Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa ada satu benda yang lebih dari sekadar barang? Sesuatu yang kalau hilang, rasanya kayak ada bagian dari diri sendiri yang ikut kebawa?
Nah, ini cerita tentang Rendra dan arlojinya—bukan arloji mahal, bukan jam mewah, tapi sesuatu yang nyimpen sejuta kenangan. Waktu berlalu, tapi nggak semua hal bisa balik kayak dulu. Dan pas benda itu hilang… yaudah, siap-siap aja dihantam rasa kehilangan yang beneran nusuk.
Nilai Sebuah Kenangan
Lingkaran Waktu yang Hilang
Arloji itu masih ada di sana pagi ini.
Cahaya matahari menyelinap masuk lewat celah tirai jendela, memantulkan kilauan samar di kaca kecil arloji yang tergeletak di atas meja kayu. Detikannya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk memberi kehadiran yang menenangkan.
Rendra meliriknya sekilas sebelum meraih jaket yang tergantung di balik pintu. Seperti biasa, pagi terasa terburu-buru. Kopi yang masih setengah dingin diletakkan begitu saja di meja dapur, dasinya melorot sedikit, dan arloji itu… ya, arloji itu belum sempat ia pasang di pergelangan tangannya.
“Kamu nggak pakai jam tangan?” tanya Galang dari sofa, suaranya serak karena baru bangun.
Rendra menoleh sebentar, lalu mengangkat bahu. “Nanti aja. Udah telat.”
“Kamu telat tiap hari,” Galang menyeringai, menguap lebar, lalu kembali menjatuhkan dirinya ke sofa.
Rendra tak membalas. Tangannya sibuk mengancingkan jaket, sementara pikirannya sudah melompat ke jadwal meeting pagi ini. Ia bergegas keluar tanpa sempat melirik lagi ke meja di sudut kamar.
Dan itu adalah terakhir kalinya ia melihat arloji itu.
Pulang malam itu, apartemen terasa lebih hening dari biasanya. Lampu ruang tamu masih menyala, tapi Galang sudah tidak terlihat di sofa. Hanya ada bungkus mi instan kosong dan satu gelas kopi yang sudah mengering di meja.
Rendra menghempaskan tubuhnya ke kursi, menghela napas panjang. Seharian penuh dengan rapat dan laporan membuat kepalanya berat. Tangannya refleks meraba pergelangan tangan kirinya—kebiasaan lama yang dilakukan tanpa sadar setiap kali ia merasa lelah.
Tapi tidak ada apa-apa di sana.
Alisnya mengernyit. Ia melirik tangannya, baru benar-benar menyadari bahwa pergelangan itu kosong. Tidak ada arloji.
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia bangkit dari kursinya, langkahnya tergesa-gesa menuju kamar. Matanya langsung tertuju ke meja di sudut ruangan. Tapi yang dilihatnya hanya permukaan kayu yang kosong.
Tidak ada arloji.
Tangannya langsung mengacak tumpukan kertas dan buku di atas meja, berharap benda itu hanya terselip di bawahnya. Tapi tidak ada apa-apa. Ia menunduk, melirik ke lantai, meraba sela-sela kursi.
Kosong.
Dada Rendra mulai terasa sesak. Ia mengingat kembali pagi tadi—ia yakin benar arloji itu masih di sana saat ia meninggalkan kamar. Apakah mungkin ia tanpa sadar membawanya ke kantor?
Tidak. Ia tidak merasakan kehadiran benda itu di tangannya sepanjang hari ini.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Galang!” panggilnya, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.
Dari dalam kamar, terdengar suara langkah malas sebelum akhirnya sosok Galang muncul di ambang pintu. “Apaan sih, ribut banget?”
“Arlojiku,” kata Rendra, berusaha terdengar tenang meski dadanya masih berdegup cepat. “Kamu lihat nggak?”
Galang mengernyit, menggaruk kepalanya yang berantakan. “Yang dari bokap kamu itu?”
“Iya.”
“Nggak, setahuku tadi pagi masih di meja.”
