Rumah Tua yang Menunggu: Cerita Tentang Kenangan, Keluarga, dan Pilihan Hidup

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kalau rumah itu lebih dari sekadar tempat tinggal? Kalau setiap sudut dan lantainya punya cerita, dan setiap kenangan di dalamnya bener-bener nempel banget di hati?

Cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang penuh dengan kenangan, pilihan hidup, dan satu rumah tua yang nggak cuma jadi tempat tinggal, tapi juga jadi saksi bisu perjalanan hidup sebuah keluarga.

 

Rumah Tua yang Menunggu

Jejak di Lantai Kayu

Rumah tua itu berdiri di tepi desa, diapit oleh pohon jati yang sudah lebih dulu ada sebelum Surya dilahirkan. Udara pagi masih terasa sejuk, sementara embun menggantung di ujung daun seperti sisa-sisa kenangan yang belum lepas. Di dalam rumah, lantai kayu yang telah menghitam oleh usia berderit pelan setiap kali Surya melangkah.

Lelaki itu duduk di kursi kayunya yang usang, menyesap teh pahit yang baru saja ia seduh. Tangannya yang penuh urat menggenggam cangkir itu dengan santai, sementara matanya mengarah ke jendela yang terbuka. Tirai putihnya bergoyang pelan, menari bersama angin yang masuk tanpa permisi.

“Pak, mau dibuatin sarapan?” suara seorang perempuan terdengar dari dapur.

Surya menoleh sekilas ke arah sumber suara. Itu Sari, tetangga yang sesekali mampir untuk membantunya. Seorang janda yang tinggal di ujung jalan, baik hati dan tak banyak bicara.

“Nggak usah, Sar. Aku masih kenyang,” jawabnya pendek.

Sari menghela napas. “Dari tadi pagi kamu cuma minum teh, Pak. Mau sampai kapan?”

Surya tersenyum tipis, mengangkat bahu. “Dulu aku sering kayak gini sama almarhum Lestari. Minum teh dulu, sarapan nanti. Biar lebih tenang.”

Sari tak membalas. Ia hanya melanjutkan pekerjaannya, merapikan dapur kecil di sudut rumah yang dipenuhi perabotan tua. Panci-panci alumunium yang sudah mulai penyok, piring-piring dengan motif bunga lawas, dan teko keramik yang catnya mulai terkelupas. Semua masih di tempatnya, seolah waktu berhenti di rumah ini.

Surya kembali menatap jendela. Jalan setapak di depan rumahnya tampak basah oleh embun. Tak ada suara bising kendaraan seperti di kota. Hanya suara burung-burung yang bernyanyi di dahan dan desir angin yang membawa aroma tanah basah.

“Pak, anak-anak kapan pulang?” tanya Sari, memecah keheningan.

Surya menghela napas, meletakkan cangkirnya di meja. “Entahlah. Mungkin nanti kalau sempat.”

Jawaban yang sama, setiap kali seseorang bertanya hal itu. Anak-anaknya memang jarang pulang. Sibuk, katanya. Terlalu banyak urusan di kota.

Dulu, rumah ini selalu ramai. Ada suara langkah kaki kecil berlarian di lantai kayu, ada suara tangis yang cepat berganti tawa. Kini, semua hanya tinggal gema dalam ingatan.

“Kamu nggak mau ke kota aja, Pak? Tinggal sama anak-anak, kan lebih enak,” ujar Sari lagi, kali ini dengan nada hati-hati.

Surya tertawa kecil. “Enak buat siapa?”

“Ya buat kamu, Pak. Nggak sendirian terus di rumah tua kayak gini.”

Lelaki tua itu menggeleng, masih tersenyum. “Sar, rumah ini bukan cuma kayu dan atap. Ini tempat aku sama Lestari membangun hidup. Tempat anak-anak tumbuh. Setiap sudutnya punya cerita. Kalau aku pergi, aku ninggalin semua itu.”

Sari terdiam. Matanya melirik ke sekeliling rumah. Ia paham maksud Surya, meski tetap ada rasa iba.

Tapi Surya tidak butuh belas kasihan. Baginya, rumah ini bukan sekadar bangunan tua yang bisa ditinggalkan begitu saja. Ini adalah bagian dari hidupnya. Dan selama ia masih bisa menarik napas, ia akan tetap tinggal di sini.

Di tempat di mana jejak-jejak masa lalu masih terasa di lantai kayu yang berderit setiap kali ia melangkah.

 

Kenangan di Balik Jendela

Angin sore bertiup lembut, membawa serta aroma tanah yang mulai mengering setelah embun pagi menguap. Surya masih duduk di kursi kayunya, kali ini dengan sebatang rokok yang belum ia nyalakan di tangan kirinya. Matanya menatap lurus ke luar jendela, ke jalan setapak yang dulu sering dipenuhi suara langkah kecil anak-anaknya.

