “Nggak semudah itu, Ferguso. Kak Bima lagi sibuk latihan sama anak-anak ekskul basket, jadi kalau kalian mau tanda tangan, kalian harus nunjukin kemampuan dulu.”

Mereka saling pandang. “Kemampuan… gimana maksudnya?” tanya Kayra, mulai curiga.

“Kalian harus berhasil mencetak satu poin ke ring!”

Beberapa dari mereka langsung mengeluh. “Wah, aku nggak jago main basket!”

Tapi mereka tak punya pilihan lain. Satu per satu mencoba melempar bola ke ring, beberapa meleset, beberapa hampir masuk. Sampai akhirnya, seorang anak bernama Bima (bukan Kak Bima) berhasil memasukkan bola dengan lay-up sederhana.

“Kenaaa!” teriaknya sambil mengangkat tangan.

Kakak OSIS mengangguk puas. “Oke, kalian layak ketemu Kak Bima!”

Mereka pun diarahkan ke sudut lapangan, di mana seorang pria tinggi dengan kaus tim basket tengah duduk sambil minum.

“Kalau kalian udah berhasil, berarti kalian layak dapet ini,” katanya sambil menandatangani kartu mereka. “Selamat, kalian lolos tantangan pertama!”

Mereka bersorak sebelum segera bergegas ke lokasi berikutnya.

Di dalam perpustakaan, suasana langsung berubah drastis. Dari lapangan basket yang penuh suara dan tawa, kini mereka memasuki ruangan yang tenang, hanya diisi suara lembaran buku yang dibalik dan langkah kaki yang berbisik.

“Jadi, kita harus cari buku yang ada stiker merah di halaman 37?” gumam Azka, membaca ulang kartu misinya.

“Pertanyaannya, bukunya yang mana?” sahut Kayra sambil melirik rak-rak tinggi yang penuh dengan buku dari berbagai genre.

Mereka mulai berpencar, membuka buku satu per satu dengan hati-hati. Beberapa menit berlalu tanpa hasil, sampai seorang anggota kelompok mereka, Naya, berseru pelan.

“Eh, aku nemu!”

Mereka segera mengerumuni Naya, yang sedang membuka sebuah buku berjudul “Sejarah dan Misteri Kota Lama.” Di halaman 37, sebuah stiker merah kecil tertempel di pojokan. Di bawahnya, ada tulisan tangan kecil:

“Jangan hanya melihat, tapi cobalah membaca.”

Mereka menatap satu sama lain.

“Jadi… kita harus baca buku ini?” tanya Damar.

“Kayaknya sih iya,” jawab Azka sambil mulai membaca isi halaman itu dengan suara pelan.

Setelah beberapa paragraf, mereka menemukan kalimat yang terasa janggal:

“Sebuah panggung selalu menjadi saksi banyak cerita. Mungkin petunjuk berikutnya ada di sana.”

“Panggung?” ulang Kayra. “Berarti… pos teater?”

Mereka segera melesat keluar dari perpustakaan, bergegas menuju aula tempat ekskul teater berada.

Begitu sampai di pos teater, mereka disambut oleh seorang kakak OSIS yang mengenakan baju serba hitam, khas pemain teater.

“Selamat datang di panggung! Kalau kalian ada di sini, berarti waktunya tampil!” katanya sambil tersenyum.

“Ha? Tampil apa?” tanya Azka.

“Yel-yel kelompok kalian!” jawab kakak OSIS itu. “Setiap kelompok harus menampilkan yel-yel yang kreatif, penuh semangat, dan tentunya unik! Nanti, aku yang akan menilai apakah kalian layak mendapatkan poin terakhir!”

Mereka sempat panik karena belum sempat membuat yel-yel. Namun, dengan cepat mereka berkumpul, mendiskusikan ide, dan menyusun beberapa lirik sederhana.

Akhirnya, mereka berdiri di atas panggung kecil dan mulai meneriakkan yel-yel mereka dengan penuh semangat:

“Phoenix Squad, terbang tinggi!
Jiwa kami membara di sini!
SMA Anindya, rumah kita!
Kami siap jadi juara!”

