Cinta yang Tak Direstui Takdir: Kenangan Abadi di Bawah Pohon Sakura

Posted on

Pernah nggak sih ngerasain cinta yang nggak bisa dipertahankan? Cinta yang meskipun dalam hati udah kuat banget, tapi takdir bilang gak bisa? Cerpen ini bawa kalian ke kisah tentang cinta yang abadi, meski tak bisa berjalan seperti yang diinginkan.

Di bawah pohon sakura, dua jiwa bertemu, namun takdir berkata lain. Siap-siap, karena ini bukan cuma cerita cinta biasa, ini tentang kenangan yang nggak pernah pudar meskipun waktu terus berjalan.

 

Cinta yang Tak Direstui Takdir

Pertemuan di Bawah Sakura

Sore itu, angin berembus pelan, membawa serta aroma bunga sakura yang bermekaran. Langit dihiasi semburat jingga yang mulai merayap di ufuk barat. Di antara banyaknya mahasiswa yang melintasi taman kampus, seorang gadis berdiri di bawah pohon sakura terbesar, menatap langit dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Sairen.

Nama itu seakan baru saja melekat dalam ingatan Elvano, meski mereka sebenarnya sudah sering bertemu. Bukan dalam obrolan panjang atau momen-momen berkesan, tapi sekadar tatapan singkat di lorong kelas atau saat gadis itu melintas bersama teman-temannya.

Sairen adalah tipe orang yang selalu terlihat mencolok. Tidak hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena sikapnya yang percaya diri dan sedikit sulit ditebak. Bukan gadis yang mudah didekati, tapi juga bukan seseorang yang sengaja menjaga jarak.

Namun, ada yang berbeda sore ini.

Tidak ada lingkaran teman-teman di sekitarnya. Tidak ada suara gelak tawa atau tatapan penuh percaya diri seperti biasanya. Ia hanya berdiri di sana, sendirian, dengan tatapan kosong ke arah langit.

Elvano tidak tahu kenapa kakinya berhenti melangkah. Ia hanya sadar bahwa tanpa berpikir panjang, ia sudah berjalan ke arahnya.

“Aku ganggu?” tanyanya begitu saja.

Sairen menoleh pelan. Ada sedikit keraguan di matanya sebelum akhirnya ia menggeleng. “Enggak. Aku juga cuma… berdiri aja.”

Jawaban yang aneh, tapi Elvano tidak berkomentar. Ia hanya memandangnya beberapa detik sebelum mengalihkan perhatian ke bunga sakura yang gugur perlahan.

“Kenapa di sini?” tanyanya lagi.

Sairen menghela napas pelan. “Aku suka tempat ini.”

Elvano tidak menjawab, hanya menunggu kalau-kalau ada penjelasan tambahan. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, Sairen kembali bicara.

“Kamu pernah ngerasa nggak, ada tempat yang bisa bikin kamu nyaman tanpa alasan? Kayak… ada sesuatu di sini yang bikin tenang,” katanya sambil menatap kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan.

Elvano berpikir sejenak. “Mungkin ada kenangan yang nggak kamu sadari di tempat ini.”

Sairen tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang biasa ia tunjukkan ke banyak orang. Senyum itu terasa lebih pribadi, lebih nyata. “Mungkin.”

Hening sejenak. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya suara angin yang membawa aroma bunga sakura di antara mereka.

“Aku nggak pernah lihat kamu sendirian,” Elvano akhirnya berkata.

Sairen menoleh padanya. “Maksudnya?”

“Kamu selalu dikelilingi banyak orang.”

Sairen tertawa kecil. “Aku juga manusia, tahu. Kadang butuh sendiri.”

Jawaban itu sederhana, tapi terdengar berbeda di telinga Elvano. Seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik kata-kata itu.

“Kalau gitu… aku tinggal aja?” Elvano menawarkan, setengah bercanda.

Sairen menatapnya beberapa detik, lalu menggeleng pelan. “Nggak usah. Kamu boleh di sini.”