Dulu, setiap sore, Lestari akan duduk di sampingnya. Mereka akan berbincang tentang hal-hal sederhana—tentang tanaman di halaman yang mulai berbunga, tentang ayam-ayam di pekarangan, atau sekadar menertawakan cerita masa lalu. Kini, hanya ada kesunyian yang menjadi teman setianya.

Sari sudah pulang sejak tadi. Seperti biasa, perempuan itu membereskan dapur sebelum pergi, meninggalkan sebakul nasi dan lauk di atas meja. Surya tahu Sari hanya ingin memastikan ia makan dengan benar. Tapi entah kenapa, sejak Lestari pergi, makanan tak lagi terasa sesedap dulu.

Di tengah lamunannya, suara langkah kaki terdengar dari luar. Surya menghela napas pelan, sudah bisa menebak siapa yang datang.

Seorang lelaki paruh baya muncul di depan pintu. Bajunya rapi, sedikit terlalu rapi untuk suasana desa. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya bersih seperti seseorang yang terlalu sering berada di dalam ruangan ber-AC.

“Pak,” sapa lelaki itu pelan.

Surya mendongak, menatap anak sulungnya, Bima, yang berdiri di ambang pintu dengan wajah canggung.

“Kamu pulang,” ucap Surya datar, tak ada nada terkejut di suaranya.

Bima masuk, duduk di kursi seberang meja, lalu mengusap tengkuknya dengan gelisah. “Aku ada urusan di kota sebelah. Sekalian mampir.”

Surya hanya mengangguk, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Sudah terlalu lama sejak terakhir kali Bima duduk di sini, di rumah ini, di depannya.

“Kamu sehat?” tanya Bima akhirnya.

Surya mengangkat bahu. “Masih bisa bangun sendiri, masih bisa bikin teh sendiri. Jadi ya, sehat.”

Bima tersenyum kecut. “Pak, jangan gitu lah.”

Surya tak menjawab. Ia hanya menggeser cangkir tehnya ke samping, lalu menatap anaknya dengan pandangan yang sulit ditebak.

“Kamu datang cuma mau nanya aku sehat atau enggak?”

Bima menelan ludah, lalu menghela napas panjang. “Pak… ikut aku ke kota, ya? Rumah di sini udah terlalu tua, sepi. Nanti kalau ada apa-apa, nggak ada yang bisa jaga Bapak.”

Surya terkekeh, menggeleng pelan. “Aku masih cukup waras buat jaga diri sendiri.”

“Tapi Pak—”

“Bima,” potong Surya, suaranya tetap tenang, tapi tegas. “Aku udah bilang berkali-kali, aku nggak mau ke kota. Kamu datang jauh-jauh cuma buat ngajak aku pindah lagi?”

Bima terdiam, menunduk sebentar sebelum akhirnya menghela napas lagi. “Aku cuma nggak mau ninggalin Bapak sendirian.”

Surya tersenyum samar, matanya melunak. “Kamu nggak ninggalin aku, Bima. Kamu cuma menjalani hidupmu. Sama kayak yang dulu aku lakuin waktu ninggalin orangtuaku buat bangun rumah ini.”

Bima menatap ayahnya, lalu mengalihkan pandangannya ke sekeliling rumah. Ia melihat dinding yang masih dihiasi foto-foto lama, lemari kayu yang usianya mungkin lebih tua dari dirinya, dan lantai yang sudah mulai berderit lebih keras dari yang ia ingat.

“Kamu tahu, Bi,” lanjut Surya, suaranya lebih pelan. “Dulu, aku sama ibumu duduk di sini tiap sore, ngobrolin apa aja. Kadang cuma lihat anak-anak main di halaman, kadang cuma diam sambil minum teh. Rumah ini lebih dari sekadar tempat tinggal. Rumah ini tempat di mana semua kenangan tersimpan.”

Bima menelan ludah. Ada sesuatu dalam suara ayahnya yang membuat dadanya terasa sesak.

“Tapi Pak, kalau Bapak sendirian terus di sini…”

Surya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Aku nggak pernah sendirian, Bi. Rumah ini selalu nemenin aku.”

Bima terdiam lama. Ia tahu ayahnya keras kepala, dan kali ini pun ia tidak akan bisa mengubah pikirannya.

Di luar, matahari mulai tenggelam di balik pepohonan. Cahaya oranye keemasan masuk melalui jendela, menerangi wajah Surya yang terlihat damai.

Rumah tua itu masih berdiri, sama seperti pemiliknya—tetap kokoh, meski waktu terus berjalan.

