Daftar Isi
Sekolah itu tempat belajar? Bisa jadi. Tapi bagi Miko, Rendi, dan Satria, sekolah adalah arena perang antara keusilan dan para guru! Mereka dikenal sebagai trio biang kerok yang selalu punya rencana absurd buat bikin kelas jadi lebih hidup (alias bikin onar).
Tapi kali ini, mereka harus berhadapan dengan musuh terberat—Pak Surya, guru matematika yang lebih licin dari yang mereka kira. Dari prank yang awalnya super jenius, tiba-tiba malah jadi senjata makan tuan. Mau tahu gimana trio maut ini berakhir? Siap-siap ngakak sampe perut kram!
Trio Biang Kerok vs Guru Matematika
Kelas 8A dan Trio Biang Kerok
Sekolah baru saja dimulai setelah liburan panjang. Kelas 8A, yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu dengan penuh ketenangan, malah lebih mirip festival dadakan. Anak-anak berseru-seru, ada yang berdiri di bangku sambil memamerkan pernak-pernik liburan, ada yang sibuk bertukar oleh-oleh, dan tentu saja, ada trio maut yang duduk paling belakang—Miko, Rendi, dan Satria—yang sudah merencanakan sesuatu sejak bel istirahat pertama.
“Kalian ngapain aja liburan kemarin?” tanya Satria sambil meregangkan tangan ke belakang kepala.
“Aku? Santai aja di rumah, main game, makan, tidur. Pokoknya hidup berkualitas!” jawab Miko santai.
“Kalau aku, ke rumah nenek di desa. Tenang banget di sana. Udara segar, makanan enak. Sayangnya, nggak ada WiFi!” keluh Rendi, yang langsung disambut tawa oleh dua temannya.
“Ya ampun, kasihan banget hidup kamu. Kayak kembali ke zaman purba!” Miko menepuk bahu Rendi seolah benar-benar berduka.
Sebelum mereka sempat bercanda lebih jauh, tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan suara berderit. Semua langsung terdiam. Beberapa anak buru-buru duduk dengan tegak, ada yang masih setengah berdiri tapi mematung, sementara sebagian lainnya refleks menyembunyikan jajanan yang tadi mereka kunyah.
Masuklah Bu Rina, wali kelas mereka yang terkenal dengan julukan “Ibu Pencabut Nyawa”—bukan karena jahat, tapi karena tugas-tugas yang diberikannya bisa membuat murid-murid merasa seperti roh gentayangan.
“Kalian ini ribut banget! Kayak bukan anak kelas delapan!” seru Bu Rina sambil menatap mereka satu per satu.
Miko, Rendi, dan Satria bertukar pandang. Mereka sudah sering dimarahi oleh Bu Rina, jadi ketahanan mental mereka sudah mencapai level dewa.
“Jadi, bagaimana liburan kalian?” lanjut Bu Rina, kali ini dengan nada lebih lembut.
Seketika suasana kelas mencair. Beberapa murid mulai bercerita dengan penuh semangat, ada yang mengangkat tangan untuk berbagi pengalaman, dan tentu saja, trio biang kerok di belakang hanya mengangguk-angguk malas.
Namun, momen menyenangkan itu langsung sirna ketika Bu Rina mengumumkan sesuatu yang lebih seram daripada hantu di pojokan toilet sekolah.
“Mulai hari ini, kalian akan belajar dengan jadwal baru. Dan ada satu kabar…” Bu Rina tersenyum kecil, yang entah kenapa membuat semua orang merinding.
“Guru matematika kalian sekarang adalah Pak Surya.”
Suasana langsung berubah hening. Bahkan jangkrik pun mungkin enggan bersuara.
Pak Surya. Nama yang lebih menakutkan daripada ulangan dadakan. Guru yang terkenal dengan tatapan tajamnya, peraturan ketatnya, dan yang paling menyeramkan—hukuman kreatifnya.
“Udah, tamat riwayat kita,” bisik Rendi, wajahnya langsung lesu seperti baterai HP 1%.
“Tamat gimana? Ini baru awal!” sahut Miko dengan tatapan penuh rencana.
Satria menoleh curiga. “Maksud kamu?”
Miko tersenyum misterius. “Aku punya ide. Kalau kita bisa nge-prank Pak Surya, kita bakal jadi legenda di sekolah ini.”
Rendi dan Satria saling berpandangan. Di satu sisi, itu terdengar seperti rencana yang sangat buruk. Di sisi lain… bukankah hidup memang lebih seru kalau ada tantangan?
Dan begitulah, tanpa mereka sadari, kelas 8A baru saja memasuki babak baru yang akan mereka kenang seumur hidup.
