Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasain suasana di mana semua orang pada ribut, masing-masing keras kepala sama pendapatnya sendiri? Nah, di sebuah desa kecil, pemilihan ketua karang taruna malah hampir bikin warganya terpecah. Dua kandidat, dua kubu, dan satu musyawarah besar yang menentukan segalanya.
Ini bukan cuma soal siapa yang menang, tapi soal gimana caranya tetap kompak meskipun berbeda pilihan. Dan yang paling penting? Semua ini nunjukin kalau pemimpin sejati bukan cuma soal jadi yang paling kuat, tapi juga yang paling bisa mendengar.
Musyawarah yang Mengubah Segalanya
Pertikaian di Balik Pemilihan
Pemilihan ketua karang taruna tahun ini terasa berbeda di Desa Citra Bangsa. Biasanya, pemilihan berlangsung santai tanpa banyak drama. Tapi kali ini, semua terasa panas. Dua kandidat yang bersaing, Banyu dan Raka, sama-sama kuat. Banyu terkenal cerdas dan tenang, sementara Raka lebih berapi-api dan karismatik.
Di warung kopi dekat balai desa, beberapa pemuda sedang berdiskusi. Awalnya biasa saja, hanya membahas persiapan pemilihan. Tapi lama-lama, suasana mulai memanas.
“Aku nggak habis pikir, kenapa sih masih ada yang dukung Raka? Jelas-jelas Banyu lebih pintar dan bijaksana,” kata Arman sambil menyeruput kopinya.
Toni yang duduk di seberangnya langsung menyahut, “Halah, pintar doang nggak cukup. Banyu itu kebanyakan mikir, sementara Raka orangnya gercep. Pemimpin itu harus yang bisa langsung bertindak!”
“Gercep? Kalau tanpa rencana ya malah ngawur!”
“Daripada kebanyakan mikir, ujung-ujungnya nggak ada tindakan!”
Perdebatan kecil itu mulai menarik perhatian orang-orang lain di warung. Beberapa ikut menyahut, menambahkan argumen masing-masing. Beberapa mendukung Banyu, beberapa mendukung Raka. Lama-kelamaan, suasana jadi panas.
Di tempat lain, di lapangan tempat anak-anak bermain bola, sekelompok pemuda yang juga membicarakan pemilihan mulai berdebat.
“Kamu tahu nggak? Katanya Raka cuma menang omongan doang. Nggak ada bukti kalau dia bisa mimpin!” kata Jono dengan nada meremehkan.
“Jangan asal ngomong! Raka itu udah berkali-kali bantu desa ini. Waktu ada banjir, siapa yang langsung turun tangan? Raka! Waktu acara Agustusan, siapa yang sibuk mengatur panitia? Raka! Banyu ngapain?”
“Ya ampun, tapi pemimpin itu bukan cuma soal kerja fisik! Harus pakai otak juga!”
Sama seperti di warung, perdebatan itu semakin membesar. Bahkan, ada yang mulai menyebarkan kabar miring.
“Eh, katanya Banyu itu cuma nyalonin diri karena dorongan orang tuanya, bukan karena niat sendiri.”
“Serius? Wah, kalau gitu dia cuma boneka doang dong?”
Di sisi lain, ada juga yang menyebarkan isu tentang Raka.
“Kamu tahu nggak? Raka itu katanya pernah gagal urus sebuah proyek kecil di desa sebelah. Gimana mau mimpin kita?”
“Gila, kalau itu benar, kita bakal rugi besar kalau milih dia!”
Isu-isu ini menyebar cepat. Dari mulut ke mulut, dari warung ke lapangan, dari pemuda ke pemuda lainnya. Desa yang tadinya damai, mulai terbagi dua.
Di balai desa, Banyu dan Raka duduk berhadapan, menyadari apa yang sedang terjadi.
“Kamu dengar nggak? Banyak orang mulai saling serang gara-gara pemilihan ini,” kata Banyu sambil menghela napas.
“Aku tahu,” Raka mengangguk. “Aku juga denger beberapa teman mulai saling ribut cuma karena beda dukungan.”
Banyu memandang Raka, lalu berkata, “Aku nggak suka begini. Pemilihan ini seharusnya tentang memilih yang terbaik buat desa, bukan ajang permusuhan.”
“Aku juga mikir hal yang sama,” jawab Raka. “Tapi masalahnya, kita nggak bisa begitu saja ngeredam semuanya. Orang-orang udah terlanjur panas.”
Sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, pintu balai desa terbuka. Tama, pemuda sederhana yang jarang bicara, masuk dengan wajah serius.
“Kita harus ngelakuin sesuatu,” katanya tegas.
Banyu dan Raka saling pandang. Mereka tahu, kalau dibiarkan, perpecahan ini bisa makin parah.
Dan itu bukan hal yang bisa mereka biarkan terjadi.
Suara Tama yang Menggugah
Tama berdiri di tengah ruangan dengan wajah serius. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah menahan amarah yang sudah mencapai batas.
“Kita harus ngelakuin sesuatu,” ulangnya, kali ini lebih tegas.
Banyu dan Raka saling pandang. Mereka sama-sama tahu kalau Tama bukan tipe orang yang suka ikut campur. Kalau dia sampai bicara seperti ini, berarti situasinya sudah benar-benar buruk.
“Aku sepakat,” kata Raka. “Tapi jujur, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua orang udah terlanjur kepancing emosi.”
“Aku juga nggak mau pemilihan ini malah bikin desa kita terpecah,” timpal Banyu.
