Daftar Isi
Liburan bareng teman itu nggak ada duanya! Kalau kamu lagi butuh inspirasi liburan seru, cerpen ini bakal bikin kamu pengen buru-buru ajak teman-temanmu untuk melarikan diri ke tempat tersembunyi dan ngelakuin hal-hal gila yang bikin kenangan.
Gak usah jauh-jauh mikirin destinasi liburan yang mahal, kadang yang penting itu adalah siapa yang kamu bawa dan seberapa gila petualangan kalian bareng. Cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia yang penuh tawa, keberanian, dan pastinya… kenangan yang nggak bakal terlupakan!
Liburan Gila Bareng Teman
Gas Tanpa Rem
Musim panas kali ini adalah kesempatan emas untuk lepas dari segala kepenatan hidup. Itu alasan utama kenapa Zelinda, Marsha, Kyra, dan Arletta akhirnya nekat memulai perjalanan tanpa tujuan. Satu-satunya yang mereka punya hanyalah mobil, peta penuh coretan warna-warni, dan playlist lagu-lagu favorit yang akan menemani sepanjang jalan.
“Aku yang nyetir, kalian tinggal duduk manis,” ujar Zelinda sembari memasukkan kunci mobil dan menyalakannya dengan penuh semangat.
Marsha langsung tertawa kecil. “Duduk manis? Aku bakal nyanyi sampai suara serak!”
“Dengan suara fals kamu? Please, kasihanin kuping kita,” timpal Kyra dari kursi penumpang depan.
Arletta yang duduk di belakang ikut menimpali, “Jangan banyak protes, nanti kita paksa kamu nyanyi solo!”
Tawa memenuhi mobil saat mereka melaju meninggalkan kota. Jalanan aspal terbentang luas di depan mata, dengan sinar matahari yang menembus kaca jendela. Musik dari speaker mobil berdentum keras, memacu semangat mereka. Sesekali, Zelinda memukul setir mengikuti irama lagu, sementara Marsha dan Arletta sibuk merekam video untuk dokumentasi perjalanan.
“Kita ke mana dulu?” tanya Kyra, yang sejak tadi memegang peta seperti navigator profesional.
“Pokoknya jauh dari kehidupan membosankan,” kata Marsha sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi.
Zelinda mengangguk mantap. “Aku pernah dengar ada pantai tersembunyi yang belum banyak dikunjungi orang. Katanya sih, surga dunia!”
“Oke, kita ke sana! Tapi… jalannya aman, kan?” tanya Arletta dengan sedikit waspada.
“Siapa peduli aman atau nggak? Yang penting seru!” sahut Marsha antusias.
Perjalanan mereka semakin terasa menyenangkan saat mereka mulai melewati jalanan pedesaan yang asri. Ladang hijau membentang di kiri dan kanan, udara lebih sejuk, dan tidak ada kebisingan khas kota. Mereka sesekali berhenti untuk membeli camilan di warung pinggir jalan atau sekadar mengambil foto dengan latar belakang alam yang memukau.
Saat matahari mulai condong ke barat, mereka akhirnya menemukan jalan kecil yang mengarah ke pantai tersembunyi yang disebutkan Zelinda. Tapi ternyata, jalannya lebih menantang dari dugaan.
“Aku nggak yakin mobil kita bisa lewat sini,” ujar Kyra, menatap jalan berbatu di depan mereka dengan ragu.
“Aku yakin mobil ini bisa. Yang nggak yakin itu rem mobil kita nanti,” kata Zelinda setengah bercanda.
“Tolong jangan bercanda soal rem,” balas Arletta, langsung menggenggam sabuk pengamannya lebih erat.
Tapi tidak ada pilihan lain. Mereka sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, Zelinda tetap melajukan mobil dengan hati-hati, sementara yang lain mulai histeris setiap kali roda mobil melindas batu besar.
“Aku sumpah bakal nangis kalau kita nyangkut di sini,” kata Marsha dramatis.
“Jangan nangis dulu. Nangisnya nanti aja kalau nggak bisa pulang,” sahut Kyra.
Setelah beberapa menit penuh ketegangan, akhirnya mereka sampai di ujung jalan. Dan di depan mereka, terbentang pemandangan yang seolah berasal dari dunia lain.
