Cerita Romantis Jodoh Tak Terduga: Orang Miskin Menikah dengan Orang Kaya

Posted on

Gengs, siap-siap baper! Cerpen ini bakal bikin kalian nggak bisa berhenti mikir tentang jodoh yang tak terduga. Bayangin aja, dua orang yang dulu pernah berpisah di desa, tiba-tiba ketemu lagi setelah bertahun-tahun, dan… ternyata jodoh!

Pasti penasaran kan gimana kisah mereka yang penuh kejutan ini? Langsung aja baca ceritanya, dan siap-siap deg-degan di setiap halamannya!

 

Cerita Romantis Jodoh Tak Terduga

Jejak Kecil di Desa

Di bawah langit senja yang berwarna oranye keemasan, seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun berjalan santai melewati pematang sawah. Sesekali, ia menendang kerikil kecil di tanah kering, menikmati suara gemericik air irigasi yang mengalir di sampingnya. Setelah sekian lama, akhirnya Arga kembali ke desa kakek dan neneknya untuk menghabiskan liburan sekolah.

Rumah kayu tua bercat putih itu masih sama seperti terakhir kali ia datang. Aroma kayu yang khas dan suara lantai berderit ketika diinjak membuatnya merasa seperti pulang ke tempat yang sudah lama merindukannya.

“Arga, kamu lapar? Nenek masakin sayur lodeh kesukaanmu,” suara lembut nenek menyambutnya ketika ia memasuki rumah.

Arga tersenyum kecil, meletakkan tas ranselnya di kursi bambu. “Iya, Nek, nanti aku makan. Aku mau lihat sawah dulu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berlari kecil ke luar rumah, menuju halaman belakang yang berbatasan langsung dengan kebun mangga milik kakeknya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang anak perempuan duduk di bawah pohon dengan tangan kecilnya yang sibuk menggambar sesuatu di tanah.

Anak perempuan itu tampak asyik, bahkan tak menyadari kehadiran Arga yang kini berdiri beberapa meter darinya. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang pelan saat angin menerpa, dan gaun lusuh yang ia kenakan sedikit kotor terkena tanah.

“Eh, kamu siapa?” tanya Arga akhirnya.

Anak perempuan itu mendongak, matanya berbinar karena terkejut. “Aku Nayla! Kamu siapa?”

“Arga,” jawabnya santai. “Ngapain di sini?”

Nayla menunjuk tanah di depannya dengan antusias. “Aku lagi gambar rumah di desa! Nanti kalau aku gede, aku mau bikin rumah besar buat Ayah dan Ibu!”

Arga melirik coretan Nayla yang lebih mirip kotak besar dengan segitiga di atasnya. Ia tertawa kecil. “Rumahnya miring tuh.”

Nayla merengut. “Namanya juga masih belajar.”

Arga ikut jongkok di sebelahnya, mengambil ranting kecil untuk ikut menggambar. “Kalau bikin rumah, harus ada jendelanya. Terus ini halaman, kasih pohon biar adem.”

Nayla mengamati dengan takjub. “Kamu jago ya!”

Arga hanya mengangkat bahu. Ia memang suka menggambar, apalagi kalau sedang bosan di sekolah. Tapi ini pertama kalinya ia berbagi kesukaannya dengan seseorang yang terlihat begitu antusias.

Sejak hari itu, mereka menjadi teman. Meski baru kenal, Nayla selalu mengikuti ke mana pun Arga pergi. Ia ikut membantu saat Arga menimba air di sumur, duduk di atas pagar kayu sambil menunggu kakek Arga pulang dari sawah, bahkan memanjat pohon jambu bersama meski sering kali terjatuh.

“Kamu ini ceroboh banget sih,” gerutu Arga suatu hari ketika Nayla terjatuh lagi dari dahan rendah.

“Aku nggak ceroboh! Cuma kurang latihan,” Nayla membela diri sambil mengusap lututnya yang lecet.

Arga menghela napas dan merobek sedikit ujung kausnya. “Sini, aku balutin.”

Nayla menatapnya bingung. “Tapi kaus kamu jadi rusak.”

“Biarin. Nggak apa-apa,” jawab Arga sambil mengikat kain itu di sekitar lutut Nayla.

