Daftar Isi
Hujan, koran tua, dan puisi misterius—siapa sangka kombinasi itu bisa membawa seseorang kembali ke masa lalu yang hampir terlupakan? Arkadi, seorang pria yang sudah lama tenggelam dalam kenangan, tiba-tiba menemukan puisinya sendiri tercetak di sebuah koran lawas.
Tapi bagaimana bisa? Dan lebih penting lagi, siapa yang meletakkannya di sana? Sebuah cerita penuh teka-teki, rindu yang terpendam, dan hujan yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat. Siap-siap buat tenggelam dalam kisah ini!
Nyanyian Hujan di Koran
Hujan di Kios Koran
Rintik hujan jatuh tanpa ragu, membasahi trotoar dan jalanan yang sudah dipenuhi genangan air. Udara menjadi lebih sejuk, membawa aroma khas hujan yang bercampur dengan bau kertas basah dari kios kecil di sudut jalan. Kios itu tampak seperti peninggalan dari masa lalu, berdiri kokoh meski sudah banyak toko buku dan koran yang tutup karena zaman semakin maju.
Pak Marga, pria berusia hampir tujuh puluh tahun, duduk di kursinya yang sudah usang. Tangan tuanya sibuk membalik halaman koran yang sudah agak lembab, sementara matanya sesekali melirik keluar, mengamati hujan yang turun semakin deras. Di depannya, seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah banyak dihiasi uban duduk diam, tenggelam dalam dunianya sendiri.
Arkadi, pria itu, selalu datang setiap pagi ke kios ini. Ia akan membeli koran, duduk di bangku kayu kecil di pojokan, lalu membaca sambil menyeruput kopi pahit dari termos yang ia bawa sendiri. Kebiasaannya tidak pernah berubah, bahkan setelah tahun-tahun berlalu.
“Hari ini hujan lebih cepat datang,” gumam Pak Marga, menaruh korannya di meja kayu yang mulai lapuk.
Arkadi tidak langsung merespons. Ia tetap sibuk menelusuri baris demi baris dalam surat kabar yang dipegangnya. Baru setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Iya. Biasanya datang sore.”
Pak Marga tersenyum kecil, lalu mengusap janggut putihnya. “Aku masih ingat waktu dulu, saat kios ini selalu penuh. Orang-orang antre beli koran, sibuk mencari berita. Sekarang?” Ia terkekeh lirih. “Kamu dan beberapa orang tua saja yang masih bertahan.”
Arkadi hanya melipat korannya dengan rapi, tidak tertarik berdebat soal perubahan zaman. Baginya, ada ketenangan tersendiri dalam lembaran-lembaran kertas itu. Hal-hal yang tertulis di sana terasa lebih nyata dibanding sekadar melihat berita di layar ponsel yang bisa hilang dalam hitungan detik.
Hujan makin deras. Atap kios tua itu mulai meneteskan air di beberapa sudutnya. Pak Marga buru-buru merapikan beberapa koran agar tidak basah. Sementara itu, Arkadi membuka halaman tengah koran yang baru saja dibelinya.
Saat itulah matanya menangkap sesuatu yang janggal.
Sebuah artikel dengan judul “Nyanyian Hujan di Koran Tua” terpampang di sana.
Alisnya mengernyit. Ia membaca perlahan, menyerap setiap kata yang tertulis di bawah judul itu.
“Dahulu, ada seorang penulis misterius yang selalu mengirimkan puisi ke berbagai surat kabar. Anehnya, puisi-puisi itu hanya muncul saat hujan pertama turun. Tak ada yang tahu siapa dia. Namun, bagi mereka yang menemukan puisinya di koran yang mereka beli, ada kepercayaan bahwa mereka sedang merindukan sesuatu yang belum usai.”
Arkadi menegakkan punggungnya. Ada sesuatu dalam tulisan itu yang membuat dadanya terasa sesak.
“Pak Marga,” panggilnya pelan.
Pria tua itu mengangkat wajahnya. “Kenapa?”
“Kamu tahu siapa yang menulis ini?” tanya Arkadi, menunjuk artikel di korannya.
Pak Marga menyipitkan mata, lalu tersenyum samar. “Ah… itu cerita lama. Kamu penasaran?”
Arkadi diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
Pak Marga menarik napas panjang, lalu bersandar di kursinya yang berdecit pelan. “Dulu, setiap kali hujan pertama turun, pasti ada puisi yang muncul di koran. Bukan di semua koran, hanya di koran yang dibeli oleh orang tertentu.”