Suara mereka menggema di aula, dan ketika selesai, seluruh kakak OSIS yang menonton langsung bertepuk tangan.

“Bagus! Kreatif dan semangatnya luar biasa,” ujar kakak OSIS teater sambil memberikan stempel terakhir di kartu mereka.

Mereka bersorak, merasa bangga telah menyelesaikan semua tantangan.

Saat sore tiba, seluruh siswa baru kembali berkumpul di lapangan. Wajah mereka lelah, tapi penuh kepuasan. Exploration Game telah selesai, dan dengan itu, mereka mulai merasa lebih akrab dengan lingkungan sekolah dan teman-teman baru mereka.

Raynald kembali mengambil mikrofon.

“Kalian semua luar biasa! Kalian telah melewati tantangan pertama di SMA ini. Tapi jangan santai dulu, karena besok ada sesuatu yang lebih seru. Bersiaplah untuk Misi Rahasia!

Sontak, para siswa baru berseru penuh semangat. MOS masih panjang, dan petualangan mereka baru saja dimulai.

 

Misi Rahasia

Keesokan paginya, suasana SMA Anindya Jaya terasa berbeda. Para siswa baru berkumpul di lapangan dengan wajah penuh tanda tanya. Tidak ada peta, tidak ada kartu misi seperti kemarin. Hanya ada para kakak OSIS yang berdiri dengan ekspresi misterius.

Raynald kembali naik ke atas podium, mikrofon di tangan.

“Selamat pagi, para pejuang Anindya Jaya!” suaranya menggema, penuh semangat seperti biasa. “Hari ini, kalian akan menghadapi sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang akan menguji nyali, kecerdasan, dan kerja sama kalian.”

Beberapa siswa saling pandang. Apa lagi kali ini?

“Selamat datang di Misi Rahasia!” lanjut Raynald. “Game ini tidak seperti kemarin. Kalian tidak akan diberikan petunjuk di awal. Tapi satu hal yang pasti… hanya kelompok yang bisa berpikir cepat dan bekerja sama yang akan menyelesaikannya dengan sukses.”

Sontak, suasana berubah menjadi riuh.

“Ini maksudnya gimana, sih?” bisik Damar pada Azka.

“Nggak tahu, tapi kayaknya bakal seru!”

Raynald mengangkat tangannya, meminta semua diam.

“Setiap kelompok akan dipanggil satu per satu untuk menerima misi mereka. Tapi ingat, setelah kalian mendapatkan misi, kalian nggak boleh membocorkannya ke kelompok lain! Kalau ketahuan, kelompok kalian bakal langsung didiskualifikasi.”

Satu per satu, kelompok mulai dipanggil ke ruangan OSIS. Saat giliran Phoenix Squad tiba, mereka memasuki ruang OSIS dengan hati-hati. Di dalam, seorang kakak OSIS bernama Keysa sudah menunggu dengan sebuah amplop cokelat.

“Kalian siap?” tanyanya, tersenyum penuh arti.

Mereka mengangguk.

Keysa menyerahkan amplop itu kepada Damar. Dengan hati-hati, ia membukanya dan membaca isinya dengan suara pelan:

“Dalam sekolah ini, ada sebuah ruangan yang tidak biasa. Ruangan ini menyimpan sesuatu yang hilang. Temukan ruangan itu, cari benda yang dimaksud, dan bawa kembali ke OSIS. Tapi ingat, ruangan ini hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memperhatikan.”

Semuanya terdiam.

“Apa maksudnya, ya?” tanya Kayra, mengernyit.

“Ruangan yang tidak biasa… berarti bukan kelas atau ruang guru,” sahut Azka.

Naya mengangguk. “Mungkin lab? Atau gudang?”

“Kata petunjuknya, kita harus memperhatikan sesuatu,” gumam Damar. “Mungkin ada tanda-tanda di sekolah yang bisa mengarah ke sana?”

Mereka pun keluar dari ruang OSIS dan mulai menyusuri lorong-lorong sekolah.

Sekolah yang kemarin terasa biasa saja kini tampak berbeda. Setiap sudut yang sebelumnya diabaikan kini diperhatikan dengan seksama.

