Daftar Isi
Hai, guys!! Siapa yang nyangka, halte bis tua di pinggir kota yang biasanya cuma jadi tempat nunggu kendaraan malah berubah jadi arena ketegangan hidup dan mati.
Malam yang harusnya biasa aja, tiba-tiba dipenuhi dengan bisikan hujan, tatapan waspada, dan suara letusan yang bikin jantung hampir copot. Siapa yang baik? Siapa yang jahat? Dan siapa yang bakal bertahan? Halte ini nyimpan banyak rahasia, dan malam ini… semua terungkap dalam cara yang gak pernah diduga.
Malam Mencekam di Halte
Bayangan Dibawah Lampu Halte
Hujan turun tanpa ampun, menghantam aspal hingga membentuk genangan kecil yang berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. Udara dingin merayap masuk ke sela-sela pakaian, menusuk kulit seperti jarum halus. Halte bus itu bukan tempat yang nyaman, tapi bagi lima orang yang berdiri di sana, tak ada pilihan lain selain menunggu.
Seorang pria tua duduk di sudut halte, menggigil di balik mantel abu-abunya yang sudah lusuh. Tangannya memeluk erat tas kanvas yang tampak berat, seolah di dalamnya ada sesuatu yang jauh lebih berharga dari hidupnya sendiri. Sesekali, ia melirik jalanan yang lengang, entah menunggu bus atau sesuatu yang lain.
Di sebelahnya, seorang perempuan muda bersandar pada tiang halte. Rambutnya pendek, ujungnya sedikit basah terkena percikan hujan. Jaket oversized yang dikenakannya tampak kebesaran, tapi justru membuatnya terlihat lebih kecil di tengah malam yang kelam. Kakinya terus mengetuk-ngetuk lantai semen, gerakannya gelisah seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Tak jauh dari mereka, seorang pria dengan jas hitam berdiri tegap. Posturnya kaku, tatapannya tajam. Tak ada tanda-tanda ia kedinginan meski jasnya terlihat sudah mulai lembap. Dari cara ia berdiri, dari sorot matanya, jelas ia bukan pria biasa yang sekadar menunggu bus.
Di sisi lain halte, seorang anak laki-laki dengan hoodie merah berdiri menyatu dengan bayangan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, bahunya sedikit terangkat seolah berusaha menghilang dari perhatian. Namun, sesekali, ia melirik ke arah pria berjas dengan pandangan tajam yang terlalu matang untuk seorang anak seusianya.
Dan yang terakhir, seorang perempuan tua dengan tas belanja besar di tangannya. Wajahnya penuh keraguan, matanya terus bergerak gelisah ke setiap orang di halte. Jemarinya yang keriput menggenggam erat pegangan tas, seakan takut seseorang akan merebutnya.
Lima orang, lima kisah berbeda. Tapi malam ini, mereka berada di tempat yang sama, di bawah lampu halte yang meredup.
Hujan terus berjatuhan, menciptakan suara gemericik di atas atap halte yang sudah mulai berkarat. Tidak ada yang berbicara, hanya suara hujan dan sesekali deru kendaraan yang lewat.
Sampai akhirnya, suara perempuan muda itu memecah keheningan.
“Kamu lama di sini?” tanyanya pelan pada pria tua di sebelahnya.
Pria tua itu mendongak, sedikit terkejut. “Cukup lama,” jawabnya singkat, suaranya serak seperti sudah terlalu lama tidak berbicara.
Perempuan itu mengangguk kecil, tapi tak bertanya lagi.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menatap mereka sebentar sebelum kembali menunduk. Ia menendang kerikil kecil dengan ujung sepatunya, membuat suara kecil di antara gemuruh hujan.
“Kamu nggak masuk aja?” tanya pria berjas, kali ini suaranya diarahkan ke perempuan tua yang berdiri paling dekat dengan hujan. “Basah kalau di situ.”
Perempuan tua itu tersentak sedikit, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak papa di sini.”
Pria berjas menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan.
Keheningan kembali menyelimuti mereka.
Tapi tidak lama.
Sebuah mobil melintas perlahan, lampunya menyapu halte dengan cahaya putih terang yang menyilaukan. Sedan hitam mengilap, dengan jendela yang tertutup rapat.
