Daftar Isi
Kadang, ada perasaan yang sulit sekali untuk dijelaskan, terutama saat kenangan tentang seseorang yang kita sayang datang begitu kuat. Kamu pernah nggak merasa rindu yang begitu mendalam sampai rasanya waktu pun nggak mampu menghapusnya?
Nah, cerpen ini bakal membawa kamu merasakan rindu yang nggak hanya tentang kata-kata, tapi juga tentang hujan, kenangan, dan perasaan yang nggak pernah pergi, meski mereka sudah lama pergi dari hidup kita. Yuk, baca cerpen yang satu ini, siapa tahu bisa bawa kamu mengenang seseorang yang pernah berarti, atau bahkan membuka lagi kotak kenangan yang tersimpan jauh di hati.
Cerpen Rindu Tak Terungkap
Jejak yang Tak Terhapus
Rumah tua itu masih berdiri di ujung jalan kecil, dikelilingi pagar kayu yang mulai lapuk dimakan usia. Cat putih di dindingnya mengelupas, memperlihatkan retakan-retakan halus yang menjalar seperti urat nadi. Meski terlihat usang, rumah itu tetap memiliki pesonanya sendiri—seperti menyimpan ribuan cerita yang enggan dilupakan.
Di beranda, seorang pria duduk di kursi goyang yang sudah berderit ketika disentuh angin. Matanya menatap kosong ke halaman depan, di mana pohon jambu yang dulu rindang kini meranggas, kehilangan daunnya sedikit demi sedikit.
Dulu, halaman itu selalu ramai. Ada suara tawa, ada langkah kaki kecil yang berlarian tanpa lelah. Dulu, rumah itu terasa hangat. Sekarang, hanya kesunyian yang tinggal.
“Dingin, ya?”
Suara itu lirih, hampir tenggelam dalam desiran angin. Di samping pria itu, seorang gadis berdiri, merapatkan sweater abu-abunya. Matanya menerawang, seolah ikut menelusuri setiap sudut rumah yang sudah lama tak ia datangi.
“Kamu masih ingat?” pria itu akhirnya bersuara, meski suaranya terdengar serak.
Gadis itu mengangguk pelan. “Tentu. Mana mungkin aku lupa?”
Mereka terdiam sejenak. Hanya suara dedaunan kering yang bergesekan yang menemani mereka.
“Aku dulu sering duduk di sana,” gadis itu menunjuk tangga beranda yang kini mulai retak di beberapa bagian. “Nungguin kamu pulang.”
Pria itu menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam. “Aku selalu lihat kamu dari jendela. Tapi kadang aku pura-pura nggak sadar.”
Gadis itu terkekeh kecil, meski ada sesuatu yang terasa berat di suaranya. “Aku tahu. Makanya aku selalu duduk lebih lama, nungguin kamu akhirnya nyerah dan manggil aku masuk.”
Dulu, setiap sore, gadis itu memang selalu menunggu di sana. Dengan rambut yang diikat asal, kakinya menggantung di tangga kayu, memainkan tali sepatunya sambil menunggu seseorang keluar dari rumah. Dan meskipun pria itu selalu berpura-pura tak peduli, pada akhirnya dia akan membuka pintu dan berkata dengan nada datar, “Udah sore. Masuk aja.”
Sekarang, hanya ada bayangan kenangan yang menggantung di tangga itu.
“Semua masih kelihatan sama,” gumam gadis itu, suaranya terdengar jauh.
“Tapi rasanya beda,” pria itu menimpali, suaranya hampir tak terdengar.
Angin sore kembali bertiup, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di dalam rumah, furnitur tua masih tertata seperti dulu. Meja makan kayu dengan noda kopi yang tak pernah bisa hilang. Sofa berwarna coklat yang bantalan dudukannya mulai turun karena terlalu sering dipakai. Foto-foto lama yang masih tergantung di dinding, berdebu, tapi tak ada satu pun yang berpindah tempat.
Pria itu melangkah masuk, membiarkan gadis itu mengikutinya dari belakang. Setiap sudut rumah ini terasa seperti lorong waktu. Ada banyak jejak yang tertinggal di sini—jejak yang tak pernah bisa benar-benar hilang.
“Kamu masih simpan semuanya?” Gadis itu menyentuh bingkai foto yang berisi gambar dua anak kecil yang berdiri di bawah pohon jambu di halaman.
Pria itu mengangguk. “Aku nggak bisa buang apa pun.”
