Candi Muaro Jambi: Misteri Perpustakaan Kuno dan Warisan yang Terlupakan

Posted on

Pernah dengar tentang Candi Muaro Jambi? Bukan sekadar tumpukan batu bata tua, tapi ada sejarah gede banget yang hampir tenggelam dimakan waktu!

Dari pusat pendidikan terbesar di Asia Tenggara sampai jejak para bhiksu yang tersebar ke seluruh dunia, tempat ini punya cerita yang bisa bikin merinding. Ikutin perjalanan seru seorang pemuda yang nggak sengaja menemukan potongan sejarah tersembunyi di antara reruntuhan candi. Siap buat terkejut?

 

Candi Muaro Jambi

Jejak yang Terlupakan

Matahari baru saja beranjak naik saat langkah kaki Adyatama menyentuh tanah Candi Muaro Jambi. Aroma embun pagi masih melekat di udara, berpadu dengan harumnya dedaunan yang mengering di bawah pohon-pohon tua. Kompleks candi yang luas ini seakan masih terlelap dalam kesunyian, hanya diiringi suara burung-burung yang berkicau riang di atas dahan.

Di depan gerbang utama, Adyatama menghela napas panjang. Tangannya meraba kamera yang tergantung di leher, sementara matanya menjelajahi pemandangan di sekelilingnya. Ia telah membaca banyak literatur tentang tempat ini, tapi baru kali ini ia benar-benar menginjakkan kaki di sini. Lebih luas dari yang ia bayangkan, lebih sunyi, lebih memikat.

Langkahnya membawanya ke area Candi Gumpung, salah satu candi utama di kompleks ini. Bangunan dari bata merah itu tampak gagah meski telah berabad-abad diterpa waktu. Di beberapa sudut, lumut hijau menyelimuti dinding, seolah menjadi bukti bisu tentang betapa lamanya tempat ini berdiri.

“Hei, jangan asal pegang batu-batu itu!”

Suara seseorang memecah kesunyian. Adyatama menoleh dan menemukan seorang pria tua dengan tubuh tegap, mengenakan kemeja lusuh berwarna krem. Pria itu melangkah mendekat, tatapannya tajam namun tidak mengintimidasi.

“Batu-batu ini udah tua. Kamu harus hormatin mereka, jangan sentuh sembarangan,” lanjut pria itu dengan nada lebih lembut.

Adyatama tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma penasaran. Kamu penjaga candi?”

Pria itu mengangguk sambil melipat kedua tangannya di dada. “Darma. Udah puluhan tahun aku jagain tempat ini.”

Pak Darma, begitu Adyatama akhirnya memanggilnya, ternyata lebih dari sekadar juru pelihara biasa. Ia adalah seorang saksi hidup yang melihat bagaimana candi ini perlahan bangkit dari keterlupaan. Dengan penuh semangat, ia mulai bercerita tentang sejarah tempat ini, tentang betapa luasnya kompleks Candi Muaro Jambi yang membentang hingga belasan kilometer, dan bagaimana tempat ini dulunya adalah pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara.

“Kamu tahu?” Pak Darma menunjuk ke arah reruntuhan kecil tak jauh dari mereka. “Dulu, di sini banyak bhiksu yang datang buat belajar. Mereka datang dari berbagai penjuru, bahkan ada yang dari India dan Tiongkok.”

Adyatama mengernyit. “Serius? Tapi kenapa tempat ini malah lebih terkenal sebagai situs wisata biasa? Bukannya kalau benar-benar sepenting itu, dunia bakal lebih peduli?”

Pak Darma tertawa kecil, matanya menerawang jauh. “Dulu, siapa yang peduli sama batu bata tua ini? Orang-orang lebih sibuk ngurusin hal lain. Baru beberapa tahun terakhir ini aja ada usaha buat gali sejarahnya lebih dalam.”

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah area candi. Di kiri dan kanan, pohon-pohon besar berdiri kokoh, akar-akarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan bergerak yang tampak menari di atas tanah.

“Kamu ke sini buat apa?” tanya Pak Darma tiba-tiba.

Adyatama terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku penasaran. Dari kecil aku suka sejarah, dan aku dengar banyak teori kalau Muaro Jambi ini lebih dari sekadar situs candi. Aku ingin lihat langsung.”

Pak Darma mengangguk pelan. “Penasaran itu bagus. Tapi sejarah nggak bisa cuma diliat, Nak. Harus dirasain.”

