Daftar Isi
Siapa sih yang nggak pernah percaya sama janji manis? Apalagi kalau yang ngucapin itu seseorang yang kita cintai. Bawaannya kayak dunia ini cuma milik berdua, sisanya ngontrak! Tapi gimana kalau semua janji itu ternyata cuma bualan?
Gimana kalau yang kamu pikir tulus, ternyata cuma mempermainkan perasaan kamu? Cerita ini bakal bikin kamu nyesek, kesel, tapi juga dapet pelajaran hidup yang berharga. Baca sampai habis, dan siap-siap dibuat merinding sama realitanya!
Janji Manis yang Berujung Luka
Janji yang Terlalu Manis
Hujan turun perlahan, membasahi trotoar kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menciptakan bayangan yang terlihat bergetar di atas aspal basah. Suasana terasa sunyi, tetapi di sebuah kafe kecil di sudut jalan, seorang gadis tengah duduk di dekat jendela. Ia mengaduk cangkir kopinya perlahan, seakan sedang menunggu sesuatu—atau seseorang.
Gadis itu bernama Erysha.
Wajahnya terlihat letih, tetapi sorot matanya masih dipenuhi harapan. Sesekali, ia melirik layar ponselnya, memastikan bahwa tidak ada pesan baru yang masuk.
Lalu, pintu kafe berderit. Angin dingin ikut masuk bersama seorang pria yang baru saja tiba. Nayaka.
Lelaki itu tersenyum saat melihat Erysha, lalu berjalan mendekat dengan langkah ringan. Rambutnya sedikit basah karena hujan, dan jaket kulit yang dikenakannya masih meneteskan air.
“Maaf, aku telat.” Nayaka menarik kursi di hadapan Erysha, lalu duduk dengan ekspresi menyesal yang nyaris sempurna. “Macet banget tadi.”
Erysha menggeleng kecil. “Nggak apa-apa. Aku juga baru datang.”
Padahal kenyataannya, ia sudah menunggu lebih dari setengah jam. Tapi, seperti biasa, ia tidak ingin mempermasalahkan hal kecil.
Nayaka mengusap rambutnya yang basah dengan satu tangan, sementara tangan lainnya meraih menu yang sudah tergeletak di meja. “Kamu udah pesen?”
“Belum.”
Nayaka tersenyum kecil. “Kamu pasti nunggu aku dulu, ya?”
Erysha mengangkat bahunya, mencoba bersikap santai, padahal jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Nayaka selalu tahu cara membuatnya merasa spesial.
Setelah memesan kopi untuk dirinya sendiri, Nayaka kembali menatap Erysha. Tatapannya dalam, seperti sedang mengamati sesuatu yang berharga. “Kamu kelihatan capek. Ada masalah?”
Erysha menundukkan kepalanya sedikit. “Nggak, cuma lagi banyak pikiran aja.”
Nayaka mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan Erysha yang tergeletak di meja. “Kalau ada apa-apa, cerita aja, ya? Aku ada buat kamu.”
Sederhana. Tapi kalimat itu seolah memiliki kekuatan sihir yang membuat Erysha merasa lebih baik.
Ia tersenyum. “Aku tahu.”
Sejak awal, Nayaka memang seperti itu.
Ia datang di saat yang tepat—ketika Erysha sedang merasa kehilangan arah dalam hidupnya, ketika ia merasa tak ada yang benar-benar peduli. Nayaka hadir dengan senyumannya yang menenangkan, kata-katanya yang penuh perhatian, dan sikapnya yang seolah selalu mengerti.
Mereka bertemu di sebuah acara komunitas. Nayaka bukan orang pertama yang mengajak bicara Erysha hari itu, tapi entah kenapa, hanya dengannya Erysha merasa nyaman. Ada sesuatu dalam diri lelaki itu yang membuatnya ingin percaya, ingin menggantungkan harapan.
“Jadi, kamu tuh anaknya gampang kepikiran, ya?” ujar Nayaka saat mereka baru beberapa kali bertemu.
Erysha tersenyum tipis. “Aku emang gampang cemas.”
“Terus kalau udah cemas, gimana?”