Nayla tersenyum kecil, merasa diperhatikan. Ia belum pernah punya teman seperti Arga sebelumnya.

Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Liburan Arga hampir habis, dan waktunya kembali ke kota semakin dekat. Malam sebelum ia pergi, Nayla diam-diam menangis di halaman rumahnya. Ia tak suka perpisahan, tapi tak tahu harus bilang apa pada Arga.

Esoknya, ketika Arga sudah siap berangkat, Nayla hanya berdiri di pinggir jalan, menatap mobil tua yang membawa bocah itu pergi.

“Kita bakal ketemu lagi, kan?” gumamnya pelan, tanpa ada yang bisa menjawab.

Takdir, saat itu, masih menyimpan kejutan yang belum mereka ketahui.

 

Dunia yang Berbeda

Waktu berlalu tanpa menunggu siapa pun. Tahun demi tahun berganti, dan kenangan masa kecil yang dulu terasa begitu nyata mulai memudar. Arga dan Nayla, yang dulu selalu bermain bersama di desa, kini menjalani kehidupan masing-masing di dunia yang berbeda.

Arga tumbuh menjadi seorang pemuda pekerja keras. Hidup di kota bukan hal yang mudah baginya, apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih SMA. Tanpa banyak pilihan, ia harus bekerja serabutan demi bertahan hidup. Pernah menjadi buruh pabrik, tukang parkir, bahkan kuli bangunan sebelum akhirnya ia menemukan jalannya sebagai asisten seorang arsitek senior yang melihat potensinya dalam menggambar.

Kehidupan mengajarkannya bahwa dunia tidak selalu adil bagi mereka yang terlahir tanpa banyak pilihan. Namun, ia tak pernah menyerah. Setiap malam, ia belajar sendiri dari buku-buku bekas, mencoba memahami seluk-beluk desain bangunan hingga akhirnya mendapat beasiswa kuliah dari yayasan tempat ia bekerja.

Di sisi lain, kehidupan Nayla berjalan dengan sangat berbeda. Setelah keluarganya pindah ke kota, ia tak lagi mengenal kesulitan. Bisnis keluarganya berkembang pesat, membuat mereka menjadi salah satu keluarga terpandang di dunia bisnis properti. Nayla tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan anggun, terbiasa dengan kehidupan serba mewah yang membuatnya dikelilingi oleh banyak orang yang ingin berteman dengannya—meski tak semua tulus.

Namun, di balik semua kemewahan yang ia miliki, ada satu hal yang sering mengganggu pikirannya: ingatan samar tentang seorang bocah laki-laki yang pernah menemaninya di desa.

“Kamu masih ingat desa tempat kita tinggal dulu?” tanya Nayla pada ibunya suatu hari, saat mereka sedang menikmati makan malam di restoran mewah.

Ibunya meliriknya sekilas. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”

“Aku cuma kepikiran. Dulu aku punya teman di sana…” Nayla menggigit bibirnya, berusaha mengingat nama yang terasa begitu akrab, tapi entah mengapa sulit untuk diingat.

Ibunya tersenyum kecil. “Itu masa lalu, Nay. Hidupmu sekarang ada di sini, di kota. Kamu nggak perlu mengingat hal-hal yang sudah lama berlalu.”

Nayla mengangguk pelan, meski hatinya berkata lain.

Sementara itu, di sudut kota yang berbeda, Arga menatap sketsa rumah kecil yang ia gambar di buku catatannya. Rumah kayu sederhana dengan pekarangan luas dan satu pohon mangga besar di halaman belakang.

Gambar itu selalu ia buat berulang kali, meski tak tahu untuk apa. Ada perasaan aneh yang membuatnya terus menggambar rumah itu—seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai di masa lalu.

Namun, hidup terus berjalan, dan takdir masih menyimpan rahasia yang belum mereka ketahui.

Suatu hari, sebuah proyek besar membawa Arga ke dalam dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya selama ini. Sebuah perusahaan properti ternama sedang mencari arsitek muda berbakat untuk merenovasi salah satu hotel mewah milik mereka. Tanpa banyak harapan, Arga mengajukan desainnya dan, tak disangka, ia terpilih sebagai kepala arsitek untuk proyek tersebut.

