Daftar Isi
Kadang hidup mempertemukan kita dengan orang-orang asing dalam situasi yang nggak terduga. Bisa jadi di tengah hujan, di halte bus yang mogok, atau di sebuah kedai kopi kecil dengan suasana hangat. Tujuh orang ini nggak kenal satu sama lain, tapi satu insiden bikin mereka duduk bareng, ngobrol, dan menemukan sesuatu yang nggak mereka duga—pelajaran hidup yang nggak akan mereka lupakan.
7 Orang Asing, 1 Malam
Persimpangan Takdir
Hujan turun tanpa ampun, membasahi jalanan yang penuh dengan pantulan lampu kota. Bus kota bernomor 27 melaju lambat di antara rinai hujan, menyusuri jalanan yang mulai sepi. Udara dingin merayap masuk melalui celah-celah jendela, membuat beberapa penumpang merapatkan pakaian mereka.
Di kursi paling belakang, seorang perempuan dengan mantel hitam duduk termenung, jemarinya menggenggam erat selembar kertas yang mulai lecek. Seraphine, pianis yang baru saja mengalami kegagalan besar dalam hidupnya, menghela napas panjang.
Di sisi lain bus, Damar menyandarkan kepala pada jendela. Mata lelahnya menatap lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat. Hari itu terlalu panjang baginya, dan pulang ke rumah bukanlah hal yang ia nantikan.
Sementara itu, seorang lelaki bertubuh tegap dengan tatapan tajam duduk dengan lengan terlipat. Ezra. Ia baru saja keluar dari kantor polisi setelah berjam-jam membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Bukan pengalaman pertama, dan mungkin bukan yang terakhir.
Di kursi dekat pintu, seorang gadis muda berkacamata, Liona, sibuk dengan pikirannya sendiri. Matanya kosong, pikirannya melayang jauh ke masa lalu—ke tempat yang tidak ingin ia kunjungi lagi.
Nadine, ibu muda yang menggendong bayinya, duduk dengan wajah cemas. Anak dalam pelukannya mulai menggeliat, seolah gelisah dengan udara dingin yang merayap.
Kenzo, lelaki dengan ransel besar di punggungnya, tersenyum kecil. Baginya, malam seperti ini bukanlah sesuatu yang buruk. Ia suka kejutan, dan hidup telah memberinya begitu banyak kejutan sejauh ini.
Dan di balik kemudi, Raka, sopir bus yang sudah bertahun-tahun mengemudi di rute ini, menyipitkan mata menembus hujan. Malam ini terasa lebih berat dari biasanya.
Tiba-tiba—
BRAK!
Sebuah suara keras menggema dari bagian depan bus. Mesin mendadak bergetar keras sebelum mati total. Roda bus tergelincir sedikit sebelum akhirnya berhenti di tengah jalan.
“Apa-apaan ini?” Seraphine mendesis pelan.
Raka mengumpat dalam hati, lalu menepikan bus sebisa mungkin sebelum turun dengan wajah cemas. Hujan masih mengguyur deras.
“Ada apa?” Nadine bertanya dengan nada khawatir.
“Kayaknya mesinnya mogok,” jawab Raka, mengusap kepalanya yang sudah basah. “Aku cek dulu. Tunggu di dalam aja, ya.”
Namun, udara di dalam bus mulai terasa pengap. Satu per satu penumpang memutuskan untuk turun, berdiri di pinggir jalan sambil menyilangkan tangan atau merapatkan jaket mereka.
“Lama banget,” gumam Ezra sambil melihat jam tangannya.
Liona menarik napas dalam. “Aku nggak bisa lama di sini. Bisa kedinginan.”
“Ya udah, kita cari tempat berteduh,” kata Damar sambil mengamati sekitar. Matanya menangkap sebuah kedai kopi kecil di seberang jalan. Lampunya masih menyala.
“Aku ikut,” Kenzo menyahut santai. “Nggak ada gunanya berdiri di sini.”