Entah kenapa, jawaban itu membuat sesuatu di dalam diri Elvano menghangat. Bukan karena ia mengharapkan sesuatu dari gadis ini, tapi karena untuk pertama kalinya, Sairen tidak terlihat seperti gadis yang selalu tampil sempurna di depan semua orang.

Hari itu, tanpa disadari, sesuatu telah dimulai. Sesuatu yang perlahan tumbuh, mengakar, dan kelak akan menjadi kenangan yang paling sulit dilupakan.

 

Cinta yang Tak Direstui

Sejak sore itu, entah bagaimana caranya, Elvano dan Sairen semakin sering bertemu.

Awalnya hanya kebetulan. Lalu berubah menjadi kebiasaan. Dan sebelum mereka sadar, keduanya mulai menunggu satu sama lain di bawah pohon sakura yang sama, seakan tempat itu sudah menjadi milik mereka berdua.

Hari-hari berlalu dengan obrolan yang ringan, sesekali bercanda, sesekali diam hanya untuk menikmati keberadaan masing-masing. Elvano bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi Sairen tidak keberatan. Ada kalanya gadis itu bisa bercerita panjang lebar, lalu di lain waktu hanya bersandar di bangku taman dengan kepala terangkat ke langit.

Suatu sore, ketika matahari mulai turun, Sairen menatap Elvano dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

“Kamu percaya takdir?” tanyanya tiba-tiba.

Elvano menoleh sebentar, lalu mengangkat bahu. “Tergantung. Kenapa?”

Sairen menghela napas panjang. “Kadang aku mikir, apa hidup kita benar-benar sudah ditentukan dari awal? Kayak… sekeras apapun usaha kita, kita tetap nggak bisa ngelawan sesuatu yang sudah digariskan.”

Elvano diam, membiarkan kata-kata itu mengendap dalam pikirannya sebelum menjawab, “Mungkin yang sudah ditentukan itu garis besar hidup kita, tapi jalannya tetap kita yang pilih.”

Sairen tersenyum kecil. “Kamu terlalu realistis.”

Elvano menatapnya. “Kamu terlalu banyak mikir.”

Sairen tertawa pelan, tapi matanya tidak benar-benar tertawa. Ada sesuatu yang disembunyikannya, sesuatu yang belum siap ia bagikan.

Dan Elvano tidak memaksa.

Mereka terus bertemu, terus berbagi hari tanpa pernah membicarakan apa yang sebenarnya sedang tumbuh di antara mereka. Tidak ada kata cinta yang diucapkan, tapi segalanya terasa lebih dari cukup.

Sampai hari itu tiba.

Hari ketika Elvano melihat Sairen berdiri di bawah pohon sakura dengan wajah yang berbeda dari biasanya. Bukan tenang, bukan penuh percaya diri, tapi… lelah.

“Kamu kenapa?” tanyanya begitu sampai di hadapan gadis itu.

Sairen menatapnya sejenak sebelum tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku mau pergi.”

Elvano mengernyit. “Pergi ke mana?”

Sairen menunduk, jemarinya meremas ujung roknya sendiri. “Aku dijodohkan.”

Angin sore bertiup pelan, membawa keheningan yang terasa menyesakkan.

Elvano tidak langsung merespons. Ia tahu ada banyak kemungkinan dalam hidup, tapi tidak pernah sekalipun ia membayangkan skenario ini.

“Sejak kapan?” suaranya terdengar lebih tenang dari yang seharusnya.

Sairen menggigit bibirnya. “Sudah lama. Aku cuma… berharap ada keajaiban yang bisa mengubah semuanya.”

Elvano menarik napas dalam. “Dan sekarang?”

Sairen mengangkat bahu. “Nggak ada yang bisa aku lakuin.”

Hening lagi.

Untuk pertama kalinya, Elvano merasa ada sesuatu yang hilang bahkan sebelum benar-benar pergi.

