Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa di sekolah itu kayak bintang, juara kelas, selalu jadi yang pertama, tapi di rumah… rasanya nggak dianggap sama sekali?
Ini nih, cerita tentang Selya yang jago banget di sekolah, cantik, dan selalu jadi kebanggaan orang-orang, tapi ternyata di rumah, dia merasa kayak nggak ada siapa-siapa. Penasaran kan gimana ceritanya? Langsung aja deh baca cerpen ini, siapa tahu kamu nemuin sesuatu yang relate sama hidup kamu juga!
Kisah Selya dan Kakaknya
Bayangan Dirumah, Cahaya Disekolah
Selya melangkah keluar dari ruang guru dengan wajah tanpa ekspresi, di tangannya ada selembar sertifikat berwarna emas yang baru saja diberikan padanya. Juara umum. Lagi.
“Selamat ya, Selya! Kayak biasa, juara satu terus.”
Ia menoleh ke arah sekelompok teman sekelasnya yang tersenyum padanya. Salah satu dari mereka, Rina, menepuk lengannya pelan. “Nggak bosan menang terus?”
Selya tersenyum tipis. “Nggak juga. Udah biasa.”
Jawaban itu terdengar seperti kesombongan bagi sebagian orang, tapi bagi Selya, itu hanya kenyataan. Ia sudah terbiasa. Sudah tahu bahwa di sekolah, dirinya adalah seseorang. Berbeda dengan di rumah.
Di rumah, tak ada yang peduli berapa kali ia menang, berapa banyak penghargaan yang ia bawa pulang. Semua mata selalu tertuju pada satu orang: Gavin. Kakaknya.
Selya tidak menunggu lama di sekolah hari itu. Setelah menyelesaikan beberapa pembicaraan basa-basi, ia segera pulang. Begitu memasuki rumah, keheningan menyambutnya. Ada suara samar dari lantai atas—mungkin ibunya sedang berbicara dengan Gavin lagi.
Ia berjalan ke ruang tamu dan melihat ayahnya duduk di sofa, tampak lelah dengan mata yang fokus pada layar ponselnya.
“Aku pulang,” ucap Selya.
Ayahnya menoleh sekilas. “Hmm.”
Itu saja.
Tidak ada pertanyaan tentang bagaimana harinya, tidak ada ucapan selamat atas prestasinya, tidak ada apa-apa.
Selya menarik napas pendek, lalu berjalan ke dapur, meletakkan tasnya di meja makan, dan mengambil segelas air. Saat itulah ia mendengar suara pintu terbuka di lantai atas, diikuti suara ibunya.
“Gavin, kamu harus coba keluar sebentar. Nggak baik terus-terusan di kamar.”
“Lagi nggak pengen, Ma.”
“Tapi—”
“Ma, udah. Aku capek.”
Suara pintu tertutup lagi.
Selya mengangkat gelasnya dan meneguk air perlahan. Pemandangan ini sudah biasa. Hampir setiap hari ada percakapan seperti itu. Ibunya selalu berusaha mengajak Gavin bicara, ayahnya selalu tampak terlalu lelah untuk ikut campur, dan Selya? Selya hanya ada di sana, menyaksikan semuanya seperti seorang tamu di rumahnya sendiri.
Malamnya, saat makan malam, suasana masih sama. Hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu menyentuh piring.
“Kakak nggak turun?” tanya Selya akhirnya, memecah keheningan.
Ibunya menghela napas. “Nggak. Makan di kamar aja katanya.”
“Oh.”
Tak ada yang bertanya tentang harinya. Tak ada yang bertanya bagaimana sekolahnya, bagaimana nilai-nilainya, bagaimana perasaannya.
Setelah selesai makan, Selya masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia menatap sertifikat emas yang masih tersimpan di dalam tasnya, kemudian mengeluarkannya. Tangannya meraba bagian tulisan namanya yang tercetak jelas di atas kertas.
Seharusnya ia bangga.
Seharusnya ia merasa dihargai.
Tapi nyatanya, ia hanya merasa kosong.