“Aku juga, kalau bayiku kedinginan, aku bakal repot,” kata Nadine, mengusap punggung kecil anaknya dengan lembut.
Seraphine menghela napas. “Ya udah, daripada mati kaku di sini.”
Mereka berenam berjalan menyeberang jalan dengan hati-hati, mengikuti langkah Damar yang lebih dulu melangkah. Raka tetap tinggal di dekat bus, masih sibuk dengan mesinnya.
Begitu pintu kedai terbuka, aroma kopi yang hangat menyeruak, bercampur dengan bau kayu basah. Kedai itu kecil, hanya ada beberapa meja dan kursi kayu sederhana. Seorang pria tua yang tampaknya pemilik kedai menoleh dari balik meja kasir.
“Silakan masuk,” katanya ramah. “Di luar hujan semakin deras.”
Mereka berlima masuk dengan perasaan lega. Ezra mengibaskan jaketnya yang basah, sementara Kenzo tertawa kecil.
“Takdir lucu, ya?” katanya tiba-tiba.
Seraphine menoleh padanya. “Maksudmu?”
“Kita nggak saling kenal. Tapi, gara-gara insiden bodoh ini, kita terjebak di tempat yang sama. Kayak adegan di film.”
Damar mengangkat bahu. “Ya, begitulah hidup. Kadang, hal-hal yang nggak kita rencanakan justru bikin kita belajar sesuatu.”
Nadine duduk dengan hati-hati, memastikan bayinya tetap nyaman dalam gendongannya. Liona memesan teh hangat, sementara Seraphine hanya menyandarkan kepalanya pada kursi, masih mencoba memahami apa yang sebenarnya ia lakukan di sini.
Di sudut ruangan, Ezra menatap keluar jendela. Hujan masih deras, dan bus mereka masih mogok di sana. Ia tak tahu berapa lama mereka akan terjebak di tempat ini. Tapi satu hal yang pasti—malam ini tidak akan menjadi malam yang biasa.
Hujan dan Percakapan yang Menghangatkan
Keheningan mengisi kedai kopi kecil itu, hanya dipecah oleh suara hujan yang menampar jendela. Lampu temaram menciptakan bayangan lembut di meja kayu tempat mereka duduk. Di luar sana, jalanan mulai mengilap oleh genangan air, mencerminkan lampu-lampu kota yang berpendar.
Seraphine menggenggam cangkir kopinya yang masih mengepul. Ujung jarinya terasa hangat, kontras dengan hawa dingin yang masih menggigit kulitnya. Matanya menatap kosong ke permukaan hitam pekat dalam cangkirnya, seolah mencari sesuatu yang hilang di sana.
“Jadi, kita harus nunggu di sini sampai busnya bener?” tanya Liona pelan, menyesap tehnya.
“Kelihatannya begitu,” sahut Damar. “Daripada berdiri di pinggir jalan kehujanan.”
Kenzo tertawa kecil, menaruh kedua sikunya di meja. “Aku sih nggak keberatan. Selalu suka pertemuan random kayak gini. Bikin hidup lebih menarik.”
Ezra hanya mendengus kecil, tidak tertarik menanggapi. Sementara Nadine sibuk mengayun pelan tubuhnya, menenangkan bayinya yang mulai tertidur.
Seraphine akhirnya mengangkat wajahnya, melirik Kenzo. “Buatku sih nggak menarik sama sekali. Kalau bisa milih, aku lebih baik nggak ada di sini sekarang.”
Kenzo mengangkat alisnya. “Kenapa? Kamu ada janji penting?”
Seraphine tertawa sinis. “Janji? Aku bahkan nggak punya sesuatu yang layak disebut ‘kehidupan’ sekarang.”
Ucapan itu membuat mereka semua terdiam sejenak.
Damar menyesap kopinya dengan santai sebelum berkata, “Nggak seburuk itu, kan?”
Seraphine mengangkat bahu. “Aku gagal dalam audisi penting. Aku latihan bertahun-tahun buat momen itu, dan aku jatuh di titik paling memalukan. Aku nggak punya rencana cadangan. Jadi ya… buat apa?”