Arkadi mengerutkan dahi. “Apa maksudnya?”
“Orang yang benar-benar membutuhkannya.”
Suara hujan terdengar semakin nyaring, menciptakan ritme yang aneh. Seakan-akan ada sesuatu yang mencoba berbicara lewat butiran air yang jatuh tanpa henti.
Arkadi kembali melihat halaman korannya. Dan di sana, di bawah artikel yang baru saja ia baca, ada sebuah puisi dengan tinta hitam yang mulai memudar karena kelembaban udara.
“Di bawah hujan, kisah tak terucap terselip di halaman yang basah,
Kertas lusuh menyimpan rindu, nyanyian sunyi yang nyaris punah.
Jika kau temukan ini di saat hujan pertama turun,
Maka kau adalah bagian dari cerita yang belum usai.”
Jari-jarinya perlahan meremas koran itu. Ada sesuatu yang aneh dalam perasaannya.
Puisinya sendiri—puisi yang pernah ia tulis bertahun-tahun lalu bersama seseorang yang sudah lama pergi—kini muncul di koran ini.
Hujan masih bernyanyi di luar, namun kini ada sesuatu yang lebih nyaring bergema dalam hatinya.
Cerita ini belum selesai.
Puisi yang Muncul di Saat Hujan
Hujan masih mengguyur kota, menari di atas genting kios yang sudah tua. Pak Marga berdiri dari kursinya, merapikan koran-koran yang mulai lembab, sementara Arkadi tetap diam di tempatnya. Matanya tidak lepas dari lembaran kertas yang baru saja ia baca.
Tangan Arkadi menggenggam koran itu lebih erat. Ada sesuatu yang tidak masuk akal. Puisi yang tertulis di sana bukanlah sekadar rangkaian kata asing—itu adalah puisinya sendiri.
Bukan hanya miliknya, tapi juga milik Seraphina.
Nama itu menghantam benaknya seperti gelombang yang menghantam tebing.
“Kenapa diam saja?” suara Pak Marga memecah lamunannya. “Kamu terlihat seperti baru melihat hantu.”
Arkadi melirik pria tua itu, lalu kembali menatap koran di tangannya. “Puisi ini… aku pernah menulisnya.”
Pak Marga menaikkan alisnya. “Oh?”
“Dulu sekali, bertahun-tahun lalu,” lanjut Arkadi, suaranya sedikit bergetar. “Aku dan seseorang sering menulis puisi bersama. Dan… ini salah satunya.”
Pak Marga tidak langsung menanggapi. Ia hanya menghela napas pelan dan duduk kembali, seolah sudah menduga sesuatu seperti ini akan terjadi.
“Aku sudah lama mendengar cerita tentang puisi di koran tua ini,” katanya akhirnya. “Dulu, ada seorang pria yang selalu mengirimkan puisi ke berbagai surat kabar. Ia tidak pernah menggunakan nama asli, hanya sebuah inisial. Setiap kali hujan pertama turun, puisinya pasti muncul entah di mana, di tangan seseorang yang tidak pernah ia duga.”
Arkadi mengerutkan dahi. “Apa maksudnya?”
Pak Marga mengangkat bahu. “Siapa pun yang menemukan puisi itu, mereka adalah bagian dari cerita yang belum selesai.”
Kata-kata itu membuat jantung Arkadi berdegup lebih kencang.
Ia menatap puisi itu lagi. Kata-katanya terlalu akrab, terlalu dalam untuk sekadar kebetulan. Ingatan tentang Seraphina muncul perlahan—tangan mungilnya yang selalu menggambar bunga di tepi kertas, suaranya yang lembut saat membaca puisi, dan tatapan matanya yang selalu menyala ketika hujan turun.
Mereka berdua pernah percaya bahwa hujan adalah isyarat dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar cuaca.
Dan sekarang, di tengah rintik hujan yang turun tanpa henti, puisinya muncul di koran yang ia beli.
Tidak mungkin ini kebetulan.
“Aku harus tahu siapa yang menulis ulang ini,” gumamnya, hampir kepada dirinya sendiri.
Pak Marga tersenyum samar. “Mungkin bukan soal siapa yang menulisnya, Arkadi. Tapi lebih kepada… kenapa puisi itu muncul untuk kamu hari ini.”