Adyatama mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Pak Darma tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menjawab. Adyatama mengikutinya, menunggu jawaban yang sepertinya hanya bisa ia temukan sendiri.

Mereka sampai di tepi sebuah kanal kuno. Airnya tenang, memantulkan bayangan langit yang mulai beranjak terang. Adyatama menatap air itu dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ini kanal buat transportasi,” kata Pak Darma, seolah bisa membaca pikirannya. “Dulu, para bhiksu dan pedagang lewat sini. Candi ini bukan cuma tempat ibadah, tapi juga pusat perdagangan.”

Adyatama menunduk, mencoba membayangkan bagaimana ratusan tahun lalu perahu-perahu kecil melintas di atas air ini, membawa kitab-kitab suci, rempah-rempah, dan sutra dari negeri-negeri jauh.

“Tapi sekarang sepi.”

Pak Darma menghela napas. “Iya, sepi. Tapi bukan berarti hilang.”

Adyatama menatap pria itu dengan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam suaranya, sesuatu yang membuatnya sadar bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Masih banyak yang harus ia pelajari, masih banyak misteri yang harus dipecahkan.

Di kejauhan, matahari mulai naik lebih tinggi. Candi Muaro Jambi berdiri tegak, diam, tapi seakan mengawasi mereka. Sejarahnya belum sepenuhnya terungkap, dan Adyatama tahu, ia telah menemukan sesuatu yang akan mengubah cara pandangnya terhadap masa lalu.

 

Bisikan Batu Bata Kuno

Langit Jambi mulai menghangat saat matahari naik lebih tinggi, menerangi setiap sudut kompleks Candi Muaro Jambi. Burung-burung yang tadi berkicau riang kini mulai bertengger di dahan, seakan ikut mengamati perjalanan Adyatama dan Pak Darma yang terus menelusuri jejak masa lalu.

“Kalau kamu benar-benar mau tahu sejarah tempat ini, bukan cuma lihat-lihat dan foto, ayo ikut aku,” kata Pak Darma tiba-tiba.

Adyatama mengerutkan dahi. “Ke mana?”

Pak Darma tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya, melewati jalan setapak yang dikelilingi pepohonan besar. Akar-akar menjulur di tanah, beberapa bahkan menjalar hingga ke reruntuhan candi yang tersembunyi di antara semak-semak.

Mereka tiba di sebuah bangunan kecil, lebih terpencil dibandingkan candi utama seperti Gumpung atau Tinggi. Bata merahnya sudah banyak yang runtuh, menyisakan dinding setinggi dada yang dipenuhi lumut. Tidak ada papan informasi, tidak ada tanda yang menunjukkan nama bangunan ini.

Adyatama mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. “Candi apa ini?”

Pak Darma tersenyum tipis. “Orang-orang biasa nyebut ini Candi Kembar Batu. Tapi nggak banyak yang tahu fungsi aslinya. Ada yang bilang ini tempat tinggal para bhiksu, ada juga yang percaya kalau ini tempat menyimpan naskah kuno.”

Adyatama berjalan mendekat, mengamati setiap batu bata yang tersusun rapi meski sebagian telah runtuh dimakan waktu. Tangannya menyentuh permukaannya dengan hati-hati. Ada sesuatu yang berbeda dari candi ini dibandingkan yang lain—suasana di sekitarnya terasa lebih sunyi, lebih dalam.

“Tahu nggak, Nak?” Pak Darma melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan. “Setiap batu bata di tempat ini punya cerita. Kalau kamu dengarkan baik-baik, mereka bisa berbicara.”

Adyatama menatapnya dengan ekspresi bingung. “Maksud kamu?”

“Dulu, sebelum bata ini jadi reruntuhan, mereka menyaksikan semuanya—orang-orang yang lalu-lalang, bhiksu yang belajar, para pedagang yang bertransaksi. Kalau kamu peka, kamu bisa ngerasain jejak mereka.”

Adyatama diam. Ia memang bukan orang yang mudah percaya takhayul, tapi ada sesuatu dalam kata-kata Pak Darma yang membuatnya berpikir. Sejarah bukan hanya soal membaca buku dan melihat benda kuno, tetapi juga tentang merasakan jejak masa lalu yang masih tertinggal.

Ia berjalan ke bagian dalam reruntuhan, memperhatikan dengan seksama setiap detail yang tersisa. Lalu, matanya menangkap sesuatu—sebuah batu bata yang tampak sedikit berbeda dari yang lain. Warnanya lebih gelap, dengan sedikit lekukan di salah satu sisinya.