Rendra mengepalkan tangan, matanya kembali menyapu seisi kamar. Rasa panik perlahan mulai merayap naik.
“Kamu yakin banget tadi pagi masih di situ?” tanyanya lagi.
Galang menghela napas, berjalan ke arah meja dan ikut mencari. “Iya. Soalnya pas aku ke sini mau nyari charger, aku lihat jam itu masih ada. Coba deh kamu ingat-ingat lagi, mungkin kebawa ke kantor?”
“Nggak mungkin,” Rendra langsung menggeleng. “Aku nggak pakai dari pagi. Aku bahkan nggak megang itu sebelum pergi.”
Galang mulai terlihat sedikit serius sekarang. Ia berhenti mencari dan menatap Rendra. “Berarti ada yang masuk ke sini?”
“Kamu ninggalin pintu nggak dikunci?” Rendra bertanya dengan nada tajam.
Galang tersinggung. “Nggak lah. Aku nggak sebodoh itu.”
“Kalau bukan kamu, siapa? Masa arloji itu jalan sendiri?”
Keheningan menyergap. Keduanya saling berpandangan, sebelum akhirnya Rendra menghela napas panjang dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Galang ikut bersandar di meja, menatap sahabatnya itu dengan ekspresi lebih tenang. “Dengar, kita cari lagi besok pagi. Mungkin jatuh di suatu tempat dan kita nggak nyadar.”
Rendra tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit dengan pikiran berkecamuk.
Bukan sekadar kehilangan barang. Ini lebih dari itu.
Arloji itu adalah satu-satunya peninggalan yang tersisa dari ayahnya. Satu-satunya benda yang masih bisa ia genggam untuk mengingat sosok lelaki yang dulu mengikatkan jam itu di pergelangannya.
Dan sekarang, arloji itu hilang.
Dan yang tersisa hanyalah kehampaan.
Jejak Kenangan di Pergelangan Tangan
Malam itu berjalan lebih lambat dari biasanya.
Rendra tidak bisa tidur. Matanya terus terbuka, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan. Rasa panik karena kehilangan arloji itu semakin memburuk, bercampur dengan kepedihan yang tak ia tunjukkan di depan Galang.
Di dalam gelap, pikirannya melayang kembali ke masa lalu.
“Jangan dilepas kalau nggak perlu, ya. Ayah beliin ini buat kamu, biar selalu inget kalau waktu itu berharga.”
Suara ayahnya bergema di kepalanya. Ia masih ingat hari itu—ulang tahunnya yang ke-17. Ayahnya memberikan arloji itu dengan senyum khasnya, senyum yang terasa hangat dan menenangkan. Arloji dengan tali kulit coklat yang sudah sedikit aus sekarang, dengan ukiran kecil di bagian belakang: “Untuk Rendra – Jadilah lelaki yang tahu arti waktu.”
Dan sekarang, benda itu hilang entah ke mana.
Rendra bangkit dari tempat tidur dengan gerakan kasar. Ia berjalan keluar kamar dan menuju dapur, menyalakan lampu redup yang membuat ruangan tampak lebih suram. Tangannya mengambil gelas, tapi kemudian ia hanya menatapnya kosong.
“Kamu belum tidur?”
Galang muncul dari balik pintu, matanya masih menyipit karena mengantuk. Ia menyandarkan tubuh ke dinding sambil menguap.
Rendra tidak menjawab. Ia hanya menaruh gelas kembali ke meja dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Galang menghela napas, lalu berjalan mendekat. “Kamu masih kepikiran arloji itu?”
Pertanyaan bodoh. Tentu saja.
“Besok kita cari lagi,” kata Galang, mencoba memberi harapan.
“Tapi kalau beneran hilang?” suara Rendra lebih pelan dari biasanya, tapi Galang bisa menangkap beban di baliknya.
Galang diam sebentar. “Kamu nggak yakin jatuh di luar?”
Rendra menggeleng. “Nggak mungkin. Aku nggak pakai dari pagi.”