Erysha menunduk, memainkan ujung bajunya. “Kadang susah tidur. Kadang jadi nggak bisa fokus. Kadang malah mikir yang aneh-aneh.”
Nayaka mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara yang begitu meyakinkan, “Mulai sekarang, kalau kamu cemas, aku yang bakal nenangin kamu. Aku janji.”
Sederhana. Tapi untuk seseorang seperti Erysha, itu lebih dari cukup.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Nayaka selalu ada setiap kali Erysha membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Ia bisa menjadi seseorang yang serius, tetapi juga menyenangkan. Ia tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam.
“Kamu tuh terlalu baik,” kata Erysha suatu kali, saat mereka berjalan berdua di taman kota.
Nayaka tertawa kecil. “Harusnya kamu seneng punya aku, dong.”
“Aku seneng.”
Erysha tidak sadar bahwa ia mengatakannya dengan begitu jujur, hingga Nayaka menatapnya lama dengan senyum tipis.
“Aku juga seneng punya kamu.”
Sekali lagi, janji itu terasa begitu nyata.
Sampai suatu malam, saat mereka duduk berdua di balkon apartemen Nayaka. Langit begitu gelap tanpa bintang, tetapi suasana terasa hangat.
“Jangan pernah pergi, ya,” ujar Erysha dengan suara pelan.
Nayaka menoleh, sedikit terkejut. “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?”
Erysha menggigit bibirnya. “Aku cuma takut… Kalau suatu hari kamu ninggalin aku.”
Sejenak, Nayaka terdiam. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap gadis itu dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Lalu, ia tersenyum.
“Hei, dengerin aku baik-baik.” Suaranya rendah, tetapi penuh keyakinan. “Aku nggak akan pergi. Aku janji.”
Erysha menatap matanya. Dalam, tanpa keraguan.
Dan ia percaya.
Ia selalu percaya.
Hujan turun lagi malam itu, membasahi jendela apartemen. Erysha bersandar di sofa dengan ponselnya di tangan, membaca ulang pesan dari Nayaka.
“Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji.”
Janji yang terasa begitu manis.
Janji yang ia yakini akan selalu ditepati.
Namun, ada satu hal yang tidak ia sadari.
Manusia memang pintar berbicara. Tetapi tidak semua janji dibuat untuk ditepati.
Percaya Tanpa Ragu
Hujan turun deras di luar jendela, menciptakan irama monoton yang menenangkan. Di dalam kamar apartemen kecilnya, Erysha duduk di sudut tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di tangan.
Layar menampilkan nama Nayaka, tetapi panggilannya tak kunjung dijawab. Sudah hampir satu jam sejak ia mengirim pesan terakhir, namun tetap tak ada balasan.
“Nayaka, kamu sibuk? Aku cuma mau ngobrol sebentar.”
Pesan itu terkirim, tapi tak terbaca.
Erysha menggigit bibirnya. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan hal ini. Nayaka pernah bilang kalau pekerjaannya kadang menyita waktu, jadi ia mungkin memang sedang sibuk.
Tapi kenapa ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantui?
Keesokan harinya, Nayaka akhirnya membalas.
“Maaf, aku ketiduran. Kamu nggak marah, kan?”
Erysha menghela napas lega. Ia mengetik cepat.
“Nggak kok, aku cuma khawatir. Lagi sibuk banget, ya?”
Jawabannya datang singkat.
“Iya, ada urusan dikit.”
Erysha tidak bertanya lebih jauh. Ia tidak ingin terlihat terlalu menuntut. Lagipula, Nayaka sudah bilang bahwa ia sibuk.
Dan ia percaya.
Seperti biasa.
Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan pola yang sama.
Nayaka masih ada, tetapi tidak seperti dulu. Jika biasanya ia yang selalu lebih dulu menghubungi, sekarang justru Erysha yang sering memulai percakapan. Jika dulu Nayaka selalu punya waktu untuknya, kini jawabannya sering kali singkat dan terlambat.
“Maaf, aku nggak bisa ketemu hari ini. Ada kerjaan mendadak.”
“Lain kali kita jalan, ya? Aku capek banget.”
“Jangan sedih, ya. Aku masih di sini kok.”
