Pulang yang Sebenarnya: Perjalanan Menemukan Diri Sendiri

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kayak hidup ini jalan di tempat? Kayak ada sesuatu yang hilang, tapi nggak tahu apa? Kadang, kita cuma pengin kabur, tapi ujung-ujungnya malah tersesat makin jauh.

Cerpen ini bakal ngajak kamu masuk ke perjalanan Nadhif—tentang kehilangan, pencarian, dan akhirnya… pulang. Tapi, pulang ke mana? Ke rumah? Atau ke sesuatu yang lebih dalam dari itu? Yuk, ikutin ceritanya, siapa tahu kamu juga nemuin bagian dari dirimu di sini!

 

Pulang yang Sebenarnya

Bayang-Bayang Ekspektasi

Matahari sore menyorot lembut ke jendela besar rumah keluarga Wibisana. Rumah itu megah, dengan pilar-pilar tinggi dan halaman luas yang dihiasi taman rapi. Di balik kemewahannya, seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun duduk di depan meja belajar yang terbuat dari kayu jati. Namanya Nadhif.

Ia tidak mengerjakan soal matematika yang terbuka di hadapannya. Sebaliknya, ia menggambar sesuatu di buku kecilnya—sebuah sketsa pohon tua dengan ayunan di bawahnya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.

“Nadhif, kamu ngapain?” suara ayahnya terdengar dalam.

Nadhif buru-buru menutup bukunya, tapi terlambat. Laki-laki berjas abu-abu itu sudah berjalan mendekat dan mengambil buku sketsa itu dari tangannya. Matanya menyipit saat melihat isi halaman-halaman di dalamnya.

“Kenapa malah menggambar? Tugas sekolahmu udah selesai?”

Nadhif menggigit bibirnya. “Belum, tapi aku cuma sebentar…”

Ayahnya menghela napas panjang. “Dengar, Nak. Dunia ini nggak butuh pelukis. Kamu harus fokus belajar. Masa depan kamu ada di angka-angka, bukan di coretan kayak gini.”

“Tapi aku suka menggambar, Yah,” Nadhif memberanikan diri.

Ayahnya menggeleng. “Suka aja nggak cukup buat hidup.” Ia menutup buku itu dengan satu tangan dan menaruhnya di atas rak paling tinggi. “Nggak usah buang waktu buat hal yang nggak penting. Aku nggak mau lihat kamu menggambar lagi.”

Sejak hari itu, buku sketsa Nadhif hilang.

Suara langkah kecil berlarian di lorong rumah. Nadhif duduk di teras belakang, menatap halaman dengan tatapan kosong. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua mendekatinya. Aluna, adik perempuannya, yang baru berusia enam tahun.

“Kakak kenapa?” tanyanya polos.

Nadhif tidak langsung menjawab. “Nggak papa.”

Aluna duduk di sampingnya, menggoyang-goyangkan kakinya yang belum bisa menyentuh lantai. “Kakak bohong. Kakak kelihatan sedih.”

“Aku nggak boleh gambar lagi,” gumam Nadhif.

Aluna mengerutkan alis. “Kenapa? Kakak kan jago gambar.”

“Ayah bilang itu nggak penting,” Nadhif mengangkat bahunya.

Gadis kecil itu menatap kakaknya dengan mata beningnya. “Tapi kalau Kakak suka, berarti itu penting, kan?”

Nadhif terdiam. Kata-kata Aluna sederhana, tapi entah kenapa, rasanya benar.

Tahun-tahun berlalu, dan tekanan dari ayahnya semakin berat. Setiap hari, Nadhif harus menghadapi daftar panjang ekspektasi—nilai sempurna, perilaku yang tak tercela, dan masa depan yang sudah digariskan.

Di sekolah, ia tidak memiliki banyak teman. Kebanyakan anak-anak lain hanya mendekatinya karena status keluarganya. Tapi ada satu orang yang berbeda.

“Kenapa mukamu selalu kusut kayak kertas ujian, sih?” suara ceria itu muncul dari belakang.

Nadhif mendongak dan melihat Seira, seorang gadis yang selalu tampak penuh energi. Rambut hitamnya diikat asal-asalan, dan ada perban kecil di lututnya, entah akibat kenakalan apa lagi hari ini.

“Karena aku nggak bisa santai kayak kamu,” jawab Nadhif malas.

Seira tertawa kecil dan duduk di sebelahnya. “Hidup nggak selalu harus seserius itu, Nadhif. Pernah kepikiran buat… ya udah, lepas aja?”

“Kalau aku lepas, aku jatuh.”