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Matanya sedikit memerah, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis. “Kamu tahu?” katanya dengan suara pelan. “Aku nggak pernah benar-benar pergi dari sini. Setiap kali aku merasa kehilangan, aku selalu membayangkan aku masih di rumah ini. Masih duduk di tangga, nunggu kamu buka pintu.”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, sesuatu yang terlalu sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Kamu masih inget aku, kan?” tanya gadis itu, suaranya sedikit gemetar.
Pria itu menoleh, menatapnya lama. “Mana mungkin aku lupa?”
Hujan mulai turun perlahan, mengetuk jendela dengan ritme yang sama seperti dulu—seperti sebuah lagu lama yang tidak pernah berubah.
Di luar, pohon jambu masih berdiri di tempatnya, meskipun dahannya mulai menua.
Di dalam rumah itu, dua orang masih terjebak di antara kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.
Hujan yang Membawa Rindu
Rintik hujan semakin deras, menari-nari di jendela rumah tua itu, menciptakan irama yang akrab di telinga pria itu. Dulu, hujan selalu menjadi waktu yang paling ia tunggu. Karena setiap kali hujan turun, gadis itu akan berlari masuk dengan rambut basah, pipinya merah karena dingin, lalu tanpa permisi duduk di lantai dekat perapian kecil di ruang tamu.
Dulu, hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Hujan adalah kenangan.
Gadis itu duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya menerawang ke luar jendela. Meski tak ada yang mereka katakan, atmosfer di antara mereka terasa begitu penuh.
“Aku selalu suka suara hujan di sini,” gadis itu akhirnya bersuara, lirih.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap jemarinya yang saling meremas di atas pangkuannya, seolah mencari sesuatu yang bisa menenangkannya.
“Kamu masih ingat malam itu?” tanya gadis itu, suaranya sedikit bergetar.
Pria itu menelan ludah, seakan kata-kata terlalu sulit untuk keluar dari bibirnya. Tentu saja ia ingat.
Malam itu juga hujan turun. Deras. Sangat deras.
Gadis itu datang ke rumah ini dengan wajah merah padam, rambutnya basah kuyup, entah karena hujan atau karena air mata.
“Aku benci ini! Aku benci semuanya!”
Ia berteriak, tangannya mengepal. Ia berusaha terlihat kuat, tapi tubuhnya gemetar.
Pria itu hanya berdiri di depannya, tidak mengatakan apa pun. Ia tahu gadis itu tidak butuh jawaban, hanya butuh seseorang yang mau mendengar.
“Kamu tahu rasanya, kan? Rasanya ditinggalin?”
Pria itu tetap diam, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia memahami itu lebih dari siapa pun.
Malam itu, mereka duduk di lantai ruang tamu, mendengar suara hujan mengetuk jendela. Gadis itu bersandar di sofa, memeluk lututnya, dan menghela napas panjang.
“Aku takut suatu hari nanti kamu juga bakal ninggalin aku.”
Dan sekarang, di tempat yang sama, bertahun-tahun setelah malam itu, mereka kembali duduk dalam diam.
“Aku nggak pernah ninggalin kamu,” gumam pria itu, nyaris seperti bisikan.
Gadis itu menoleh, menatapnya lama. Ada senyum tipis di wajahnya, tapi matanya berkabut.
“Kalau gitu, kenapa rasanya kita selalu jauh?” tanyanya pelan.
Pria itu menggigit bibirnya. Hujan terus turun, membasahi dunia di luar, tetapi di dalam ruangan ini, hanya ada mereka dan keheningan yang menggantung di udara.
“Kamu yang pergi,” katanya akhirnya, suaranya serak.
Gadis itu menunduk. Jemarinya saling bertaut di atas pahanya, gemetar.
“Aku nggak mau pergi…” katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Tapi aku nggak punya pilihan.”
Pria itu mengepalkan tangannya. Ia ingin bertanya, ingin menuntut jawaban, ingin menyalahkan waktu atau keadaan, tapi di saat yang sama, ia juga tahu bahwa semua itu tidak akan mengubah apa pun.
Hujan semakin deras.
“Tapi kamu tetap kembali,” kata pria itu pelan, setengah bertanya, setengah menyatakan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, tersenyum samar.
“Karena aku rindu,” bisiknya.
Pria itu menundukkan kepalanya, merasakan sesuatu yang hangat menggenang di matanya.
Ia juga rindu.
Rindu yang tidak pernah hilang, yang tetap tinggal di sudut hatinya, menunggu untuk diakui.
Di luar sana, hujan terus turun. Membawa rindu yang tak pernah usai.