Masih di sini.
Tapi kenapa rasanya seperti menghilang perlahan?
“Dia berubah,” gumam Erysha suatu sore, saat sedang duduk di kafe bersama sahabatnya, Kirana.
“Siapa?”
“Nayaka.”
Kirana mengangkat alisnya. “Kenapa? Dia ngilang?”
“Nggak, sih. Cuma… dia nggak kayak dulu lagi. Sering sibuk, sering telat bales chat. Dulu dia selalu nyempatin waktu buat aku.”
Kirana mengaduk kopinya perlahan. “Mungkin emang lagi sibuk beneran.”
“Aku tahu. Tapi aku ngerasa… ada yang beda. Aku cuma nggak tahu apa.”
Kirana menatap Erysha lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kamu yakin dia nggak bohong?”
Erysha terdiam.
Tidak. Nayaka tidak seperti itu. Nayaka tidak akan berbohong padanya.
“Aku percaya dia,” jawabnya mantap.
Kirana menghela napas, lalu mengangkat bahu. “Yaudah, asal kamu yakin. Tapi kalau suatu hari kamu butuh bahu buat nangis, aku ada.”
Erysha tersenyum kecil, walau entah kenapa hatinya terasa sedikit berat.
Malam itu, Nayaka akhirnya menelepon lebih dulu.
“Hai, kamu masih bangun?”
Erysha nyaris tersedak minumannya saat melihat layar ponselnya menyala. “Kamu akhirnya nelepon juga.”
Di seberang, Nayaka tertawa kecil. “Maaf ya, aku beneran sibuk banget akhir-akhir ini. Aku juga kangen kamu, tau.”
“Kamu serius?”
“Iya lah.”
Senyum Erysha perlahan muncul. Ia merapatkan selimutnya, menikmati suara Nayaka yang terdengar lembut di telinganya.
Malam itu, mereka mengobrol lama, seperti dulu lagi.
Dan sekali lagi, semua kecemasan Erysha menghilang.
Nayaka tidak berubah. Nayaka masih sama.
Ia hanya terlalu banyak berpikir.
Ya, pasti hanya itu.
Beberapa hari kemudian, Nayaka tiba-tiba mengajaknya bertemu.
Di sebuah taman kota yang sepi, mereka duduk berdua di bangku kayu. Udara sore terasa dingin, angin bertiup pelan, membuat rambut Erysha sedikit berantakan.
Nayaka menatap gadis itu, lalu menarik napas dalam.
“Ery, aku mau ngomong sesuatu.”
Erysha menoleh. “Kenapa serius banget?”
Nayaka menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku lagi ada masalah keuangan.”
Erysha mengerjap.
“Apa?”
Nayaka tersenyum tipis, seolah ingin menenangkan. “Nggak besar, kok. Cuma butuh pinjem uang sebentar buat nutup sesuatu. Aku bakal balikin secepatnya.”
Erysha masih diam.
Ini pertama kalinya Nayaka meminta sesuatu padanya. Biasanya, Nayaka adalah orang yang selalu menawarkan bantuan, bukan sebaliknya.
“Kalau kamu nggak bisa, nggak apa-apa,” lanjut Nayaka, suaranya terdengar sedikit ragu. “Aku cuma… lagi kepepet aja.”
Erysha menggigit bibirnya.
Mungkin inilah saatnya ia membalas semua kebaikan Nayaka.
Lelaki itu selalu ada untuknya. Selalu mendengar keluh kesahnya. Selalu membuatnya merasa tidak sendirian.
Apa salahnya membantu sedikit?
“Berapa yang kamu butuh?” tanyanya akhirnya.
Nayaka mengangkat wajahnya, tersenyum kecil. “Nggak banyak kok. Lima juta aja. Aku janji, bulan depan aku balikin.”
Janji.
Kata yang sama yang selalu diucapkan Nayaka.
Erysha mengangguk.
“Aku percaya kamu.”
Dan untuk kesekian kalinya, ia menyerahkan hatinya—dan kini juga uangnya—tanpa sedikit pun keraguan.
