Daftar Isi
Pernah kepikiran nggak, gimana kalau ada peradaban besar yang pernah jaya, terus tiba-tiba hilang kayak ditelan bumi? Nggak ada yang inget, nggak ada yang peduli, sampai ratusan tahun kemudian baru ketemu lagi. Nah, itu yang terjadi sama Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng.
Dulu tempat ini sakral banget, terus terkubur lumpur dan dilupakan. Tapi kisahnya nggak selesai di situ. Ini bukan cuma cerita tentang batu tua yang berdiri doang, tapi tentang gimana sejarah bisa tenggelam dan bangkit lagi. Penasaran? Baca sampai habis!
Misteri Candi Arjuna
Kabut di Tanah Dewa
Kabut masih setia menyelimuti dataran tinggi Dieng, menari di antara pepohonan dan semak-semak yang basah oleh embun pagi. Hawa dingin menusuk kulit, menembus hingga ke tulang, seolah mengingatkan siapa pun yang datang bahwa tempat ini bukanlah tanah biasa. Dieng, yang namanya berasal dari Di Hyang, diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Di tengah hamparan hijau yang luas, batu-batu andesit berdiri dalam susunan rapi. Candi Arjuna, candi tertua di kawasan ini, tegak dengan segala keanggunannya, meskipun usianya telah lebih dari seribu tahun. Ukiran-ukiran di dindingnya mulai terkikis, tetapi jejak kejayaan masa lalu masih bisa terbaca di sana.
Tak jauh dari candi, dua pemuda berjalan menembus kabut. Langkah mereka hati-hati, menghindari genangan air di jalan setapak yang licin.
“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya salah seorang dari mereka, mempercepat langkahnya agar bisa berjalan sejajar dengan temannya yang membawa peta tua.
“Iya, ini sudah pasti. Lihat,” jawab yang satunya sambil menunjuk ke depan. “Candi Arjuna.”
Mereka berhenti, menatap bangunan batu yang berdiri sunyi di tengah lapangan luas. Beberapa turis tampak berjalan di sekitarnya, mengambil foto atau sekadar menikmati suasana.
“Sebenarnya, kenapa namanya Candi Arjuna?” tanya pemuda pertama, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.
Pemuda yang membawa peta itu tersenyum kecil, lalu melipat kertas usangnya. “Dari tokoh wayang, Arjuna. Ksatria yang terkenal tampan, cerdas, dan sakti. Tapi kalau dari sejarahnya, candi ini dulunya tempat pemujaan untuk Dewa Siwa.”
“Aku selalu penasaran, kenapa tempat ini dianggap sakral?”
“Karena sejak dulu Dieng dianggap tempat suci. Orang-orang percaya kalau ini adalah negeri para dewa.”
Pemuda pertama menatap ke sekeliling, matanya menyapu pemandangan yang masih terselubung kabut. Suasananya memang terasa mistis, seolah ada mata tak kasatmata yang mengamati dari balik pepohonan.
“Tapi kenapa bangunannya kecil? Aku kira candi itu selalu besar, seperti Borobudur atau Prambanan,” gumamnya.
“Itulah uniknya candi di Dieng. Candi-candi di sini bukan buat tempat ibadah besar, tapi lebih ke tempat ritual para pendeta Hindu. Mungkin mereka bertapa di sini, bermeditasi, atau melakukan upacara khusus.”
Mereka melangkah lebih dekat, mengamati lebih detail. Relief di dinding candi memang tak sebanyak candi besar lainnya, tetapi masih ada beberapa ukiran yang menggambarkan dewa-dewa Hindu. Batu-batunya tersusun tanpa semen, hanya bertumpu pada teknik penyusunan khas masa lalu yang luar biasa kuat.
“Kamu bayangin aja,” pemuda yang membawa peta itu melanjutkan, “candi ini udah ada sejak abad ke-8. Waktu itu, teknologi belum secanggih sekarang. Tapi mereka bisa bikin bangunan sekokoh ini, yang masih berdiri sampai sekarang.”
