Liburan Seru Bersama Kakek Nenek di Desa: Petualangan, Cinta, dan Kenangan Tak Terlupakan

Posted on

Liburan ke desa bareng kakek dan nenek selalu punya cerita seru yang nggak bakal terlupakan! Kalau biasanya liburan cuma tentang main gadget atau tidur-tiduran di rumah, kali ini Alma punya pengalaman yang beda banget.

Siap-siap dibuat terpesona sama serunya hidup di desa yang penuh kejutan, mulai dari menangkap ikan sampai petualangan seru bareng teman baru. Gak cuma menyenangkan, tapi juga bikin rindu dengan kedamaian dan kesederhanaan hidup yang nggak ada di kota. Penasaran kan? Yuk, baca cerita lengkapnya!

 

Liburan Seru Bersama Kakek Nenek di Desa

Sambutan Hangat di Rumah Kakek dan Nenek

Mobil hitam itu akhirnya berhenti tepat di depan rumah kayu besar yang berdiri kokoh di tengah pekarangan luas. Aroma tanah basah bercampur wangi bunga kamboja menyambut, menandakan hujan baru saja reda. Seorang pria tua dengan topi jeraminya berdiri di teras, sementara seorang wanita dengan apron bermotif bunga tersenyum lebar di sampingnya.

“Alma!” seru nenek penuh semangat, membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Tanpa menunggu, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua berlari keluar dari mobil, langsung melesat ke dalam pelukan hangat itu. Aroma khas nenek—campuran sabun wangi mawar dan rempah-rempah dapur—seketika membuatnya merasa benar-benar sampai di rumah keduanya.

“Kamu makin besar saja!” ujar nenek sambil menepuk-nepuk punggung Alma.

Kakek mendekat dengan senyum penuh wibawa, tangannya terangkat untuk mengacak pelan rambut cucunya. “Hati-hati kalau sering datang ke sini, nanti nggak mau pulang.”

Alma terkikik, lalu berbalik ke arah ayah yang sedang menurunkan koper kecil dari bagasi. “Ayah, jangan jemput aku cepat-cepat, ya!”

Ayahnya tertawa kecil. “Kalau kakek dan nenek nggak keberatan, ayah juga nggak masalah.”

Nenek menggeleng cepat. “Mana mungkin kami keberatan! Justru makin lama makin bagus. Kalau bisa, jangan dua minggu saja, tapi sebulan!”

Alma tertawa senang, sementara kakek merangkul bahunya dan mengajaknya naik ke teras. “Ayo masuk, kamu pasti lapar. Nenek sudah masak makanan favoritmu.”

Begitu masuk ke dalam rumah, kehangatan langsung menyelimuti. Dinding kayu dengan warna cokelat tua, lantai yang berderak halus setiap kali diinjak, serta deretan foto keluarga yang tertempel rapi di ruang tengah, semuanya terasa begitu familiar dan menenangkan.

Di meja makan, aneka makanan tersaji dengan harum yang menggoda. Ada ayam goreng renyah berwarna keemasan, sup jagung hangat dengan irisan wortel dan seledri, serta sepiring besar puding cokelat yang tampak mengilap.

“Wow! Ini semua buat aku?” Mata Alma membesar penuh antusias.

Nenek tertawa kecil sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk. “Tentu saja. Kamu harus makan banyak, biar tambah sehat.”

Tanpa menunggu lama, Alma langsung duduk dan mulai menyantap makanannya. Satu suapan ayam goreng yang renyah di luar dan lembut di dalam membuatnya tersenyum puas.

“Kamu suka?” tanya nenek, memperhatikannya penuh harap.

Alma mengangguk cepat. “Suka banget! Rasanya lebih enak dari yang di restoran!”

Kakek tertawa dan menyuapkan satu sendok sup ke mulutnya sendiri. “Tentu saja, ini dimasak dengan penuh cinta. Kamu tahu nggak, dulu waktu ayahmu kecil, dia juga suka banget sama masakan nenekmu ini.”