Menaklukkan Pak Surya
Keesokan harinya, kelas 8A bersiap menyambut pertemuan pertama dengan Pak Surya. Beberapa anak terlihat menunduk pasrah, ada yang berusaha menghafal rumus mendadak (meski tetap nggak paham), dan ada yang sudah merencanakan untuk bersembunyi di balik punggung teman yang lebih tinggi.
Tapi di sudut belakang kelas, trio maut—Miko, Rendi, dan Satria—sedang berbisik-bisik, merancang sesuatu yang bakal dikenang sebagai salah satu momen paling berani (atau paling bodoh) dalam sejarah kelas 8A.
“Jadi, rencana kita adalah…?” bisik Satria.
Miko menyeringai. “Gini, kita bakal ganti spidol biasa Pak Surya sama spidol ajaib yang tintanya nggak keliatan di papan tulis. Jadi, pas dia nulis, dia nggak bakal sadar kalau kita semua nggak bisa baca apa-apa.”
Rendi mengangguk-angguk. “Keren, sih. Tapi kamu yakin ini bakal berhasil?”
“Bro, kita ini trio maut! Apa yang pernah gagal?” Miko menepuk dada dengan penuh kebanggaan.
Satria menghela napas. “Banyak, Mik. Banyak yang gagal. Terakhir, waktu kita naruh karet di kursi Bu Rina, kita malah kena ceramah satu jam.”
Miko mendelik. “Jangan bahas masa lalu! Fokus ke misi hari ini!”
Rendi mengeluarkan spidol ajaib yang sudah mereka siapkan sejak semalam. Tintanya benar-benar nggak kelihatan di papan tulis biasa, kecuali kalau pakai cahaya UV. Dan tentu saja, mereka yakin Pak Surya nggak bakal kepikiran bawa alat canggih begitu ke sekolah.
Saat bel tanda pelajaran dimulai berbunyi, suasana kelas langsung berubah hening. Semua anak duduk tegap seperti tentara siap inspeksi.
Pak Surya masuk dengan langkah yang tenang, membawa buku tebal dan beberapa spidol di tangan. Tanpa banyak basa-basi, beliau langsung menuju papan tulis dan meletakkan spidol-spidolnya.
Satria yang kebagian tugas bertukar spidol, dengan gerakan super cepat, berhasil menggantinya saat Pak Surya membalik badan untuk membuka buku catatannya.
Miko dan Rendi saling menahan tawa. Ini bakal jadi sejarah!
Pak Surya mengambil spidol dan mulai menulis.
“Matematika itu adalah…”
Tapi anehnya, papan tulis tetap kosong.
Trio biang kerok langsung menahan napas. Beberapa anak mulai berbisik-bisik, bingung kenapa nggak ada tulisan yang muncul.
Pak Surya menoleh ke papan, menatapnya selama beberapa detik, lalu menatap spidol di tangannya. Ekspresinya tetap datar, nggak ada tanda-tanda panik atau bingung.
Suasana kelas semakin tegang.
Trio biang kerok hampir nggak bisa menahan tawa. Ini berhasil!
Tapi tiba-tiba…
Pak Surya membuka tasnya, mengeluarkan kacamata UV, dan…
JENG JENG! Tulisan di papan langsung terlihat jelas!
Miko, Rendi, dan Satria langsung membeku di tempat.
“Kalian kira saya nggak tau trik ini?” tanya Pak Surya santai, tapi entah kenapa lebih menyeramkan daripada guru yang marah.
Kelas langsung gempar. Semua menahan tawa atau malah kagum dengan kecepatan respon Pak Surya.
Satria menelan ludah. “Miko, kita bakal mati…”
Miko tersenyum kaku. “Santai. Ini cuma mimpi, kan?”
Sayangnya, ini bukan mimpi. Dan yang lebih parah—Pak Surya menatap langsung ke arah mereka bertiga.
“Kalian bertiga,” ujar Pak Surya, “siap-siap. Saya sudah menyiapkan hukuman khusus buat kalian.”
Dan saat itu juga, mereka bertiga sadar… mereka telah memilih lawan yang salah.
Prank yang Gagal Total
Miko, Rendi, dan Satria duduk di bangku mereka dengan wajah pucat. Kelas 8A masih ribut membicarakan kejadian barusan. Sebagian murid menahan tawa, sebagian lagi malah kagum dengan Pak Surya yang berhasil membalikkan keadaan dengan kacamata UV ajaibnya.
Namun, bagi trio maut ini, mereka sedang menghadapi krisis terbesar sepanjang sejarah kejahilan mereka.
Pak Surya masih berdiri di depan kelas, menatap mereka bertiga dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kalian pikir saya nggak tahu kalau kelas ini terkenal karena keusilannya?” tanya Pak Surya santai.
