Cerpen Pagi Bening Kupu-Kupu: Kenangan yang Tak Pernah Hilang

Posted on

Pernah nggak sih, merasa ada kenangan yang selalu ikut terbawa ke mana-mana? Ya, kayak yang ada di cerita ini. Kupu-kupu yang datang pagi-pagi bisa banget mewakili perasaan kita, yang walaupun udah lama berlalu, tapi kenangannya nggak bisa hilang begitu saja.

Cerpen ini bakal ngebawa kalian ke perjalanan hati yang penuh dengan emosi, perpisahan, dan tentu saja, pengingat tentang betapa berartinya kenangan yang pernah ada. Gak cuma buat yang pernah kehilangan, tapi buat siapa aja yang percaya bahwa kenangan nggak akan pernah benar-benar pergi.

 

Cerpen Pagi Bening Kupu-Kupu

Pagi yang Bening, Kenangan yang Tak Pudar

Langit masih pucat saat Elio melangkah keluar rumah. Udara pagi terasa sejuk, dengan embun yang menempel di ujung rumput, berkilauan ketika disentuh cahaya matahari yang baru muncul dari ufuk timur. Jalan setapak yang dilaluinya masih basah, meninggalkan jejak samar di tanah.

Di ujung jalan, sebuah pohon besar berdiri kokoh, batangnya tua dengan cabang-cabang yang menjulur lebar seakan melindungi siapa pun yang berlindung di bawahnya. Bangku kayu tua di bawah pohon itu masih ada, meski mulai lapuk dimakan waktu.

Dulu, bangku itu selalu menjadi tempat Amara duduk setiap pagi.

Tanpa sadar, Elio menarik napas dalam. Udara segar yang ia hirup tak cukup menenangkan dadanya yang terasa sesak. Sudah berbulan-bulan sejak kepergian Amara, tetapi pagi tetap menjadi waktu yang paling sulit baginya.

Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang bermekaran di dekat pohon. Dalam diam, Elio merogoh saku jaketnya, menarik keluar sebuah benda kecil—sebuah pita rambut berwarna biru muda yang sudah mulai pudar. Ia menggenggamnya erat, seakan itu adalah satu-satunya bukti bahwa Amara pernah ada.

Langkahnya terhenti ketika sesuatu melintas di hadapannya. Seekor kupu-kupu biru keunguan mengepakkan sayapnya pelan, terbang ringan di udara pagi yang bening. Elio terdiam, matanya mengikuti gerakan makhluk mungil itu.

Seolah ada sesuatu yang menahan napasnya.

“Lihat, Elio! Kupu-kupu itu indah sekali!”

Suara Amara kembali terngiang di kepalanya, begitu jelas seperti baru kemarin gadis itu mengatakannya.

Saat itu, mereka sedang duduk di bangku tua ini. Amara menunjuk ke arah kupu-kupu yang hinggap di bahunya, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan sesuatu yang luar biasa.

Elio hanya melirik sekilas, kemudian mengangkat bahu. “Itu cuma kupu-kupu, Mar. Kamu heboh banget.”

Amara mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk. “Elio, kamu nggak ngerti, ya? Kupu-kupu itu… mereka pembawa pesan dari dunia lain.”

Elio tertawa kecil. “Dunia lain? Kamu kebanyakan baca novel fantasi, nih.”

Amara mencubit lengannya pelan. “Serius! Aku pernah baca, kalau seseorang yang udah pergi tapi belum bisa meninggalkan dunia ini, mereka bakal datang dalam bentuk kupu-kupu.”

“Dan kalau aku pergi duluan, aku bakal datang ke kamu dalam wujud kupu-kupu juga.”

Saat itu, Elio menertawakan ucapan itu. “Jangan ngomong gitu, ah. Kamu masih lama hidupnya.”

Amara hanya tersenyum kecil, menatap kupu-kupu di bahunya sebelum akhirnya makhluk itu terbang pergi.