Pantai itu benar-benar tersembunyi. Pasir putih membentang luas tanpa jejak manusia lain. Air lautnya begitu jernih hingga mereka bisa melihat dasar laut dari kejauhan. Angin berhembus sejuk, membawa aroma garam yang menyegarkan.
“Astaga… kita jenius!” seru Marsha sambil meletakkan tangan di pinggang, mengagumi pemandangan di depan mata.
“Setuju! Tempat ini kayak bukan di dunia nyata,” tambah Kyra dengan tatapan berbinar.
Tanpa pikir panjang, mereka langsung keluar dari mobil. Beberapa dari mereka melepas alas kaki untuk merasakan langsung sensasi pasir hangat di bawah telapak kaki. Zelinda mengangkat kedua tangannya ke atas sambil menarik napas dalam.
“Kebebasan!” serunya penuh semangat.
Arletta sudah sibuk mengabadikan momen dengan kameranya. “Kita harus punya banyak foto di sini! Kita nggak bisa datang ke tempat secantik ini tanpa bukti!”
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk langsung berhamburan ke laut. Pakaian mereka basah, rambut berantakan, tapi tidak ada yang peduli. Mereka berteriak, tertawa, saling mendorong ke air, bahkan sesekali beradu siapa yang bisa bertahan lebih lama di dalam air tanpa bernapas.
Setelah puas bermain di laut, mereka akhirnya duduk di tepi pantai, menikmati senja yang mulai merayap di cakrawala.
“Aku rasa ini bakal jadi liburan terbaik kita,” ujar Kyra, membiarkan kakinya digulung ombak kecil.
Marsha mengangguk setuju. “Kalau setiap liburan seseru ini, aku nggak akan butuh terapi stres lagi.”
Zelinda menoleh ke arah Arletta. “Kamu setuju?”
Arletta tersenyum kecil. “Banget. Rasanya kayak… kita benar-benar hidup.”
Senja semakin tenggelam, meninggalkan warna jingga yang begitu indah di langit. Mereka duduk dalam diam, menikmati momen itu seolah tidak ingin melepaskannya.
Namun, perjalanan ini masih jauh dari selesai. Dan tanpa mereka sadari, malam ini akan membawa lebih banyak petualangan yang tak terduga.
Surga Tersembunyi
Malam tiba lebih cepat dari yang mereka kira. Langit berubah menjadi kanvas hitam bertabur bintang, sementara suara ombak menjadi musik latar yang sempurna.
“Udara mulai dingin,” gumam Kyra sambil mengusap lengannya.
Marsha, yang sudah menggali lubang kecil untuk api unggun, mendongak. “Makanya, kita harus segera nyalain api.”
Arletta datang membawa kayu kering yang ia temukan di sekitar pantai. “Aku nggak tahu ini cukup atau nggak, tapi ini yang bisa aku temukan.”
Zelinda mengeluarkan korek api dari ranselnya. “Jangan khawatir, aku jago soal beginian.”
Beberapa kali mencoba, akhirnya api unggun mereka menyala. Cahaya oranye hangat menari di wajah mereka, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak di pasir. Mereka duduk melingkari api, masing-masing memegang marshmallow di ujung ranting kayu.
“Aku masih nggak percaya kita benar-benar di sini,” kata Arletta sambil menatap nyala api.
“Makanya, kita harus bikin momen ini lebih spesial,” sahut Kyra. “Gimana kalau kita main sesuatu?”
Marsha langsung menegakkan punggungnya. “Truth or dare?”
Zelinda menggeleng. “Jangan! Terakhir kali kita main itu, aku berakhir harus nelpon mantanku dan nyanyi lagu kebangsaan!”
“Tapi itu momen yang legendaris,” canda Arletta.
“Oke, kalau bukan truth or dare, kita main apa?” tanya Kyra.
Marsha berpikir sejenak. “Gimana kalau kita ceritain satu hal paling gila yang pernah kita lakukan?”
Arletta terkekeh. “Marsha pasti bakal menang.”
Mereka pun mulai berbagi cerita. Dari pengalaman Marsha yang pernah kabur dari kelas hanya untuk berburu makanan di luar sekolah, Kyra yang pernah tanpa sengaja naik bus ke kota lain, Zelinda yang pernah mengerjai dosennya dengan mengirimkan tugas yang isinya hanya meme, sampai Arletta yang pernah menyamar jadi mahasiswa fakultas lain hanya untuk dapat makanan gratis di acara kampus.