 

Tawaran yang Ditolak

Malam merayap pelan di atas rumah tua itu. Angin berhembus melewati celah jendela, menggoyangkan tirai putih yang sudah mulai usang. Di luar, suara jangkrik bersahutan, menemani kesunyian yang sudah menjadi bagian dari kehidupan Surya.

Di ruang tamu, ia masih duduk di kursinya, seperti malam-malam sebelumnya. Cangkir tehnya sudah kosong, tapi ia belum berniat beranjak. Bima sudah pergi satu jam lalu, kembali ke kota dengan wajah penuh pikirannya sendiri.

Surya tahu anaknya mengkhawatirkannya, tapi tak ada yang bisa mengubah keputusannya. Ia sudah tua, dan rumah ini adalah tempat di mana ia ingin menghabiskan sisa waktunya.

Namun, malam ini, ketenangannya terusik.

Ketukan terdengar di pintu depan. Tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya mengernyit. Jarang ada tamu datang malam-malam begini. Dengan sedikit enggan, ia bangkit dari kursinya, membuka pintu dengan hati-hati.

Di depan pintu berdiri seorang pria berjas rapi, sekitar empat puluhan, dengan senyum profesional yang langsung membuat Surya merasa tidak nyaman.

“Selamat malam, Pak Surya,” sapa pria itu ramah.

Surya mengangkat alis. “Kamu siapa?”

Pria itu melangkah maju sedikit, menunjukkan sebuah kartu nama yang nyaris tak dilirik oleh Surya.

“Nama saya Johan, Pak. Saya bekerja di sebuah perusahaan properti. Kami tertarik dengan tanah dan rumah Bapak.”

Surya langsung ingin menutup pintu, tapi Johan buru-buru melanjutkan.

“Tunggu sebentar, Pak. Saya paham kalau rumah ini punya banyak kenangan buat Bapak. Tapi perusahaan kami bisa menawarkan harga yang sangat tinggi. Lebih dari yang pernah ditawarkan sebelumnya.”

Surya menatap pria itu dengan mata tajam. “Aku nggak jual rumah ini.”

Johan tersenyum, seolah sudah mengantisipasi jawaban itu. “Kami bisa bicara dulu, Pak. Nggak ada salahnya dengar dulu penawarannya. Lagipula, kalau rumah ini dijual, Bapak bisa tinggal di tempat yang lebih nyaman. Kami bisa mencarikan apartemen di kota dengan fasilitas lengkap. Lebih aman, lebih bersih, dan tentu saja lebih modern.”

Surya tertawa kecil, tapi bukan karena merasa terhibur. Ia melangkah keluar dari pintu, berdiri di teras rumah sambil melipat tangan di dada.

“Kamu tahu berapa umur rumah ini?” tanyanya, suaranya pelan tapi penuh tekanan.

Johan mengernyit. “Saya tidak tahu pasti, Pak. Tapi saya yakin rumah ini sudah cukup lama…”

“Lima puluh dua tahun.” Surya menatap pria itu tajam. “Rumah ini aku bangun pakai keringat sendiri, dengan tangan sendiri. Aku yang menanam pohon mangga di halaman itu. Aku yang memasang jendela ini satu per satu. Setiap retak di lantai kayu ini punya cerita.”

Johan tampak sedikit gelisah, tapi masih mempertahankan senyumnya. “Saya paham, Pak. Tapi—”

“Kamu nggak paham.” Suara Surya sedikit meninggi. “Buat kamu, rumah ini cuma bangunan tua di atas tanah yang bisa dijual. Tapi buat aku, ini hidupku. Ini tempat istriku menemaniku sampai akhir hayatnya. Ini tempat anak-anakku tumbuh. Ini tempat aku ingin mati.”

Johan terdiam sejenak. Tapi lalu, dengan senyum kecil, ia menarik napas dan berkata, “Pak, harga yang kami tawarkan bisa mengubah hidup Bapak. Saya yakin anak-anak Bapak pun ingin yang terbaik untuk Bapak.”

Surya menatapnya tajam. “Kalau kamu benar-benar ngerti apa yang terbaik buat aku, kamu nggak akan berdiri di sini buat nawarin aku uang.”

Hening. Johan akhirnya menghela napas, lalu memasukkan kembali kartu namanya ke dalam saku jasnya.

“Baiklah, Pak Surya. Kalau sewaktu-waktu berubah pikiran, silakan hubungi saya.”

Surya hanya diam saat pria itu berbalik dan melangkah pergi.

Setelah pintu tertutup, ia kembali duduk di kursinya, menatap langit-langit rumahnya yang sudah mulai menguning dimakan usia.