Ponselnya bergetar di atas meja. Ia meraihnya dan tersenyum kecil saat melihat nama yang muncul di layar. Kieran.
Kieran: Udah makan?
Selya: Udah. Kamu?
Kieran: Baru mau. Aku jemput kamu besok, ya?
Selya: Oke.
Selya menatap layar ponselnya sebentar sebelum mengetik lagi.
Selya: Ki, kamu pernah nggak sih ngerasa kayak… kamu nggak penting di rumah sendiri?
Balasan tidak langsung datang. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Kieran menjawab.
Kieran: Kalau aku bilang iya, kamu percaya?
Selya tertegun. Ia mengira hanya dirinya yang merasa seperti itu.
Selya: Kenapa?
Kieran: Nggak tahu. Tapi aku rasa, kita semua pernah ngerasa kayak gitu.
Selya menggigit bibirnya, meresapi kata-kata itu.
Kieran: Aku nggak tahu apa yang kamu rasain, tapi kalau kamu ngerasa nggak penting, berarti aku juga nggak penting dong? Soalnya aku peduli sama kamu.
Selya tersenyum tipis. Kieran memang selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa lebih baik.
Selya: Kamu ini, ya.
Kieran: Apa? Bener, kan?
Selya tertawa kecil, meskipun tidak ada siapa pun di dalam kamarnya. Ponselnya bergetar lagi, satu pesan terakhir dari Kieran.
Kieran: Jangan mikirin hal-hal yang bikin kamu sedih. Aku jemput besok, jangan kesiangan.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Selya tidur tanpa merasa terlalu kosong. Setidaknya, masih ada seseorang yang melihatnya. Yang benar-benar peduli.
Besok, sekolah akan kembali menjadi tempat di mana ia bisa bernapas. Tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri.
Sementara rumah… yah, rumah akan tetap sama. Setidaknya, untuk sekarang.
Kakak yang Terlupakan
Pagi di sekolah selalu terasa lebih baik bagi Selya. Saat turun dari motor Kieran, ia sudah disambut dengan sapaan dari teman-teman sekelas, beberapa adik tingkat yang memandangnya dengan kagum, dan guru-guru yang mengenalnya dengan baik.
Kieran menutup helmnya dan menyandarkan motornya dengan santai. “Hari ini ada ulangan?”
“Nggak. Tapi ada tugas.”
“Udah dikerjain?”
Selya melirik Kieran dengan tatapan ‘kamu-serius-nanya-kayak-gitu?’ yang langsung membuat cowok itu terkekeh. “Ya udah, siapa tahu kali ini kamu jadi anak yang biasa aja.”
“Jangan berharap.”
Kieran hanya tersenyum dan menggamit pergelangan tangannya sebentar sebelum melepasnya lagi, sesuatu yang selalu membuat Selya merasa lebih nyaman.
Mereka berjalan berdampingan ke kelas, dan seperti biasa, Selya langsung masuk ke mode ‘juara kelas’. Begitu pelajaran dimulai, semua berjalan seperti biasanya: ia memahami materi lebih cepat daripada siapa pun, menjawab pertanyaan dengan lancar, dan tetap menjadi murid favorit para guru.
Namun, di tengah-tengah pelajaran, pikirannya tiba-tiba melayang kembali ke rumah.
Gavin.
Kakaknya itu dulu adalah sosok yang ia kagumi. Gavin pernah menjadi bintang di keluarga ini, persis seperti yang Selya alami di sekolah. Kakaknya dulu selalu dikelilingi pujian, selalu menjadi kebanggaan.
Tapi saat Gavin mulai berubah, segalanya ikut berubah.
Selya tidak tahu pasti kapan titik balik itu terjadi. Kakaknya yang dulu ceria dan penuh semangat tiba-tiba menjadi pendiam. Nilai-nilainya turun, sikapnya berubah. Ia sering mengunci diri di kamar, menolak berbicara dengan siapa pun. Orang tua mereka pun seketika berubah menjadi lebih protektif, lebih khawatir—dan fokus utama mereka hanya pada Gavin.