Kini, bertahun-tahun setelah percakapan itu, Elio berdiri di tempat yang sama. Pagi ini begitu sunyi, hanya diisi suara angin yang menyapu dedaunan dan gemerisik rumput yang basah.

Dan di hadapannya, kupu-kupu biru keunguan itu melayang pelan.

Sama seperti dulu.

Matanya terpaku pada gerakan kupu-kupu itu yang kini hinggap di bangku kayu tua. Seakan dunia sengaja mempertemukan mereka kembali di tempat yang penuh kenangan ini.

Elio menelan ludah, tiba-tiba merasa lehernya begitu kering.

“Amara… ini kamu?” gumamnya, nyaris tak terdengar.

Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya sekali, lalu diam, seolah mengiyakan.

Pagi ini begitu bening, tetapi ada kabut tipis yang menggantung di hati Elio. Sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat, perlahan menyeruak keluar.

Kenangan itu belum pudar. Ia masih ada. Selalu ada.

 

Janji di Sayap Kupu-Kupu

Elio masih berdiri di tempatnya, membiarkan angin pagi menerpa wajahnya yang dingin. Kupu-kupu itu masih hinggap di bangku kayu tua, mengepakkan sayapnya pelan, seolah ragu untuk terbang lebih jauh.

Dadanya berdegup aneh. Ada sesuatu dalam kehadiran kupu-kupu itu yang membuatnya enggan berpaling.

Pelan, ia melangkah mendekat, lalu duduk di bangku kayu yang kini terasa lebih sunyi tanpa seseorang di sisinya. Jemarinya masih menggenggam pita biru muda yang mulai lusuh. Sudah berapa kali ia datang ke tempat ini dengan membawa benda kecil ini?

“Kenapa kamu masih menyimpan itu?”

Suara itu muncul begitu saja dalam pikirannya, jernih dan nyaris nyata.

Elio tersenyum kecil. “Karena ini milikmu, bodoh.”

Mata Elio kembali menatap kupu-kupu di depannya, yang masih tak bergerak dari tempatnya hinggap. Ia menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

“Aku tahu ini bukan kamu, Amara.” Suaranya rendah, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Tapi tetap saja… kenapa harus kupu-kupu?”

Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka bertahun-tahun lalu.

Amara selalu percaya bahwa kupu-kupu adalah perantara antara dunia manusia dan dunia yang tak terlihat. Ia selalu berkata bahwa jika seseorang yang pergi masih punya sesuatu yang belum terselesaikan, mereka akan kembali dalam bentuk kupu-kupu.

Dulu, Elio menertawakannya. Sekarang, ia tak tahu harus percaya atau tidak.

Ia mengulurkan tangan perlahan, mendekati kupu-kupu itu. Namun, sebelum jarinya sempat menyentuh sayapnya, makhluk mungil itu mengepakkan sayap dan terbang, melayang di udara beberapa detik sebelum akhirnya kembali hinggap—di pundaknya.

Elio menegang.

Jantungnya berdegup keras, tetapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang terasa begitu familiar dari sentuhan ringan itu. Begitu halus, begitu lembut.

Persis seperti saat Amara dulu menyandarkan kepalanya di bahunya.

Dunia di sekelilingnya seakan memudar. Hanya ada dirinya, angin pagi yang sejuk, dan kupu-kupu itu.

“Aku harusnya nggak tertawa waktu kamu bilang soal kupu-kupu.” Elio tertawa kecil, meski matanya terasa panas. “Kalau ini benar-benar kamu, aku mau bilang… maaf.”

Angin berembus lebih kencang. Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya sekali lagi sebelum akhirnya terbang menjauh, mengitari pohon besar, lalu melayang lebih tinggi menuju langit pagi yang mulai terang.

Elio tidak mencoba mengejarnya. Ia hanya menatap, membiarkan sosok kecil itu menghilang di balik cahaya matahari.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Seakan ada sesuatu dalam hatinya yang perlahan mulai menemukan tempatnya.

