Daftar Isi
Siapa bilang ngejar cowok cuek itu gampang? Apalagi kalau dia kapten basket sekaligus ketua OSIS, tajir, dingin kayak es batu, dan setengah sekolah ngefans sama dia! Tapi buat Cecille, kata menyerah itu nggak ada dalam kamus.
Mulai dari nguntit, tiba-tiba muncul di mana-mana, sampai ngejailin cowoknya sendiri biar dapat perhatian, semua dicoba! Tapi kira-kira berhasil nggak, ya? Atau malah dia bakal kena mental sendiri? Kalau penasaran, gaskeun baca! Tapi siap-siap baper, ngakak, dan greget sendiri!
Pacarku Kapten Basket & Ketua OSIS
Target yang Mustahil
Lapangan basket selalu ramai setiap sore, tapi kali ini, Cecille hanya fokus pada satu orang. Rei Zephyrian.
Laki-laki itu melompat tinggi, menangkap umpan, lalu memasukkan bola ke ring dengan akurasi sempurna. Peluh membasahi pelipisnya, tapi ekspresi dinginnya tetap tak berubah. Bahkan setelah suara pelatih meniup peluit tanda istirahat, dia tetap tidak banyak bicara, hanya mengambil botol minum lalu duduk di sudut lapangan, seperti biasa.
Cecille yang duduk di tribun terdepan menggigit bibirnya.
“Aku harus dapetin dia.”
“Jangan mimpi,” celetuk Azel, sahabatnya yang sejak tadi ikut menonton. “Rei itu cowok paling susah didekati di sekolah ini. Udah kayak es batu, dingin, keras, susah dilumerin. Lagian, kamu yakin bisa bersaing sama penggemarnya?”
Cecille mendengus, menatap sekelompok siswi yang berkumpul di pinggir lapangan. Beberapa membawa minuman, handuk kecil, bahkan ada yang sibuk merapikan rambutnya, berharap bisa mencuri perhatian Rei saat dia lewat.
Tapi, yang membuat Cecille benar-benar kesal adalah… Rei tidak pernah menggubris mereka.
“Lah, justru itu tantangannya,” gumamnya sambil menyilangkan tangan. “Kalau gampang, namanya bukan perjuangan!”
Azel menatapnya dengan tatapan iba. “Serius, kamu harus realistis. Rei itu bukan cuma kapten basket, dia juga ketua OSIS dan anak orang kaya. Kamu pikir dia bakal tertarik sama kamu yang nggak ada di lingkaran elite sekolah ini?”
Cecille menoleh tajam. “Bukan berarti aku miskin juga, kan?”
Azel mengangkat bahu. “Ya, tapi nggak sekaya dia.”
Cecille mengabaikan komentar itu. Dia sudah jatuh cinta sejak hari pertama melihat Rei bermain basket, dan menyerah bukan bagian dari rencananya.
Besoknya, Cecille memulai langkah pertama: mendekati Rei secara langsung.
Setelah jam pelajaran usai, dia pura-pura “kebetulan” lewat depan ruang OSIS, padahal sudah mengintai sejak sepuluh menit yang lalu. Dia melihat Rei duduk di balik meja panjang, sibuk membaca dokumen sambil sesekali mengetik di laptopnya.
“Rei!” Cecille berseru ceria, berjalan mendekat dengan langkah mantap.
Rei mengangkat kepala, menatapnya sekilas. “Ada perlu?”
“Santai banget. Aku cuma mau daftar jadi anggota OSIS.”
Rei menutup dokumennya, menatap Cecille dengan ekspresi datar. “Bagian apa?”
Cecille tersenyum lebar. “Bagian yang sering ketemu kamu!”
Hening.
Mata Rei sedikit menyipit, lalu kembali ke dokumen tanpa menghiraukan Cecille.
Cecille berkedip. “Kamu nggak bakal nanya kenapa aku mau masuk OSIS?”
“Nggak.”
Jawaban singkat itu sukses membuat Azel—yang ikut mengintai dari pintu—tertawa tanpa suara. Cecille menghela napas, tapi dia tidak menyerah begitu saja.
“Oke, kalau gitu, aku daftar jadi seksi acara!”
Rei menatapnya sekilas sebelum menyerahkan formulir. “Isi ini. Wawancara besok.”
Cecille menerima formulir itu dengan senyum penuh kemenangan. Langkah pertama sukses!
Namun, perjuangan Cecille tidak selalu mulus. Selain Rei yang sekeras batu, ada juga Velda, salah satu senior yang diam-diam menjadi penghalangnya.