“Kalau gitu, harusnya masih di apartemen ini,” Galang menatapnya tajam. “Kita belum cari semua sudut, kan? Mungkin jatuh ke tempat yang nggak kelihatan.”
Rendra menarik napas dalam, mencoba meredam emosinya. Ia tahu Galang hanya berusaha membantu, tapi kehilangan arloji itu bukan sekadar kehilangan barang. Itu kehilangan sebagian dari kenangannya.
“Aku nggak bisa kehilangan ini, Lang,” suaranya nyaris bergetar.
Galang menepuk pundaknya pelan. “Kita belum nyerah, oke?”
Keesokan paginya, pencarian dimulai lebih serius.
Rendra dan Galang membongkar hampir seluruh isi apartemen. Sofa digeser, laci-laci dibuka, bahkan kolong tempat tidur yang penuh debu pun tak luput dari pencarian. Tapi hasilnya nihil.
Arloji itu seperti menghilang begitu saja.
Rendra duduk di lantai dengan wajah frustrasi. Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, sementara Galang berdiri dengan tangan di pinggang, sama frustasinya.
“Harusnya masih di sini…” gumam Rendra.
Galang tiba-tiba menegakkan tubuhnya. “Tunggu dulu.”
“Apa?”
“Kemarin ada yang ke apartemen nggak?”
Rendra mengernyit. “Maksudmu?”
“Ya, siapa tahu ada yang datang pas kamu kerja atau pas aku tidur. Mungkin mereka nggak sengaja ambil.”
Rendra mengingat-ingat. Tidak ada tamu. Tidak ada siapa pun selain mereka berdua.
Tapi—
Matanya tiba-tiba membelalak.
“Tunggu,” katanya cepat. “Kemarin sore aku sempat keluar sebentar beli roti. Aku nggak kunci pintu karena buru-buru.”
Galang menatapnya tajam. “Berapa lama?”
Rendra menelan ludah. “Mungkin… lima belas menit?”
“Brengsek,” Galang langsung berdiri. “Itu waktu yang cukup buat orang masuk dan ngambil barang.”
Dada Rendra terasa semakin sesak. Kalau benar ada yang masuk ke apartemen dan mencuri, maka harapan untuk menemukan arloji itu semakin tipis.
Ia mengepalkan tangannya. “Kita cek CCTV apartemen.”
Tanpa membuang waktu, mereka langsung turun ke lantai dasar dan menuju ruang pengelola gedung. Untungnya, mereka mengenal salah satu petugas keamanan, Pak Umar, yang sering ngobrol dengan mereka di lobi.
Pak Umar mengangkat alis saat melihat Rendra dan Galang datang dengan wajah serius. “Pagi-pagi udah ribut, ada apa?”
“Ada yang masuk ke apartemen kami kemarin sore,” kata Rendra, langsung ke intinya. “Bisa tolong cek CCTV?”
Pak Umar mengerutkan dahi. “Jam berapa?”
“Antara jam lima sampai setengah enam sore,” jawab Galang.
Pak Umar menghela napas. “Sebentar, saya lihat dulu.”
Ia mulai memeriksa rekaman, mempercepat video hingga mendekati waktu yang dimaksud. Rendra menahan napas saat layar menampilkan koridor lantai mereka.
Lalu, terlihat sosok seseorang berhenti di depan pintu apartemen mereka.
Seorang pria.
Berjaket hitam dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Ia berdiri di depan pintu sebentar, melihat ke kanan dan kiri, lalu… masuk begitu saja.
Jantung Rendra mencelos.
“Siapa itu?” suara Galang terdengar lebih tajam.
Pak Umar memperlambat rekaman. “Sepertinya bukan penghuni apartemen.”
Rendra mengepalkan tangan. Jadi benar, ada yang masuk. Dan sekarang, kemungkinan besar arloji itu sudah dibawa pergi oleh pria itu.
Ia merasa mual. Bukan karena kehilangan barang, tapi karena kehilangan sesuatu yang tak bisa digantikan.
Galang menepuk pundaknya pelan. “Kita bisa coba cari orang ini.”