Tawa mereka meledak setiap kali satu cerita selesai diceritakan. Mereka bahkan sampai menangis karena terlalu banyak tertawa.
Setelah beberapa saat, suasana mulai tenang. Mereka hanya duduk, menikmati angin malam dan suara ombak.
“Kita harus bikin janji,” kata Zelinda tiba-tiba.
Mereka semua menoleh.
“Kita janji, setiap tahun kita bakal bikin perjalanan kayak gini,” lanjutnya. “Gak peduli seberapa sibuknya kita nanti, kita harus kasih waktu buat liburan bareng.”
Arletta tersenyum. “Aku setuju.”
Marsha mengangkat marshmallow yang setengah terbakar. “Kita bisa janji dengan cara yang keren, kayak—hmm, misalnya, kita ukir nama kita di pohon?”
“Terlalu mainstream,” kata Kyra. “Gimana kalau kita bikin sesuatu yang lebih unik?”
Zelinda memutar matanya. “Tolong jangan bilang kita harus bikin tato bareng.”
Marsha tertawa. “Santai aja, belum separah itu!”
Akhirnya, setelah beberapa menit berpikir, mereka memutuskan untuk mengumpulkan batu-batu kecil dari pantai. Setiap orang memilih satu batu, lalu menggunakan cat yang Arletta bawa untuk menggambar sesuatu di atasnya.
Marsha menggambar ombak yang liar.
Kyra menggambar langit malam bertabur bintang.
Zelinda menggambar matahari terbit.
Arletta menggambar kompas kecil.
“Ini lebih dari sekadar gambar,” kata Arletta. “Ini identitas kita.”
Setelah batu-batu itu selesai dihias, mereka menguburnya di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat tebing.
“Nanti kalau kita kembali ke sini, kita gali lagi,” kata Kyra.
“Biar jadi tanda kalau kita pernah ada di sini,” tambah Zelinda.
Setelah itu, mereka duduk kembali di dekat api unggun, menatap lautan yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Mereka merasa kecil di tengah dunia yang begitu luas, tapi juga merasa kuat karena mereka memiliki satu sama lain.
Malam itu, mereka tidak hanya membangun api unggun. Mereka juga membangun sesuatu yang lebih dalam—janji, persahabatan, dan kenangan yang akan mereka bawa seumur hidup.
Tapi petualangan mereka belum berakhir. Karena esok hari, mereka akan melakukan sesuatu yang jauh lebih nekat.
Lompat atau Pulang
Matahari pagi menyapu wajah mereka dengan lembut, membangunkan mereka dari tidur yang tak sepenuhnya nyenyak. Arletta menggeliat, merasakan butiran pasir menempel di lengannya.
“Kita beneran tidur di pasir?” gumamnya setengah sadar.
“Kamu pikir kita tidur di hotel bintang lima?” balas Kyra sambil meregangkan tubuh.
Zelinda, yang sudah lebih dulu bangun, berdiri di tepi pantai dengan tangan di pinggang. “Bangun semua! Kita nggak datang ke sini cuma buat leha-leha!”
Marsha mengerjapkan mata, lalu menguap lebar. “Kita mau ngapain?”
Zelinda menoleh ke tebing batu di ujung pantai, yang tingginya mungkin sekitar 10 meter dari permukaan air. Ia menyeringai. “Lompat dari sana.”
Arletta langsung duduk tegak. “Kamu gila.”
“Ya, dan itulah kenapa kita sahabatan,” sahut Zelinda santai.
Kyra mengerutkan kening, menatap tebing itu dengan ngeri. “Itu tinggi banget! Aku nggak yakin kita bakal selamat setelah lompat dari sana.”
Marsha, yang biasanya paling nekat, justru terlihat ragu kali ini. “Zel, aku cinta hidupku.”
Zelinda tertawa kecil. “Santai aja, aku udah cek tadi pagi. Di bawahnya laut dalam, nggak ada batu. Ini aman, aku janji.”
Arletta menghela napas. “Definisi aman kamu agak meragukan.”
“Tapi…” Zelinda memandang mereka dengan tatapan penuh tantangan. “Kapan lagi kita punya kesempatan buat melakukan sesuatu yang bakal kita kenang seumur hidup?”
Mereka saling berpandangan. Sejujurnya, ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menggugah semangat mereka. Ini bukan hanya tentang melompat dari tebing—ini tentang keberanian, tentang membuktikan bahwa mereka bisa menaklukkan ketakutan mereka.