“Kamu yakin mau daftar OSIS?” Velda menyeringai, melipat tangan di depan dada. “Jangan cuma karena ada Rei, ya.”
“Aku beneran mau ikut OSIS, kok,” balas Cecille santai. “Lagian, peduli apa kalau memang karena Rei?”
Velda mendecakkan lidah. “Rei itu standar pacarnya tinggi, ngerti, kan?”
“Aku lebih tinggi dari standar itu,” Cecille tersenyum.
Velda mendelik sebelum pergi dengan dengusan kesal.
Azel mendekat dengan ekspresi cemas. “Kamu sengaja cari ribut, ya?”
“Mana ada? Aku cuma ngomong fakta.”
Azel menggeleng tak percaya. “Fix, otak kamu isinya Rei doang.”
Dan memang benar. Bagi Cecille, Rei Zephyrian adalah target yang harus dikejar.
Meskipun Rei tidak menggubrisnya. Meskipun banyak yang meremehkannya. Meskipun jalannya panjang dan penuh rintangan.
Cecille tidak peduli.
Karena baginya, satu-satunya cara untuk membuat Rei meliriknya adalah tetap bertahan.
Misi Pengejaran Tanpa Akhir
Cecille duduk dengan kaki disilangkan di bangku taman sekolah, bolpoin berputar di jarinya. Di pangkuannya, formulir pendaftaran OSIS masih kosong, kecuali bagian nama dan kelas.
“Aku masuk OSIS beneran, nih,” gumamnya.
Azel yang duduk di sebelahnya, menyeruput minuman dinginnya. “Bukannya itu memang rencanamu?”
“Awalnya iya, tapi sekarang aku malah mikir… kalau aku beneran masuk OSIS, aku harus kerja juga, dong?” Cecille menghela napas. “Aku kan daftar bukan buat kerja.”
Azel menatapnya datar. “Kamu pikir ini ajang pencarian jodoh?”
“Ya…” Cecille menyeringai. “Bukannya aku salah, kan?”
Azel hanya menggeleng, terlalu malas untuk menanggapi.
Tapi masalahnya, bahkan dengan niat setengah serius, Cecille tetap harus menjalani wawancara OSIS besok. Dan dia harus berhasil. Bukan cuma karena Rei, tapi juga karena harga dirinya.
Hari wawancara tiba, dan Cecille berdiri di depan ruangan OSIS dengan tangan berkeringat.
“Ya ampun, kenapa aku deg-degan sih?” bisiknya.
“Kamu sadar ini OSIS, bukan audisi idol?” Azel menepuk punggungnya. “Udah, masuk aja.”
Cecille menarik napas panjang sebelum mendorong pintu dan masuk. Di dalam, ada beberapa anggota OSIS yang duduk berjejer seperti juri, dan di tengah… Rei.
Laki-laki itu duduk santai dengan tangan terlipat di atas meja, matanya tajam menatap Cecille.
“Mulai,” katanya singkat.
Cecille tersenyum manis, mengabaikan tatapan anggota OSIS lain yang terlihat skeptis.
“Apa motivasimu masuk OSIS?” tanya seorang senior, Daniel, yang duduk di samping Rei.
“Karena aku ingin berkontribusi untuk sekolah,” jawab Cecille cepat.
Daniel mengangkat alis. “Serius?”
“Nggak. Aku mau sering ketemu Rei.”
Seluruh ruangan hening.
Rei yang tadinya fokus membaca dokumen tiba-tiba menutup mapnya. Daniel berkedip beberapa kali, sementara anggota OSIS lainnya saling bertukar pandang.
Azel yang berdiri di luar hampir menabrak pintu karena kaget.
“…Maaf?” Daniel mencoba memastikan dia tidak salah dengar.
Cecille hanya tersenyum cerah. “Aku kan harus jujur, ya?”
Daniel terbatuk, mencoba menahan tawa, sementara seorang anggota OSIS perempuan berbisik, “Ini pertama kalinya ada yang daftar OSIS terang-terangan karena naksir ketua.”
Rei tidak bereaksi. Dia hanya menatap Cecille selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Kamu keterima.”
Cecille terdiam. “Hah?”
Daniel menoleh kaget. “Serius, Rei?”
“Kami butuh tambahan anggota di seksi acara. Dia bisa berguna.”
Daniel masih terlihat tidak percaya, tapi tidak membantah. “Ya udah, kalau kamu yang bilang.”
Cecille yang awalnya hanya bercanda kini malah benar-benar masuk OSIS.
Tapi dia tidak menyesal.
Setelah resmi menjadi anggota OSIS, Cecille semakin mudah “kebetulan” bertemu Rei.