Pemuda pertama mengangguk pelan. Ia membayangkan masa itu—saat dataran tinggi Dieng mungkin masih dihuni oleh para pendeta berbusana putih, duduk bersila di depan candi, membakar dupa sambil merapalkan doa-doa kuno.
“Hidup mereka pasti beda banget sama kita sekarang,” katanya akhirnya.
“Jelas beda. Mereka nggak punya listrik, nggak ada kendaraan, nggak ada gadget. Tapi mereka punya sesuatu yang kita nggak punya.”
“Apa?”
“Keyakinan.”
Angin dingin berembus lebih kencang, membuat kabut semakin menebal. Suasana hening sesaat, seolah candi itu mendengar percakapan mereka dan mengamininya.
“Kita bisa aja punya teknologi, punya kemudahan. Tapi mereka punya keyakinan yang bisa bikin mereka membangun sesuatu yang bertahan ribuan tahun. Itu yang bikin tempat ini istimewa.”
Pemuda pertama menatap temannya, lalu kembali melihat ke arah Candi Arjuna. Ia mulai memahami sesuatu—tentang sejarah, tentang kepercayaan, dan tentang jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu.
Dieng bukan sekadar tempat wisata. Candi Arjuna bukan sekadar tumpukan batu. Ini adalah warisan. Sebuah cerita yang masih terus berbicara, meskipun suara mereka telah lama hilang ditelan waktu.
Dan di sinilah semuanya dimulai.
Kemegahan yang Hilang
Langit Dieng semakin muram saat sore menjelang. Kabut yang tadinya hanya menggantung tipis kini mulai turun lebih rendah, menyelimuti rerumputan dan menyusup ke sela-sela batu candi. Dua pemuda itu masih berdiri di depan Candi Arjuna, memandangi setiap detail arsitektur yang tersisa dari kejayaan masa lalu.
“Tapi,” pemuda pertama akhirnya membuka suara, “kalau tempat ini dulu begitu penting, kenapa akhirnya bisa terbengkalai?”
Pemuda yang membawa peta menghela napas pelan, lalu menepuk-nepuk lipatan kertas di tangannya. “Itulah yang terjadi sama banyak peradaban kuno. Semua yang besar pasti punya waktunya sendiri sebelum akhirnya redup.”
Mereka berjalan mengitari candi, menyusuri jalan setapak yang agak licin karena lembap. Beberapa turis masih terlihat di kejauhan, tetapi jumlahnya semakin sedikit seiring hari mulai gelap.
“Dulu, candi ini adalah tempat ibadah bagi masyarakat Hindu. Mereka percaya bahwa Dieng adalah tempat yang dekat dengan para dewa, jadi mereka membangun candi-candi di sini buat sembahyang dan ritual.”
Pemuda pertama mengangguk sambil terus mendengarkan.
“Kerajaan Mataram Kuno waktu itu menguasai Jawa Tengah. Mereka yang membangun candi-candi di sini. Tapi zaman berubah. Dinasti berganti. Agama Buddha mulai masuk dan bersaing sama Hindu. Terus, akhirnya Islam datang, dan kepercayaan orang-orang pun berubah.”
Pemuda pertama menendang kerikil kecil di jalannya. “Jadi karena agama berganti, candi ini ditinggalkan?”
“Bukan cuma itu. Alam juga berperan. Dieng ini kan daerah vulkanik, dikelilingi sama gunung berapi. Letusan gunung bisa bikin orang-orang pindah ke tempat lain. Belum lagi tanah di sini sering turun, longsor, banjir, gempa. Sampai akhirnya, lambat laun, candi ini ketutup abu vulkanik dan tanah.”
Ia menunjuk ke sekitar. “Bayangin, berabad-abad nggak ada yang ke sini. Nggak ada yang tahu candi ini ada di bawah sana. Terkubur dan terlupakan.”