Saat melewati tangga menuju lantai dua, Azka tiba-tiba berhenti. “Tunggu, lihat itu!”

Mereka menoleh dan melihat sebuah tanda kecil di dinding. Tulisan kecil itu berbunyi:

“Kau hanya bisa menemukan jika kau mencari dengan cara berbeda.”

“Apa maksudnya?” tanya Naya.

Damar berpikir sejenak. “Mungkin… kita harus melihat dari sudut pandang lain?”

Tanpa berpikir panjang, mereka mulai memperhatikan lingkungan sekitar dari berbagai sudut. Hingga akhirnya, Kayra yang berjalan di belakang tiba-tiba berbisik, “Aku nemu sesuatu.”

Mereka menghampirinya. Kayra menunjuk ke bagian bawah tangga, di mana ada sebuah pintu kecil yang hampir tidak terlihat karena tertutup bayangan.

“Pintu apa ini?” bisik Azka.

Tanpa ragu, mereka membuka pintu tersebut.

Begitu pintu dibuka, mereka terkejut. Di baliknya bukan sekadar gudang biasa, melainkan ruangan kecil yang dipenuhi barang-barang lama. Buku-buku tua bertumpuk di rak, beberapa piala berdebu berjajar di lemari kaca, dan ada sebuah papan tulis dengan coretan lama yang hampir tidak terbaca.

Di tengah ruangan, ada sebuah kotak kayu kecil dengan kertas bertulisan:

“Yang hilang akan kembali ditemukan.”

Damar membuka kotaknya dan menemukan sebuah benda kecil di dalamnya—sebuah medali emas tua dengan tulisan “Ekskul Pertama SMA Anindya Jaya – 1985”.

“Ini dia yang kita cari!” serunya.

Mereka segera membawa medali itu kembali ke OSIS.

Saat mereka menyerahkan medali itu, Keysa tersenyum. “Selamat. Kalian adalah kelompok pertama yang menyelesaikan misi ini.”

Mereka bersorak, merasa bangga.

Raynald kemudian mengumumkan bahwa Misi Rahasia telah selesai, dan besok adalah hari terakhir MOS. Tapi sebelum itu, ada satu tantangan terakhir.

“Besok, kalian akan menghadapi Ujian Persahabatan,” katanya. “Dan percayalah… itu akan menjadi ujian yang paling sulit.”

Suasana langsung menjadi penuh tanda tanya.

Apa yang akan terjadi besok?

Mereka hanya bisa menunggu.

 

Yang Tersulit dari Semua

Hari terakhir MOS akhirnya tiba. Setelah dua hari penuh dengan tantangan seru, para siswa baru kini berdiri di lapangan sekolah dengan perasaan campur aduk. Ada yang bersemangat, ada yang penasaran, dan ada juga yang sedikit cemas.

Damar dan teman-temannya dari Phoenix Squad berdiri di barisan mereka, menunggu instruksi dari para kakak OSIS. Setelah keberhasilan mereka dalam Misi Rahasia, mereka semakin percaya diri, tapi kata-kata Raynald kemarin terus terngiang di kepala:

“Besok, kalian akan menghadapi Ujian Persahabatan. Dan percayalah… itu akan menjadi ujian yang paling sulit.”

Apa maksudnya?

Raynald kembali naik ke atas panggung, kali ini ditemani oleh Keysa dan beberapa kakak OSIS lainnya.

“Oke, para pejuang SMA Anindya Jaya!” serunya. “Hari ini adalah hari terakhir MOS kalian. Setelah ini, kalian resmi menjadi bagian dari sekolah ini. Tapi sebelum itu… kalian harus melewati satu tantangan terakhir.”

Beberapa siswa mulai berbisik-bisik.

Raynald tersenyum lebar. “Tantangan ini sederhana. Tapi juga sulit. Karena ini bukan tentang kecepatan atau kecerdasan. Ini tentang kalian sebagai teman.”

Semua terdiam, menunggu kelanjutannya.