Akhirnya, dengan setengah hati, mereka pun naik ke atas tebing. Jalannya terjal, tapi setiap langkah membuat jantung mereka berdebar semakin kencang. Saat mereka sampai di puncak, angin menerpa wajah mereka dengan kencang, dan dari sini, laut terlihat begitu luas.
“Oke, aku nyesel,” kata Marsha, suaranya bergetar.
Kyra menggigit bibirnya. “Terlalu tinggi. Aku nggak yakin bisa.”
Zelinda menatap mereka satu per satu. “Dengar, kita nggak harus lompat kalau nggak mau. Tapi kalau kita lompat, kita bakal merasa kayak… kayak kita baru aja menaklukkan dunia!”
Mereka terdiam. Angin berdesir, membawa suara ombak yang pecah di bawah mereka.
“Baiklah,” kata Arletta akhirnya. “Aku ikut.”
Marsha dan Kyra saling berpandangan, lalu menghela napas panjang.
“Oke, oke, aku juga,” kata Marsha pasrah.
“Kalau aku mati, tolong bilang ke ibuku kalau aku sayang dia,” gumam Kyra.
Zelinda tertawa. “Santai aja, kita semua bakal hidup.”
Mereka berdiri di tepi tebing, jantung berdegup kencang.
“Hitung sampai tiga,” kata Marsha, suaranya sedikit bergetar.
Zelinda mengangguk. “Satu…”
Kyra menarik napas dalam-dalam.
“Dua…”
Arletta meremas tangannya sendiri.
“TIGA!”
Mereka melompat.
Sepersekian detik terasa seperti selamanya. Udara menerpa wajah mereka, perut terasa melayang, dan dunia seakan berhenti berputar.
Lalu—BYURR!
Mereka jatuh ke dalam air yang sejuk. Sensasi adrenalin masih terasa saat mereka muncul ke permukaan, saling menatap dengan mata berbinar.
“ASTAGA!” seru Marsha. “ITU GILA!”
“TAPI KEREN BANGET!” Kyra tertawa histeris.
Zelinda mengangkat tangannya ke udara. “KITA BERHASIL!”
Arletta, yang biasanya paling tenang, justru tertawa paling keras kali ini. “Aku rasa aku baru aja terlahir kembali!”
Mereka berenang ke tepi pantai, masih belum percaya dengan apa yang baru saja mereka lakukan.
Begitu mereka menginjak pasir, mereka berempat saling memandang, lalu tiba-tiba tertawa. Tertawa karena kebahagiaan, tertawa karena gila, tertawa karena mereka baru saja melakukan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah mereka lakukan lagi.
“Ini,” kata Zelinda sambil mengatur napasnya, “ini bakal jadi cerita yang bakal kita ulang-ulang sampai kita tua nanti.”
Marsha mengangguk setuju. “Dan aku bakal ngarang cerita versi yang lebih dramatis.”
“Sejujurnya,” kata Kyra, “aku nggak nyangka kita bisa sekeren ini.”
Arletta menatap laut yang berkilauan di bawah matahari. “Aku juga nggak nyangka… kalau aku bakal merasa sebebas ini.”
Mereka berempat duduk di atas pasir, membiarkan sinar matahari mengeringkan tubuh mereka yang basah. Ini bukan sekadar liburan. Ini adalah petualangan.
Dan mereka belum ingin pulang.
Kenangan yang Terkubur
Hari itu terasa begitu sempurna. Pagi, siang, dan sore mereka habiskan dengan bebas, tanpa beban, hanya tawa dan kebersamaan yang mengisi setiap detiknya. Pantai yang tersembunyi itu, dengan segala pesonanya, kini jadi bagian dari kisah mereka yang tak akan terlupakan. Tetapi, seperti halnya semua petualangan, waktu tak bisa diputar kembali. Perjalanan mereka akan segera berakhir.
Sore itu, mereka duduk di atas batu besar yang menghadap ke laut, menikmati sisa-sisa matahari yang mulai meredup. Semuanya sunyi, hanya ada suara ombak yang terdengar begitu menenangkan. Mereka tak banyak bicara, hanya saling memandang, merasakan kedamaian yang datang setelah semua kehebohan.
“Apa yang kalian bakal kangenin dari liburan ini?” tanya Kyra, memecah keheningan.