Dia sering mampir ke ruang OSIS dengan alasan mengurus acara, padahal tujuannya hanya melihat Rei. Dia juga memastikan dirinya berada di tribun depan setiap latihan basket, bahkan sengaja membeli minuman lebih untuk diberikan ke Rei—meski hasilnya selalu nihil.
“Minumannya buat aku?” Rei bertanya saat Cecille menyodorkan botol.
Cecille mengangguk semangat. “Iya!”
Rei menatap botol itu beberapa detik, lalu berbalik pergi.
“…Kamu nggak ambil?” Cecille memiringkan kepala.
Rei menoleh sebentar. “Aku nggak haus.”
Azel yang ikut menonton dari belakang hanya bisa menepuk bahu Cecille dengan iba. “Sudahlah, Cece.”
Tapi Cecille tidak menyerah.
Namun, perjuangan Cecille tidak hanya soal menghadapi Rei yang dingin.
Suatu hari, saat sedang berjalan di koridor menuju ruang OSIS, tiga siswi dari geng Velda menghadangnya.
“Kamu pikir kamu bisa dekat-dekat Rei gitu aja?” salah satu dari mereka, Clara, bertanya dengan nada menyebalkan.
Cecille menaikkan alis. “Kenapa nggak?”
“Kamu nggak level, tahu.”
Cecille mendengus. “Kalian pikir aku peduli?”
Velda menyeringai. “Kalau kamu pinter, kamu bakal sadar diri dan mundur.”
“Tapi aku nggak pinter dalam hal menyerah,” Cecille tersenyum manis.
Sebelum Velda bisa membalas, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Rei muncul dengan ekspresi datarnya, tatapannya menyapu mereka semua sebelum berhenti di Cecille.
“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya tenang, tapi nadanya membuat suasana berubah dingin.
Velda tersentak, lalu tersenyum canggung. “Ah, nggak kok, Rei. Cuma ngobrol biasa.”
Tanpa membalas, Rei berbalik dan berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang di ujung lorong, dia sempat berkata, “Cecille, jangan buang waktumu.”
Cecille yang awalnya senang karena Rei menghampiri mereka kini justru terdiam.
Tapi bukannya menyerah, senyumnya malah melebar.
“Dia nyebut namaku,” gumamnya puas.
Azel yang muncul entah dari mana hanya bisa menghela napas panjang. “Kamu ini hopeless banget sih.”
Cecille mengangkat bahu. “Aku emang hopeless, tapi aku juga pantang mundur.”
Dan dengan itu, misi pengejaran tetap berlanjut.
Saat Es Mulai Mencair
Sejak hari itu, Cecille makin gila-gilaan mengejar Rei.
Setiap pagi, dia “kebetulan” datang bersamaan dengan Rei ke sekolah. Setiap istirahat, dia nongkrong di ruang OSIS. Setiap sore, dia duduk di tribun lapangan basket, bahkan ikut membantu mengumpulkan bola yang keluar lapangan.
Yang lebih gila lagi, Cecille bahkan ikut bimbingan belajar yang sama dengan Rei hanya karena mendengar rumor bahwa dia les di sana.
“Aku serius takut sama kamu,” ujar Azel saat mereka keluar dari bimbingan belajar.
“Kenapa?” Cecille mengedip polos.
“Kamu lebih gigih dari debt collector!”
Tapi bagi Cecille, usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Dan tanpa disadari, Rei mulai menunjukkan celah dalam pertahanannya.
Perubahan pertama datang saat latihan basket.
Seperti biasa, Cecille duduk di tribun, membawa dua botol minuman. Kali ini, dia diam-diam menaruh satu di bangku dekat Rei sebelum pergi, berharap kali ini diambil.
Saat dia kembali, botol itu sudah hilang.
Cecille menggigit bibirnya, menahan senyum. Bisa saja ada orang lain yang mengambilnya, tapi hatinya berkata lain.
Dan benar saja. Beberapa menit kemudian, dia melihat Rei meneguk air dari botol yang sama.
Cecille hampir menjerit kegirangan. Ini kemenangan kecil, tapi tetap kemenangan!
Minggu itu, jadwal latihan dan tugas OSIS bertumpuk. Semua sibuk, termasuk Rei yang terlihat sedikit lebih lelah dari biasanya.
“Aku pulang duluan,” kata Rei usai latihan.
Cecille yang sudah siap mengikutinya terkejut saat melihatnya sedikit sempoyongan.
Secepat kilat, dia melompat turun dari tribun dan mengejar Rei. “Kamu sakit?”