Miko berusaha tersenyum. “Ah, Pak, itu hanya rumor belaka. Kami bertiga ini anak baik-baik.”
Rendi mengangguk cepat. “Iya, Pak. Kami ini nggak lebih dari murid yang haus akan ilmu. Sungguh.”
Satria mencoba menambahkan, “Bahkan kalau mau dites, saya bisa menghafal perkalian 12 sekarang juga!”
Pak Surya tetap diam beberapa detik. Kemudian, tanpa ekspresi, beliau berkata, “Baik. Kalau kalian memang haus ilmu, saya punya tugas spesial buat kalian.”
Kelas langsung bersorak.
“Trio maut kena batunya!” bisik salah satu murid.
“Pak Surya nggak main-main, lho!” tambah yang lain.
Sementara itu, Miko, Rendi, dan Satria hanya bisa bertukar pandang dengan cemas.
Lima belas menit kemudian, ketiganya sudah berdiri di depan kelas, masing-masing memegang selembar kertas yang baru saja diberikan oleh Pak Surya.
“Saya ingin kalian membuat puisi bertema matematika dan membacakannya di depan kelas,” kata Pak Surya dengan santai. “Kalau kalian bisa bikin saya kagum, saya pertimbangkan untuk mengurangi hukuman tambahan.”
Miko langsung panik. “Pak, saya lebih baik lari keliling lapangan sepuluh kali daripada bikin puisi!”
“Tidak bisa,” jawab Pak Surya singkat.
Rendi menghela napas. “Ini penghinaan bagi anak-anak nakal seperti kita. Kita lebih cocok dihukum bersihin toilet atau cabut rumput, bukan bikin puisi!”
Satria menatap kertasnya dengan pasrah. “Kalau ini kehendak semesta, kita harus menerimanya, bro…”
Pak Surya menepuk meja. “Ayo, mulai!”
Miko akhirnya maju lebih dulu. Dia berdehem dan membaca puisinya dengan suara pelan.
“Matematika, oh, matematika…”
“Mengapa kau rumit seperti cinta?”
“Aku mencoba memahami rumusmu…”
“Namun tetap saja kau membuatku gila.”
Seketika, kelas meledak dengan tawa.
Pak Surya hanya menghela napas sambil melipat tangannya. “Lanjut.”
Rendi maju dengan penuh percaya diri.
“Oh, bilangan prima yang misterius…”
“Engkau tak dapat dibagi, seperti hatiku yang susah dicari.”
“Angka ganjil atau genap, tetap saja kau menyebalkan…”
“Namun di soal ujian, kau selalu ada tanpa aba-aba!”
Kali ini, bahkan Pak Surya hampir tersenyum.
Terakhir, Satria maju dengan ekspresi penuh kepasrahan.
“Matematika, kau seperti bayangan…”
“Selalu mengikuti, tapi tak pernah kupahami.”
“Jika aku bisa memutar waktu…”
“Aku akan memilih lahir sebagai anak guru olahraga saja.”
Seluruh kelas langsung tertawa sampai hampir jatuh dari kursi. Bahkan Pak Surya akhirnya tidak bisa menahan senyum.
Setelah suasana reda, Pak Surya menatap mereka bertiga dan berkata, “Baiklah, saya akan membebaskan kalian dari hukuman tambahan.”
Miko, Rendi, dan Satria langsung bersorak dalam hati. Misi prank memang gagal, tapi setidaknya mereka tidak dihukum lebih berat!
Namun, sebelum mereka sempat merayakan kemenangan kecil ini, Pak Surya menambahkan, “Tapi mulai besok, kalian bertiga saya tunjuk jadi ketua kelompok dalam kelas untuk tugas-tugas mendatang.”
Ketiganya langsung membeku.
Satria menoleh ke Miko dan Rendi. “Bro, kita baru aja masuk ke perangkap yang lebih besar…”
Dan begitulah, meskipun prank mereka gagal total, mereka justru mendapatkan tanggung jawab baru yang mungkin lebih mengerikan dari hukuman apa pun.
Hukuman yang Tak Terlupakan
Sejak insiden puisi matematika, kehidupan Miko, Rendi, dan Satria di kelas 8A berubah drastis. Jika sebelumnya mereka dikenal sebagai trio biang kerok, kini mereka malah dipanggil trio ketua kelompok terpaksa.
“Ini bencana, bro,” keluh Miko, kepalanya menempel di meja dengan ekspresi kehilangan semangat hidup.
“Aku setuju,” Rendi menatap daftar tugas di tangannya. “Dulu, kita tinggal nyontek kerjaan orang. Sekarang, malah kita yang harus ngurusin kelompok?”
Satria, yang duduk di antara mereka, hanya bisa menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Gimana kalau kita kabur ke desa dan hidup sebagai petani?”