Saat Gavin semakin jatuh, Selya semakin naik.
Dan entah bagaimana, itu membuatnya merasa bersalah.
“Selya.”
Selya tersadar saat mendengar namanya dipanggil. Guru di depan kelas menatapnya.
“Kamu bisa ulangi pertanyaan saya?”
Selya mengerjapkan mata dan berusaha mengingat. Ia mengutuk dirinya sendiri karena kehilangan fokus, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Untungnya, sebelum ia sempat menjawab, bel istirahat berbunyi.
Saat ia berkemas, Kieran sudah berdiri di sampingnya. “Kenapa? Mukamu kayak lagi mikirin sesuatu berat banget.”
“Nggak, cuma…” Selya menarik napas. “Gavin.”
Kieran tidak langsung menanggapi. Mereka berjalan menuju kantin bersama, seperti biasa, tapi kali ini Selya merasa lebih tenang karena kehadiran Kieran di sampingnya.
“Gavin kenapa?”
Selya memainkan sedotan di gelas jusnya. “Aku cuma kepikiran aja. Kayaknya aku nggak pernah bener-bener ngobrol sama dia.”
Kieran mengangguk pelan. “Kadang kita lupa kalau orang-orang yang dekat sama kita juga butuh didengar.”
Selya terdiam. Ia tidak tahu apakah itu ditujukan untuknya atau untuk dirinya sendiri.
Namun, kata-kata itu melekat di kepalanya lebih lama dari yang ia kira.
Saat pulang ke rumah sore itu, suasana masih sama. Rumah terasa hening, seakan-akan hanya diisi oleh bayangan-bayangan orang yang pernah ada di dalamnya.
Selya masuk ke kamarnya, meletakkan tas di meja, lalu menatap pintu kamar Gavin di seberang lorong.
Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa mungkin, sudah saatnya ia mencoba melihat kakaknya dari sisi yang berbeda.
Luka yang Tak Terlihat
Selya berdiri di depan pintu kamar Gavin. Tangannya terangkat, siap mengetuk, tapi ragu-ragu. Sudah lama ia tidak berbicara dengan kakaknya, dan bahkan jika berbicara pun, itu hanya percakapan singkat seperti, “Ma, Kak Gavin di mana?” atau “Kak, tolong geser dikit, aku mau lewat.”
Sekarang, setelah bertahun-tahun membiarkan jarak itu semakin lebar, ia ingin mencoba memulai sesuatu.
Akhirnya, ia mengetuk.
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi. “Kak?”
Masih tidak ada suara.
Selya menggigit bibir. Ia hampir berbalik, hampir menyerah, sebelum akhirnya mendengar suara pintu terkunci yang terbuka perlahan. Dari celah pintu, Gavin menatapnya dengan mata yang terlihat kosong, tapi juga terkejut.
“Ada apa?” suara Gavin terdengar serak, seperti seseorang yang tidak terbiasa berbicara terlalu lama.
Selya tidak tahu harus berkata apa. Ia sendiri tidak tahu alasan pastinya berdiri di sini.
“Aku cuma… penasaran. Kakak baik-baik aja?”
Gavin tertawa kecil—tawa yang tidak terdengar seperti kebahagiaan. Lebih seperti ejekan pada dirinya sendiri. “Aku kelihatan baik-baik aja?”
Selya menelan ludah. Tidak. Kakaknya sama sekali tidak terlihat baik-baik saja. Wajahnya sedikit lebih tirus daripada terakhir kali ia perhatikan, rambutnya berantakan, dan ada kantung mata yang begitu dalam.
Selya ingin bertanya lebih banyak, tapi lidahnya terasa kelu. Ia tidak pernah berbicara serius dengan Gavin. Tidak pernah bertanya apakah kakaknya baik-baik saja. Tidak pernah mencoba memahami.
Mungkin karena terlalu lama merasa seperti orang asing di rumah ini, ia lupa bahwa kakaknya juga begitu.
“Aku…” Selya menghela napas. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin buat ngebantu Kakak. Tapi kalau Kakak butuh seseorang buat dengerin, aku di sini.”