Rei menoleh pelan, ekspresinya masih datar, tapi ada sedikit kelelahan di matanya. “Aku baik-baik saja.”
“Yakin?” Cecille menyipitkan mata. “Kenapa suara kamu serak? Kamu pucat banget. Jangan-jangan demam?”
Rei menghela napas, lalu berjalan lagi. “Jangan sok peduli.”
“Yaelah, aku beneran peduli.” Cecille meraih pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya. “Aku antar pulang, yuk?”
Rei diam.
Biasanya, dia akan langsung menepis tangan Cecille atau pergi begitu saja. Tapi kali ini… dia hanya terdiam.
Akhirnya, tanpa berkata apa-apa, Rei berbalik dan mulai berjalan ke arah gerbang sekolah. Cecille berkedip sebelum tersenyum lebar dan segera mengikuti.
Ini pertama kalinya Rei tidak menolak bantuannya.
Keesokan harinya, Rei tidak masuk sekolah.
“Aku harus menjenguk dia,” ujar Cecille mantap.
Azel menatapnya seolah dia baru saja berkata akan memanjat tembok istana presiden. “Kamu sadar nggak sih siapa yang kamu hadapi? Rei itu pasti bakal nyuruh kamu pergi.”
“Aku nggak peduli!” Cecille memasukkan termos berisi sup ke dalam tasnya. “Aku harus memastikan dia makan yang bener.”
Dan begitulah, beberapa jam kemudian, Cecille berdiri di depan rumah Rei.
Dia menekan bel, dan beberapa detik kemudian, seseorang membuka pintu. Rei.
Laki-laki itu masih mengenakan sweater longgar, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya terlihat lebih redup dari biasanya. Dia terdiam saat melihat Cecille.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” suaranya masih serak.
“Aku mau jenguk kamu.” Cecille mengangkat termosnya dengan bangga. “Aku bawain sup!”
Rei menatapnya beberapa detik, lalu tanpa berkata apa-apa, menutup pintu tepat di depan wajah Cecille.
Cecille melongo. “Astaga.”
Azel yang ikut mengintai dari pagar hampir jatuh saking tertawanya.
Tapi Cecille tidak menyerah. Dia menekan bel lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Sampai akhirnya, Rei membuka pintu dengan tatapan frustrasi. “Cecille.”
“Hmm?”
“Kamu nggak bakal pergi kalau aku nggak ngizinin masuk, ya?”
Cecille tersenyum manis. “Nggak.”
Rei menutup mata sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia melangkah mundur dan membiarkan Cecille masuk.
Kemenangan kedua.
Rei duduk di sofa, menatap Cecille yang sibuk menuangkan sup ke mangkuk.
“Kamu benar-benar ribet,” gumamnya.
“Udah biasa denger itu.” Cecille menyodorkan mangkuk. “Makan.”
Rei menatap sup itu sejenak sebelum akhirnya mengambil sendok dan mulai makan.
Cecille menunggu, memperhatikan tiap ekspresinya. Saat Rei menghabiskan setengah mangkuk tanpa mengeluh, dia tersenyum puas.
“Enak, kan?” tanyanya.
“Biasa aja.”
Cecille mencibir. “Minimal kamu makan, itu udah cukup.”
Rei tidak membalas, tapi dia juga tidak menyuruh Cecille pergi.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya Rei meletakkan sendoknya. “Kenapa kamu ngotot banget ngejar aku?”
Cecille berkedip, tidak menyangka Rei akhirnya bertanya. “Karena aku suka kamu.”
Rei menatapnya dalam. “Aku tahu. Tapi kamu sadar nggak kalau aku bukan orang yang gampang didekati?”
“Aku sadar banget,” Cecille terkekeh. “Tapi aku nggak butuh yang gampang. Aku butuh kamu.”
Rei terdiam. Untuk pertama kalinya, tatapannya tidak sekaku biasanya. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum bisa Cecille artikan.
Tapi dia tahu satu hal: dia sudah semakin dekat.
Akhir dari Pengejaran (Atau Awal yang Baru?)
Setelah hari itu, sesuatu berubah.
Rei tidak langsung menjadi orang yang ramah atau tiba-tiba jatuh cinta padanya. Tapi dia juga tidak lagi mengabaikan Cecille.
Sekarang, kalau Cecille menawarinya minuman setelah latihan basket, dia tidak lagi pergi begitu saja—meskipun hanya mengambilnya tanpa berkata apa-apa.
Kalau Cecille mampir ke ruang OSIS, dia tidak lagi menatapnya dengan tatapan “Kamu ngapain di sini?”—melainkan hanya mendesah lelah sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.