“Pak Darma, ini kenapa beda?” tanyanya sambil menunjuk batu itu.

Pak Darma mendekat, mengamati dengan cermat. “Hmm… ini menarik. Ini bukan sekadar bata biasa. Kamu lihat lekukan ini?” Ia menyentuh bagian yang dimaksud. “Kadang, para pembangun candi meninggalkan tanda. Bisa jadi ini semacam simbol atau mungkin petunjuk.”

Adyatama semakin penasaran. Ia mengeluarkan kamera dan mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Jika benar batu ini memiliki tanda khusus, bisa saja itu menjadi petunjuk baru dalam penelitian tentang Candi Muaro Jambi.

“Banyak misteri yang belum terpecahkan di tempat ini,” lanjut Pak Darma. “Bahkan, ada cerita kalau beberapa bagian kompleks ini masih terkubur di bawah tanah.”

Mata Adyatama berbinar. “Jadi, masih ada bagian candi yang belum ditemukan?”

Pak Darma mengangguk. “Betul. Dulu, kompleks ini tertutup hutan lebat selama ratusan tahun. Masih banyak yang belum tergali.”

Adyatama menatap ke sekeliling. Membayangkan bahwa di bawah tanah tempat ia berpijak, mungkin masih ada sisa-sisa peradaban yang menunggu untuk ditemukan. Sejarah yang terkubur, menunggu seseorang untuk menggali dan mengungkapkannya kembali.

Mereka berjalan kembali ke jalan utama, menuju candi lain yang lebih besar. Saat mereka melewati kanal kuno, Adyatama memperhatikan airnya yang mengalir lambat. Dulu, tempat ini adalah jalur transportasi yang sibuk. Sekarang, hanya suara angin dan gemerisik dedaunan yang menemani aliran air.

“Jadi, kalau tempat ini dulu sepenting itu, kenapa sejarahnya nggak sepopuler Borobudur atau Prambanan?” tanya Adyatama tiba-tiba.

Pak Darma menghela napas panjang sebelum menjawab. “Karena sejarah sering kali ditentukan oleh siapa yang menulisnya. Muaro Jambi nggak punya banyak peninggalan berupa arca atau relief besar seperti candi-candi lain. Tapi bukan berarti tempat ini kurang penting.”

Adyatama mengangguk pelan. Ia mulai memahami bahwa sejarah bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi juga tentang bagaimana kisahnya disampaikan dan dipelihara.

Saat mereka tiba di pelataran Candi Tinggi, Adyatama menatap bangunan itu dengan sudut pandang yang berbeda. Ia tidak lagi melihatnya hanya sebagai reruntuhan kuno, tetapi sebagai bagian dari perjalanan panjang peradaban yang pernah berkembang di sini.

“Jadi, kamu masih mau lanjut menelusuri tempat ini?” tanya Pak Darma dengan senyum kecil.

Adyatama tersenyum balik. “Tentu. Aku rasa aku baru mulai.”

Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan. Di bawah langit yang semakin cerah, Candi Muaro Jambi berdiri tegak, menyimpan rahasianya yang menunggu untuk diungkap.

 

Rahasia di Balik Inskripsi

Siang mulai merayap saat Adyatama dan Pak Darma masih menyusuri kompleks Candi Muaro Jambi. Langit cerah dengan sedikit awan putih berarak, tapi udara semakin panas. Meski begitu, semangat Adyatama tidak surut sedikit pun. Setiap sudut tempat ini menyimpan cerita, dan ia merasa belum puas sebelum menggali lebih dalam.

Mereka sekarang berada di dekat reruntuhan yang lebih kecil, tersembunyi di antara pohon-pohon rindang. Tidak banyak wisatawan yang datang ke bagian ini, mungkin karena jalurnya tidak sepopuler candi utama. Tapi justru di tempat-tempat seperti inilah rahasia sering kali tersembunyi.

“Pak, kalau masih ada bagian kompleks ini yang belum digali, ada kemungkinan nggak kalau ada naskah kuno atau inskripsi yang masih tertinggal?” tanya Adyatama sambil mengamati dinding bata yang sebagian runtuh.

Pak Darma menyandarkan tangannya di pinggang, menatap reruntuhan itu dengan pandangan berpikir. “Mungkin saja. Tapi kalau soal inskripsi, beberapa sudah ditemukan, meski banyak yang belum dipecahkan artinya.”