Manis yang Mulai Pudar
Erysha duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel dengan perasaan tidak menentu. Sudah hampir dua minggu sejak ia meminjamkan uang kepada Nayaka, tapi lelaki itu belum juga mengembalikannya.
Bukan masalah jumlahnya yang membuatnya gelisah, melainkan caranya menghindar setiap kali Erysha mencoba menyinggung soal itu.
“Nayaka, gimana kabar kamu?”
Pesan terkirim, tapi tak langsung dibaca.
Erysha menggigit bibir. Ia tahu Nayaka sedang sibuk, tapi belakangan ini, alasannya terasa seperti tembok yang makin tinggi.
Ia memutuskan menelepon.
Nada sambung terdengar, tetapi tak diangkat.
Lagi.
Perasaan tak nyaman mulai menggerogoti dadanya.
Seminggu berlalu tanpa kabar.
Erysha mencoba tetap berpikir positif. Mungkin Nayaka sedang benar-benar kesulitan. Mungkin ia tidak ingin membebani Erysha dengan keluhannya.
Namun, semakin lama, semakin sulit untuk menepis suara kecil di kepalanya yang berbisik, Kamu sedang dibohongi.
Malam itu, Kirana datang ke apartemen Erysha setelah mendengar nada suaranya di telepon yang terdengar tidak seperti biasanya.
“Kamu kelihatan kacau,” ujar Kirana begitu melihat wajah Erysha yang pucat.
“Aku nggak tahu, Kir,” suara Erysha lirih. “Aku cuma… ngerasa ada yang nggak beres.”
Kirana duduk di sampingnya. “Tentang Nayaka?”
Erysha mengangguk.
Sahabatnya menghela napas. “Kamu udah coba cari tahu dia sibuk apa?”
Erysha terdiam. “Maksudnya?”
Kirana menatapnya dengan sorot penuh makna. “Mungkin dia nggak sejujur yang kamu kira.”
Erysha menggeleng. “Nayaka nggak gitu. Dia bukan orang yang akan bohong sama aku.”
“Tapi, coba pikir, Ery. Sejak kapan dia mulai sering nggak ada waktu buat kamu? Sejak kapan dia mulai sulit dihubungi?”
Erysha menelan ludah. Ia tak ingin mendengar ini.
Ia ingin percaya.
Namun, beberapa hari kemudian, kepercayaannya runtuh.
Semua berawal dari satu kebetulan.
Saat pulang dari minimarket, Erysha melihat seseorang yang begitu familiar di seberang jalan. Nayaka.
Ia berjalan bersama seorang wanita.
Wanita itu tersenyum padanya, menggandeng lengannya dengan begitu alami, seolah mereka telah terbiasa bersama.
Dunia Erysha seakan berhenti berputar.
Tangannya bergetar saat ia mengeluarkan ponsel dan menelepon Nayaka saat itu juga.
Lelaki itu merogoh sakunya, melihat layar ponsel, lalu… memasukkannya kembali tanpa menjawab.
Erysha menahan napas.
Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia merasa akan pingsan di tempat.
Dia berbohong.
Nayaka tidak sibuk.
Nayaka tidak kepepet uang.
Nayaka hanya… sedang bersama orang lain.
Malam itu, Erysha mengirim pesan.
“Aku lihat kamu tadi.”
Tak ada balasan.
Lalu, satu pesan lain.
“Kalau kamu nggak mau ketemu aku lagi, bilang aja. Jangan bohongin aku.”
Detik berlalu. Menit berganti.
Sampai akhirnya, Nayaka membalas.
“Kamu terlalu mikirin hal kecil. Aku nggak punya kewajiban buat jelasin semuanya ke kamu, Erysha.”
Seketika, udara terasa keluar dari paru-parunya.
Tangannya lemas. Dadanya sakit.
Apa ini jawaban dari semua kepercayaannya?
Apa ini harga yang harus ia bayar untuk semua janji manis yang ia genggam erat?
Kirana datang setelah Erysha menelepon dengan suara bergetar.
Begitu melihat wajah sahabatnya yang penuh luka, Kirana tak bertanya lagi. Ia hanya menarik Erysha ke dalam pelukannya.
Erysha tidak menangis. Air matanya seakan tertahan di tempat.
