Dongo: Cerita Pemuda Bodoh yang Jadi Jenius

Posted on

Kamu pasti nggak asing dengan istilah bodoh kan? Nah, ada cerita seru nih tentang Dongo, seorang pemuda desa yang dianggap bodoh sama semua orang.

Tapi siapa sangka, perjalanan hidupnya bisa jadi inspirasi banget! Dari yang dulu sering dianggap remeh, Dongo kini jadi sosok yang nggak hanya sukses, tapi juga bikin semua orang tercengang. Penasaran gimana bisa jadi kayak gitu? Yuk, simak ceritanya sampai habis!

 

Dongo

Lima Ribu yang Berharga

Di sebuah desa kecil bernama Rembuluh, ada seorang pemuda bernama Dongo. Dari kecil, namanya sudah jadi bahan olokan. Katanya, ibunya memberi nama itu karena sejak lahir, ia terlihat lebih lamban dari anak-anak lain. Dan benar saja, saat teman-temannya sudah pandai membaca, Dongo masih mengeja huruf ‘A’ dengan wajah bingung.

“Dongo, kenapa kamu segitu bodohnya?” ujar seorang anak bernama Udin sambil tertawa.

“Entahlah,” jawab Dongo santai.

Anak-anak di desa senang menggodanya. Mereka punya permainan favorit: mengetes kebodohan Dongo. Salah satu permainan favorit mereka adalah menawarkan dua lembar uang—satu lembar lima ribu dan satu lembar seratus ribu.

“Dongo, pilih yang mana?” tanya Samin sambil mengangkat dua lembar uang itu di depan wajahnya.

Dongo memiringkan kepalanya sejenak, lalu mengambil yang lima ribu.

“Hahahaha! Lihat, kan?! Bodoh banget!” seru mereka sambil terbahak-bahak.

Dongo tidak marah. Ia hanya tersenyum kecil dan memasukkan lembaran lima ribu itu ke dalam saku celananya yang sudah hampir robek. Ini bukan pertama kali mereka melakukan ini, dan sepertinya bukan yang terakhir.

Suatu hari, seorang pemuda lain, Badu, penasaran. Ia mendekati Dongo yang sedang duduk di tepi sawah, memainkan ranting kayu di tangannya.

“Dongo, aku mau tanya sesuatu,” ujar Badu, duduk di sebelahnya.

“Hm?”

“Kamu sadar, nggak? Uang seratus ribu itu lebih banyak dari lima ribu?”

Dongo menoleh dan mengangguk pelan.

“Terus, kenapa kamu selalu pilih yang lima ribu?”

Dongo tersenyum tipis. “Kalau aku ambil yang seratus ribu, besok mereka nggak bakal kasih aku uang lagi.”

Badu terdiam. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna kata-kata Dongo.

“Tunggu… jadi kamu sengaja?”

Dongo hanya mengedikkan bahu.

Setiap hari, orang-orang menertawakannya, tapi mereka tidak sadar kalau Dongo telah mengumpulkan ratusan lembar uang lima ribuan. Ia menyimpannya di dalam kaleng bekas biskuit di bawah tempat tidurnya. Sesekali, ia menghitungnya dengan hati-hati, memastikan uang itu masih utuh.

“Sedikit lagi,” gumamnya.

Tak ada yang tahu apa yang ingin Dongo lakukan dengan uang itu. Warga desa hanya tahu bahwa Dongo tetaplah Dongo—pemuda bodoh yang entah bagaimana selalu memiliki uang lima ribuan di sakunya.

Sampai suatu hari, seorang pedagang buku tua datang ke pasar desa. Gerobaknya penuh dengan buku-buku tebal berdebu, kebanyakan berisi hal-hal yang tak pernah dibaca orang-orang di desa.

Di antara semua buku, ada satu yang menarik perhatian Dongo. Sampulnya lusuh, tetapi judulnya membuatnya terpaku: “Rahasia Orang Bodoh Jadi Jenius.”

Mata Dongo berbinar.

“Pak, berapa harga buku ini?” tanyanya.

Pedagang tua itu menatapnya lama sebelum menjawab, “Satu juta.”

Dongo terdiam, lalu tersenyum kecil. Itu jumlah yang nyaris sama dengan tabungannya.

“Tunggu aku besok,” kata Dongo, lalu berlari pulang dengan semangat.