Kotak Kayu dan Pesan yang Tertinggal
Hujan telah reda, menyisakan aroma tanah basah yang memenuhi ruangan. Cahaya lampu temaram menerpa wajah mereka, menciptakan bayangan di dinding yang tampak begitu asing dan familiar di saat yang bersamaan.
Gadis itu masih duduk di kursi kayu dekat jendela, sementara pria itu menatap lurus ke rak buku tua di sudut ruangan. Ia merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk berdiri, untuk berjalan ke arah rak itu, untuk menarik sesuatu dari dalamnya.
Dan benar saja. Di sana, tersembunyi di antara buku-buku yang telah berdebu, ada sebuah kotak kayu kecil berwarna coklat tua. Ukiran di permukaannya telah sedikit pudar, tetapi ia masih mengenalinya dengan jelas.
Kotak itu milik gadis itu.
Pria itu mengulurkan tangannya, jari-jarinya sedikit gemetar saat menyentuh permukaannya. Ia menelan ludah, lalu menoleh ke gadis itu.
“Kamu masih ingat ini?” tanyanya pelan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, dan seketika, mata beningnya membulat. Ia menatap kotak itu dengan pandangan yang sulit diartikan—campuran antara keterkejutan, kesedihan, dan sesuatu yang lain.
“Kamu… masih menyimpannya?” suaranya bergetar.
Pria itu mengangguk. “Aku nggak pernah berani membukanya.”
Sunyi sejenak. Gadis itu mengulurkan tangan, meminta kotak itu, dan pria itu menyerahkannya tanpa banyak kata. Ia melihat gadis itu menarik napas dalam-dalam, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang telah lama ia hindari.
Perlahan, gadis itu membuka kotaknya. Engsel kayu berderit halus, dan di dalamnya, tersimpan beberapa benda kecil yang seolah membeku dalam waktu.
Sebatang pensil kecil dengan ujung yang telah tumpul.
Sepotong pita biru yang dulu sering ia ikatkan di rambutnya.
Dan selembar kertas lusuh, terlipat rapi, dengan tinta yang sudah sedikit pudar.
Gadis itu menatap kertas itu lama, sebelum akhirnya mengambilnya dengan tangan gemetar. Ia membukanya perlahan, matanya mulai berkaca-kaca bahkan sebelum ia sempat membaca isinya.
Pria itu hanya diam, menunggu. Ia tahu persis apa yang tertulis di sana, meski ia tidak pernah membacanya secara langsung.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, jantungnya berdebar tidak karuan.
Gadis itu menarik napas pelan, lalu mulai membaca.
“Jangan lupa aku, ya. Aku akan selalu ada di sini.”
Suara gadis itu hampir tidak terdengar saat membacanya, seakan udara di sekeliling mereka menjadi terlalu berat untuk dihirup. Matanya memburam, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh satu per satu.
“Aku tulis ini…” suaranya terputus. “Aku tulis ini sebelum aku pergi.”
Pria itu menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu lagi, ia melihat gadis itu benar-benar hancur.
“Kamu tahu?” lanjut gadis itu, suaranya pecah. “Aku takut banget kalau suatu hari nanti kamu bakal melupakan aku. Takut kalau kamu bakal hidup seolah aku nggak pernah ada. Makanya aku ninggalin ini di sini, supaya kamu selalu ingat…”
Pria itu menutup matanya, menahan sesuatu yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
“Dan aku nggak pernah lupa,” katanya pelan.
Gadis itu menggigit bibirnya, berusaha keras untuk menahan isakannya. Tapi sia-sia. Tangisnya pecah begitu saja, memenuhi ruangan yang selama ini hanya dipenuhi oleh sunyi.
Pria itu hanya bisa menatapnya. Tangannya terangkat, ingin menyentuh bahunya, ingin menenangkannya seperti dulu, ingin mengatakan sesuatu yang bisa mengurangi beban di dadanya.
Tapi ia tidak bisa.
Karena kenyataannya, tidak ada yang bisa benar-benar menghapus rindu yang telah berakar begitu dalam.
Di hadapan mereka, kotak kayu itu tetap terbuka, seolah membiarkan kenangan yang selama ini terkunci di dalamnya meluap keluar tanpa bisa dihentikan.
Bayang-Bayang yang Tak Pernah Pergi
Gadis itu masih terisak, jemarinya menggenggam erat lembaran kertas yang kini basah oleh air matanya. Pria itu hanya bisa menatap, membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Di luar, malam semakin larut. Hujan telah berhenti sepenuhnya, menyisakan tetesan kecil yang masih mengalir dari atap ke tanah. Aroma hujan masih terasa, bercampur dengan hawa dingin yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
Gadis itu akhirnya menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu menatap pria itu dengan mata yang masih merah.