Pagi ini masih bening. Tapi kali ini, bukan hanya pagi yang terasa lebih jernih.

Hatinyapun mulai sedikit lebih terang.

 

Ketika Waktu Berhenti

Elio bangkit dari bangku kayu itu, membiarkan kaki-kakinya melangkah tanpa tujuan. Matanya masih memandang ke langit yang kini mulai menghangat, cahaya matahari merayap ke segala penjuru, memberikan hidup pada setiap helai daun dan petak-petak rumput yang tersebar di sekitarnya. Namun, ada satu hal yang masih membekas di dadanya—kehadiran kupu-kupu yang tadi.

Saat itu, dunia di sekelilingnya seolah melambat. Seakan waktu berhenti sejenak, memberikan ruang untuk sebuah perasaan yang sulit dicerna.

Kepergian Amara terasa begitu dekat di setiap detik yang berlalu. Namun, kehadiran kupu-kupu itu seakan mengingatkannya bahwa perpisahan tak selalu berarti hilang.

Langkahnya membawa Elio menuju ujung jalan setapak, tempat yang dulu sering mereka lewati bersama. Di sana, ada sebuah rumah kecil yang dulunya penuh dengan tawa Amara—rumah yang kini terasa begitu sunyi, tak ada lagi jejak langkahnya di depan pintu itu.

Ia berhenti di depan pagar kayu yang mulai berkarat. Pintu rumah itu tertutup rapat, seakan menutupi segalanya yang pernah ada.

“Kamu dulu suka sekali berdiri di sini, kan?”

Elio mendengar suara itu dalam pikirannya, seperti suara Amara yang masih bisa ia dengar meski sudah lama tak bertemu. Tentu saja, ia tidak bisa menjawabnya. Hanya diam, memandang rumah itu, yang kini hanya menyisakan kenangan.

Tiba-tiba, Elio merasa ada yang berbeda. Kupu-kupu itu muncul lagi. Begitu tiba-tiba, ia melayang di depannya, seolah menunggu untuk diikuti. Elio menarik napas panjang dan melangkah mengikuti makhluk kecil itu, yang terbang dengan gerakan lembut, mengepakkan sayapnya di udara yang mulai hangat.

Ia mengikuti kupu-kupu itu tanpa berpikir. Langkahnya mengikuti setiap gerakan kupu-kupu itu, melintasi jalan setapak yang biasa mereka lalui bersama, dan akhirnya berhenti di dekat pohon besar yang telah lama menjadi saksi bisu kenangan mereka.

Di bawah pohon itu, ada sebuah batu datar, tempat Amara dan Elio pernah duduk berjam-jam, bercakap-cakap tentang segala hal. Saat itu, dunia terasa hanya milik mereka berdua—tak ada yang lain. Tak ada beban, hanya kebersamaan yang tak ternilai.

“Amara, kenapa kamu harus pergi?”

Elio tidak sadar ia mengucapkannya keras, seolah berharap bahwa angin atau waktu bisa menjawab pertanyaannya.

Kupu-kupu itu kembali mendekat, hinggap di batu datar itu. Elio memandangnya dengan penuh perhatian, matanya sedikit berkaca. Hati yang semula terasa kaku kini mulai lebih mudah untuk merasakan sesuatu yang telah lama terkunci.

Lama-kelamaan, kupu-kupu itu terbang lagi, melayang tinggi ke udara, dan Elio mengikuti dengan pandangannya, memperhatikan setiap gerakan yang begitu anggun. Setiap kepakan sayapnya mengingatkan Elio pada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang telah lama hilang, namun tetap ada di dalam dirinya.

“Mungkin kamu benar, Amara. Mungkin kita memang tak akan pernah benar-benar berpisah.”

Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa ada yang menahan. Elio tersenyum, meski senyum itu terasa pahit di ujung bibirnya.

Tapi entah kenapa, ada rasa damai yang perlahan menyusup di dadanya. Kepergian Amara mungkin tidak bisa ia terima sepenuhnya, namun kenangan mereka—kenangan yang terpatri dalam setiap sudut tempat ini—akan selalu ada.