Arkadi menggeleng pelan. Tidak, ia tidak bisa menerima jawaban yang samar seperti itu. Ada sesuatu yang harus ia temukan.
Ia merapikan korannya, memasukkannya ke dalam jaketnya, lalu berdiri.
“Kamu mau ke mana?” tanya Pak Marga.
“Mencari jawaban.”
Tanpa menunggu tanggapan, Arkadi berjalan keluar dari kios. Hujan langsung menyambutnya, membasahi rambut dan jaketnya. Namun ia tidak peduli.
Ia hanya tahu satu hal—cerita ini belum selesai.
Dan ia harus mencari tahu alasannya.
Cerita yang Belum Usai
Hujan masih mengguyur kota, menempel di kulit Arkadi seperti selimut dingin yang enggan lepas. Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang di bawah payung atau berteduh di emperan toko. Namun, Arkadi terus berjalan.
Tangannya tetap menggenggam koran yang kini agak lembab, menyusuri jalan yang dulu pernah ia lalui bersama Seraphina. Kakinya membawanya ke tempat yang hampir ia lupakan—sebuah taman kecil di dekat perpustakaan tua, tempat ia dan Seraphina sering bertukar puisi bertahun-tahun lalu.
Bangku kayu di sudut taman itu masih ada, meski catnya sudah mengelupas dan kayunya mulai lapuk. Di sanalah dulu mereka duduk, menuliskan bait-bait puisi sambil mendengarkan rintik hujan membentuk irama di tanah basah.
Arkadi menghela napas panjang.
Di tangannya, koran itu masih menampilkan puisi yang sama. Tapi kini, di bawah bait terakhir, matanya menangkap sesuatu yang sebelumnya tidak ada.
Sebuah tulisan kecil.
Tulisan tangan.
“Jika kamu menemukannya, temui aku di tempat kita dulu.”
Arkadi terdiam. Jantungnya berdegup kencang.
Tempat kita dulu?
Ia menatap bangku itu lagi, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Hampir kosong. Hanya ada suara hujan dan beberapa pohon tua yang menggigil dalam angin dingin.
Kemungkinan ini hanya kebetulan. Atau permainan pikirannya sendiri. Tapi jika memang hanya ilusi, kenapa ia merasa seakan seseorang sedang menuntunnya ke sini?
Kemudian, terdengar suara langkah pelan di balik gemuruh hujan.
Arkadi menoleh.
Di bawah payung berwarna biru tua, berdiri seseorang yang tidak pernah ia duga akan melihat lagi.
Matanya melebar. Nafasnya tercekat.
Seraphina.
Tidak, itu tidak mungkin.
Wanita itu tampak lebih dewasa dari terakhir kali ia melihatnya, namun sorot matanya tetap sama—tenang, seperti seseorang yang menyimpan ribuan kisah yang belum terucapkan. Rambutnya sedikit lebih panjang, jatuh lembut di pundaknya. Hujan membasahi ujung gaunnya, tapi ia tidak terlihat peduli.
Mereka hanya berdiri di sana, saling menatap tanpa suara.
Arkadi membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar.
Akhirnya, Seraphina yang lebih dulu bicara.
“Kamu masih suka hujan?” suaranya lembut, nyaris tenggelam dalam suara rintik air.
Arkadi masih terkejut untuk menjawab.
Seraphina tersenyum kecil. “Aku tidak menyangka kamu masih membaca koran.”
Arkadi menelan ludah. “Dan aku tidak menyangka kamu masih hidup.”
Seraphina tertawa pelan—suara yang dulu selalu bisa membuatnya merasa hangat, bahkan di hari terdingin sekalipun.
“Aku tidak pernah mati, Arkadi,” katanya. “Aku hanya pergi.”
Kata-kata itu menghantam Arkadi lebih keras dari yang ia duga.
Ia menatapnya dengan mata penuh tanya. Ada begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan.
Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa bertanya satu hal.
“Kenapa puisinya muncul di koran ini?”
Seraphina menunduk sedikit, jemarinya menggenggam erat pegangan payungnya. “Karena aku ingin kamu menemukannya.”
Hujan semakin deras, tapi Arkadi tidak peduli.
Di hadapannya, cerita yang dulu ia kira sudah selesai—ternyata masih terus berlanjut.