“Jadi ini akhirnya?” tanyanya.

Sairen menatapnya, matanya berkabut oleh sesuatu yang tidak bisa ia tunjukkan. “Aku nggak tahu.”

Elvano tidak pernah percaya pada takdir. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, ia membencinya.

 

Perpisahan Tanpa Perpisahan

Dua hari setelah percakapan itu, Sairen menghilang.

Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, tidak ada jejak yang bisa Elvano cari. Biasanya, meskipun tidak selalu bertemu, ada setidaknya hal kecil yang menandakan keberadaannya—entah suara tawa samar di lorong kampus atau bayangan rambut panjangnya yang berkelebat di antara kerumunan. Tapi kali ini, tidak ada.

Seakan gadis itu memang sudah bersiap untuk pergi tanpa meninggalkan apa pun.

Elvano mencoba mencari. Ia bertanya ke beberapa teman Sairen, tapi tidak ada yang memberikan jawaban pasti. Beberapa hanya menatapnya dengan ekspresi ragu, seolah-olah mereka tahu sesuatu tapi memilih diam.

Hingga akhirnya, sore itu, seseorang menyelipkan sepucuk kertas ke meja Elvano di perpustakaan. Tanpa nama, tanpa tanda siapa pun, hanya tulisan tangan yang langsung ia kenali.

“Aku di taman. Untuk terakhir kali.”

Saat Elvano sampai di bawah pohon sakura, Sairen sudah berdiri di sana.

Angin meniup helaian rambutnya, membuat gadis itu tampak rapuh dalam senja yang meredup.

“Kamu akhirnya datang,” katanya, tersenyum kecil.

Elvano menatapnya, mencoba menyimpan setiap detail dari wajah itu. Seolah-olah jika ia mengingatnya cukup dalam, Sairen tidak akan benar-benar pergi.

“Kamu nggak ninggalin aku pilihan lain,” balasnya.

Sairen tertawa pelan, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Aku bakal pergi besok,” katanya akhirnya.

Elvano tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan perasaan yang sulit diungkapkan menggantung di udara.

“Aku pengen ketemu kamu dulu,” lanjut Sairen, “Karena aku nggak mau pergi tanpa bilang apa-apa.”

Elvano menghela napas panjang. “Tapi kamu tetap pergi.”

Sairen menunduk. “Aku nggak punya pilihan.”

Angin sore berembus pelan, membawa kelopak sakura jatuh di antara mereka. Waktu seakan bergerak lebih lambat, memberi mereka kesempatan untuk mengukir detik-detik terakhir ini dalam ingatan.

“Kamu bahagia?” tanya Elvano tiba-tiba.

Sairen terdiam. Jawaban yang seharusnya mudah, tapi nyatanya tidak.

“Aku harus bahagia,” katanya akhirnya, meski suaranya terdengar lebih seperti gumaman.

Elvano menatapnya dalam. “Bukan itu yang aku tanya.”

Sairen menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang hampir pecah dalam dirinya. Tapi kemudian ia menarik napas dalam, memaksakan senyum yang tidak seutuhnya nyata.

“Kita nggak selalu bisa milih apa yang kita mau, kan?”

Elvano ingin menyangkal. Ingin mengatakan bahwa mereka bisa melawan, bahwa mereka bisa mencari cara lain. Tapi ia tahu, Sairen tidak menginginkan itu.

Bukan karena gadis itu tidak ingin bersamanya, tapi karena dunia mereka memang sudah ditentukan untuk berakhir seperti ini.

Tanpa ada perlawanan. Tanpa ada perpisahan yang benar-benar diucapkan.

“Kalau suatu hari kita ketemu lagi…” Sairen berbicara pelan, suaranya nyaris tertelan angin.

Elvano menunggu, tapi gadis itu tidak melanjutkan.

“Kamu bakal tetap ingat aku?” lanjutnya akhirnya, dengan suara yang sedikit bergetar.