Keesokan harinya, ia kembali dengan kaleng biskuitnya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menyerahkan semua uangnya. Pedagang itu menatapnya dalam diam sebelum akhirnya menyerahkan buku itu ke tangannya.

“Buku ini bukan sekadar buku biasa,” kata pedagang tua itu. “Kamu siap belajar?”

Dongo menggenggam buku itu erat-erat, seolah sedang memegang harta karun paling berharga di dunia.

Ia belum bisa membaca.

Tapi ia tahu satu hal—hari ini, hidupnya akan berubah.

 

Buku yang Mengubah Nasib

Dongo duduk di bawah pohon randu di halaman rumahnya, menatap buku di tangannya dengan perasaan campur aduk. Tangannya membolak-balik halaman, melihat deretan huruf yang berbaris rapi, namun tak bisa ia pahami. Ia mengernyit, mencoba menghubungkan huruf-huruf itu dengan suara yang pernah ia dengar saat orang lain membaca.

Satu huruf. Dua huruf. Tiga huruf.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu.

Tak ada satu pun kata yang berhasil ia baca.

Dongo menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. “Susah juga, ya?” gumamnya.

Ia bangkit dan berjalan ke rumah Pak Surya, guru sekolah desa yang sudah pensiun. Saat ia mengetuk pintu, seorang pria tua berambut putih keluar dengan alis terangkat.

“Dongo? Ada apa?” tanyanya heran.

“Aku mau belajar membaca,” kata Dongo sambil menyodorkan bukunya.

Pak Surya menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kamu serius?”

Dongo mengangguk.

Pak Surya mempersilakan Dongo masuk dan mulai mengajarinya dari awal. Huruf demi huruf, suku kata demi suku kata. Mulanya Dongo merasa otaknya seperti kayu yang sulit menyerap air. Tapi ia tidak menyerah. Setiap hari, ia datang ke rumah Pak Surya, belajar membaca meski sering salah.

Di tengah pelajaran, ia sering mendapat tatapan aneh dari anak-anak lain.

“Ngapain sih, Dongo? Percuma aja, otakmu kan nggak bakal bisa ngerti,” ujar salah satu anak dengan tawa mengejek.

Dongo tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan kembali membaca satu kalimat yang sejak tadi ia ulangi.

Hari demi hari berlalu. Meski lambat, Dongo mulai bisa membaca. Ia kini bisa mengeja satu kata tanpa tersendat. Beberapa minggu kemudian, ia bisa membaca satu kalimat utuh. Dan akhirnya, setelah berbulan-bulan, ia bisa membaca dengan lancar.

Saat pertama kali ia berhasil membaca satu halaman penuh tanpa kesalahan, ia hampir menangis.

Pak Surya menepuk pundaknya dengan bangga. “Kamu sudah bukan Dongo yang dulu.”

Dongo tersenyum lebar. Tapi perjalanan belum selesai.

Sekarang, ia harus memahami isi buku yang selama ini ia perjuangkan.

Buku itu bukan sekadar buku biasa. Halaman demi halaman berisi ilmu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ada strategi berpikir, konsep logika, cara memahami sesuatu dengan lebih cepat, bahkan teknik mengingat sesuatu dengan lebih baik.

Dongo mulai menerapkan semua itu dalam kehidupan sehari-hari. Ia membaca buku lain—tentang matematika, sains, dan filsafat. Ia melatih dirinya untuk menganalisis sesuatu dengan cara yang lebih cermat. Ia mulai memahami bahwa ‘kepintaran’ bukan hanya soal menghafal, tapi soal cara berpikir.

Ia juga mulai melatih dirinya untuk berpikir lebih tajam. Dulu, ia menerima olokan orang-orang tanpa peduli. Tapi kini, ia mulai menyadari bahwa ada pola di balik ejekan mereka—ada sesuatu yang bisa ia pelajari dari setiap perkataan mereka.

Namun, perubahan ini tidak luput dari perhatian warga desa.

“Kenapa Dongo sekarang sering baca buku?” tanya seorang ibu-ibu di pasar.

“Aneh, kan? Jangan-jangan dia kerasukan sesuatu?” sahut yang lain.

Beberapa anak mulai penasaran. Mereka melihat Dongo yang dulu sering bengong kini tampak serius membaca buku di bawah pohon randu setiap sore.

“Dongo belajar?” gumam salah satu anak, merasa ada yang janggal.

Namun, mereka belum tahu bahwa perubahan ini hanyalah permulaan.