Sayangnya, sebelum ide gila mereka berkembang lebih jauh, Pak Surya masuk ke kelas dengan wajah santai seperti biasa.
“Oke, anak-anak, seperti yang sudah saya umumkan kemarin, mulai hari ini kelas kita akan lebih terorganisir. Dan tentu saja, berkat ‘kepintaran’ mereka, Miko, Rendi, dan Satria sekarang adalah ketua kelompok,” ujar Pak Surya, yang langsung disambut sorakan penuh cemoohan dari teman-teman mereka.
“Jangan bikin tugas kami jelek ya, Ketua!” teriak salah satu anak.
“Ketua yang jenius, tolong buatkan PR kami juga dong!” tambah yang lain.
Trio maut hanya bisa tersenyum kecut.
Namun, bencana sesungguhnya belum datang.
Sebagai ketua kelompok, tugas pertama mereka adalah memimpin presentasi tentang perbandingan dalam matematika.
“Kita harus ngapain?” tanya Rendi panik.
Miko menggaruk kepala. “Entahlah, biasanya kalau kita nggak ngerti sesuatu, kita tinggal ngelawak biar semua orang lupa.”
Satria menghela napas. “Sayangnya, kali ini kita harus ngerti beneran, bro…”
Dan di sinilah trio maut menghadapi musuh terbesar mereka: belajar sungguhan.
Mereka mencoba segala cara—menghafal rumus di kantin, membaca buku di bawah meja, bahkan mencoba tidur dengan buku matematika di kepala berharap ilmu bisa menyerap secara otomatis (spoiler: gagal total).
Namun, tidak ada pilihan lain. Hari presentasi tiba.
Miko berdiri di depan kelas dengan senyum penuh percaya diri (palsu). Di belakangnya, Rendi memegang kertas contekan, sementara Satria sudah bersiap dengan laptop.
“Jadi… hari ini kami akan membahas perbandingan!” kata Miko dengan semangat pura-pura.
Pak Surya melipat tangan di dada, menatap mereka penuh minat.
Presentasi pun dimulai. Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Rendi dengan lancar menjelaskan konsep dasar, Satria menunjukkan contoh soal, dan Miko… yah, Miko lebih banyak berdiri di sana sambil mengangguk-angguk sok paham.
Namun, bencana datang ketika slide mereka tiba-tiba berubah menjadi meme matematika konyol yang mereka simpan semalam.
Di layar tertulis:
“X = Y, berarti aku = kamu. Jadi, kenapa kita nggak bisa bersama?”
Seluruh kelas langsung pecah tertawa.
Pak Surya menaikkan alis, lalu bertanya, “Apa hubungannya ini dengan perbandingan?”
Tanpa pikir panjang, Miko menjawab, “Pak, ini adalah perbandingan antara aku dan dia. Sama, tapi tak bisa bersatu!”
Sekelas makin ngakak. Bahkan Pak Surya terlihat menekan pelipisnya seperti sedang menyesali sesuatu dalam hidupnya.
“Tolong jelaskan dengan contoh yang lebih relevan,” kata Pak Surya akhirnya.
Miko menoleh ke Rendi dan Satria.
Satria mengangkat bahu. “Udah, bro, kita tamat.”
Namun, yang mengejutkan, Pak Surya malah menghela napas lalu berkata, “Baik. Karena setidaknya kalian berusaha, saya tidak akan memberi hukuman. Tapi…”
Trio maut menelan ludah.
“Mulai sekarang, setiap ada pelajaran matematika, kalian harus duduk di barisan depan.”
Sekelas langsung tertawa keras.
Miko, Rendi, dan Satria hanya bisa menatap satu sama lain dengan ekspresi putus asa. Hukuman ini lebih buruk dari yang mereka kira.
Namun, di balik semua itu, mereka sadar satu hal.
Mereka mungkin tetap akan menjadi trio biang kerok. Tapi setelah semua kejadian ini… mereka juga jadi trio yang dikenal sebagai legenda kelas 8A.
Dan siapa tahu? Mungkin, di lain waktu, mereka akan kembali dengan rencana baru yang lebih gila lagi.
Akhirnya, prank yang mereka pikir bakal jadi momen kejayaan malah berujung pada hukuman paling memalukan sepanjang sejarah kelas 8A. Tapi ya begitulah hidup di sekolah, selalu ada kejadian absurd yang bikin hari-hari nggak pernah ngebosenin.
Meski dihukum duduk di barisan depan seumur hidup (oke, itu lebay, tapi rasanya emang kayak gitu), trio maut ini tetaplah legenda. Dan siapa tahu? Besok atau lusa, mungkin mereka bakal balik lagi dengan keusilan yang lebih gila!