Adyatama menajamkan telinganya. “Inskripsi?”

Pak Darma mengangguk. “Di beberapa bagian candi, ada tulisan kuno beraksara Pallawa dan Kawi. Ada yang di batu, ada juga yang di lempengan tembaga.”

Penasaran, Adyatama mengitari reruntuhan dengan lebih teliti. Tangannya menyusuri permukaan bata merah yang kasar, mencari sesuatu yang mungkin luput dari pandangan. Lalu, matanya menangkap sesuatu—lekukan samar pada salah satu batu bata yang sedikit tersembunyi di bawah semak.

“Pak Darma, lihat ini.”

Pak Darma mendekat, lalu berjongkok untuk melihat lebih jelas. Ada ukiran tipis, nyaris terhapus oleh waktu, tapi masih bisa dibaca dengan hati-hati.

“Mmm… ini aksara Pallawa,” gumam Pak Darma. “Tunggu, aku coba baca…”

Mereka berdua menahan napas. Pak Darma mengusap batu itu perlahan, mengucapkan huruf demi huruf seolah sedang berbicara dengan masa lalu.

“Siddham… nama seorang guru besar… Hmm… Ada nama yang disebut di sini.”

Adyatama merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. “Nama siapa?”

Pak Darma menyipitkan matanya, berusaha memahami tulisan yang hampir terkikis oleh waktu. “Bhadravarman…”

Nama itu terdengar asing bagi Adyatama. Tapi ada sesuatu dalam cara Pak Darma mengucapkannya yang membuatnya merasa nama itu memiliki makna besar.

“Siapa dia?” tanya Adyatama penuh rasa ingin tahu.

Pak Darma menghela napas panjang, lalu duduk di atas batu bata yang berserakan. “Bhadravarman… adalah salah satu guru besar yang pernah belajar di Muaro Jambi sebelum akhirnya pergi ke Tibet. Beberapa catatan dari naskah kuno menyebutkan kalau dia mengembangkan ajaran Buddha di sana, dan bahkan menjadi tokoh penting.”

Adyatama terdiam. Ia tahu bahwa Muaro Jambi adalah pusat pendidikan besar pada masanya, tapi ia tidak menyangka bahwa tempat ini bisa berhubungan dengan tokoh sebesar itu.

“Jadi, bisa dibilang Muaro Jambi punya peran dalam perkembangan agama Buddha di luar Nusantara?”

Pak Darma mengangguk mantap. “Bukan cuma bisa dibilang, Nak. Itu kenyataan. Hanya saja, masih banyak yang belum menyadari betapa pentingnya tempat ini dalam sejarah dunia.”

Adyatama menatap inskripsi itu lagi. Ia mencoba membayangkan seorang guru besar dari masa lampau, duduk di tempat yang mungkin dulu adalah pusat pembelajaran, mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Bagaimana mungkin sejarah sebesar ini bisa terlupakan?

“Tapi kenapa informasi ini nggak banyak yang tahu?” tanyanya heran.

Pak Darma tersenyum miris. “Sejarah itu seperti sungai. Kadang mengalir deras, kadang tersendat oleh batu-batu besar. Banyak faktor yang membuat tempat ini tenggelam dalam waktu—perubahan zaman, peperangan, dan ketidaktahuan.”

Adyatama mendengarkan dengan serius. Ia merasa seperti menemukan potongan puzzle yang selama ini tersembunyi di bawah lapisan tanah dan waktu.

“Kamu mau tahu yang lebih menarik?” lanjut Pak Darma dengan nada misterius.

“Tentu!”

Pak Darma berdiri dan menunjuk ke arah timur, ke bagian kompleks yang belum mereka jelajahi. “Kalau kamu benar-benar ingin melihat bukti bahwa tempat ini pernah jadi pusat ilmu, kita harus ke sana.”

Adyatama menatap ke arah yang ditunjukkan Pak Darma. Hatinya berdebar. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Masih ada lebih banyak rahasia yang menunggu untuk ditemukan.

Di bawah sinar matahari yang semakin terik, Candi Muaro Jambi tetap berdiri kokoh, menyimpan kisah yang siap untuk diungkap.

 

Warisan yang Tak Terlupakan

Langkah Adyatama semakin mantap saat mengikuti Pak Darma ke arah timur kompleks Candi Muaro Jambi. Mereka melewati jalur setapak yang lebih jarang dilewati pengunjung, dengan pepohonan tinggi menaungi sepanjang perjalanan.