Sebab sebentar lagi, Dongo akan mengejutkan mereka semua.

 

Kebodohan yang Menyelamatkan

Hari itu, desa Rembuluh kedatangan tamu tak biasa—seorang saudagar kaya dari kota yang datang dengan mobil hitam mengilap. Lelaki itu turun dari mobil dengan setelan rapi, senyum lebar, dan sikap yang terlalu ramah untuk seseorang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di desa kecil itu.

“Warga sekalian,” katanya lantang di tengah balai desa. “Saya ingin membuat pabrik besar di sini! Bayangkan, pekerjaan untuk kalian semua, penghasilan yang lebih baik, dan desa ini akan maju pesat!”

Warga mulai berbisik-bisik, sebagian besar terlihat antusias.

“Kami akan diberikan pekerjaan?” tanya salah satu bapak-bapak.

“Tentu saja! Dan kalian akan dibayar dengan baik,” kata saudagar itu, senyumnya makin lebar. “Hanya satu syaratnya—kami butuh tanah di desa ini untuk membangun pabriknya.”

Warga yang tadinya senang tiba-tiba terdiam.

“Tanah ini?” tanya Pak RT. “Tapi ini tanah warisan leluhur kami.”

Saudagar itu tertawa kecil. “Tenang saja, kami tidak akan mengambilnya begitu saja. Kami sudah siapkan kontrak. Cukup tanda tangan di sini, dan kalian akan menerima kompensasi yang besar.”

Seorang pria berbaju batik maju ke depan. Ia menerima selembar kertas tebal yang diberikan saudagar itu, menatapnya lama, lalu menggaruk kepala.

“Masalahnya, kami nggak paham isi kontrak ini.”

Warga lain ikut mengangguk. Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar mengerti tulisan panjang dan rumit di kertas itu.

Saat itulah Dongo, yang berdiri di antara kerumunan, maju ke depan.

“Biar aku baca,” katanya.

Suasana mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Dongo.

“Kamu?” Salah satu warga tertawa kecil. “Kita butuh orang pintar buat baca itu, bukan kamu.”

Dulu, Dongo mungkin hanya akan tersenyum dan diam. Tapi kali ini, ia tidak mundur.

“Aku bisa baca,” katanya tegas.

Pak RT, yang juga penasaran, menyerahkan kontrak itu kepadanya. Dongo mengambilnya dengan hati-hati, lalu mulai membaca.

Kerumunan menahan napas saat ia melafalkan kalimat demi kalimat dengan lancar. Tidak ada lagi Dongo yang terbata-bata mengeja huruf. Ia membaca seperti seseorang yang telah terbiasa.

Namun, semakin ia membaca, alisnya semakin berkerut. Ada yang tidak beres.

Setelah selesai, ia menatap saudagar itu dengan pandangan tajam. “Jadi, kalau kami tanda tangan, seluruh tanah desa ini jadi milik kalian, dan kami nggak punya hak lagi?”

Warga terkejut.

“Ap—apa?” tanya Pak RT.

Dongo menepuk kertas itu. “Bahasanya dibuat sulit supaya kalian nggak sadar. Tapi isinya jelas. Setelah kalian tanda tangan, kalian memang akan dibayar, tapi setelah itu, kalian nggak akan punya apa-apa lagi. Pabriknya mungkin akan dibangun, tapi kalian tidak akan punya tanah, rumah, atau bahkan tempat tinggal.”

Warga mulai ribut. Mereka bergumam panik, menatap saudagar itu dengan curiga.

Saudagar itu tertawa kecil, meskipun wajahnya tampak sedikit tegang. “Anak muda, kamu pasti salah paham.”

Dongo menggeleng. Ia mengangkat kontrak itu tinggi-tinggi. “Aku sudah belajar. Aku tahu bagaimana cara membaca kontrak seperti ini. Dan ini jebakan.”

Kerumunan semakin gaduh. Beberapa orang mulai mencengkeram kontrak mereka dengan ragu, tak jadi menandatangani.

Saudagar itu mencoba tersenyum, tapi nadanya berubah tajam. “Siapa yang percaya sama Dongo? Dia kan orang paling bodoh di desa ini!”

Tapi kali ini, tidak ada yang tertawa.

Karena kenyataannya, Dongo bukan lagi Dongo yang dulu.

Pak RT menatap Dongo, lalu menoleh ke warga. “Kalau Dongo bilang ini jebakan, aku percaya.”

