Kesombongan Nyamuk: Terbang Tinggi, Jatuh ke Mulut Cicak

Posted on

Pernah dengar pepatah, Semakin tinggi terbang, semakin sakit jatuhnya? Nah, ini bukan sekadar omong kosong. Bahkan buat seekor nyamuk! Kisah ini tentang Zafiron, si nyamuk yang ngerasa paling jago terbang, paling cepat, paling nggak tersentuh.

Tapi… semua berubah pas dia ketemu Ferantis, cicak yang sabar nunggu di pojokan. Ini bukan sekadar cerita tentang nyamuk dan cicak, tapi juga pelajaran hidup yang bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum jadi terlalu sombong.

Kesombongan Nyamuk

Nyamuk yang Merasa Istimewa

Di sudut kamar yang temaram, sekelompok nyamuk berkumpul di balik tirai yang sedikit robek. Mereka berbisik-bisik, membicarakan hal yang sama setiap malam: bagaimana bertahan hidup di tempat yang penuh ancaman ini.

“Jangan terlalu sering terbang di dekat lampu, itu jebakan,” bisik salah satu nyamuk kecil.

“Jangan hinggap di tangan manusia terlalu lama, nanti kamu kena tepok!” sahut yang lain.

Mereka semua patuh pada satu aturan: tetap rendah, tetap diam, tetap waspada. Semua nyamuk di kamar itu tahu, hidup mereka hanya bergantung pada kecerdikan dalam menghindari bahaya.

Semua… kecuali satu.

Seekor nyamuk dengan tubuh sedikit lebih besar, dengan sayap yang lebih kuat dan warna yang lebih gelap dari yang lain, berdiri di antara mereka dengan tatapan penuh kesombongan. Namanya Zafiron. Baginya, hidup nyamuk-nyamuk lain terlalu membosankan.

“Kalian ini pengecut,” katanya, suaranya penuh nada meremehkan. “Kenapa harus sembunyi di balik tirai sepanjang waktu? Kenapa tidak keluar dan menunjukkan kalau kita ini penguasa malam?”

Salah satu nyamuk, yang tubuhnya lebih kecil dan kurus, menghela napas. “Bukan soal pengecut atau tidak. Kalau kamu terbang terlalu tinggi atau terlalu lama, bahaya bisa datang dari mana saja.”

Zafiron mendengus. “Bahaya? Aku tidak takut. Aku bisa terbang lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih bebas daripada nyamuk mana pun di kamar ini. Manusia? Aku bisa menghindari tangan mereka dengan mudah. Raket listrik? Tidak ada yang bisa menangkapku. Aku ini berbeda dari kalian.”

“Kamu terlalu percaya diri,” kata nyamuk lainnya. “Bahkan nyamuk paling gesit pun bisa mati dalam sekejap kalau salah langkah.”

Zafiron tertawa kecil. “Aku tidak akan melakukan kesalahan seperti nyamuk bodoh lainnya. Aku lebih pintar.”

Nyamuk-nyamuk lain hanya saling pandang. Mereka sudah sering melihat nyamuk yang terlalu sombong berakhir mengenaskan. Tapi mereka juga tahu, Zafiron tidak akan mau mendengar nasihat siapa pun.

Malam itu, ketika kamar mulai sunyi dan pemiliknya sudah tertidur lelap, Zafiron membentangkan sayapnya dan mulai terbang. Tidak seperti nyamuk lain yang hanya berani mengitari kaki atau tangan manusia, ia melesat ke udara, menari di bawah cahaya lampu yang redup.

Ia terbang lebih tinggi dari yang lain, meluncur di sepanjang dinding, lalu berputar di sekitar kipas angin yang sudah dimatikan. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan nyamuk biasa.

“Hei! Lihat aku!” serunya kepada kawanan yang masih bersembunyi di balik tirai. “Kalian terus bersembunyi di sudut gelap, sementara aku bisa menjelajahi dunia!”

Beberapa nyamuk lain melongok keluar, melihat Zafiron yang dengan bangga melayang di udara, tubuhnya berkilau di bawah cahaya lampu.

“Ayo, coba kejar aku!” Zafiron menantang mereka, lalu melesat cepat ke arah lemari.

Tidak ada yang berani menyusul. Mereka hanya menggeleng dan kembali bersembunyi.

Namun, di atas lemari, sesuatu bergerak. Sepasang mata kuning yang samar-samar bercahaya di kegelapan menatap ke arah Zafiron yang terus berputar di udara.

Cicak itu tidak bergerak. Tidak mengeluarkan suara. Hanya menunggu.

Dan Zafiron? Ia masih terlalu sibuk merayakan kehebatannya.

 

Terbang Menuju Kesombongan

Zafiron terus melayang di udara, menikmati setiap kepakan sayapnya yang terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Ia merasa bebas, merasa kuat—seperti penguasa langit malam. Tidak ada yang bisa menandingi kecepatannya, tidak ada yang cukup berani menyaingi kehebatannya.