Alma menoleh ke ayahnya yang sedang meneguk teh di kursi seberang. “Ayah juga suka puding cokelat ini?”

Ayah tersenyum sambil mengusap kepalanya. “Dulu, ayah bahkan pernah nangis kalau pudingnya habis.”

Alma tergelak, membayangkan ayahnya yang sekarang tinggi dan gagah, menangis hanya karena puding cokelat.

Malam itu, setelah kenyang dengan hidangan lezat dan berbincang panjang lebar, Alma masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuknya. Kamar itu tidak terlalu besar, tapi terasa sangat nyaman. Seprai putih dengan pola bunga kecil, rak buku mungil di pojokan, dan jendela yang menghadap langsung ke kebun belakang.

Nenek duduk di tepi ranjang, menyelimutinya dengan hati-hati. “Tidur yang nyenyak, ya, sayang. Besok pagi, kakek akan ajak kamu ke sawah.”

Mata Alma berbinar. “Serius? Aku boleh ikut?”

“Tentu saja! Kamu akan belajar hal baru di sini.”

Alma tersenyum lebar, lalu menguap kecil. Udara malam yang sejuk dan pelukan hangat nenek membuatnya cepat terlelap. Di luar, suara jangkrik bernyanyi menemani tidurnya, menandakan bahwa petualangan seru baru saja dimulai.

 

Petualangan di Sawah dan Kebun Buah

Pagi-pagi sekali, suara burung berkicau dan aroma embun menyegarkan udara desa. Matahari baru saja muncul di balik perbukitan, menyinari halaman rumah kakek dengan cahaya keemasan. Alma masih menggeliat di tempat tidurnya ketika suara ketukan lembut terdengar dari pintu.

“Alma, bangun, sayang. Kita mau ke sawah,” suara nenek terdengar lembut.

Mata Alma langsung terbuka lebar. Ia hampir lupa kalau hari ini kakek akan membawanya ke sawah! Dengan cepat, ia bangkit, mencuci muka, lalu mengenakan kaus lengan panjang dan celana selutut. Begitu keluar kamar, sarapan sederhana sudah menunggunya di meja—sepiring nasi goreng hangat dengan telur dadar.

“Kamu harus makan dulu biar kuat jalan ke sawah,” kata nenek sambil meletakkan segelas teh hangat di depannya.

Alma segera melahap sarapannya, tak sabar memulai petualangannya hari ini.

Tak lama kemudian, Alma berjalan menyusuri pematang sawah bersama kakek. Sawah itu luas, membentang sejauh mata memandang dengan padi hijau yang bergoyang pelan diterpa angin. Udara di sini jauh lebih segar daripada di kota.

“Bagus banget!” seru Alma kagum.

Kakek tertawa kecil. “Ini hasil kerja keras para petani di sini, termasuk kakek juga. Tanpa mereka, kita nggak bisa makan nasi setiap hari.”

Alma mengangguk paham. Ia memperhatikan beberapa petani yang sedang membungkuk di antara tanaman padi, menanam bibit baru. Lumpur cokelat menempel di kaki mereka, tapi mereka tetap tersenyum dan bekerja dengan semangat.

Seorang pria tua dengan topi lebar melambaikan tangan. “Pak Surya! Bawa cucunya, ya?”

“Iya, Pak Sarman! Dia mau coba belajar menanam padi,” jawab kakek.

Alma membulatkan mata. “Aku? Serius?”

“Kenapa nggak? Yuk, turun ke sawah!” Kakek menggulung celana panjangnya, lalu melangkah masuk ke lumpur.

Alma ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti. Begitu kakinya menyentuh lumpur, ia tersentak. Dingin, lembek, dan sedikit licin!

“Lucu rasanya!” serunya, tertawa kecil.