Satu per satu warga mengangguk.

Saudagar itu menghela napas, lalu meremas kontraknya dengan kesal. Tanpa berkata-kata, ia berbalik dan masuk kembali ke mobilnya. Mesin meraung, lalu mobil itu melaju pergi, meninggalkan debu di jalanan desa.

Suasana masih sunyi sebelum akhirnya seseorang berkata, “Dongo… kamu baru saja menyelamatkan desa ini.”

Dan untuk pertama kalinya, Dongo bukan lagi bahan tertawaan.

Ia adalah pahlawan.

 

Tidak Ada Orang Bodoh

Sejak hari itu, desa Rembuluh berubah.

Tidak ada lagi yang menertawakan Dongo. Tidak ada lagi permainan ‘pilih uang lima ribu atau seratus ribu.’ Sebaliknya, kini banyak orang yang datang kepadanya untuk bertanya. Tentang kontrak, tentang surat penting, bahkan tentang hal-hal yang dulu dianggap tidak mungkin bisa dipahami oleh Dongo si bodoh.

Tapi Dongo tidak pernah sombong. Ia tetap anak desa yang sederhana. Bedanya, kini ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku dan mengajari anak-anak desa membaca dan berhitung di bawah pohon randu tempat ia dulu belajar sendirian.

“Dongo, kenapa kamu rajin banget?” tanya seorang anak kecil yang duduk di sampingnya.

Dongo tersenyum. “Karena aku tahu rasanya jadi orang yang dianggap bodoh.”

Anak-anak yang duduk mengelilinginya terdiam.

“Aku dulu dibilang dungu, bodoh, nggak ada harapan,” lanjut Dongo sambil menatap langit. “Tapi aku sadar, bukan karena aku bodoh, aku cuma malas belajar.”

Salah satu anak mengernyit. “Jadi… nggak ada orang bodoh?”

Dongo tertawa kecil. “Yang ada cuma orang yang nggak mau berusaha.”

Anak-anak itu terdiam, merenungkan kata-kata Dongo.

Sementara itu, para orang tua di desa semakin sadar bahwa mereka telah salah menilai Dongo selama ini. Suatu hari, Pak RT datang ke rumahnya membawa selembar kertas dan sebuah pena.

“Dongo,” katanya. “Aku butuh bantuanmu.”

Dongo menatap kertas itu. Sebuah dokumen resmi dari pemerintah desa.

Pak RT tersenyum. “Kami ingin kamu jadi guru. Anak-anak desa butuh belajar, dan kami percaya, kamu orang yang paling tepat buat mengajari mereka.”

Dongo terkejut. Ia menatap Pak RT lama sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Aku… aku mau.”

Dan begitulah, Dongo yang dulu dianggap bodoh kini menjadi guru pertama di desa Rembuluh.

Suatu hari, seorang pria datang dari kota. Dia salah satu pemilik sekolah besar yang mendengar cerita tentang Dongo.

“Kami ingin mengundangmu untuk mengajar di kota,” kata pria itu dengan kagum. “Kami bisa membayar lebih, memberikan fasilitas lebih baik.”

Dongo terdiam. Tawaran itu menggiurkan.

Namun, ia menatap anak-anak di desa, yang menatapnya penuh harap.

Ia menggeleng pelan. “Aku lebih dibutuhkan di sini.”

Pria itu terkejut, tapi kemudian tersenyum. “Kamu benar-benar luar biasa.”

Dongo hanya tertawa.

Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya pemuda desa yang pernah dianggap bodoh. Tapi ia belajar, ia berusaha, dan ia membuktikan satu hal kepada dunia—tidak ada orang bodoh. Yang ada hanya orang yang belum menemukan alasan untuk belajar.

Dan ia, Dongo, telah menemukan alasannya.

Bukan untuk membalas dendam, bukan untuk pamer kepintaran.

Tapi untuk membuktikan bahwa siapa pun bisa berubah.

 

Jadi, kalau kamu masih merasa nggak bisa atau kurang pintar, inget ya, itu cuma soal mau nggak mau berusaha! Dongo aja bisa berubah, kenapa kita nggak?

Nggak ada yang namanya bodoh, yang ada cuma orang yang belum berusaha cukup. Jadi, yuk mulai belajar dan jangan takut gagal. Siapa tahu, kamu juga bisa bikin semua orang terkejut, kayak Dongo!

Leave a Reply