Di bawahnya, nyamuk-nyamuk lain masih bersembunyi di balik tirai, hanya bisa mengamati dengan tatapan khawatir. Mereka tahu, langit-langit kamar bukan tempat yang aman untuk seekor nyamuk, terlebih bagi mereka yang terlalu mencolok seperti Zafiron.

Tapi Zafiron tidak peduli.

“Dasar pengecut!” serunya sambil melayang rendah, sengaja berputar di sekitar mereka. “Hidup kalian membosankan! Sembunyi terus seperti ini tidak akan membuat kita lebih hebat!”

Salah satu nyamuk tua menghela napas panjang. “Jangan terlalu tinggi terbang, Zafiron,” katanya dengan suara pelan. “Kadang, yang terbang paling tinggi justru yang jatuh paling keras.”

Zafiron tertawa kecil. “Omong kosong!” Ia kembali melesat, kali ini menuju langit-langit, lalu berputar cepat di sekitar bola lampu yang mulai meredup.

Ia tidak sadar bahwa di atas lemari, sepasang mata masih mengawasi setiap gerakannya dengan penuh kesabaran.

Semakin lama, Zafiron semakin percaya diri. Ia mulai memainkan manuver yang lebih berani—meluncur di antara celah rak buku, menukik tajam melewati sudut dinding, lalu kembali ke langit-langit dengan kecepatan yang lebih tinggi.

“Aku bisa pergi ke mana pun aku mau!” serunya dengan bangga.

Ia terbang ke sisi jendela, melihat dunia luar yang gelap gulita. Angin malam berembus pelan melewati celah jendela yang sedikit terbuka. Dunia luar tampak luas, penuh misteri.

“Hanya nyamuk bodoh yang puas hidup di dalam ruangan,” gumamnya sambil menatap keluar. “Mungkin aku harus pergi lebih jauh dari sekadar kamar ini.”

Zafiron menatap kembali ke dalam ruangan. Ia melihat teman-temannya masih bersembunyi. Ia melihat lampu yang semakin meredup. Ia melihat lemari tua yang dipenuhi bayangan.

Namun, satu hal yang tidak ia lihat—satu kesalahan kecil yang tidak ia sadari—adalah pergerakan halus di atas lemari.

Ferantis, si cicak, sudah mulai bergerak.

Zafiron masih tenggelam dalam euforia kebebasannya, tidak menyadari bahwa setiap lompatan yang ia lakukan semakin mendekatkannya pada sesuatu yang mengintai dalam gelap.

Malam itu masih panjang, dan kisahnya masih belum berakhir.

 

Mata yang Mengintai dalam Gelap

Ferantis tidak pernah tergesa-gesa. Sebagai pemburu di dunia sunyi, ia tahu betul bahwa kesabaran adalah kunci. Dari atas lemari, cicak itu tetap diam, matanya yang kuning kehijauan tidak pernah lepas dari sosok kecil yang terus menari di udara.

Zafiron, si nyamuk sombong, masih melayang tanpa beban. Ia terus melakukan manuver-manuver berani, menukik tajam ke bawah, lalu kembali melesat ke atas. Ia percaya bahwa selama ia terbang cepat, tidak ada yang bisa menyentuhnya.

Tapi Ferantis sudah hafal pola pergerakannya.

Setiap nyamuk memiliki kelemahan. Tidak peduli seberapa cepat atau seberapa tinggi mereka terbang, selalu ada momen di mana mereka lengah.

Dan Zafiron? Ia semakin mendekati batasnya.

Dari balik tirai, nyamuk-nyamuk lain hanya bisa menyaksikan dengan perasaan gelisah. Mereka tidak lagi mencoba memperingatkan Zafiron. Mereka tahu, kata-kata tidak akan bisa menembus kesombongannya.

Salah satu nyamuk kecil berbisik, “Kenapa dia tidak sadar? Dia sudah terlalu dekat dengan lemari.”

Nyamuk tua yang tadi memperingatkannya hanya menghela napas. “Kadang, kesombongan membuat kita buta.”

Di atas sana, Zafiron mulai merasa puas.

“Aku bahkan bisa menari di langit-langit!” katanya sambil meluncur cepat, tubuhnya berputar sebelum kembali stabil.

Ia tidak sadar, ia mulai melambat. Sayapnya, yang sejak tadi terus bekerja tanpa henti, mulai sedikit kelelahan. Tapi Zafiron mengabaikannya. Ia berpikir, tubuhnya lebih kuat dari nyamuk mana pun.

Ferantis bergerak sedikit lebih dekat.

Ia merayap perlahan, nyaris tanpa suara. Lidahnya yang panjang sudah siap, otot-ototnya menegang, menunggu saat yang tepat.

Zafiron kembali melayang rendah, terlalu dekat dengan lemari, tanpa menyadari bahwa kegelapan di atasnya sedang menunggu.

Dan dalam satu detik yang singkat, mata Ferantis menyipit.

Dari balik tirai, seokor nyamuk berbisik ketakutan. “Dia terlalu rendah!”

Nyamuk tua menggeleng pelan. “Sudah terlambat.”

Saat Zafiron menyadari ada sesuatu yang bergerak di atasnya, semuanya sudah terlambat.