“Kalau jatuh, tinggal bangun lagi.”

Nadhif menatapnya sebentar. “Gampang ngomongnya.”

Seira hanya tersenyum. Ia tidak membalas, tapi tatapannya berkata bahwa ia mengerti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Malam itu, Nadhif duduk di meja belajarnya, mencoba menyelesaikan tugas yang tak ada habisnya. Namun, pikirannya terus melayang.

Tiba-tiba, ada suara ketukan pelan di pintu. Aluna mengintip dari celah pintu dengan senyum jahilnya.

“Kak, aku punya sesuatu buat Kakak,” katanya sambil menyerahkan sesuatu ke tangan Nadhif.

Nadhif mengernyit dan membuka kertas yang diberikan Aluna. Matanya melebar.

Itu adalah buku sketsa lamanya.

“Ini… dari mana?” tanyanya pelan.

“Aku ambil waktu Ayah nggak ada,” Aluna terkikik.

Nadhif menatap buku itu lama, seolah tak percaya benda itu kembali ke tangannya. Ia membuka halaman pertama dan melihat coretan-coretan lamanya—pohon, langit, wajah ibunya yang selalu tersenyum lembut.

Tiba-tiba, dadanya terasa hangat.

“Aku nggak tahu Kakak suka banget gambar sampai segininya,” kata Aluna dengan suara pelan.

Nadhif menggeleng, senyum tipis muncul di wajahnya. “Aku juga hampir lupa.”

Aluna merapatkan selimutnya, duduk di samping kakaknya. “Kalau Kakak suka, Kakak harus terus lakuin. Jangan dengerin Ayah terus.”

Nadhif tak menjawab. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia kembali menggambar.

Garis demi garis terbentuk di atas kertas, seperti serpihan dirinya yang perlahan kembali utuh.

 

Luka yang Tak Pernah Pergi

Hujan turun deras di luar jendela kamar Nadhif. Cahaya lampu meja menerangi halaman-halaman buku yang berserakan di atas meja belajar, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Matanya menatap kosong ke kertas kosong di depannya. Pensil di tangannya berputar-putar tanpa tujuan.

Sejak mendapatkan kembali buku sketsanya dari Aluna, ia kembali menggambar diam-diam di tengah malam. Tetapi kegelisahan tetap ada.

Ayahnya tetap menjadi tembok besar yang tak bisa ia lewati.

Dan waktu berjalan tanpa ampun.

“Nadhif, jangan main di sini sendirian,” suara Seira menyentaknya dari lamunan.

Ia menoleh dan melihat gadis itu berdiri di bawah pohon besar di halaman belakang sekolah. Seragamnya kusut, rambutnya dibiarkan tergerai acak.

“Aku nggak main,” balas Nadhif, menyimpan buku sketsanya sebelum Seira sempat melihat isinya.

Seira mengangkat alis. “Gitu, ya? Kalau gitu, kamu melamun. Kenapa? Masih mikirin angka-angka yang kamu benci itu?”

Nadhif menghela napas. Ia tak menjawab.

Seira duduk di sebelahnya, menyelipkan tangan di saku roknya. “Kamu tahu, hidup itu kayak naik sepeda. Kalau kamu terus mikirin mau belok ke mana, kapan jatuh, gimana kalau rantainya lepas, ya kamu nggak bakal jalan-jalan. Harus ada waktu buat ngerasain anginnya juga.”

“Kamu sok bijak banget,” gumam Nadhif.

Seira tertawa. “Ya udah, kalau nggak suka denger kata-kata motivasi, aku cuma mau bilang satu hal. Jangan jadi kayak burung yang sangkarnya terbuka tapi tetap nggak mau terbang.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang berbeda kali ini. Nadhif tidak terlalu memikirkan kata-kata itu saat itu. Tapi nanti, bertahun-tahun kemudian, ia akan mengingatnya dengan jelas.

Hidup terus berjalan.

Hari kelulusan tiba lebih cepat dari yang Nadhif duga. Semua orang di rumahnya sibuk mempersiapkan masa depannya—universitas bergengsi, jurusan yang ‘pantas’, masa depan yang ‘terjamin’.

Tak ada yang bertanya apa yang sebenarnya ia inginkan.

Namun, yang membuatnya lebih terkejut dari semuanya adalah kepergian Seira.

Tanpa peringatan, tanpa pesan.

Hanya desas-desus bahwa keluarganya pindah ke luar negeri, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari itu.

Nadhif mencoba mencari kabarnya, tetapi setiap upaya hanya berakhir pada jalan buntu.