“Di depan kalian ada kursi-kursi yang sudah disusun. Kalian akan duduk berhadapan dengan salah satu anggota kelompok kalian. Kalian akan diberi waktu lima menit untuk berbicara—tentang apa saja. Dan setelah itu…” Raynald berhenti sejenak, membuat suasana semakin tegang. “Kalian harus memutuskan… apakah kalian ingin tetap menjadi teman setelah MOS ini berakhir, atau tidak.”

Sontak, semua heboh.

“HAH?!”

“Serius, Kak?”

“Ini bercanda kan?”

Raynald hanya tersenyum. “Lima menit. Gunakan waktu itu dengan baik.”

Damar duduk berhadapan dengan Azka. Sementara di sisi lain, Kayra berhadapan dengan Naya. Suasana yang awalnya ramai kini menjadi sedikit canggung.

Jujur saja, setelah semua yang mereka lalui, Damar tidak menyangka akan diberi pertanyaan seperti ini. Mereka sudah bekerja sama, tertawa bersama, dan sekarang… mereka harus mempertanyakan apakah mereka benar-benar ingin berteman di luar MOS?

“Jadi… kita mulai dari mana?” tanya Azka, menggaruk kepalanya.

Damar berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. “Gimana kalau kita mulai dari… kesan pertama? Jujur aja, pas pertama kali lihat aku, kamu kira aku orangnya kayak gimana?”

Azka tertawa pelan. “Sumpah? Oke, aku kira kamu itu pendiam dan kaku. Tapi ternyata… ya gitu, deh.”

“Ya gitu, deh, apaan?” protes Damar pura-pura kesal.

“Kamu tuh nyebelin tapi bisa diandalkan,” kata Azka. “Kayak pas di Exploration Game, aku kira kamu bakal diem aja, tapi ternyata kamu yang paling banyak nyari petunjuk.”

Damar mengangguk. “Kalau aku sih awalnya kira kamu anaknya sok tahu.”

“Heh?! Parah!”

“Tapi ternyata kamu yang paling cepat mikir pas di tantangan kemarin,” lanjut Damar. “Serius, kalau bukan kamu yang nemu tanda di tangga, kita pasti bakal nyasar entah ke mana.”

Azka tersenyum, lalu menatap Damar dengan lebih serius. “Jadi… setelah ini, kita tetap berteman, kan?”

Damar tersenyum kecil. “Ya iyalah. Masa abis ini kita jadi orang asing lagi?”

Azka mengulurkan tangan. “Sah?”

“Sah.”

Mereka berjabat tangan.

Sementara itu, Kayra dan Naya juga sedang berbincang dengan lebih dalam.

“Kamu tau nggak, aku awalnya males banget MOS,” kata Kayra. “Aku kira nggak bakal dapet teman yang nyambung.”

Naya terkekeh. “Sama, aku juga pikir bakal kesulitan. Tapi ternyata…”

“Ternyata kita satu frekuensi.”

Mereka tertawa bersama.

Ketika lima menit berlalu, Raynald kembali ke atas panggung.

“Oke! Sekarang, aku mau tahu… ada yang memutuskan untuk tidak berteman setelah MOS ini?” tanyanya.

Tidak ada yang mengangkat tangan.

Raynald tersenyum puas. “Bagus. Karena inti dari tantangan ini adalah… kalian nggak perlu teman yang banyak. Kalian cuma butuh teman yang benar-benar ada.”

Semua siswa bertepuk tangan. Beberapa bahkan saling berpelukan.

Dan dengan itu, MOS SMA Anindya Jaya resmi berakhir.

Tapi bagi Damar dan teman-temannya, ini bukan akhir. Ini adalah awal dari perjalanan mereka sebagai siswa SMA—bersama.

 

MOS udah selesai, tapi perjalanannya baru dimulai. Dari yang awalnya cuma kenalan sekilas, sekarang jadi teman satu perjuangan. Dari yang awalnya saling cuek, sekarang malah jadi sahabat yang nggak bisa lepas.

SMA bukan cuma soal belajar, tapi juga tentang orang-orang yang bakal nemenin kita selama tiga tahun ke depan. Dan buat Damar, Azka, Kayra, dan Naya, ini baru awal dari cerita panjang mereka. Siap buat petualangan berikutnya?

Leave a Reply