Perempuan muda itu langsung berhenti mengetuk lantai dengan kakinya. Tangannya meremas ujung jaketnya, rahangnya mengeras.
Anak laki-laki dengan hoodie merah langsung merapat ke tiang halte, menyembunyikan wajahnya di balik tudung.
Pria tua menunduk lebih dalam, mencengkeram tasnya.
Dan pria berjas? Ia tidak bergerak, tapi tangannya perlahan masuk ke dalam saku celananya.
Sedan hitam itu melaju pelan. Tidak berhenti, tapi tidak juga langsung pergi. Seolah memperhatikan mereka satu per satu.
Hujan terus turun, tapi kini suara derasnya terasa lebih samar, tertelan ketegangan yang menggantung di udara.
Lalu, tanpa peringatan, mobil itu berhenti di ujung halte.
Perempuan tua itu menahan napas.
Perempuan muda merapatkan jaketnya.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menatap mobil itu dari balik tudungnya, tangan di sakunya menggenggam sesuatu.
Pintu mobil sedikit terbuka.
Tidak ada yang bergerak.
Tidak ada yang berbicara.
Tapi semua orang, dalam diamnya, bersiap untuk sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu akan seperti apa.
Sedan Hitam dan Tatapan Tajam
Pintu sedan hitam terbuka perlahan. Suara kliknya hampir tak terdengar di tengah hujan yang masih deras. Dari dalam, seorang pria keluar, melindungi dirinya dengan payung hitam besar. Wajahnya tertutup bayangan, hanya pantulan samar dari lampu jalan yang memperlihatkan sedikit bentuk rahangnya yang tajam.
Ia tidak langsung melangkah. Hanya berdiri di sana, membiarkan udara malam yang basah menyelimuti kehadirannya.
Perempuan muda di halte menahan napas. Jemarinya yang sudah dingin mencengkeram ujung jaketnya lebih erat. Di sudut lain, anak laki-laki dengan hoodie merah semakin merapat ke tembok halte, tatapan matanya tajam tapi penuh perhitungan.
Pria tua dengan mantel lusuh menunduk lebih dalam, tetapi sorot matanya mengintip di balik kerutan wajahnya. Sementara perempuan tua yang tadi gelisah, kini benar-benar membeku. Kedua tangannya menggenggam tas belanjanya erat, napasnya pendek dan tak beraturan.
Dan pria berjas? Ia hanya berdiri tegap, tetap terlihat tenang, tapi matanya menatap lurus ke arah pria berpayung hitam itu.
Hening.
Hanya suara hujan yang terus menghantam tanah, menciptakan ritme monoton yang justru membuat ketegangan semakin nyata.
Pria berpayung hitam akhirnya melangkah. Perlahan, namun pasti.
Tap. Tap. Tap.
Langkahnya tenang, seperti seseorang yang tahu persis apa yang sedang ia lakukan.
“Kamu lama di sini?” suaranya terdengar, berat dan rendah.
Tak ada yang menjawab.
Pria tua semakin menunduk, anak laki-laki dengan hoodie merah tetap diam di tempatnya.
Pria berpayung hitam berhenti tepat di depan halte. Cahaya lampu jalan kini jatuh di wajahnya. Garis-garis tajam di wajahnya kini terlihat jelas, meski masih diliputi bayangan payung yang ia pegang.
Mata pria berjas menatapnya lekat. “Kamu terlalu lama,” katanya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar semua orang.
Pria berpayung hitam tersenyum kecil. “Bukankah lebih menarik jika menunggu sedikit lebih lama?”
Anak laki-laki dengan hoodie merah tampak menggeser tangannya di dalam saku. Ujung sesuatu yang berkilat mulai tampak di sela-sela jemarinya—sebuah pisau kecil, mencerminkan cahaya samar dari lampu halte.
Sementara itu, pria tua mulai bergerak, meski sangat pelan. Tangannya meraba tas kanvasnya seolah memastikan sesuatu masih ada di sana.
Perempuan muda menarik napas panjang, matanya menyipit, mengamati interaksi di antara dua pria itu.
Perempuan tua berdiri mematung, tapi kali ini bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu—namun tertahan.
Suasana makin tegang. Udara semakin terasa berat, seakan menekan paru-paru mereka.
“Kamu sendiri?” tanya pria berjas.
Pria berpayung hitam tersenyum tipis. “Menurutmu?”