Di hari terakhirnya di sekolah, ia berdiri di bawah pohon tempat mereka biasa duduk. Ia menyentuh batangnya yang kasar, membayangkan suara tawa Seira yang dulu selalu menggema di tempat ini.

Ia benci perasaan ini—perasaan kehilangan yang datang tiba-tiba, tanpa kesempatan untuk berpamitan.

Dan di saat itulah, ia membuat keputusan yang mengubah segalanya.

Ia akan pergi.

Ia tak peduli lagi dengan ekspektasi ayahnya. Tak peduli dengan jalan yang telah direncanakan untuknya.

Ia hanya ingin mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa hidup.

Tanpa peta, tanpa kepastian.

Hanya dengan satu keinginan—keluar dari sangkar yang selama ini mengurungnya.

 

Jejak di Kota Asing

Koper hitam kecil itu terasa berat, meski isinya tak seberapa. Nadhif melangkah keluar dari stasiun dengan jaket lusuh dan tas selempang yang sudah mulai robek di salah satu sisinya. Kota ini dingin, lebih dingin dari yang ia kira. Hujan baru saja reda, menyisakan aspal basah yang memantulkan lampu jalanan.

Ia menatap sekitar, melihat hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu-lalang. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mengenalnya.

Dan mungkin, itu yang ia butuhkan.

Malam pertamanya di kota asing adalah malam paling sunyi yang pernah ia alami.

Ia menyewa kamar murah di sebuah losmen sempit. Kasurnya keras, langit-langitnya retak, dan suara kendaraan dari jalanan tak berhenti bahkan lewat tengah malam.

Ia menatap langit-langit itu lama. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, tak ada yang mengatur apa yang harus ia lakukan.

Dan anehnya, kebebasan itu terasa menakutkan.

Hari-hari berlalu dengan lambat.

Ia menghabiskan waktunya mencari pekerjaan, tapi tanpa ijazah dan pengalaman, tak banyak pilihan yang tersisa. Ia akhirnya diterima sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggir kota.

“Jadi kamu nggak punya pengalaman kerja sama sekali?” tanya pemilik kafe, seorang pria paruh baya bernama Pak Jaka.

Nadhif menggeleng.

“Ya udah, kamu belajar dari nol. Tapi jangan bikin pelanggan kabur.”

Maka dimulailah harinya sebagai pelayan—menghapal menu, membersihkan meja, mengantar pesanan. Bukan pekerjaan yang diimpikan siapa pun, tapi setidaknya, itu memberinya tempat berteduh.

Dan di sanalah, ia bertemu seseorang yang mengingatkannya pada sesuatu yang dulu pernah hilang.

“Hei, kamu anak baru, ya?”

Suara itu datang dari seorang perempuan dengan rambut dikuncir tinggi. Ia mengenakan apron yang sama dengan Nadhif, tapi dengan cara yang terlihat lebih santai.

“Aku Raya,” lanjutnya tanpa menunggu jawaban.

“Nadhif,” jawabnya singkat.

Raya tersenyum. “Kamu kelihatan kayak anak hilang yang nggak tahu harus ke mana.”

Nadhif menatapnya sebentar. “Mungkin aku emang anak hilang.”

Alih-alih tertawa atau mengejek, Raya hanya mengangguk. “Kalau gitu, selamat datang di tempat yang penuh orang-orang hilang.”

Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara yang membuat Nadhif merasa sedikit lebih ringan.

Dan tanpa ia sadari, kafe kecil itu perlahan menjadi rumah barunya.

Bulan demi bulan berlalu.

Nadhif mulai terbiasa dengan ritme kehidupan di kota ini. Ia bekerja dari pagi hingga malam, menghemat setiap rupiah yang ia dapat, dan sesekali menggambar di buku kecil yang ia beli dari uang gajinya.

Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal.

Seira.

Ia tidak tahu mengapa, tapi ada malam-malam di mana ia terbangun dengan perasaan hampa, mengingat gadis itu dan bayangannya yang semakin lama semakin memudar.

Dan pada suatu malam, saat ia duduk di sudut kafe setelah jam tutup, Raya tiba-tiba bertanya, “Kamu pernah jatuh cinta?”

Nadhif terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Raya tersenyum kecil. “Dari caramu diam, kayaknya aku tahu jawabannya.”

“Apa maksudnya?”

“Kamu bukan lari dari rumah. Kamu lari dari seseorang.”

Nadhif tidak membantah.

Karena mungkin, di balik semua alasannya pergi, ada satu alasan yang tidak pernah benar-benar ia akui pada dirinya sendiri.

Ia sedang mencari sesuatu.