Kenzo menatapnya dengan minat baru. “Hanya karena gagal sekali, bukan berarti kamu harus berhenti, kan?”
Seraphine mendengus. “Kamu enak, ngomong gitu. Hidup kamu mungkin selalu lancar.”
Kenzo terkekeh. “Salah. Hidupku jauh dari lancar. Aku pernah kehilangan arah, bingung mau jadi apa. Sampai akhirnya aku mutusin buat jalanin hidup kayak air mengalir. Aku belajar dari setiap orang yang kutemui. Makanya, aku menikmati momen-momen kayak gini.”
Liona, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara. “Kalau aku justru benci kejutan.”
Mereka menoleh ke arahnya.
Liona tersenyum kecil, tapi sorot matanya kelam. “Aku tipe orang yang butuh kendali atas hidupku sendiri. Aku nggak suka hal-hal yang nggak bisa kuprediksi. Kejadian tak terduga selalu bikin aku ngerasa kayak nggak punya pegangan.”
“Makanya kamu kelihatan tegang terus?” celetuk Ezra yang akhirnya berbicara.
Liona meliriknya tajam, tapi Ezra hanya mengangkat bahu tanpa ekspresi.
“Aku ngerti sih,” kata Nadine tiba-tiba. “Aku dulu juga suka rencana. Sampai hidup ngerubah segalanya.”
Damar menatapnya penasaran. “Maksudnya?”
Nadine mengusap kepala bayi dalam gendongannya, senyumnya lembut tapi ada kelelahan di sana. “Aku nggak pernah nyangka bakal jadi ibu secepat ini. Semua rencana hidupku buyar. Tapi di saat yang sama… aku sadar nggak semua hal buruk benar-benar buruk.”
Mereka semua terdiam, mencerna kata-kata Nadine.
“Aku suka cara kamu mikir,” kata Kenzo, tersenyum. “Kadang hal yang nggak kita rencanain justru jadi bagian terbaik dari hidup kita.”
Ezra mendengus pelan. “Kadang juga malah jadi mimpi buruk.”
Seraphine menatap Ezra. “Kamu ngomong kayak orang yang punya pengalaman buruk.”
Ezra menatap ke luar jendela, rahangnya mengeras. “Banyak hal dalam hidup yang nggak bisa dikendalikan. Seadil apapun kamu bermain, selalu ada orang yang siap nyeret kamu jatuh.”
Tak ada yang berbicara setelah itu. Suasana berubah sedikit lebih berat.
Damar akhirnya berdeham, mencoba mencairkan suasana. “Tapi kita masih bisa milih, kan? Mau terima keadaan atau tenggelam dalam kecewa.”
Seraphine menatapnya, lalu mendesah. “Mungkin. Tapi, nggak gampang.”
Damar tersenyum tipis. “Nggak ada yang bilang gampang. Tapi itu bukan berarti mustahil.”
Di luar, hujan mulai mereda. Namun di dalam kedai kecil itu, percakapan mereka baru saja dimulai.
Pelajaran di Antara Kita
Kopi dalam cangkir mereka mulai mendingin, namun suasana di dalam kedai semakin hangat. Hujan di luar mereda, menyisakan rintik-rintik kecil yang jatuh pelan di atas aspal. Udara masih dingin, tapi di dalam ruangan, percakapan yang tadinya terasa canggung kini mulai terasa lebih akrab.
Kenzo menopangkan dagunya di tangan. “Jadi, menurut kalian… manusia itu sebenarnya lebih sering kalah atau menang dalam hidup?”
Liona mengerutkan dahi. “Tergantung definisi menang dan kalah menurut kamu.”
“Ya… misalnya kayak Seraphine tadi. Dia mungkin ngerasa kalah karena gagal audisi, tapi bisa jadi ada hal lain yang lebih baik menunggunya. Jadi, apakah itu benar-benar kalah?” Kenzo menjelaskan sambil menggoyangkan sendok kecil di cangkir kopinya.