Zelinda tersenyum, sedikit termenung. “Aku rasa, ini lebih dari sekadar tempat. Yang aku kangenin itu kita, semua hal gila yang kita lakuin bareng.”
Marsha mengangguk sambil menatap matahari yang perlahan tenggelam. “Aku bakal kangen suasana gila kita. Semua yang kita lakuin di sini terasa benar-benar bebas, nggak ada yang peduli sama masalah dunia luar.”
Arletta, yang dari tadi diam, akhirnya berbicara. “Aku kangen… kita bisa jadi diri kita sendiri tanpa takut dihakimi. Kayak di sini, kita nggak perlu pakai topeng apa pun.”
Mereka saling berpandangan. Mungkin, itulah yang membuat liburan ini terasa istimewa. Mereka bukan hanya teman. Mereka lebih dari itu. Mereka adalah keluarga yang dipilih oleh takdir, yang tak peduli seberapa lama jarak memisahkan mereka, atau seberapa banyak perubahan yang akan datang dalam hidup mereka.
“Sudah lama kita nggak punya waktu seperti ini, kan?” kata Kyra, berbisik pelan.
“Benar. Aku lupa rasanya punya waktu tanpa tekanan,” jawab Marsha, matanya menerawang.
Zelinda berdiri dan menepuk-nepuk pasir di bajunya. “Kayaknya kita butuh beberapa batu kenangan.”
Arletta segera berdiri, mengikuti gerakan Zelinda. “Batu kenangan? Maksudnya, kayak yang kemarin?”
“Yup. Tapi kali ini kita bakal buat sesuatu yang lebih… spesial,” kata Zelinda, lalu memandang Arletta dengan tatapan serius. “Gimana kalau kita bikin tanda buat tahun depan?”
Mereka langsung saling berpandangan, semangat kembali menyala.
Dengan cepat mereka mulai mencari batu-batu besar di sekitar pantai. Semua sibuk memilih dan menggambar, masing-masing menggambarkan kenangan mereka dengan simbol yang sederhana.
Zelinda menggambar matahari terbenam.
Marsha menggambar gelombang laut yang berulang.
Kyra menggambar bintang yang bersinar terang.
Arletta menggambar kompas, mengingatkan mereka untuk selalu menemukan jalan satu sama lain.
Setelah selesai, mereka kembali menuju tempat pohon besar yang mereka temukan malam itu. Di bawahnya, mereka menggali lubang kecil dan menaruh batu-batu kenangan mereka di dalamnya, menutupi dengan pasir.
“Ini untuk kita,” kata Kyra dengan suara penuh makna.
“Setiap kali kita rindu, kita bisa kembali ke sini,” tambah Arletta.
“Dan setiap tahun, kita bisa bikin kenangan baru,” lanjut Zelinda, mengangguk dengan penuh keyakinan.
Mereka duduk bersama di bawah pohon itu, melupakan segala yang ada di luar sana.
Sementara matahari benar-benar tenggelam, meninggalkan langit yang semakin gelap, mereka hanya duduk, saling berbagi rasa, dan menikmati keheningan yang nyaman.
Hari itu memang akan segera berakhir. Mereka tahu, liburan mereka akan segera berakhir. Tetapi kenangan ini, persahabatan ini, akan tetap abadi.
Mereka bisa saja kembali ke kehidupan mereka yang biasa, tapi ada satu hal yang pasti—setiap tahun, mereka akan kembali. Kembali ke tempat ini, kembali ke satu sama lain. Sebuah janji yang tertanam di dalam hati mereka. Sebuah kenangan yang terkubur di bawah pohon besar, bersama dengan batu-batu kecil yang menggambarkan perjalanan mereka bersama.
Karena, sesungguhnya, setiap perjalanan akan berakhir. Tapi kenangan dari perjalanan itu, akan terus hidup, selamanya.
Pokoknya, liburan bareng teman itu emang selalu spesial, ya! Liburan nggak harus selalu muluk-muluk, yang penting kita bisa jadi diri sendiri dan bersenang-senang bareng orang-orang yang kita sayang. Kalau kamu lagi nyari ide liburan yang beda dari biasanya, cerpen ini pasti bisa jadi referensi seru buat kamu dan teman-teman. Jadi, siap-siap buat bikin kenangan yang bakal dikenang seumur hidup!