Rumah ini memang sudah tua. Mungkin suatu hari nanti, ia akan runtuh. Tapi jika itu terjadi, biarlah waktu yang menentukan—bukan tangan orang lain yang menganggapnya tak berharga.

Surya tersenyum kecil. Ia sudah membuat pilihan, dan tak ada yang bisa mengubahnya.

 

Rumah yang Menunggu

Hujan turun perlahan, mengetuk atap rumah tua itu dengan ritme yang menenangkan. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, menyusup masuk melalui celah-celah jendela yang sudah mulai longgar. Surya duduk di kursinya, menatap ke luar jendela sambil menggenggam cangkir teh hangat.

Hari ini berbeda. Ada keheningan yang lebih dalam dari biasanya, seolah rumah ini sedang menghela napas panjang.

Di meja, ada secarik kertas yang ditinggalkan Bima semalam sebelum ia kembali ke kota. Surya belum membacanya. Ia tahu isinya—pasti permintaan agar ia mempertimbangkan untuk pindah, atau setidaknya memikirkan masa depannya lebih serius.

Tapi bagi Surya, masa depannya sudah jelas. Ia akan tetap di sini, di rumah yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Dari luar, suara motor terdengar mendekat. Surya menoleh, merasa sedikit terkejut saat melihat siapa yang turun dari kendaraan itu.

Bima.

Anaknya itu berdiri di bawah hujan ringan, mengenakan jaket hitam yang mulai basah. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Surya mengerutkan kening.

“Aku nggak jadi balik ke kota,” ujar Bima setelah beberapa detik hening.

Surya menatapnya lama. “Kenapa?”

Bima menghela napas, lalu berjalan ke teras dan duduk di bangku panjang di sebelah ayahnya. Hujan mulai mereda, tapi udara masih menyisakan dingin yang menusuk.

“Aku mikir semalaman,” kata Bima pelan. “Tentang rumah ini, tentang kamu… tentang semua yang pernah ada di sini.”

Surya hanya diam, membiarkan anaknya berbicara.

“Dulu aku selalu ngerasa rumah ini terlalu kecil buat impianku. Aku pengen pergi, nyari kehidupan yang lebih besar. Tapi setelah jauh-jauh ke kota, setelah punya semua yang aku kira aku butuhkan… rasanya tetap ada yang hilang.” Bima menatap ke halaman, ke pohon mangga yang pernah ia panjat saat kecil. “Aku sadar, aku terlalu sibuk ngejar masa depan sampai lupa kalau rumah ini nggak akan selalu ada.”

Surya tersenyum samar, menyesap tehnya sebelum berkata, “Rumah ini selalu ada, Bi. Kamu yang milih buat pergi.”

Bima tertawa kecil, tapi ada kegetiran dalam suaranya. “Dan sekarang aku milih buat balik.”

Surya menoleh, menatap anaknya dengan mata penuh arti. “Maksudmu?”

“Aku nggak mau rumah ini kosong suatu hari nanti, Pak.” Bima menatap ayahnya dengan sorot mata yang teguh. “Aku mau tinggal di sini. Jaga rumah ini, jaga semuanya. Kalau nanti Bapak…” Ia menghentikan kalimatnya sebentar, menghela napas sebelum melanjutkan, “Kalau nanti Bapak nggak ada, rumah ini tetap hidup.”

Hening. Hanya suara rintik hujan yang tersisa, jatuh pelan di atas genting tua.

Surya tak langsung menjawab. Ia hanya menatap anaknya, mencoba membaca keseriusan di matanya.

Lalu, perlahan, senyumnya merekah. Bukan senyum lelah atau pasrah, tapi senyum seorang ayah yang akhirnya mendengar sesuatu yang ia tunggu bertahun-tahun.

Bima telah kembali.

Bukan karena paksaan. Bukan karena kasihan. Tapi karena ia akhirnya memahami.

Rumah ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah saksi kehidupan, penjaga kenangan, dan tempat di mana hati selalu bisa pulang.

Surya menghela napas panjang, merasa dadanya lebih ringan. Ia menepuk bahu anaknya pelan. “Kalau begitu, ayo masuk. Tehnya masih hangat.”

Bima tersenyum, lalu berdiri dan mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumah.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah tua itu terasa benar-benar hidup kembali.

 

Jadi, rumah itu bukan cuma soal dinding dan atap, tapi juga soal kenangan dan keputusan yang kita ambil. Kadang, kita perlu belajar dari orang-orang yang udah duluan jalanin hidup dengan penuh makna—seperti Surya dan rumahnya. Kalau kamu ngerasa ada yang nyangkut di hati setelah baca cerita ini, itu berarti rumah itu bener-bener punya kekuatan lebih dari yang kita kira.

Leave a Reply