Pak Sarman menyerahkan beberapa bibit padi ke tangan kecil Alma. “Coba tanam ini. Kamu tinggal menancapkannya ke lumpur, lalu rapikan supaya nggak terlalu dekat satu sama lain.”

Dengan hati-hati, Alma mengikuti instruksi. Tangannya tenggelam sedikit ke dalam lumpur saat ia menanam bibit-bibit itu satu per satu. Rasanya aneh, tapi juga menyenangkan!

Setelah beberapa waktu, kakinya mulai pegal, tapi ia tetap bersemangat. “Aku berhasil!” serunya bangga, melihat deretan bibit padi yang sudah ia tanam.

Kakek menepuk bahunya. “Bagus! Siapa tahu nanti kamu bisa jadi petani kalau sudah besar?”

Alma terkekeh. “Aku belum kepikiran, sih. Tapi ini seru!”

Setelah puas bermain lumpur dan melihat para petani bekerja, mereka kembali ke rumah. Namun sebelum sampai, kakek membawa Alma ke kebun belakang rumah.

“Kita panen buah dulu,” kata kakek, mengambil keranjang anyaman.

Kebun itu penuh dengan pepohonan tinggi yang rimbun. Ada pohon mangga, jambu, dan rambutan yang cabangnya menjulur rendah, seolah mengajak untuk dipetik.

“Kamu mau petik yang mana dulu?” tanya kakek.

Alma menatap sekeliling, lalu menunjuk pohon jambu yang tidak terlalu tinggi. “Aku mau yang itu! Bisa manjat nggak?”

Kakek tertawa. “Tentu saja. Tapi hati-hati, jangan sampai jatuh.”

Dengan semangat, Alma mulai memanjat. Tangannya menggenggam kuat batang pohon, sementara kakinya mencari pijakan di cabang yang lebih rendah. Begitu sampai di atas, ia bisa melihat pemandangan lebih luas. Angin bertiup sepoi-sepoi, membuatnya semakin betah di sana.

Ia meraih satu jambu merah yang matang, memutarnya perlahan, lalu menariknya dari dahan. “Aku dapat!” serunya dari atas.

“Bagus! Coba langsung makan,” kata kakek dari bawah.

Alma menggosok jambunya di bajunya, lalu menggigitnya. Rasanya manis, sedikit asam, dan sangat segar!

“Ini lebih enak daripada yang dijual di toko!” katanya dengan mulut penuh.

Kakek tersenyum. “Itulah nikmatnya buah yang dipetik sendiri.”

Setelah turun, mereka mengumpulkan beberapa mangga dan rambutan untuk dibawa pulang.

Saat akhirnya kembali ke rumah, tangan Alma penuh tanah dan kakinya kotor karena lumpur, tapi ia tidak peduli. Hari ini adalah hari yang luar biasa!

“Nenek pasti kaget lihat aku kotor begini,” katanya sambil tertawa.

Kakek tertawa kecil. “Nggak apa-apa, nanti kita bersih-bersih dulu sebelum masuk rumah.”

Dengan hati senang dan perut mulai lapar lagi, Alma merasa petualangannya hari ini belum selesai. Besok, siapa tahu kejutan apa lagi yang akan menunggunya?

 

Rahasia Sungai dan Teman Baru

Matahari sudah mulai naik saat Alma duduk di teras, menggoyangkan kakinya dengan semangat. Setelah kemarin bermain lumpur di sawah dan memetik buah di kebun, hari ini kakek berjanji akan mengajaknya ke sungai.

“Kita mau ngapain di sana, Kek?” tanya Alma penasaran.

Kakek yang sedang menyiapkan keranjang rotan tersenyum kecil. “Menangkap ikan.”

Mata Alma berbinar. “Pakai pancing?”

“Bukan, pakai tangan.”

Alma ternganga. “Serius? Bisa gitu?”