Seraphine menatap kosong ke arah jendela, lalu menghela napas. “Aku nggak tahu. Rasanya masih terlalu berat buat diterima.”
Nadine tersenyum kecil. “Aku ngerti perasaan itu. Aku juga pernah ngerasa kehilangan pegangan. Tapi aku belajar sesuatu… yang paling penting itu bukan menang atau kalah, tapi bagaimana kita bertahan.”
Damar mengangguk pelan. “Betul. Hidup nggak selalu adil, tapi kita punya pilihan buat tetap jalan atau menyerah.”
Ezra mendengus pelan. “Kalian ngomong seolah semua bisa dihadapi dengan positif. Kenyataannya, ada saat-saat di mana pilihan itu nggak ada.”
“Contohnya?” tanya Kenzo, penasaran.
Ezra menatapnya tajam. “Contohnya kayak ketika kamu dituduh melakukan sesuatu yang nggak pernah kamu lakuin, cuma karena orang lain lebih punya kuasa buat menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar.”
Ruangan kembali hening. Semua bisa merasakan beban yang ada di balik kata-kata Ezra.
“Aku pernah ngalamin,” lanjutnya. “Dulu aku pikir kalau aku tetap lurus, semuanya bakal baik-baik aja. Nyatanya, ada orang-orang yang nggak peduli seberapa baik kamu. Mereka cuma peduli sama kepentingan mereka sendiri.”
Seraphine menatapnya dalam diam. “Dan itu bikin kamu ngerasa nggak ada gunanya buat berusaha?”
Ezra terdiam, lalu menghela napas. “Kadang iya.”
Nadine mengusap punggung bayinya yang masih tertidur. “Aku paham perasaan itu. Kadang dunia memang terasa nggak adil. Tapi aku percaya kalau kebaikan sekecil apapun bakal ninggalin jejak, meskipun kita nggak langsung lihat hasilnya.”
Ezra menatap Nadine, matanya sedikit melunak. “Kamu terlalu optimis.”
Nadine tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi kalau aku nggak punya harapan, gimana aku bisa bertahan?”
Damar mengangguk. “Harapan itu yang bikin kita tetap berdiri, kan?”
Seraphine menggigit bibirnya. Kata-kata mereka terdengar masuk akal, tapi menerima kenyataan tetap terasa sulit.
Liona akhirnya angkat bicara, suaranya lebih lembut kali ini. “Aku pernah baca di buku kalau manusia itu sebenarnya lebih kuat dari yang mereka kira. Kita selalu ngerasa kita bakal hancur kalau sesuatu nggak berjalan sesuai keinginan kita. Tapi lihat, kita masih di sini. Kita masih hidup.”
Kenzo tersenyum lebar. “Liona yang pesimis ternyata bisa ngomong kayak gitu juga, ya.”
Liona mendesah. “Bukan pesimis. Aku realistis. Tapi aku juga tahu kalau manusia selalu bisa bertahan, meskipun mereka pikir mereka nggak bisa.”
Seraphine menatap Liona lama, lalu menghela napas panjang. Mungkin benar. Mungkin dirinya terlalu lama membiarkan dirinya terpuruk tanpa mencoba melihat jalan lain.
Di luar, lampu jalan mulai redup, tanda malam semakin larut.
Ezra mengusap wajahnya. “Aku masih nggak yakin sama omongan kalian. Tapi… mungkin ada benarnya.”
Kenzo menepuk bahunya pelan. “Setidaknya, kita nggak sendiri. Hidup itu memang sulit, tapi nggak harus kita jalanin sendirian.”
Sejenak, semua terdiam. Merenungkan kalimat sederhana itu.
Di luar sana, bus yang mogok masih berdiri di tepi jalan. Tapi di dalam kedai kecil ini, tujuh orang asing menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tempat berteduh—mereka menemukan pelajaran yang mungkin akan mereka ingat seumur hidup.