Elvano menatapnya, seolah-olah pertanyaan itu tidak seharusnya ditanyakan.

“Kamu tahu jawabannya,” katanya.

Sairen menatapnya lama. Lalu, dengan satu langkah maju, ia memeluknya.

Tidak ada kata-kata. Tidak ada janji. Hanya kehangatan yang perlahan memudar di bawah langit senja yang semakin gelap.

Dan saat Sairen melangkah pergi, Elvano tidak menghentikannya.

Karena ia tahu, beberapa perpisahan memang tidak bisa dihindari.

 

Kenangan yang Tak Pernah Pudar

Waktu berlalu.

Elvano menjalani hidupnya, berusaha sekuat tenaga untuk tetap melangkah. Namun, meski setiap hari berlalu, meski ia terlibat dalam pekerjaan dan rutinitas yang sama seperti dulu, hatinya tidak pernah benar-benar bergerak. Ada bagian dalam dirinya yang tetap terhenti pada sore itu—sore ketika ia memeluk Sairen untuk terakhir kalinya, ketika semuanya terasa begitu nyata dan begitu jauh sekaligus.

Ia masih datang ke pohon sakura itu, seperti kebiasaan mereka dulu. Bahkan setelah bertahun-tahun, tempat itu masih terasa hidup, seolah-olah Sairen masih ada di sana, menunggunya. Kadang-kadang, ia bisa membayangkan gadis itu berdiri di bawah pohon, menatap ke langit dengan senyum yang penuh rahasia.

Setiap kali ia mengunjungi tempat itu, ada perasaan hangat yang datang. Itu bukan perasaan sedih atau penuh penyesalan, hanya kenangan—kenangan yang manis, yang tak bisa dihapuskan begitu saja.

Bahkan di antara keramaian dunia yang terus bergerak, Elvano tahu bahwa bagian terbaik dari hidupnya sudah terjadi di bawah pohon sakura itu.

Ia pernah mendengar kabar tentang Sairen. Kadang-kadang, orang-orang di sekitarnya berbicara tentang pernikahannya, tentang kehidupannya yang sempurna. Mereka mengatakan bahwa ia bahagia, bahwa semuanya berjalan lancar seperti yang diinginkan keluarganya.

Tapi Elvano tidak pernah benar-benar peduli. Ia tidak ingin tahu tentang bagaimana Sairen menjalani hidupnya sekarang. Baginya, itu tidak penting. Apa yang penting adalah kenangan yang mereka tinggalkan bersama—kenangan yang akan selalu ada, tak pernah pudar.

Setiap kali melihat bunga sakura bermekaran, ia akan mengingat Sairen. Setiap kali angin bertiup pelan dan membawa kelopak bunga yang jatuh ke tanah, ia akan teringat pada hari-hari yang ia habiskan di sana, di bawah pohon itu, hanya berdua.

Dan meskipun tak ada lagi pertemuan, tak ada lagi kata-kata, Elvano tahu satu hal pasti: cintanya untuk Sairen sudah tertanam begitu dalam.

Tidak ada ruang untuk orang lain. Tidak ada tempat untuk cinta yang baru.

Sairen adalah satu-satunya.

Ia hanya bisa mengenangnya dalam diam, mengingat setiap detik yang pernah ada. Setiap tawa, setiap senyuman, setiap kata yang pernah terlontar di antara mereka.

Ia tahu bahwa, meskipun waktu terus berlalu, meskipun hidup harus terus dijalani, Sairen akan selalu ada dalam hatinya—tak akan pernah hilang. Kenangan itu terukir abadi.

Dan mungkin, itu sudah cukup.

 

Jadi, gimana menurut kalian? Cinta yang seperti ini, meskipun nggak direstui, tetap aja bisa jadi kenangan yang nggak bisa dilupakan. Gak semua kisah harus berakhir bahagia, tapi bukan berarti cinta itu nggak ada artinya. Kadang, kenangan aja sudah cukup, kan?

Leave a Reply