Nenek yang duduk di sampingnya terkekeh pelan. “Dulu, ayahmu waktu kecil juga pernah ikut kakek ke sungai. Awalnya takut, tapi lama-lama malah ketagihan.”

Alma makin bersemangat. Ia cepat-cepat memakai sandal dan mengikuti kakek yang sudah membawa jaring kecil.

Sungai itu terletak di balik rerimbunan bambu, tidak terlalu jauh dari rumah. Begitu sampai, Alma langsung terpana. Airnya jernih, mengalir tenang dengan beberapa batu besar di tengahnya. Suara gemericik air berpadu dengan kicauan burung membuat tempat itu terasa seperti surga tersembunyi.

Alma melepas sandalnya dan mencelupkan kaki ke dalam air. “Dingin banget!” serunya, tertawa.

Kakek menggulung celananya, lalu turun ke sungai. “Ayo, kalau mau tangkap ikan, kita harus masuk lebih dalam sedikit.”

Alma ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti. Air sungai hanya setinggi betisnya, jadi tidak terlalu menakutkan. Ia berjalan perlahan, merasakan bebatuan licin di bawah kakinya.

Saat sedang asyik mengamati air, tiba-tiba sesuatu bergerak cepat di dekatnya. Alma tersentak. “Itu apa?!”

“Ikan,” jawab kakek santai. “Makanya, kamu harus diam dan tenang. Kalau banyak gerak, ikannya kabur.”

Alma mencoba diam, tapi tetap saja sulit. Setiap kali melihat bayangan ikan bergerak di bawah air, ia refleks berusaha menangkapnya dengan tangan, tapi hasilnya nihil.

Tiba-tiba, suara tawa terdengar dari tepi sungai. “Kamu nggak akan bisa nangkap ikan kalau caranya kayak gitu.”

Alma menoleh. Seorang anak laki-laki seumuran dengannya berdiri di atas batu, membawa ember kecil. Rambutnya acak-acakan dan kakinya kotor terkena lumpur.

“Siapa kamu?” tanya Alma penasaran.

“Banyu,” jawabnya santai. “Aku sering main di sungai ini.”

Kakek tersenyum. “Anak Pak Wira, ya?”

Banyu mengangguk. “Iya, Kek. Aku bantuin ayah cari ikan.”

Alma memandang ember di tangan Banyu yang sudah berisi beberapa ikan kecil. “Kamu bisa nangkap ikan?”

Banyu tersenyum lebar. “Jelas. Mau aku ajarin?”

Alma mengangguk cepat.

Banyu turun ke sungai, lalu mendekat ke Alma. “Gini caranya. Kamu harus lihat bayangan ikan dulu. Kalau dia diam di antara batu, baru pelan-pelan tangkap dari belakang.”

Alma mengangguk dan mencoba mengikuti instruksi Banyu. Ia memperhatikan dengan saksama, menunggu ikan yang bersembunyi di antara bebatuan. Begitu melihat satu ikan diam cukup lama, ia perlahan menggerakkan tangannya.

Satu… dua… tiga…

“Dapat!” Alma berseru girang saat tangannya berhasil menggenggam seekor ikan kecil yang menggelepar.

Kakek tertawa bangga. “Bagus! Itu namanya ikan wader. Enak kalau digoreng.”

Alma tersenyum lebar. “Aku berhasil!”

Mereka terus menangkap ikan hingga ember hampir penuh. Matahari mulai naik lebih tinggi, menandakan waktunya pulang.

Banyu menatap Alma. “Besok kamu main ke sini lagi, nggak?”

“Tentu!” jawab Alma tanpa ragu.

“Kalau gitu, aku bakal ajarin kamu cara nangkap kepiting sungai.”

Mata Alma berbinar. “Serius? Wah, aku nggak sabar!”

Kakek tertawa kecil. “Sebaiknya kita pulang dulu, nanti nenekmu khawatir.”