Pemuda pertama mendongak menatap Candi Arjuna. Kini, ia bisa melihatnya dengan cara berbeda. Bukan hanya sekadar batu tua yang berdiri di tengah tanah lapang, tetapi sebuah peninggalan yang pernah berjaya, lalu ditelan oleh waktu.
“Lalu, siapa yang akhirnya nemuin lagi?”
“Orang Barat.”
Pemuda pertama mengernyit. “Serius?”
“Serius. Tahun 1814, ada tentara Inggris namanya Van Kinsbergen. Dia yang nemuin reruntuhan candi di sini, tapi waktu itu candi-candi ini masih terendam air dan tertutup lumpur.”
“Hah? Kok bisa kebanjiran?”
Pemuda yang membawa peta mengangguk. “Karena tanah di sini menyerap air hujan kayak spons. Tapi nggak ada aliran buat buang airnya, jadi airnya ngendap dan ngebentuk semacam rawa. Candi-candi ini sempat tenggelam di dalamnya.”
Pemuda pertama melipat tangan di dada, menatap candi dengan tatapan baru. “Jadi, kalau bukan karena orang Inggris itu, kita mungkin nggak akan tahu kalau candi ini pernah ada?”
“Bisa jadi. Tapi untungnya, setelah itu orang-orang mulai sadar kalau ini peninggalan penting. Rawa dikeringin, lumpur digali, dan satu per satu candi muncul lagi ke permukaan.”
Hening. Hanya suara angin yang berbisik di antara mereka. Pemuda pertama menendang kerikil lain ke rerumputan.
“Sayang banget, ya,” katanya akhirnya. “Candi ini dulu pasti luar biasa. Ada pendetanya, ada upacara-upacara sakral. Tapi sekarang cuma batu-batu yang diem doang.”
“Begitulah sejarah,” pemuda satunya menanggapi. “Yang dulu dianggap suci dan sakral, sekarang jadi tempat wisata.”
Pemuda pertama mendesah pelan. “Terus, ada yang tahu candi ini dulu dipakai buat ritual apa?”
“Ada yang bilang, candi ini pusat pemujaan buat Dewa Siwa. Tapi, lebih dari itu, tempat ini juga diduga dipakai buat semacam yajna—ritual persembahan. Mungkin dulu ada api suci di sini, ada pendeta yang berdoa, ada dupa yang mengepul. Tapi sekarang semua itu tinggal cerita.”
Pemuda pertama tersenyum miris. “Berarti yang tersisa dari kemegahan itu cuma batu-batu ini?”
“Batu-batu ini, dan cerita yang mereka bawa,” pemuda satunya menimpali.
Langit semakin redup. Kabut makin pekat, seolah-olah ingin kembali menyembunyikan Candi Arjuna dalam pelukannya.
“Kemegahan memang hilang,” pemuda pertama berkata lagi, kali ini lebih pelan. “Tapi jejaknya tetap ada.”
Mereka berdiri di sana, dalam keheningan yang sarat makna. Di tengah dataran tinggi Dieng yang dingin, di hadapan candi yang telah melewati zaman, mereka merasa kecil di hadapan sejarah yang jauh lebih besar dari mereka.
Dan mereka tahu, kisah ini belum selesai. Masih ada bagian lain yang menunggu untuk diceritakan.
Kebangkitan dari Abu
Langit Dieng semakin kelam. Kabut turun semakin tebal, melayang-layang di antara bangunan candi seperti selendang tipis yang melindungi warisan masa lalu. Kedua pemuda itu masih berdiri di depan Candi Arjuna, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Pemuda pertama akhirnya membuka suara, suaranya sedikit ragu. “Jadi… kalau candi ini dulu sempat terkubur lumpur dan dilupakan, gimana caranya bisa bertahan sampai sekarang?”