Tapi Rendra hanya bisa menatap layar dengan kosong.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar gagal.
Pengejaran di Antara Waktu
Wajah pria berjaket hitam di rekaman CCTV terus terbayang di kepala Rendra. Sosok asing itu telah masuk ke apartemennya, mengambil sesuatu yang bukan miliknya—dan mungkin, membawa pergi salah satu bagian terpenting dalam hidup Rendra.
Pak Umar masih memandangi layar, sementara Rendra mengepalkan tangan di sampingnya.
“Kita bisa lihat dia keluar jam berapa?” suara Galang memecah keheningan.
Pak Umar mengangguk, memundurkan rekaman beberapa menit ke depan. Sosok pria itu muncul lagi, berjalan cepat keluar apartemen, tangannya terselip di dalam saku jaketnya seolah menyembunyikan sesuatu.
“Dia keluar jam lima tiga puluh delapan,” kata Pak Umar, mencatat waktu di secarik kertas. “Menuju tangga darurat, bukan lift.”
Rendra menggertakkan giginya. Itu berarti pria itu tahu kalau ada CCTV di lorong dan sengaja memilih jalan yang lebih sulit dilacak.
Galang menepuk bahu Rendra. “Kita harus cari orang ini.”
Pak Umar menoleh pada mereka dengan ragu. “Kalian yakin? Ini bisa bahaya. Kalau dia pencuri profesional…”
“Aku nggak peduli,” potong Rendra tajam. “Aku cuma mau arlojiku balik.”
Pak Umar menghela napas panjang. “Baiklah. Saya coba hubungi keamanan gedung. Sementara itu, kalian bisa cek rekaman dari kamera parkiran, siapa tahu dia naik kendaraan.”
Dua puluh menit kemudian, mereka sudah berdiri di ruangan lain, menatap layar yang menunjukkan rekaman dari parkiran basement.
Rendra menahan napas saat melihat pria itu muncul di rekaman. Ia berjalan cepat melewati deretan mobil, lalu berhenti di dekat sebuah motor tua berwarna merah.
“Tunggu,” Galang menunjuk layar. “Itu motor Honda Astrea, model tahun lama. Aku pernah lihat motor itu di sekitar komplek.”
“Serius?” Rendra langsung menoleh.
Galang mengangguk. “Iya. Ada cowok sering nongkrong di warung kopi depan gang pakai motor kayak gitu.”
Pak Umar menyipitkan mata, mengingat-ingat sesuatu. “Kalau benar, berarti dia bukan orang luar, tapi sering mondar-mandir di sekitar sini.”
Rendra tak membuang waktu. Ia berbalik ke Galang. “Kita ke warung itu sekarang.”
Matahari sudah mulai naik ketika mereka tiba di warung kopi kecil di pinggir jalan. Beberapa pelanggan duduk santai di bangku kayu, menyeruput kopi panas sambil mengobrol.
Rendra dan Galang langsung menghampiri pemilik warung, seorang pria tua berkacamata yang sedang menuangkan kopi ke dalam gelas.
“Pak, di sini sering ada yang nongkrong pakai motor Astrea merah, kan?” tanya Galang tanpa basa-basi.
Pria itu menoleh, mengangkat alis. “Iya, ada. Kenapa?”
“Ada sekarang?” Rendra ikut bertanya, suaranya penuh ketegangan.
Pria itu menggeleng. “Dia biasanya datang sore atau malam. Namanya Ical. Kenapa, ada masalah?”
Rendra dan Galang saling pandang.
“Dia masuk ke apartemen kami kemarin sore,” kata Rendra akhirnya. “Dan aku yakin dia ambil sesuatu punyaku.”
Pria itu terdiam sejenak, lalu mengusap dagunya. “Hmm… Ical anaknya agak liar, tapi setahu saya dia bukan pencuri. Mungkin kalian bisa ngobrol langsung sama dia nanti.”
Rendra menghela napas berat. “Aku nggak mau ngobrol. Aku cuma mau barangku balik.”