Mereka pun berjalan kembali ke rumah, membawa ember berisi ikan segar. Sepanjang jalan, Alma terus tersenyum. Hari ini, ia bukan hanya belajar menangkap ikan, tapi juga mendapatkan teman baru.

Petualangannya di desa semakin seru, dan ia tahu, besok pasti akan ada kejutan lain yang menunggunya.

 

Perpisahan yang Manis

Hari terakhir di desa tiba lebih cepat dari yang Alma harapkan. Pagi itu, ia duduk di teras rumah kakek dan nenek, mengayun-ayunkan kakinya dengan wajah murung.

“Kamu kenapa, sayang?” tanya nenek yang sedang mengupas mangga di sampingnya.

“Aku nggak mau pulang,” jawab Alma pelan.

Nenek tersenyum hangat. “Tapi mama dan papa pasti sudah kangen kamu.”

Alma mendesah. Ia tahu itu benar, tapi rasanya masih banyak hal yang ingin ia lakukan di desa. Ia ingin ke sawah lagi, ingin memetik lebih banyak buah, ingin belajar menangkap kepiting bersama Banyu.

Seakan mendengar namanya disebut, suara langkah kaki berlari terdengar dari depan rumah. “Alma! Kamu jadi ke sungai?”

Alma menoleh. Banyu berdiri di depan pagar, membawa jaring kecil di tangannya.

“Maaf, Banyu. Aku nggak bisa main hari ini. Aku mau pulang siang nanti,” kata Alma lesu.

Banyu terdiam sejenak. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia berlari pergi. Alma menatap kepergiannya dengan bingung.

Kakek keluar dari dalam rumah sambil membawa koper kecil. “Sudah siap, Alma?”

Alma mengangguk pelan, meski hatinya belum benar-benar siap.

Beberapa jam kemudian, setelah makan siang bersama dan berpamitan dengan beberapa tetangga, Alma berdiri di depan rumah, siap untuk naik ke mobil yang akan menjemputnya. Namun sebelum ia sempat melangkah, Banyu tiba-tiba muncul lagi, kali ini dengan napas terengah-engah dan membawa sesuatu di tangannya.

“Nih,” katanya, menyodorkan sebuah toples kaca berisi air dan… seekor kepiting kecil di dalamnya!

Alma terkejut. “Ini buat aku?”

Banyu mengangguk. “Kamu bilang pengen nangkap kepiting, kan? Aku tangkapin satu buat kamu. Biar kamu ingat desa ini.”

Alma memegang toples itu erat-erat, matanya berbinar. “Terima kasih, Banyu. Aku bakal jaga baik-baik!”

“Jangan lupa balik lagi, ya,” kata Banyu, berusaha terdengar biasa saja.

Alma mengangguk mantap. “Pasti! Aku janji!”

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada kakek, nenek, dan Banyu, Alma akhirnya masuk ke dalam mobil. Saat kendaraan mulai bergerak, ia melambaikan tangan dengan semangat.

Saat perjalanan pulang, ia memandangi toples kepiting kecil di pangkuannya. Senyum perlahan muncul di wajahnya. Perjalanan ini mungkin berakhir, tapi kenangannya akan selalu ada. Dan ia tahu, suatu hari nanti, ia pasti akan kembali ke desa kakek dan neneknya—ke tempat penuh petualangan dan kebahagiaan yang tidak akan pernah ia lupakan.

 

Liburan bareng kakek dan nenek memang nggak ada duanya, ya! Dari petualangan di sawah sampai menangkap ikan di sungai, semua itu jadi kenangan manis yang nggak bakal terlupakan.

Jadi, buat kamu yang belum pernah coba liburan di desa, siapa tahu cerita ini bisa jadi inspirasi buat rencanain liburan seru ala Alma. Siapa tahu, kamu juga bisa dapet pengalaman yang nggak kalah seru dan menyenangkan!

Leave a Reply