Dalam sekejap, Ferantis melesat turun dengan kecepatan yang luar biasa. Bayangan cicak itu muncul dari kegelapan seperti petir yang menyambar.

Zafiron terkejut. Instingnya menyuruhnya kabur, sayapnya mencoba mengepak lebih cepat, tapi kali ini, keberuntungan tidak berpihak padanya.

Lidah panjang Ferantis meluncur dengan presisi sempurna.

Dan dalam satu kedipan mata—

DUNGG!

Zafiron menghilang.

Hanya tersisa keheningan di ruangan itu.

Dari balik tirai, kawanan nyamuk hanya bisa diam. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang tertawa, tidak ada yang bersorak.

Hanya sunyi.

Salah satu nyamuk kecil menelan ludah. “Itu tadi… sangat cepat.”

Nyamuk tua menatap ke arah lemari dengan tatapan penuh makna. “Seperti yang sudah kukatakan. Yang terbang paling tinggi, sering kali yang jatuh paling keras.”

Ferantis, kini kembali ke tempat persembunyiannya, menelan mangsanya dengan tenang. Bagi cicak itu, ini hanya satu malam biasa. Satu perburuan biasa.

Dan bagi dunia, Zafiron adalah nyamuk yang terlalu sombong untuk bertahan lebih lama.

Malam masih panjang, tapi tidak lagi bagi Zafiron.

 

Kejatuhan Sang Penguasa Langit

Kamar kembali sunyi. Seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi. Seolah Zafiron tidak pernah ada.

Di balik tirai, kawanan nyamuk masih terdiam. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang bergerak. Mereka hanya menatap ke arah lemari, ke tempat di mana Zafiron menghilang dalam satu kedipan mata.

Nyamuk kecil yang sejak tadi gelisah akhirnya berbisik, suaranya hampir tak terdengar. “Dia… benar-benar sudah tidak ada, ya?”

Nyamuk tua mengangguk pelan. “Seperti yang sudah kuduga.”

Tak ada kegaduhan, tak ada ratapan. Dalam dunia mereka, kematian adalah hal yang biasa. Seekor nyamuk mati, yang lain akan tetap melanjutkan hidup. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam kepergian Zafiron yang membuat semuanya terasa berbeda.

Mungkin karena ia terlalu sombong.
Mungkin karena ia terlalu percaya diri.
Mungkin karena ia benar-benar berpikir bahwa ia tidak akan pernah jatuh.

Tapi pada akhirnya, bahkan yang terbang paling tinggi pun tidak bisa menghindari takdirnya.

Di atas lemari, Ferantis menjilati bibirnya, puas dengan perburuannya malam ini. Ia merayap perlahan ke sudut gelap, kembali ke tempatnya, menunggu mangsa berikutnya.

Bagi cicak itu, Zafiron hanyalah satu dari sekian banyak nyamuk yang telah menjadi santapannya. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang istimewa. Hanya satu kesombongan yang berakhir dalam satu gigitan.

Ia sudah sering melihatnya—nyamuk-nyamuk yang mengira mereka lebih cepat, lebih gesit, lebih tak terkalahkan. Tapi bagi Ferantis, mereka semua sama.

Karena seberapa hebat pun seekor nyamuk, mereka tetaplah makanan.

Nyamuk-nyamuk di balik tirai akhirnya beringsut kembali ke tempat mereka. Malam masih panjang, dan mereka masih harus bertahan hidup.

“Dia terlalu berani,” gumam salah satu nyamuk.

“Dia terlalu bodoh,” sahut yang lain.

Nyamuk tua hanya menghela napas, menatap ke arah langit-langit kamar yang tadi menjadi panggung terakhir Zafiron. “Dia hanya tidak tahu batasannya.”

Mereka semua tahu, besok malam akan datang lagi. Dunia mereka akan tetap berjalan. Nyamuk-nyamuk lain akan tetap mencari darah, tetap bersembunyi dari bahaya.

Tapi kisah Zafiron akan menjadi peringatan.

Bukan hanya tentang bahaya cicak, bukan hanya tentang terbang terlalu tinggi, tapi tentang sesuatu yang lebih dalam—tentang bagaimana kesombongan bisa menjadi kejatuhan seseorang.

Karena pada akhirnya, langit yang tinggi bukanlah tempat bagi mereka yang tak tahu kapan harus berhenti.

Dan Zafiron? Ia adalah nyamuk yang terbang terlalu dekat dengan takdirnya sendiri.

 

Jadi, kesimpulannya? Nggak peduli seberapa cepat kamu lari, seberapa tinggi kamu terbang, selalu ada sesuatu yang lebih besar dan lebih sabar nunggu kamu lengah. Zafiron pikir dia penguasa langit malam, tapi pada akhirnya, dia cuma jadi camilan tengah malam buat Ferantis.

Pelajaran penting: terlalu percaya diri tanpa sadar sama bahaya sekitar? Bisa jadi akhir yang konyol. Jadi, kamu masih mau terbang setinggi Zafiron? Atau mulai sadar kapan waktunya ngerem sebelum ketemu cicak di hidup kamu?

Leave a Reply