Pemuda yang membawa peta tersenyum tipis. “Kamu pikir bangunan ini bisa berdiri sendiri setelah ratusan tahun dikubur tanah?”
Pemuda pertama mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Setelah Van Kinsbergen menemukan candi ini, butuh waktu lama buat bener-bener membersihkannya. Bayangin aja, candi ini dulu terendam lumpur dan air rawa. Ada bagian yang runtuh, ada batu yang tertimbun. Setelah airnya dikeringin, baru kelihatan seberapa rusaknya.”
Pemuda pertama melirik ke arah candi, memperhatikan batu-batu yang meskipun kokoh, terlihat mengalami erosi. “Terus, gimana mereka memperbaikinya?”
“Restorasi,” jawab pemuda satunya. “Orang-orang Belanda yang waktu itu masih menjajah kita mulai ngerjain proyek pemugaran. Mereka mindahin batu-batu yang rubuh, nyusun ulang bagian yang hilang, dan ngejaga supaya candi ini nggak makin rusak.”
“Berarti candi ini nggak sepenuhnya asli lagi?”
“Sebagian besar masih asli, tapi ada beberapa bagian yang memang harus diperbaiki. Namanya juga bangunan tua, kalau dibiarkan begitu aja, bisa hancur total.”
Pemuda pertama mengangguk paham. “Lalu setelah Indonesia merdeka, siapa yang ngerawat?”
“Pemerintah, tentunya. Sekarang, candi ini dilindungi sebagai situs bersejarah. Ada ahli arkeologi yang terus memantau, ada pemugaran berkala, dan ada peraturan supaya orang-orang nggak asal masuk dan merusak.”
Pemuda pertama tertawa kecil. “Tapi tetap aja, banyak yang datang cuma buat foto-foto.”
“Itu nggak masalah, selama mereka nggak merusak.” Pemuda yang membawa peta mengangkat bahunya. “Setidaknya, dengan makin banyak orang yang datang, makin banyak juga yang tahu sejarah tempat ini. Dan makin banyak yang sadar kalau kita punya warisan budaya yang harus dijaga.”
Angin dingin berembus lagi, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai menguning.
“Kamu pernah kepikiran nggak,” pemuda pertama berkata pelan, “apa yang bakal terjadi kalau dulu candi ini nggak ditemukan lagi? Kalau tetap terkubur selamanya?”
Pemuda satunya terdiam sebentar. Ia menatap Candi Arjuna, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara sebelum akhirnya menjawab.
“Mungkin, nama Arjuna cuma bakal dikenal dari cerita wayang. Mungkin, kita nggak bakal tahu kalau di sini dulu ada jejak peradaban besar.” Ia menghela napas. “Mungkin, kita nggak bakal sadar kalau nenek moyang kita bisa membangun sesuatu yang hebat.”
Pemuda pertama menggigit bibir, pikirannya melayang jauh.
Candi Arjuna memang bangunan kuno, tetapi lebih dari itu, ia adalah bukti bahwa sejarah bisa terkubur, dilupakan, dan bahkan nyaris hilang. Namun, selama masih ada orang yang peduli, sejarah bisa bangkit lagi.
Ia melirik ke arah turis-turis yang sibuk mengambil gambar. Sebagian besar hanya datang, berfoto, lalu pergi. Tapi ada juga yang membaca informasi di papan-papan sejarah, ada yang mendengarkan penjelasan dari pemandu.
Mungkin, pikirnya, itulah cara terbaik untuk menghormati peninggalan ini—dengan terus mengingat dan menceritakan kisahnya.
Kabut semakin tebal, menyelimuti tanah dataran tinggi yang dingin.
Namun, candi ini tetap berdiri. Ia telah melewati ribuan tahun. Telah terkubur, dilupakan, lalu ditemukan kembali.
Dan kini, ia masih di sini, membawa kisahnya ke masa depan.