Pria berjas tidak menjawab. Tapi matanya sedikit menyipit.
Lalu, tiba-tiba—
Dari kejauhan, suara deru mobil lain terdengar mendekat.
Bukan hanya satu.
Dua.
Tiga.
Beberapa kendaraan mendekat, lampu-lampunya menerobos hujan, menciptakan kilatan cahaya yang aneh di genangan aspal.
Pria tua mengangkat kepalanya sedikit, tubuhnya menegang.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menggigit bibirnya, seolah tengah mempertimbangkan sesuatu.
Pria berjas bergeming, tapi tangan di dalam sakunya bergerak sedikit, seolah siap menarik sesuatu kapan saja.
Sementara pria berpayung hitam?
Ia masih tersenyum.
Seolah sudah tahu, dari awal, bahwa malam ini akan menjadi lebih panjang daripada yang mereka semua bayangkan.
Bisikan Hujan dan Senjata Tersembunyi
Tiga mobil mendekat perlahan. Lampu-lampunya memantulkan kilatan samar di genangan aspal, menciptakan bayangan bergerak yang menyerupai sosok-sosok tanpa bentuk. Deru mesinnya terdengar dalam keheningan yang sempat melanda halte.
Perempuan muda mencengkeram jaketnya lebih erat, napasnya memburu. Matanya beralih ke pria berjas yang masih berdiri tegap di dekatnya.
“Teman kamu?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
Pria berjas tidak menoleh, tapi sudut bibirnya melengkung tipis. “Bukan,” jawabnya santai. “Kalau mereka temanku, aku pasti sudah pergi.”
Pria tua di sudut halte merapatkan pelukannya pada tas kanvasnya. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena dingin, tapi lebih karena sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu.
Anak laki-laki dengan hoodie merah memperhatikan mobil-mobil itu dengan tatapan tajam. Tangannya masih berada dalam saku, menggenggam pisau kecil yang kini terasa lebih dingin di jemarinya.
Perempuan tua berdiri mematung, matanya penuh ketakutan. Ia menunduk sedikit, seakan ingin menghilang di antara bayangan hujan.
Mobil pertama berhenti paling dekat dengan halte. Jendela belakangnya turun perlahan, memperlihatkan seorang pria berkacamata hitam meski malam sudah begitu pekat. Wajahnya tegas, ekspresinya datar.
“Kamu bikin kita menunggu,” suaranya terdengar dari dalam mobil, dingin dan tanpa emosi.
Pria berpayung hitam tersenyum. “Aku nggak ingat ada janji dengan kalian.”
Pria berkacamata hitam tidak langsung merespons. Matanya menyapu halte, mengamati satu per satu orang yang ada di sana. Pandangannya berhenti pada pria tua yang memegang tas kanvas.
Pria tua itu semakin menunduk, tubuhnya sedikit bergetar.
“Apa yang kamu bawa?” tanya pria berkacamata, suaranya sedikit meninggi.
Pria tua menggeleng cepat. “Hanya barangku sendiri… aku nggak bawa apa-apa,” katanya, suaranya sedikit bergetar.
Pria berkacamata tertawa pelan. “Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa kamu terlihat ketakutan?”
Tak ada yang menjawab.
Hujan semakin deras, menciptakan suara gemuruh di atap halte yang semakin karatan.
Pria berjas menghela napas pelan, lalu melangkah mendekati pria tua itu. Dengan gerakan santai, ia meletakkan satu tangan di bahu pria tua tersebut.
“Kamu sebaiknya pergi,” katanya datar. “Sekarang.”
Pria tua menegang, matanya menatap pria berjas penuh keraguan.
“Pergi kemana?” suara pria berkacamata memotong tajam.
Pria berjas mengangkat bahu. “Itu urusan dia, kan?”
Pria berkacamata tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang berbahaya di balik ekspresinya.
“Jangan bergerak,” katanya tiba-tiba, lalu melambaikan tangannya sedikit.
Pintu mobil belakang terbuka.
Dua pria berbadan besar turun.
Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah mereka tidak asing bagi yang pernah berurusan dengan dunia yang lebih gelap dari sekadar menunggu bus di halte pinggiran kota.
Perempuan muda menelan ludah.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menyipitkan matanya.