Jalan Masing-Masing
Malam semakin larut, tapi di dalam kedai kopi kecil itu, kehangatan tetap bertahan. Lampu gantung kuning redup masih menyinari wajah-wajah tujuh orang asing yang kini terasa lebih dekat dibanding saat pertama kali bertemu.
Seraphine mengaduk sisa kopinya yang sudah dingin. “Lucu ya, awalnya aku pikir kejadian ini cuma bikin hariku makin buruk, tapi ternyata aku malah dapet perspektif baru.”
Kenzo tersenyum miring. “Hidup itu kayak itu. Kadang, hal-hal yang kita kira sial justru jadi sesuatu yang paling berharga.”
Damar melirik ke luar jendela. “Kayaknya bus kita bakal bisa jalan sebentar lagi.”
Mereka semua menoleh ke jalanan yang masih basah oleh sisa hujan. Seorang montir tampak berbicara dengan sopir bus, dan beberapa penumpang mulai bersiap naik kembali.
“Jadi, kayaknya ini bakal jadi perpisahan kita,” kata Liona pelan.
Ada keheningan sejenak.
Nadine menatap bayi dalam gendongannya dengan lembut, lalu mendongak ke arah yang lain. “Aneh, ya. Kita baru ketemu beberapa jam, tapi rasanya kayak udah kenal lama.”
Kenzo tertawa kecil. “Mungkin karena kita ketemu di saat yang tepat. Atau mungkin karena kita semua butuh momen ini.”
Ezra menatap meja kayu di depannya. “Aku nggak akan bilang ini mengubah hidupku atau semacamnya, tapi… aku bakal ingat percakapan ini.”
Seraphine mengangguk pelan. “Sama.”
Satu per satu, mereka mulai berdiri, merapikan barang masing-masing. Saat mereka keluar dari kedai, udara malam terasa lebih segar, seperti membersihkan beban yang sempat mereka bawa.
Di depan bus, mereka berhenti sejenak. Tidak ada yang benar-benar tahu harus berkata apa. Mereka bukan sahabat, bukan orang yang akan saling menghubungi setelah ini. Tapi ada sesuatu yang terasa dalam.
Liona menatap yang lain, lalu berkata pelan, “Aku nggak percaya aku bakal ngomong ini, tapi… aku seneng ketemu kalian.”
Damar tersenyum. “Aku juga.”
Nadine mengangguk. “Terima kasih, semuanya.”
Kenzo mengangkat tangannya, memberi hormat santai. “Kalau suatu hari kita ketemu lagi entah di mana, pura-pura nggak kenal itu nggak boleh, ya.”
Ezra hanya tersenyum tipis. Tidak ada kata-kata, tapi semua tahu itu berarti ‘sampai jumpa dengan cara yang tak terduga.’
Seraphine menatap ke langit malam yang masih sedikit berawan. “Aku masih belum tahu apa aku bisa bangkit dari kegagalanku atau nggak… Tapi setidaknya, aku bakal coba.”
Kenzo menepuk bahunya ringan. “Itu aja udah langkah yang bagus.”
Mereka pun naik ke bus, mengambil tempat masing-masing. Saat kendaraan itu mulai melaju perlahan, tak ada yang berbicara, tapi setiap orang membawa sesuatu dari pertemuan ini.
Mereka mungkin tidak akan bertemu lagi. Mereka mungkin akan melupakan nama satu sama lain. Tapi momen ini, kata-kata yang terucap, dan perasaan yang tertinggal—akan selalu menjadi bagian kecil dari perjalanan hidup mereka.
Dan terkadang, itu sudah cukup.
Mereka mungkin cuma bertemu sebentar. Mungkin nama mereka akan pudar di ingatan masing-masing. Tapi ada momen-momen yang nggak perlu diingat namanya untuk tetap berbekas di hati. Pertemuan singkat, percakapan yang tulus, dan sedikit kehangatan di tengah dinginnya dunia—kadang, itu lebih dari cukup.