Hari pertama ia datang ke kantor pusat perusahaan, Arga berdiri di depan gedung pencakar langit dengan nama besar terukir di bagian atasnya: Nayla Corp.

Entah mengapa, nama itu terasa begitu familiar di telinganya.

Dan di ruangan yang berbeda, Nayla sedang duduk di ruangannya, menandatangani beberapa dokumen. Tak pernah ia bayangkan bahwa seseorang dari masa kecilnya sedang berjalan menuju kehidupannya sekali lagi.

Takdir akan segera mempertemukan mereka kembali.

 

Takdir yang Mempertemukan

Arga melangkah masuk ke dalam gedung megah itu dengan langkah mantap. Setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya ia berada di titik ini—diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya di salah satu perusahaan properti terbesar di kota. Namun, di balik ketenangannya, ada perasaan aneh yang mengusik pikirannya sejak melihat nama Nayla Corp.

Nama itu terasa dekat, seakan berbisik dari masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan.

Di lantai tertinggi, sebuah ruang rapat besar telah dipenuhi orang-orang berjas rapi. Arga masuk bersama timnya, membawa proposal desain yang akan ia presentasikan. Ia menarik napas dalam sebelum berdiri di depan layar besar, siap memaparkan konsepnya.

Namun, saat pintu ruang rapat terbuka dan seseorang masuk, waktu seakan berhenti bagi Arga.

Seorang wanita muda dengan gaun elegan berwarna biru tua melangkah masuk, diikuti oleh beberapa asistennya. Tatapan matanya tajam, penuh percaya diri, namun tetap lembut. Ia tampak berwibawa, seperti seseorang yang terbiasa memimpin.

Arga menatapnya lama, mencoba menyusun potongan-potongan ingatan yang terserak di kepalanya. Dan saat mata mereka bertemu, sesuatu dalam diri Nayla terasa bergetar.

“Selamat pagi. Saya Nayla, pemilik Nayla Corp.”

Suara itu… Arga mengenalnya.

Seketika, bayangan seorang gadis kecil dengan kuncir dua, duduk di bawah pohon mangga, kembali berputar di kepalanya.

Nayla?

Namun, sebelum Arga sempat berkata apa-apa, presentasi sudah dimulai. Dengan cepat, ia mengendalikan pikirannya dan mulai menjelaskan konsep desainnya dengan profesionalisme yang selama ini ia bangun. Nayla mendengarkan dengan saksama, tapi dalam pikirannya, ada sesuatu yang mengganggu.

Nama pria ini, wajahnya… seperti pernah ia lihat di suatu tempat.

Saat presentasi selesai, Nayla menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Desain yang menarik, Arga. Saya suka konsep yang kamu buat.”

Arga mengangguk kecil. “Terima kasih, Bu Nayla.”

Ada jeda sejenak sebelum Nayla berbicara lagi. “Boleh saya tahu… kamu pernah tinggal di mana sebelumnya?”

Pertanyaan itu terasa biasa, tapi entah kenapa Arga merasa ada sesuatu di baliknya.

“Saya lahir di kota ini, tapi dulu sering menghabiskan liburan di desa kakek dan nenek saya,” jawabnya singkat.

Dada Nayla berdegup lebih cepat. “Desa mana?”

“Desa Sumberjati,” jawab Arga.

Nayla membeku.

Sumberjati.

Rumah kayu kecil. Sawah luas. Pohon mangga di halaman belakang. Seorang bocah lelaki yang mengajarinya menggambar rumah.

Seolah petir menyambar dalam pikirannya, Nayla akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi dalam ingatannya.

“Arga?” suaranya nyaris berbisik.

Arga menatapnya, sedikit terkejut. “Iya?”

“Arga… yang dulu tinggal di rumah kakek dan neneknya? Yang suka gambar rumah di tanah?”

Kali ini, giliran Arga yang terdiam. Perlahan, ia mulai memahami apa yang terjadi.

“Nayla?”

Seketika, semua kenangan yang telah mereka lupakan selama bertahun-tahun kembali dalam sekejap.

Ruang rapat yang besar itu tiba-tiba terasa begitu kecil. Dunia mereka yang sempat terpisah kini kembali menyatu dalam satu pertemuan tak terduga.

Namun, ini baru permulaan. Takdir telah mempertemukan mereka kembali, tetapi apakah segalanya akan berjalan semudah itu?