Matahari sudah hampir condong ke barat, memberi cahaya keemasan yang menembus celah dedaunan. Suasana di sekitar terasa berbeda—lebih tenang, lebih dalam, seakan setiap hembusan angin membawa bisikan masa lalu.

“Kita hampir sampai,” kata Pak Darma, menghentikan langkahnya di depan sebuah struktur candi kecil yang setengah terkubur.

Adyatama mengamati bangunan itu dengan penuh perhatian. Tidak seperti Candi Tinggi atau Gumpung yang masih berdiri tegak, yang satu ini tampak lebih sederhana, nyaris tertelan bumi. Namun, ada sesuatu yang unik—dindingnya memiliki pola bata yang berbeda, lebih rapat, lebih halus.

“Apa istimewanya tempat ini, Pak?” tanyanya.

Pak Darma tersenyum tipis. “Inilah yang disebut orang-orang sebagai ‘perpustakaan kuno.’”

Mata Adyatama membelalak. “Perpustakaan?”

Pak Darma mengangguk. “Tentu, bukan perpustakaan seperti yang kamu bayangkan sekarang. Tapi, menurut beberapa catatan dan penelitian, tempat ini dulu menyimpan naskah-naskah kuno. Bhiksu dan cendekiawan dari berbagai wilayah datang ke sini untuk belajar.”

Adyatama mendekat, tangannya menyentuh bata merah yang mulai tertutupi lumut. “Jadi, kalau tempat ini benar-benar perpustakaan, berarti ada kemungkinan masih ada naskah yang terkubur di bawahnya?”

“Itulah harapannya,” jawab Pak Darma. “Tapi waktu dan alam tidak selalu berpihak pada kita. Banyak naskah yang hancur dimakan kelembaban, atau mungkin sudah dibawa pergi berabad-abad lalu.”

Adyatama terdiam. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya—campuran antara kekaguman dan sedikit kesedihan. Betapa luar biasanya tempat ini pada masanya, menjadi pusat pengetahuan yang menghubungkan berbagai kebudayaan. Namun sekarang, hanya sisa-sisa reruntuhan yang tersisa.

Pak Darma melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Sejarah tidak selalu bertahan dalam bentuk yang bisa kita lihat. Kadang, yang tertinggal hanyalah cerita, dan tugas kita adalah memastikan cerita itu tidak hilang.”

Adyatama menarik napas dalam. Ia merasa lebih dari sekadar seorang pengunjung di tempat ini. Sejak pertama kali ia menapakkan kaki di Candi Muaro Jambi, ia hanya ingin tahu tentang sejarah. Tapi kini, ia sadar bahwa yang lebih penting adalah bagaimana sejarah itu diceritakan kembali.

“Mungkin, inilah kenapa tempat ini seperti ‘memanggil’ aku,” katanya lirih.

Pak Darma menatapnya dengan sorot mata penuh arti. “Setiap orang punya cara sendiri untuk menemukan warisannya.”

Adyatama mengeluarkan kameranya, tapi kali ini bukan hanya untuk mengabadikan pemandangan. Ia mengambil gambar setiap sudut bangunan dengan hati-hati, seakan ingin menyimpan setiap detail dalam ingatannya.

“Pak,” katanya pelan, “aku nggak mau tempat ini terlupakan. Aku ingin menulis tentang ini, tentang semua yang aku lihat dan pelajari di sini.”

Senyum Pak Darma melebar. “Itu langkah awal yang bagus, Nak. Sejarah tetap hidup selama ada yang menceritakannya.”

Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan yang mengering. Langit mulai berubah warna, menyiratkan bahwa hari hampir berakhir. Namun bagi Adyatama, ini bukanlah akhir—ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk membawa kisah Candi Muaro Jambi keluar dari bayang-bayang waktu.

Dan saat ia melangkah pergi, ia tahu bahwa meski batu bata dan reruntuhan ini mungkin suatu hari akan hilang, warisannya akan terus hidup dalam cerita yang ia tulis.

 

Candi Muaro Jambi bukan cuma situs bersejarah yang keren buat dikunjungi, tapi juga bukti kalau Nusantara punya warisan yang luar biasa. Sayangnya, banyak orang yang belum sadar betapa pentingnya tempat ini.

Tapi tenang, sejarah nggak bakal mati kalau masih ada yang peduli! Jadi, kapan nih rencana ke Candi Muaro Jambi? Siapa tahu, kamu juga bisa nemuin misteri lain yang belum terungkap!

Leave a Reply