Pria itu mengangguk pelan. “Kalau gitu, datang aja nanti malam. Biasanya dia nongkrong di sini habis magrib.”
Hari itu terasa panjang.
Rendra tak bisa fokus melakukan apa pun. Ia terus menghitung waktu, menunggu matahari turun, menunggu saat di mana ia akhirnya bisa berhadapan dengan Ical.
Saat langit mulai gelap, ia dan Galang kembali ke warung kopi.
Dan di sanalah Ical.
Pria itu duduk di bangku kayu, mengenakan jaket hitam yang sama seperti di rekaman CCTV. Ia sedang tertawa bersama beberapa orang lain, tak menyadari bahwa ada dua pasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.
Rendra mengepalkan tangannya.
“Langsung aja?” bisik Galang.
Rendra mengangguk.
Mereka berjalan mendekat, dan sebelum Ical sempat bereaksi, Rendra langsung meraih kerah jaketnya dan menariknya ke atas.
“Mana arlojiku?” suara Rendra dingin, nyaris bergetar karena emosi yang tertahan.
Ical terkejut, tangannya refleks mendorong dada Rendra, tapi Rendra tak bergeming. Ia menggertakkan giginya, menatap pria itu tajam.
“Hei, hei! Tenang, tenang!” salah satu temannya mencoba melerai.
Ical akhirnya menyadari siapa yang sedang berhadapan dengannya. Ia berkedip beberapa kali, lalu menyeringai.
“Oh, ini soal itu?” katanya santai. “Kamu nyari arloji?”
Rendra semakin mempererat cengkeramannya. “Jangan pura-pura bego.”
Ical tertawa kecil, lalu menepis tangan Rendra dari jaketnya. “Oke, oke. Nggak usah drama. Aku cuma nemu itu di lantai pas lewat depan apartemenmu.”
“Bohong,” Galang menatapnya tajam. “Di CCTV keliatan jelas kamu masuk ke dalam.”
Ical mengangkat bahu. “Ah, ketahuan ya?”
Rendra hampir melayangkan pukulan kalau saja Galang tidak menahannya.
“Aku cuma ambil karena kelihatan bagus,” lanjut Ical, masih dengan nada enteng. “Nggak tahu kalau sepenting itu buat kamu.”
“Mana?” desak Rendra.
Ical menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas panjang. “Di kosanku. Kalau kamu mau, ikut aja ambil.”
Rendra dan Galang kembali saling pandang. Ada sesuatu dalam cara Ical berbicara yang terasa… janggal.
Tapi Rendra tidak peduli.
Ia akan mendapatkan arloji itu kembali, bagaimanapun caranya.
Detik yang Terhenti
Udara malam semakin dingin saat Rendra dan Galang mengikuti Ical menuju kosannya. Gang sempit yang mereka lewati terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang bergema di antara dinding bangunan tua. Lampu jalanan remang-remang, memberikan suasana yang semakin mencekam.
Ical berjalan di depan dengan santai, tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Sesekali, ia menoleh ke belakang dan menyeringai.
“Jangan tegang gitu, bro,” katanya sambil tertawa kecil. “Ini cuma arloji, bukan berlian.”
Rendra menahan diri untuk tidak langsung menghajarnya. Bagi orang lain, mungkin benda itu cuma sekadar jam tangan, tapi bagi Rendra, itu lebih dari sekadar alat penunjuk waktu. Itu adalah satu-satunya peninggalan dari ayahnya.
Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah petak tua dengan pintu kayu yang kusam. Ical mengeluarkan kunci dari sakunya, lalu membuka pintu dengan satu hentakan ringan.
“Masuk aja,” katanya santai.
Rendra dan Galang saling pandang sebelum melangkah masuk. Di dalam, ruangan kecil itu dipenuhi dengan barang-barang berantakan. Kasur tipis tergeletak di sudut, di sebelah meja kecil yang dipenuhi puntung rokok dan kaleng soda kosong. Bau asap dan alkohol samar-samar tercium di udara.