 

Jodoh yang Kembali

Sejak pertemuan itu, ada sesuatu yang berubah.

Arga berusaha menjaga profesionalismenya, tapi setiap kali ia bertemu dengan Nayla di kantor, ada tatapan yang sulit mereka hindari. Bukan sekadar nostalgia, tetapi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang mengguncang hati mereka.

Nayla, di sisi lain, tak bisa mengabaikan perasaannya. Setelah bertahun-tahun hidup dalam lingkaran bisnis dan orang-orang yang hanya melihatnya sebagai pewaris perusahaan, kini ia bertemu seseorang dari masa kecilnya. Seseorang yang tak memandangnya karena status atau kekayaannya. Seseorang yang pernah memberinya perban dari kausnya sendiri ketika ia jatuh dari pohon jambu.

Hari itu, di tengah rapat evaluasi proyek, Nayla akhirnya mengambil langkah yang selama ini ia ragu untuk ambil.

“Arga,” panggilnya setelah rapat selesai.

Arga, yang sedang membereskan berkas-berkasnya, menoleh. “Iya?”

“Aku mau bicara sebentar. Bisa ke rooftop?”

Arga mengangguk, meski hatinya bertanya-tanya. Ia mengikuti Nayla menuju lantai tertinggi gedung, tempat di mana angin kota bertiup lebih kencang. Dari sini, pemandangan langit senja terlihat jelas, mengingatkannya pada desa tempat mereka pertama kali bertemu.

Nayla menatap ke kejauhan, lalu menghela napas. “Aku nggak pernah menyangka kita bakal bertemu lagi seperti ini.”

Arga tersenyum kecil. “Aku juga.”

“Aku masih ingat rumah kayu di desa. Masih ingat kamu ngajarin aku gambar. Masih ingat semua hal yang dulu kupikir sudah kulupakan.” Nayla berbalik menatapnya. “Dan aku masih ingat… bagaimana rasanya kehilangan seorang teman.”

Arga menatapnya dalam. “Tapi sekarang kita ketemu lagi.”

Nayla mengangguk pelan. “Dan aku nggak mau kehilangan lagi.”

Ada keheningan di antara mereka, tapi bukan keheningan yang canggung. Justru, ada sesuatu yang terasa begitu hangat.

“Arga,” suara Nayla sedikit bergetar. “Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi… selama ini aku selalu mencari seseorang yang bisa melihat aku sebagai Nayla, bukan sebagai pemilik perusahaan atau anak orang kaya. Dan aku sadar… dari dulu, orang itu adalah kamu.”

Arga terdiam.

Ia telah melewati banyak hal dalam hidupnya. Kesulitan, perjuangan, kehilangan. Ia belajar bahwa tak semua orang bisa dipercaya, bahwa dunia sering kali tak berpihak pada mereka yang tak punya apa-apa.

Tapi di depan Nayla, gadis kecil yang dulu duduk di bawah pohon mangga, ia merasa seperti dirinya sendiri. Tanpa harus membuktikan apa pun.

“Aku nggak pernah peduli kamu siapa sekarang,” kata Arga akhirnya. “Yang aku tahu, kamu tetap gadis kecil yang dulu bilang mau bikin rumah besar untuk orang tuamu, meski gambarmu miring.”

Nayla tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. “Jadi… kamu mau nggak bangun rumah itu sama aku?”

Arga menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum. “Mau.”

Dan di bawah langit senja, dua orang yang pernah terpisah akhirnya kembali dipertemukan.

Takdir memang lucu. Terkadang, jodoh bukan tentang siapa yang datang lebih dulu atau siapa yang paling sempurna. Kadang, jodoh adalah seseorang yang dulu pernah hadir dalam hidupmu, lalu pergi… hanya untuk kembali di waktu yang tepat.

 

Nah, itu dia ceritanya, guys! Gimana, seru banget kan? Jadi inget deh, kadang jodoh emang bisa datang dari mana aja, bahkan dari kenangan lama yang nggak disangka-sangka. Semoga cerita ini nggak cuma bikin baper, tapi juga ngingetin kita kalau hidup tuh penuh kejutan! Kalau kalian suka, jangan lupa share ya!

Leave a Reply