“Kamu marah nggak?” tanyanya pelan.
Pria itu mengerutkan kening. “Marah?”
“Karena aku pergi.”
Pria itu menghela napas, menatap lurus ke arahnya. “Nggak.”
Gadis itu tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh kepedihan. “Kamu bohong.”
Pria itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi yang lebih besar dari marah… aku kecewa.”
Mata gadis itu kembali berkabut.
“Bukan karena kamu pergi,” lanjut pria itu. “Tapi karena aku nggak bisa menghentikanmu.”
Ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar, menandakan waktu yang terus berjalan, tak peduli seberapa banyak kenangan yang ingin mereka pertahankan.
Gadis itu menunduk, menatap kotak kayu di pangkuannya. “Aku juga kecewa,” katanya lirih. “Kecewa karena aku harus pergi… kecewa karena nggak bisa balik lagi seperti dulu…”
Pria itu mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang kembali menghantam dadanya.
“Aku rindu kamu,” lanjut gadis itu. “Bukan cuma rindu tempat ini, bukan cuma rindu kenangan… tapi aku rindu kamu. Orang yang selalu ada di sini, orang yang selalu buka pintu untuk aku setiap kali hujan turun.”
Pria itu menelan ludah, perasaannya terlalu penuh untuk diungkapkan dalam kata-kata.
Tapi ia tahu.
Ia tahu bahwa hujan ini bukan sekadar hujan. Bahwa rindu ini bukan sekadar rindu.
Ini adalah luka yang tidak pernah sembuh.
Pelan-pelan, gadis itu menutup kotak kayu di pangkuannya, seolah mengunci kembali semua kenangan yang baru saja mengalir keluar. Ia menatap pria itu dalam-dalam, seakan ingin menghafal setiap lekuk wajahnya, setiap detail yang mungkin akan semakin samar seiring waktu berlalu.
“Aku harus pergi,” katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Pria itu mengerjap, tubuhnya menegang. “Tunggu—”
Gadis itu tersenyum kecil, tapi kali ini ada ketenangan dalam senyumnya. “Aku nggak bisa tinggal di sini lebih lama.”
Pria itu ingin berkata sesuatu. Ingin menahannya, ingin bertanya kenapa. Tapi di lubuk hatinya, ia sudah tahu jawabannya.
Gadis itu sudah pergi sejak lama.
Yang ada di sini hanyalah bayangan.
Pelan, gadis itu bangkit dari kursinya. Ia meletakkan kotak kayu itu di atas meja, lalu berjalan ke arah pintu. Setiap langkahnya terasa ringan, tapi meninggalkan jejak yang dalam.
Ketika ia berdiri di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi.
“Kamu nggak pernah sendirian, tahu?” bisiknya.
Pria itu menatapnya tanpa berkedip, mengukir setiap kata itu dalam hatinya.
Dan sebelum ia bisa menjawab, gadis itu melangkah keluar.
Dalam sekejap, udara di ruangan itu terasa lebih dingin.
Pria itu terdiam lama, menatap ke arah pintu yang masih sedikit terbuka. Angin malam berembus masuk, menggoyangkan tirai tipis di jendela.
Kotak kayu itu masih ada di atas meja. Tapi rasanya, sesuatu yang lain telah benar-benar pergi.
Di luar, pohon jambu tua berdiri tegak di bawah cahaya bulan. Daunnya bergerak pelan tertiup angin, seolah membisikkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang ditinggalkan.
Dan di dalam rumah itu, seorang pria masih duduk dalam diam.
Masih terjebak dalam rindu yang tidak pernah benar-benar pergi.
Gimana? Dapet nggak tuh feel-nya? Cerita ini emang nggak cuma soal hujan atau kotak kayu, tapi lebih ke tentang rindu yang nggak pernah hilang dan kenangan yang tetap tinggal meski kita berusaha untuk move on. Ya, kadang, rindu itu nggak bisa dipendam lama, karena dia selalu datang lagi dan lagi, meski kita nggak siap.
Kalau kamu merasa relate sama cerita ini, mungkin itu tandanya ada bagian dari dirimu yang masih nyimpen rasa itu juga. Semoga cerpen ini bisa jadi teman yang pas buat kamu yang lagi merasakan kerinduan. Keep going, jangan terlalu keras sama hati kamu.