Ical berjalan ke rak di pojok ruangan dan mulai mengobrak-abrik isinya.
“Sebentar ya,” katanya. “Kayaknya gue taruh di sini.”
Rendra berdiri diam, jantungnya berdebar kencang. Galang juga terlihat tegang di sampingnya, tatapannya waspada mengamati setiap gerakan Ical.
Beberapa detik kemudian, Ical mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia membuka tutupnya, lalu mengangkat sesuatu yang langsung membuat mata Rendra membelalak.
Arloji itu.
Goresan kecil di pinggirannya, strap kulit yang sudah agak lusuh, dan jarum detik yang masih bergerak pelan seolah mengejeknya karena telah hilang selama beberapa hari.
Namun, ada satu hal yang membuat Rendra terkejut—arloji itu sudah retak.
“Kamu ngapain sama arlojiku?” Suara Rendra rendah, tapi penuh kemarahan yang tertahan.
Ical menatapnya sebentar sebelum mengangkat bahu. “Jatuh pas gue ambil dari sakuku. Yah, namanya juga apes.”
Rendra mengepalkan tangan. Rasanya ia ingin langsung menghantam wajah pria di depannya, tapi Galang buru-buru meraih lengannya, memberi isyarat agar ia tetap tenang.
“Udah ketemu. Kita pergi,” kata Galang tegas.
Ical menyeringai, lalu melempar arloji itu ke arah Rendra. Refleks, Rendra menangkapnya dengan cepat, lalu langsung menatap retakan kecil di kaca jam itu. Ada nyeri aneh yang menghantam dadanya saat melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Satu kenangan yang dulu sempurna, kini telah rusak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rendra berbalik dan berjalan keluar, diikuti oleh Galang.
Malam itu, Rendra duduk di kamarnya, menatap arloji yang kini ada di genggamannya.
Ia mengusap lembut kaca jam yang telah retak itu, mencoba mengingat saat terakhir kali benda ini ada di tangannya dalam keadaan utuh. Waktu masih terasa hangat, kenangan masih terasa jelas. Suara ayahnya saat menyerahkan arloji ini, senyumnya, tatapan bangganya—semuanya kini hanya ada dalam kepingan memori yang tidak bisa dikembalikan.
Rendra merasa gagal.
Ia berhasil mendapatkan kembali arlojinya, tapi tidak dalam keadaan yang sama seperti saat terakhir kali ia memilikinya. Sama seperti kenangan yang telah berlalu, tidak ada yang benar-benar bisa kembali utuh seperti dulu.
Galang duduk di sofa, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Kamu mau benerin itu?” tanyanya akhirnya.
Rendra menghela napas panjang. “Mungkin.”
Galang mengangguk pelan. “Tapi retak itu nggak akan hilang.”
Rendra tersenyum miris. “Iya. Sama kayak kenangan.”
Galang tidak berkata apa-apa lagi, membiarkan keheningan mengisi ruangan.
Rendra tahu, seberapa pun ia mencoba memperbaiki arloji ini, bekas luka itu akan tetap ada. Sama seperti dirinya, sama seperti kenangan yang ia miliki.
Arloji ini mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula. Tapi, selama jarum detiknya masih berdetak, selama waktu masih berjalan, ia akan tetap menyimpannya.
Karena di balik retakan itu, tersimpan cerita yang tidak bisa digantikan oleh apa pun.
Dan ia akan menjaganya—selamanya.
Kadang, kehilangan nggak selalu tentang nggak bisa nemuin lagi. Kadang, yang lebih nyakitin itu ketika akhirnya nemu, tapi udah nggak sama kayak dulu. Kayak arloji Rendra—retak, tapi masih berdetak.
Sama kayak kenangan, mungkin nggak bakal bisa diperbaiki, tapi tetep punya tempat di hati. Dan ya, selama waktu masih jalan, selama jarum masih berputar, dia bakal tetep ngejaga semua yang tersisa. Karena nggak semua kehilangan harus diikhlasin—kadang, cukup dijaga aja.