Pria tua mundur selangkah, napasnya semakin tak beraturan.
“Aku… aku nggak ada urusan dengan kalian,” gumamnya putus asa.
Salah satu pria berbadan besar mendekat, tapi sebelum ia bisa meraih tas kanvas itu—
Srett!
Anak laki-laki dengan hoodie merah mengangkat tangannya dari saku, pisau kecilnya berkilat di bawah cahaya lampu halte.
“Aku nggak suka orang sok berkuasa,” katanya dingin.
Semua mata kini beralih padanya.
Pria berkacamata mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi dengan cepat ekspresinya kembali datar.
“Oh?” ia mendengus kecil. “Kamu pikir pisau sekecil itu bisa membuat kami mundur?”
Anak laki-laki itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, pisau di tangannya tetap terarah pada pria berbadan besar yang tadi maju lebih dulu.
Suasana semakin mencekam.
Pria berpayung hitam masih diam, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu—seolah ia hanya menunggu kejadian berikutnya.
Perempuan tua menutup mulutnya dengan tangan, matanya penuh ketakutan.
Lalu, sebelum ada yang sempat bereaksi lebih jauh—
Sebuah suara terdengar.
Klik.
Suara yang khas. Suara sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar pisau kecil.
Semua orang menoleh ke arah suara itu.
Dan di sanalah, pria berjas berdiri dengan santai.
Sebuah pistol hitam kini berada di tangannya, moncongnya diarahkan lurus ke kepala pria berkacamata di dalam mobil.
“Aku nggak suka kekacauan,” katanya pelan, tapi tajam. “Dan aku nggak suka orang yang merasa mereka bisa menekan orang lain semudah itu.”
Keheningan turun begitu cepat, seakan dunia tiba-tiba berhenti berputar.
Hujan masih turun deras. Tapi sekarang, suara hujan terasa seperti bisikan samar di antara ketegangan yang semakin nyata.
Tiga Letusan dan Bis yang Tak Pernah Datang
Keheningan menggantung di udara, lebih berat dari suara hujan yang mengguyur atap halte yang berkarat. Semua mata terpaku pada pistol hitam di tangan pria berjas.
Pria berkacamata di dalam mobil tetap diam. Matanya beralih dari pria berjas ke anak laki-laki dengan hoodie merah, lalu ke pria tua yang masih mencengkeram tas kanvasnya erat-erat. Bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyuman, tapi lebih mirip ejekan.
“Kamu yakin mau melakukan ini?” tanyanya santai, meski ada ketegangan halus dalam suaranya.
Pria berjas tidak menjawab. Jemarinya tetap kokoh menggenggam pistol, moncongnya tidak bergerak sedikit pun.
Di sudut halte, perempuan muda menahan napas. Anak laki-laki dengan hoodie merah juga tidak bergeming, tapi tatapan matanya tajam, masih waspada.
Lalu, pria berkacamata menghela napas. “Satu,” katanya pelan.
Tangan pria berjas sedikit menegang.
Pria berbadan besar yang berdiri di luar mobil merapatkan langkahnya, seakan bersiap untuk bergerak.
Perempuan tua menutup matanya.
“Hati-hati,” pria berkacamata melanjutkan, “kamu nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu mulai lebih dulu.”
“Salah.” Pria berjas akhirnya berbicara. Ia menggeser sedikit posisi kakinya, tatapannya tetap tak goyah. “Aku tahu.”
Dan saat itulah—
Dor!
Suara tembakan pertama meledak, memecah udara.
Anak laki-laki dengan hoodie merah tersentak. Perempuan muda menutup mulutnya dengan tangan.
Pria berkacamata masih ada di tempatnya, tapi salah satu pria berbadan besar yang tadi maju kini jatuh berlutut, tangannya mencengkeram bahunya yang berdarah.
Dor!
Satu tembakan lagi. Kali ini, pria berbadan besar yang lain terhuyung mundur, pistol kecil yang baru sempat ia tarik dari pinggangnya terjatuh ke tanah.
Pria berkacamata menggeretakkan giginya, rahangnya mengencang. “Sial.”
Namun sebelum ia bisa berbuat sesuatu—
Dor!
Tembakan ketiga melesat.
Jendela belakang mobil pecah, kaca berserakan di jalan.