Namun, di dalam dadanya, ada sesuatu yang retak.
Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kosong.
Luka yang Tak Terlihat
Hujan turun deras malam itu, seolah langit menangisi kebodohan yang baru saja disadari Erysha. Ia duduk di pojok kamar, memeluk kakinya sendiri, ponselnya tergeletak di lantai.
Pesan terakhir dari Nayaka masih terpampang di layar.
“Kamu terlalu mikirin hal kecil. Aku nggak punya kewajiban buat jelasin semuanya ke kamu, Erysha.”
Hal kecil?
Jadi, semua ini hanya… hal kecil baginya?
Kepercayaannya. Kesetiaannya. Perasaannya.
Semua yang ia pertahankan mati-matian ternyata sama sekali tidak berarti
“Besok kita cari dia,” suara Kirana terdengar tegas di telepon. “Aku nggak bakal biarin kamu diem aja setelah semua ini.”
Erysha menatap bayangannya di kaca jendela. Wajahnya tampak begitu lelah. Pucat. Kosong.
“Tapi buat apa?” suaranya lirih. “Dia udah kasih jawaban. Dia nggak peduli.”
“Justru karena itu, kamu harus kasih dia pelajaran!”
Erysha menghela napas panjang.
Ia lelah.
Lelah berharap. Lelah dikecewakan.
Lelah terus-menerus bertanya kenapa ia selalu jadi orang yang mudah dipermainkan.
Namun, takdir sering kali bekerja dengan caranya sendiri.
Tanpa perlu mencarinya, Nayaka muncul lebih cepat dari yang mereka duga.
Saat Erysha dan Kirana sedang berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, ia melihat sosok itu di kejauhan.
Nayaka.
Dan wanita itu.
Mereka tampak akrab, tertawa bersama, seolah tak ada yang salah di dunia ini.
Sesuatu di dalam diri Erysha mencelos.
Kirana yang lebih dulu bertindak.
Ia melangkah cepat ke arah Nayaka, berdiri tepat di hadapannya dengan mata menyala penuh amarah.
“Nayaka.”
Lelaki itu terkejut. “Kirana? Erysha?”
Tatapannya bertemu dengan Erysha. Sekilas ada sesuatu di matanya—kegelisahan? Rasa bersalah?
Tapi itu hanya muncul sekilas sebelum ia kembali memasang ekspresi datar.
“Ada apa?” tanyanya, seolah tak terjadi apa-apa.
Erysha menelan ludah.
Ia ingin marah.
Ingin bertanya kenapa Nayaka tega melakukan ini padanya.
Tapi apa gunanya?
Semua sudah jelas.
Ia hanya bodoh karena butuh waktu lama untuk menyadarinya.
Nayaka tidak pernah mencintainya.
Nayaka hanya memberikan harapan kosong. Janji-janji manis yang tak lebih dari kebohongan.
Dan ia, seperti orang tolol, memercayai semuanya.
Tanpa sadar, Erysha tersenyum kecil. Senyum yang getir.
Kirana masih berdebat dengan Nayaka, melontarkan kalimat penuh kemarahan. Tetapi Erysha tak mendengar lagi.
Hatinya sudah terlalu lelah untuk peduli.
Malam itu, untuk pertama kalinya, ia tidak menangis.
Bukan karena tidak sakit.
Tapi karena ia tahu, air mata tidak akan mengubah apa pun.
Nayaka telah pergi.
Dan ia akhirnya mengerti.
Bukan dia yang kehilangan Nayaka.
Nayaka yang kehilangan seseorang yang benar-benar tulus mencintainya.
Dan itu, adalah hukuman yang paling menyakitkan.
Begitulah hidup. Kadang, kita terlalu sibuk percaya sama janji manis sampai nggak sadar kalau kita cuma dipermainkan. Tapi nggak apa-apa, karena setiap luka pasti ada pelajarannya.
Dan ingat, lebih baik kehilangan orang yang nggak tulus daripada terus bertahan dalam kebohongan. Jadi, buat kamu yang masih gampang percaya janji-janji manis, hati-hati ya! Jangan sampai terjebak kayak Erysha.