Dan saat kupu-kupu itu menghilang di balik awan, Elio merasa bahwa perpisahan itu bukanlah akhir. Ia tahu, di suatu tempat yang tak tampak, Amara masih ada.

 

Perpisahan yang Tak Sebenarnya

Langit sore itu berubah menjadi oranye keemasan, sinar matahari yang semakin menurun menebarkan cahaya lembut ke segala penjuru. Angin sore berhembus, membawa serta aroma bunga-bunga yang bermekaran di sekitar, seperti sebuah senja yang ingin menyimpan rahasia dalam diamnya. Elio berdiri di tepi bukit, memandang jauh ke arah cakrawala yang semakin pudar.

Di tangan kanannya, pita biru muda yang lusuh itu tergenggam erat. Ia menatapnya dalam keheningan, tak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana, mencoba menenangkan segala sesuatu yang pernah mengganggu pikirannya.

Mungkin ini adalah saatnya.

Kepergian Amara sudah terlalu lama mengikatnya dalam bayangan. Hari-hari terasa melingkar tanpa ujung, penuh kenangan yang tak pernah lepas dari pikirannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya kini.

“Mungkin aku harus membiarkanmu pergi.”

Kata-kata itu keluar begitu saja, mengalir seperti sungai yang akhirnya menemukan jalannya. Elio menghela napas panjang, merasakan sesuatu yang berat di dadanya mulai berangsur menghilang. Ia merasa lega, meski entah kenapa ada rasa hampa yang datang setelahnya.

Pagi tadi, kupu-kupu itu datang lagi. Seperti peringatan, seperti sebuah pesan tak terucapkan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Kali ini, Elio tidak lagi merasa ada yang hilang. Ia hanya mengamati kepergian kupu-kupu itu dengan tenang, merasa ada yang sudah terselesaikan, meski tak pernah benar-benar ia mengerti apa yang telah terjadi.

Ia menundukkan kepala, membiarkan angin sore mengusap rambutnya, menyadari bahwa hidup terus berjalan. Waktu tidak menunggu siapa pun, dan begitu pula dengan kenangan. Mereka datang, lalu pergi, dan kita—hanya bisa menerima.

Di bawah pohon besar, di tempat yang sudah begitu sering mereka singgahi, Elio memutuskan untuk melepaskan semuanya. Tidak ada lagi tangisan, tidak ada lagi penyesalan. Hanya keheningan yang memberikan kedamaian.

“Terima kasih, Amara,” gumamnya, meski suara itu hampir tidak terdengar. “Karena kamu telah mengajarkanku untuk melepaskan.”

Elio melangkah pergi, meninggalkan tempat itu dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu, perjalanan itu bukanlah untuk melupakan, tetapi untuk belajar hidup dengan kenangan.

Dan di balik awan yang semakin gelap, di antara cahaya senja yang memudar, Elio merasa ada sesuatu yang menyentuh hatinya—sebuah bisikan lembut, mungkin dari Amara, yang mengatakan, “Kamu tidak pernah benar-benar sendirian.”

Pagi yang bening, kupu-kupu biru keunguan, dan kenangan tentang seorang gadis yang pernah mengisi hidupnya—semuanya itu kini menjadi bagian dari perjalanan panjang yang tak pernah berakhir.

 

Gimana? Sudah mulai merasa kalau kenangan itu nggak pernah benar-benar pergi, kan? Sama kayak kupu-kupu yang terus terbang meskipun dunia terus bergerak maju. Kadang, hal-hal kecil kayak itu bisa nyentuh banget, bikin kita mikir, Ternyata ada hal-hal yang tetap abadi dalam hati.

Semoga cerita ini bisa bikin kalian ngerasa kalau nggak ada perpisahan yang sesungguhnya. Semua yang pernah ada, akan selalu ada dalam bentuk lain. Keep the memories alive, ya!

Leave a Reply