Nyanyian yang Kembali Bergema
Hujan terus menari di atas trotoar, menciptakan simfoni yang memenuhi keheningan di antara mereka. Arkadi masih berdiri kaku, menatap Seraphina yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya. Wanita itu masih menggenggam payung biru tuanya, tapi kali ini, tatapannya tidak lagi menghindar.
“Aku ingin kamu menemukannya.”
Kata-kata itu masih berputar di kepala Arkadi, membenturkan pertanyaan yang selama ini ia pendam.
“Kenapa sekarang?” suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan. “Kenapa setelah bertahun-tahun, kamu baru muncul lagi? Kenapa lewat puisi itu?”
Seraphina tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat.
“Aku tidak pernah benar-benar pergi, Arkadi,” akhirnya ia berkata. “Aku hanya… tidak tahu harus kembali bagaimana.”
Arkadi menggeleng, tidak puas dengan jawaban itu. “Kamu bahkan tidak bilang apa-apa waktu menghilang. Aku mencarimu. Aku…” Ia berhenti, mengatupkan rahangnya. “Aku pikir kamu mati.”
Seraphina menundukkan kepala, tangannya menggenggam pegangan payungnya lebih erat. “Aku tahu,” katanya pelan. “Dan aku minta maaf.”
Hening.
Seraphina menghela napas, lalu melanjutkan.
“Aku meninggalkan sesuatu di kios koran hari itu,” katanya. “Sebuah puisi, sama seperti yang dulu kita lakukan. Aku berharap seseorang menemukannya, tapi aku tidak pernah menyangka orang itu adalah kamu.”
Arkadi masih menatapnya dengan pandangan tajam. “Kenapa?”
Seraphina menelan ludah. “Karena aku ingin tahu… apakah masih ada bagian dari kita yang tersisa.”
Arkadi tertawa kecil, tapi bukan karena lucu. Lebih karena getir. “Dan puisi itu adalah caramu mencari tahu?”
Seraphina mengangguk. “Aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatku. Tapi aku tahu satu hal—kamu selalu kembali ke kios itu, selalu membaca koran. Jika ada satu cara agar kamu menemukanku, maka itu adalah melalui kata-kata.”
Hujan semakin deras, menutupi suara dunia di sekitar mereka. Tapi bagi Arkadi, suara itu justru terasa seperti melodi yang telah lama ia rindukan.
“Kamu ingin aku melakukan apa sekarang?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Seraphina menatapnya lekat, sorot matanya berkilat seperti dulu—penuh keyakinan, tapi juga mengandung sesuatu yang lebih dalam.
“Aku ingin tahu,” katanya pelan, “apakah kamu masih ingin melanjutkan cerita ini?”
Arkadi mengerjapkan mata.
Hujan turun semakin deras, menciptakan riak di genangan air yang mengalir di trotoar. Di tangannya, koran yang tadi begitu erat ia genggam kini terasa lebih ringan.
Ia mengingat hari-hari di mana mereka duduk bersama, menulis puisi di bawah rintik hujan. Mengingat tawa kecil Seraphina ketika mereka merangkai kata, mengingat caranya mengucapkan setiap bait dengan suara lembut yang membuat hujan terasa lebih hidup.
Dan sekarang, wanita itu ada di depannya, bertanya apakah ia masih ingin melanjutkan kisah mereka.
Arkadi menarik napas panjang, lalu akhirnya tersenyum kecil.
“Bagaimana kalau kita menulis satu puisi lagi?” tanyanya.
Seraphina terdiam sejenak, lalu ikut tersenyum. “Aku pikir kamu tidak akan pernah bertanya.”
Mereka tertawa pelan, lalu tanpa sadar mengambil langkah lebih dekat, membiarkan hujan menyelimuti mereka.
Di bawah langit yang masih menumpahkan airnya, nyanyian hujan di koran kembali bergema—tidak lagi sebagai kenangan yang belum usai, tapi sebagai kisah yang baru dimulai kembali.
Kadang, sesuatu yang kita kira sudah selesai ternyata hanya menunggu waktu yang tepat untuk dimulai lagi. Arkadi dan Seraphina, dua hati yang sempat terpisah oleh waktu, akhirnya menemukan jalan kembali dengan cara yang tidak biasa—melalui hujan dan puisi di koran tua.
Jadi, kalau suatu hari kamu menemukan sesuatu yang terasa terlalu personal di tempat yang tak terduga… siapa tahu, mungkin itu juga bagian dari kisah yang belum selesai. Hujan tidak hanya membawa kenangan, tapi juga kesempatan kedua.