Atau mungkin, seseorang.

 

Pulang yang Sesungguhnya

Langit senja memancarkan warna jingga keemasan saat Nadhif berdiri di tepi jembatan tua yang menghadap sungai. Angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang sebentar lagi turun.

Di tangannya, ada kertas lusuh—surat pengunduran dirinya dari kafe.

Raya menatapnya dari bangku kayu di dekat situ. “Jadi, kamu beneran pergi?”

Nadhif mengangguk. “Aku udah terlalu lama nggak tahu arah.”

Raya menarik napas dalam, lalu tersenyum samar. “Kamu akhirnya nemuin alasan buat pulang?”

Kata ‘pulang’ terasa asing, tapi juga hangat.

Pulang ke mana? Ke rumah yang dulu mengurungnya? Atau ke sesuatu yang lebih dari sekadar tempat?

Perjalanan kembali ke kota asalnya terasa lebih pendek dibanding saat ia pergi. Atau mungkin, pikirannya terlalu sibuk bertanya-tanya.

Apa yang akan ia temui di sana?

Apakah ia masih dianggap bagian dari rumah itu?

Apakah semua ini terlambat?

Saat akhirnya ia berdiri di depan pagar rumahnya, tangannya sempat ragu untuk mengetuk. Tapi sebelum ia sempat memutuskan, pintu terbuka.

Dan di sana, berdiri seseorang yang dulu selalu menjadi cahaya kecil di dunianya.

Aluna.

“Kakak?” suara itu hampir berbisik.

Nadhif menelan ludah. “Hei.”

Mata gadis itu langsung memerah. Ia berlari, memeluk kakaknya dengan erat, seakan takut Nadhif akan menghilang lagi.

“Kamu lama banget,” suaranya bergetar.

Nadhif hanya bisa memejamkan mata dan membalas pelukan itu. “Maaf.”

Mungkin ini alasan kenapa ia harus kembali.

Rumah masih sama—dingin, luas, dengan keheningan yang terasa lebih tajam dari sebelumnya. Ayahnya duduk di ruang tamu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Kamu pulang,” suaranya rendah, tanpa emosi.

“Ya,” jawab Nadhif pelan.

Ayahnya menatapnya lama. “Apa kamu akhirnya sadar kalau nggak ada tempat buat orang yang cuma mau lari dari tanggung jawab?”

Nadhif tersenyum kecil. Dulu, kata-kata seperti itu akan membuatnya marah. Tapi sekarang, ia hanya merasa lelah.

“Aku nggak lari,” katanya. “Aku cuma butuh waktu buat nemuin jalanku sendiri.”

Ayahnya menghela napas, tapi tak berkata apa-apa lagi. Mungkin ini bukan akhir yang hangat, bukan pelukan penuh air mata seperti yang ada di film-film. Tapi itu cukup.

Kadang, kepulangan bukan tentang diterima kembali, tapi tentang berdiri dengan kaki sendiri.

Seminggu setelah ia kembali, ia melihat nama itu lagi.

Seira.

Di daftar peserta pameran seni kecil di pusat kota.

Dada Nadhif berdebar saat ia berdiri di depan galeri, menatap lukisan yang dipajang di dalamnya. Salah satu lukisan itu membuatnya membeku.

Sebuah pohon besar dengan ayunan di bawahnya.

Dan di sudut kanvas, ada inisial kecil yang hanya bisa dikenali oleh seseorang yang benar-benar mengerti.

SN.

Saat itulah, ia mendengar suara yang dulu selalu bisa membangkitkan kenangan yang ia kira sudah mati.

“Kamu akhirnya datang juga.”

Ia berbalik.

Seira berdiri di sana, masih dengan senyum yang sama. Tapi ada sesuatu di matanya yang lebih dalam—seperti seseorang yang juga sudah melewati badai yang panjang.

Mereka saling menatap dalam diam.

Lalu Seira berkata, “Jadi, kamu udah siap buat berhenti lari?”

Nadhif menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Aku nggak lari lagi.”

Karena kali ini, ia akhirnya tahu ke mana ia harus pulang.

 

Hidup tuh kayak perjalanan jauh yang kadang muter-muter nggak jelas. Ada kalanya kita harus pergi buat nemuin jawaban, tapi akhirnya sadar kalau jawaban itu udah ada di depan mata sejak awal.

Nadhif akhirnya ngerti, kalau pulang bukan sekadar balik ke rumah, tapi tentang menemukan tempat di mana hatinya benar-benar tenang. Dan kamu? Udah siap buat pulang ke tempat yang sebenarnya?

Leave a Reply