Dan yang paling mencolok… Rei mulai memperhatikan Cecille.
Bukan secara terang-terangan, tentu saja. Tapi Cecille bisa menangkapnya. Tatapan sekilas saat dia bicara. Cara Rei terkadang menghela napas saat dia mulai berisik. Cara laki-laki itu tidak lagi menolak kehadirannya.
Bagi Cecille, itu adalah pertanda bahwa es benar-benar mulai mencair.
Tapi tentu saja, tidak semua orang senang dengan perkembangan ini.
“Aku nggak percaya kamu masih ngejar dia,” ujar Velda saat mereka bertemu di koridor. “Kamu ini nggak punya malu, ya?”
Cecille, yang sudah kebal dengan ucapan seperti itu, hanya mengangkat bahu. “Kamu masih peduli, ya? Kasian deh.”
Velda mendengus. “Dengar ya, Rei bukan orang yang bisa kamu miliki semudah itu. Kamu pikir dia mulai suka sama kamu? Tolong sadar diri.”
Cecille tertawa kecil. “Tahu nggak, Vel? Kalau aku mikirin omongan orang kayak kamu, aku nggak akan sampai sejauh ini.”
Sebelum Velda bisa membalas, suara familiar terdengar dari belakang mereka.
“Masih belum bosan mengganggu orang, Velda?”
Cecille menoleh dan mendapati Rei berdiri di belakangnya.
Velda terdiam. “Rei, aku cuma—”
“Pergi,” potong Rei singkat.
Velda mengepalkan tangan, tapi akhirnya pergi dengan mendengus kesal.
Cecille menatap Rei dengan senyum geli. “Wah, aku nggak nyangka kamu bakal bela aku.”
Rei menatapnya. “Aku nggak suka drama.”
“Uh-huh. Tapi kamu tetep nolongin aku. Itu berarti kamu—”
“Jangan terlalu percaya diri.”
Cecille terkekeh. Tapi dia tidak melewatkan cara Rei berdiri sedikit lebih dekat dari biasanya.
Malam itu, Rei mengirim pesan untuk pertama kalinya.
Rei: Kamu lagi di mana?
Cecille hampir menjatuhkan ponselnya. Ini pertama kalinya Rei menghubunginya duluan!
Dengan jantung berdebar, dia langsung membalas.
Cecille: Di rumah. Kenapa?
Rei: Keluar sebentar. Aku di depan rumahmu.
Cecille langsung lompat dari kasur. Apa Rei baru saja mengajaknya ketemuan?!
Dia tidak butuh dua detik untuk keluar rumah. Dan benar saja, di depan pagar, Rei berdiri dengan jaketnya yang sedikit terbuka, tangan di saku.
“Aku nggak mimpi, kan?” Cecille mengedipkan mata.
“Kalau kamu mimpi, aku juga mimpi,” jawab Rei santai.
Cecille tertawa, tapi kemudian menatapnya penasaran. “Jadi? Kenapa kamu tiba-tiba ke sini?”
Rei menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Aku menyerah.”
Cecille mengerutkan kening. “Menyerah?”
Rei mendesah pelan, lalu menatapnya serius. “Aku nggak tahu sejak kapan, tapi… aku mulai terbiasa sama kamu.”
Cecille menahan napas.
“Aku nggak janji bakal jadi pacar yang baik.” Rei mengalihkan pandangan ke langit malam. “Aku nggak suka hal-hal romantis, aku nggak suka diatur, dan aku nggak suka buang-buang waktu.”
Cecille menunggu.
“Tapi kalau kamu masih mau tetap di sini… aku juga nggak akan pergi.”
Cecille tersenyum lebar. Akhirnya.
“Aku nggak butuh pacar yang sempurna,” katanya. “Aku cuma butuh kamu.”
Rei menatapnya lama, sebelum akhirnya—untuk pertama kalinya—tersenyum tipis.
Dan bagi Cecille, itu adalah hadiah terbaik setelah semua perjuangannya.
Misi pengejaran selesai. Tapi kisah mereka baru saja dimulai.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang yang bikin sport jantung dan nyaris bikin malu seantero sekolah, Cecille berhasil nge-crack kode si cowok es batu! Rei akhirnya menyerah sama kegigihan (alias kekerasan kepala) si Cegil satu ini.
Tapi ini baru awal kisah mereka—kalau Cecille udah jadian, siapa yang bisa jamin dia nggak bakal makin gengges? Yang jelas, misi pengejaran berhasil, target berhasil dikepung, dan cowok idaman akhirnya takluk!