Pria berkacamata terdorong ke belakang, tubuhnya kaku sejenak sebelum akhirnya jatuh ke kursi.
Sunyi.
Tidak ada yang bergerak.
Perempuan tua membuka matanya perlahan, melihat pemandangan di depannya dengan napas tercekat.
Pria berjas masih berdiri di tempatnya. Tangannya masih menggenggam pistol, tapi sekarang ia sedikit menurunkannya.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menghela napas panjang, pisau di tangannya kini terasa tidak berarti dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi.
Pria tua yang sedari tadi ketakutan, kini berdiri dengan tangan bergetar. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena takut—lebih kepada kelegaan yang tak bisa dijelaskan.
Pria berpayung hitam akhirnya bergerak. Ia menutup payungnya perlahan, menepuk-nepuk air hujan yang jatuh di bahunya, lalu melirik pria berjas.
“Kamu selalu berlebihan,” katanya santai.
Pria berjas mengangkat bahu. “Mereka nggak pernah belajar dengan cara yang lebih lembut.”
Di belakang mereka, mobil-mobil yang tadi datang kini mulai perlahan mundur. Beberapa orang di dalamnya tampak berbicara dengan panik, sebelum akhirnya satu per satu kendaraan itu melesat pergi, meninggalkan tubuh-tubuh yang tergeletak di jalan.
Pria tua mencengkeram tasnya lebih erat.
“Aku bisa pergi sekarang?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Pria berpayung hitam menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Pergilah.”
Tanpa menunggu lebih lama, pria tua itu berbalik dan berjalan cepat meninggalkan halte.
Perempuan tua masih berdiri kaku, kedua tangannya saling meremas. “Ini… ini akan baik-baik saja, kan?” suaranya kecil, hampir tak terdengar.
Pria berjas menyelipkan pistolnya kembali ke dalam jasnya. Ia menatap perempuan tua itu sebentar, lalu menghela napas. “Anggap saja kamu nggak pernah melihat apa pun malam ini.”
Perempuan tua tidak menjawab, hanya mengangguk cepat sebelum akhirnya berbalik, berjalan menjauh dengan langkah tergesa.
Kini, hanya tersisa empat orang di halte.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menyimpan pisaunya. Ia melirik pria berpayung hitam dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kamu siapa sebenarnya?” tanyanya.
Pria berpayung hitam tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menoleh ke pria berjas.
Pria berjas menatap anak laki-laki itu dengan sorot mata yang sama misteriusnya. “Kamu terlalu ingin tahu,” katanya.
Anak laki-laki itu mendengus, tapi tidak bertanya lebih lanjut.
Perempuan muda yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. “Jadi, ini sudah selesai?”
Pria berpayung hitam menatap langit yang masih diguyur hujan. Ia tersenyum tipis. “Untuk malam ini, mungkin.”
Suasana mulai tenang.
Lalu, dari kejauhan—
Suara gemuruh mesin terdengar lagi.
Sebuah bis.
Lampu depannya menerobos hujan, mendekat perlahan ke halte yang sejak tadi menjadi saksi peristiwa yang tak seharusnya terjadi di tempat sesederhana ini.
Pria berpayung hitam melangkah mundur, kembali membuka payungnya.
Pria berjas mengancingkan jasnya, bersiap pergi.
Anak laki-laki dengan hoodie merah menatap bis yang mendekat, lalu melirik halte yang kini terasa lebih sepi dari sebelumnya.
Perempuan muda menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.
Bis itu akhirnya berhenti.
Pintu terbuka.
Satu per satu mereka naik, menghilang ke dalam cahaya redup di dalam kendaraan tua itu.
Tak lama kemudian, bis kembali melaju, meninggalkan halte yang kini kosong.
Di belakangnya, hanya suara hujan yang tersisa.
Dan halte itu—yang telah melihat segalanya—tetap berdiri di sana, menjadi saksi bisu dari sebuah malam yang akan terus dikenang oleh mereka yang masih hidup.
Hujan masih turun, tapi bis sudah pergi, membawa para saksi yang mungkin gak bakal pernah cerita tentang apa yang terjadi malam itu. Halte itu? Tetap berdiri di sana, seperti gak pernah ada apa-apa. Tapi bagi mereka yang masih hidup, malam itu bukan sekadar hujan dan halte tua… itu adalah malam di mana semuanya berubah.