Gavin menatapnya lama. Sangat lama, hingga Selya mulai berpikir bahwa ia telah membuat kesalahan dengan datang ke sini. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Gavin akhirnya menjawab, suaranya hampir berbisik.
“Kamu pikir aku nggak peduli sama kamu, ya?”
Selya tertegun.
“Kamu pikir aku nggak pernah lihat kamu?” Gavin melanjutkan. “Aku lihat. Aku tahu kamu selalu dapet juara satu. Aku tahu kamu selalu jadi murid terbaik. Aku tahu kamu dapat banyak penghargaan.”
Selya menggigit bibirnya. “Tapi Kakak nggak pernah bilang apa-apa.”
Gavin tersenyum kecil, tapi matanya tidak tersenyum. “Aku cuma takut kalau aku mulai bilang sesuatu, aku malah bikin kamu sadar kalau selama ini nggak ada yang benar-benar lihat kamu di rumah ini.”
Selya terdiam.
“Aku selalu jadi prioritas mereka, kan?” Gavin melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar. “Tapi itu bukan karena aku lebih penting. Itu karena mereka takut kehilangan aku. Mereka takut aku nggak kuat.”
Selya menahan napas. Itu pertama kalinya Gavin mengakuinya.
Sebelum ini, Selya selalu mengira Gavin adalah pusat perhatian karena lebih penting. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa perhatian itu bukan sesuatu yang menyenangkan bagi kakaknya. Itu seperti beban yang membuatnya semakin terpuruk.
“Kamu pernah ngerasa sendirian di rumah ini, kan?” Gavin menatapnya dalam. “Aku juga.”
Selya merasa ada sesuatu dalam dirinya yang runtuh.
Ia berpikir bahwa hanya dirinya yang terabaikan, hanya dirinya yang merasa tidak penting. Tapi kenyataannya, Gavin juga mengalami hal yang sama—dengan caranya sendiri.
Hanya saja, berbeda dengan Selya yang menemukan tempatnya di sekolah, Gavin tidak pernah benar-benar menemukan tempatnya di mana pun.
Selya menarik napas panjang. Ia tidak tahu apa yang bisa ia katakan untuk memperbaiki segalanya.
Tapi untuk pertama kalinya, ia ingin mencoba.
“Kak, besok mau makan di luar bareng aku?”
Gavin menatapnya, sedikit terkejut.
“Aku cuma… aku mau denger cerita Kakak. Apa aja,” lanjut Selya. “Dan kalau Kakak mau, aku bisa cerita juga.”
Gavin tidak langsung menjawab. Tapi setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan.
Selya tersenyum tipis. Itu cukup untuk sekarang.
Mungkin, ini bukan awal yang besar.
Tapi setidaknya, ini adalah awal.
Tidak Lagi Sendirian
Keesokan harinya, Selya bangun dengan perasaan yang berbeda. Tidak ada lagi kebosanan yang menghinggapi hatinya, tidak ada lagi perasaan terabaikan. Pagi ini, ia merasa lebih ringan. Entah karena percakapan dengan Gavin tadi malam atau karena hal lain yang entah bagaimana melepaskan beban yang ia simpan begitu lama.
Setelah mandi dan sarapan, Selya langsung menyiapkan segala sesuatunya. Sebuah buku catatan kecil, secangkir teh, dan senyum yang lebar. Hari ini akan berbeda. Ia tidak akan lagi merasa sendirian.
Saat bel istirahat berbunyi, Selya tidak langsung masuk ke kelas. Ia mencari Kieran di halaman belakang sekolah, di tempat biasa mereka bertemu.
Kieran tengah duduk di bawah pohon besar, membaca buku, dengan telinga yang tertutup headphone. Ia tersenyum saat melihat Selya datang.
“Kamu tampaknya lebih cerah hari ini,” ujar Kieran, menarik headphone dari telinga.
Selya tersenyum. “Ada yang berbeda, Ki.”
“Gimana, bisa dibilang kamu udah nemuin apa yang kamu cari?”