Warisan yang Tak Terlupakan
Angin malam mulai menusuk. Cahaya matahari yang tersisa hanya berupa semburat oranye tipis di ufuk barat, tertutup kabut yang semakin pekat. Para turis satu per satu mulai meninggalkan kawasan Candi Arjuna, tapi dua pemuda itu masih berdiri di sana, menatap batu-batu yang telah melewati ribuan tahun perjalanan waktu.
“Aku masih kepikiran,” pemuda pertama membuka suara setelah lama terdiam. “Kita ngomongin tentang bagaimana candi ini dulu terkubur, terus ditemukan lagi. Tapi… seandainya nanti, di masa depan, orang-orang mulai melupakan candi ini lagi, gimana?”
Pemuda yang membawa peta tersenyum kecil, lalu memasukkan tangannya ke saku jaket. “Kamu pikir, kenapa kita ada di sini sekarang?”
Pemuda pertama mengernyit, belum menangkap maksudnya.
“Kita ke sini karena kita penasaran. Kita ingin tahu lebih banyak soal tempat ini. Kita ngerasa ada sesuatu yang harus kita pahami dari masa lalu.”
Ia menepuk pundak temannya pelan. “Dan kalau kita punya rasa ingin tahu itu, pasti ada orang lain yang punya juga. Sejarah memang bisa tenggelam, tapi selalu ada orang-orang yang bakal nyari, bakal gali lagi, bakal ngejaga biar nggak hilang.”
Pemuda pertama tersenyum tipis, menatap kembali ke arah candi. “Berarti… candi ini nggak akan benar-benar hilang?”
“Selama ada orang-orang yang peduli, nggak akan.”
Hening sejenak. Hanya suara angin yang berembus, membawa aroma belerang samar-samar dari kawah di kejauhan.
Pemuda pertama lalu tertawa kecil. “Lucu, ya. Dulu, tempat ini dipakai buat ibadah. Terus, sempat hilang. Terus, ditemukan lagi. Sekarang jadi tempat wisata. Mungkin nanti, entah berapa ratus tahun ke depan, tempat ini bakal punya peran yang beda lagi.”
“Siapa tahu?” Pemuda satunya mengangkat bahu. “Tapi yang pasti, candi ini udah jadi bagian dari kita. Dari sejarah kita. Nggak cuma buat orang yang membangunnya dulu, tapi juga buat kita yang sekarang dan yang akan datang.”
Pemuda pertama menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin Dieng memenuhi paru-parunya. Ia menatap Candi Arjuna sekali lagi, kali ini dengan perasaan yang berbeda.
Di balik batu-batu bisu itu, ada kisah yang tak akan pernah benar-benar berakhir.
Di balik kabut yang menyelimutinya, ada warisan yang akan terus hidup, selama masih ada yang mau mengingat dan menjaganya.
Dieng semakin gelap, tapi di sana, berdiri tegak di tengah dataran tinggi yang sepi, Candi Arjuna tetap kukuh. Ia telah melewati zaman, menyaksikan peradaban lahir dan runtuh, menyimpan cerita yang lebih tua dari apa pun yang bisa dibayangkan.
Dan kini, dua pemuda itu melangkah pergi, membawa kisahnya dalam ingatan mereka.
Candi Arjuna akan tetap ada.
Sejarahnya akan terus hidup.
Gila, kan? Dari tempat ibadah yang megah, terus hilang kayak nggak pernah ada, sampai akhirnya ditemukan dan dijaga lagi. Candi Arjuna itu bukti kalau sejarah bisa tenggelam, tapi nggak bakal benar-benar mati.
Selama masih ada orang yang peduli, cerita masa lalu bakal tetap hidup. Jadi, kalau nanti kamu main ke Dieng, jangan cuma foto-foto doang, ya! Ingat, di balik batu-batu ini ada kisah yang udah jalan ribuan tahun. Siapa tahu, suatu hari nanti kamu yang bakal ngelanjutin ceritanya.