“Sepertinya iya.” Selya duduk di sampingnya dan menghela napas lega. “Aku udah bicara sama Gavin. Dan… ternyata, kita berdua sama-sama butuh didengerin.”
Kieran memandangnya dengan tatapan penuh arti, lalu mengangguk pelan. “Itu langkah besar, Selya. Aku senang dengar kamu bisa mulai lihat sisi lain dari kakakmu.”
Selya tersenyum tipis, seolah meresapi kata-kata Kieran. “Kadang, kita terlalu fokus pada diri sendiri sampai lupa kalau orang lain juga berjuang dengan caranya sendiri.”
Hari itu terasa lebih ringan. Ia kembali ke kelas dengan semangat baru, dengan sedikit lebih banyak harapan. Ia tahu masih ada banyak yang harus diperbaiki, tapi setidaknya, ia merasa tidak sendirian lagi.
Malamnya, saat pulang ke rumah, Selya tak lagi merasa cemas. Begitu sampai di depan pintu kamar Gavin, ia tidak ragu untuk mengetuk.
Ketika Gavin membuka pintu, wajahnya lebih tenang dari sebelumnya. Ia tersenyum kecil, seperti menyadari bahwa mereka berdua sudah melalui sesuatu yang sulit bersama.
“Aku jadi inget, Kak. Kamu pernah ngajarin aku naik sepeda waktu kecil,” ujar Selya. “Inget nggak?”
Gavin mengangguk pelan. “Iya. Tapi kamu waktu itu susah banget, malah sering jatuh.”
“Makanya aku pikir, kalau sekarang, aku mungkin bisa bantu kamu bangkit lagi. Sama-sama, nggak cuma aku yang sendiri.”
Gavin menatapnya lama, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku nggak tahu harus bilang apa, Selya. Aku… nggak pernah mikir kamu peduli.”
Selya tersenyum lembut. “Aku peduli, Kak. Selalu.”
Gavin menghela napas panjang, lalu memberikan senyuman tulus yang sangat langka. “Makasih, adikku. Aku nggak pernah merasa segampang ini untuk ngomong.”
Malam itu, mereka duduk berdua di ruang keluarga, berbicara tentang masa lalu, tentang kenangan yang hampir terlupakan. Selya merasakan kedekatan yang perlahan kembali terjalin. Ini bukan tentang mengubah semuanya dalam satu malam, tapi lebih tentang membuka hati satu sama lain.
Keesokan harinya, saat mereka duduk bersama di meja makan, ibunya menatap mereka dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan.
“Kalian berdua baik-baik saja?” tanya ibu mereka, suara lembut, tapi ada keinginan untuk tahu lebih.
“Ya, Ma,” jawab Selya sambil tersenyum. “Kak Gavin dan aku udah ngobrol.”
Ibunya tersenyum lega, meskipun tidak sepenuhnya mengerti.
Gavin, yang biasanya terdiam, kini ikut berbicara. “Aku… aku merasa lebih baik. Terima kasih, Selya.”
Selya menatap kakaknya, merasa kebahagiaan itu mengalir pelan, seperti aliran sungai yang tak terlihat.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa rumah ini adalah tempat yang nyaman, tempat di mana ia dan Gavin, meskipun telah melalui banyak hal, bisa saling mendukung.
Di luar, dunia terus berjalan, tapi di dalam rumah ini, mereka tidak lagi merasa sendirian.
Kadang, kita terlalu fokus sama prestasi dan pengakuan orang lain di luar sana, tapi lupa kalau yang paling penting adalah bagaimana kita bisa berbagi waktu dan perhatian dengan orang-orang terdekat kita.
Cerita Selya dan kakaknya ini ngingetin kita kalau setiap orang punya perjuangan dan luka yang nggak kelihatan, meskipun di luar sana mereka keliatan sempurna. Jadi, jangan ragu buat jadi pendengar, kadang yang dibutuhkan cuma seseorang yang mau dengerin, dan mungkin itu akan membuat semuanya jadi lebih baik.