Tama menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku baru aja dari warung. Orang-orang udah mulai saling curiga. Bahkan ada yang mulai nyebar gosip jelek tentang kalian berdua. Kalau ini dibiarkan, pemilihan nanti bukan lagi soal siapa yang layak, tapi siapa yang bisa menjatuhkan lawannya.”
Ruangan jadi hening. Hanya terdengar suara angin malam yang masuk lewat jendela balai desa.
Banyu akhirnya bersuara, “Lalu, menurut kamu kita harus gimana, Tam?”
Tama menatap mereka bergantian. “Kalian harus ngomong langsung ke warga. Jangan cuma diem dan ngeliatin keadaan makin runyam. Kalian yang harus kasih contoh kalau pemimpin itu bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang bisa bikin kita tetap bersatu.”
Raka mengangkat alis. “Maksud kamu, kita harus bikin pertemuan terbuka?”
Tama mengangguk. “Iya. Kita adakan musyawarah. Kumpulkan semua warga yang udah terlanjur ribut. Biarkan mereka bicara. Dengar argumen mereka. Tapi kalian juga harus jelasin kalau ini bukan ajang permusuhan.”
Banyu tampak berpikir. “Itu ide bagus, tapi nggak gampang. Kalau suasana udah panas, gimana kalau musyawarah malah jadi ajang debat kusir?”
Tama tersenyum tipis. “Makanya, kalian harus jadi contoh. Pemimpin itu harus bisa tenang dalam keadaan apa pun. Kalau kalian bisa ngendaliin diri, mereka juga bakal ikut tenang.”
Raka mendengus pelan. “Kamu ngomongnya gampang banget.”
Tama menepuk bahu Raka. “Aku cuma ngomong yang benar.”
Setelah diskusi cukup panjang, akhirnya mereka sepakat. Musyawarah akan diadakan besok sore di balai desa. Undangan akan disebarkan ke seluruh warga. Semua pihak boleh hadir, termasuk mereka yang paling vokal dalam perdebatan.
Malam itu, Banyu dan Raka meninggalkan balai desa dengan perasaan sedikit lebih ringan. Mereka tahu, ini bukan jaminan kalau keadaan bakal langsung membaik. Tapi setidaknya, mereka sudah mengambil langkah pertama.
Yang belum mereka tahu adalah… besok, musyawarah itu akan jadi ujian terbesar bagi mereka berdua.
Ketika Musyawarah Menjadi Jawaban
Balai desa sore itu penuh sesak. Kursi-kursi kayu yang biasanya berdebu kini terisi penuh oleh warga yang datang dengan wajah serius. Beberapa pemuda duduk di barisan depan, sementara orang-orang tua memilih berdiri di belakang, mengamati jalannya pertemuan dengan mata penuh kewaspadaan.
Di tengah ruangan, Banyu dan Raka berdiri berdampingan. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini mereka bukan lawan. Mereka adalah dua orang yang harus memastikan pertemuan ini tidak berakhir ricuh. Tama duduk di dekat mereka, siap membantu jika keadaan mulai tidak terkendali.
Suasana tegang. Tak ada yang berbicara lebih dulu. Hingga akhirnya, seorang pria paruh baya, Pak Sarman, berdeham dan membuka suara.
“Jadi, kita semua di sini karena pemilihan ketua karang taruna sudah nggak sehat lagi.” Suaranya berat dan tegas. “Kita udah lihat sendiri, ada yang mulai menyebar gosip, ada yang sampai ribut cuma gara-gara beda pilihan.”
Beberapa orang mengangguk setuju. Tapi ada juga yang melipat tangan di dada dengan wajah tak terima.
Seorang pemuda bernama Toni langsung menyahut, “Ya kalau nggak mau ada gosip, dari awal harusnya calonnya jelas! Kita semua tahu Banyu itu cuma didorong orang tuanya buat maju!”
Belum sempat Banyu membalas, Arman langsung menimpali dengan nada sinis. “Dan Raka juga cuma menang ngomong doang! Bukannya dia pernah gagal ngurus proyek di desa sebelah?”
Suasana memanas. Beberapa pemuda mulai saling tunjuk dan beradu suara.
Banyu melirik Tama yang mengangguk pelan, seolah memberi isyarat: Sekarang giliranmu.
Banyu menghela napas dan melangkah maju. “Kalau kalian mau berdebat soal aku dan Raka, aku nggak akan larang,” katanya dengan suara tenang. “Tapi sebelum kita lanjut, aku mau tanya: kita di sini ngadain pemilihan buat apa?”
Pertanyaan itu membuat suasana sedikit mereda. Beberapa orang tampak berpikir.
“Kita nyari pemimpin,” jawab seseorang dari barisan belakang.
“Betul,” kata Banyu. “Dan pemimpin yang kita pilih itu buat siapa?”
“Halah, buat desa ini, lah,” sahut Toni, kali ini dengan nada kurang yakin.
Banyu tersenyum tipis. “Nah. Jadi kalau pemilihan ini sampai bikin desa kita pecah, apa gunanya kita milih pemimpin?”
Ruangan mendadak sunyi. Beberapa orang saling melirik.
Raka yang sedari tadi mendengarkan akhirnya ikut berbicara. “Aku dan Banyu bersaing, iya. Tapi aku nggak mau persaingan ini jadi alasan buat kita saling tuduh dan menjatuhkan satu sama lain. Kalau kalian nggak suka aku atau nggak suka Banyu, itu hak kalian. Tapi jangan sampai pemilihan ini bikin kita lupa kalau kita semua sama-sama warga desa yang harus tetap rukun.”
Tama menambahkan, “Dan kalau kalian pikir seorang pemimpin itu sempurna, kalian salah. Nggak ada pemimpin yang sempurna. Yang ada, pemimpin yang mau belajar dan mendengar.”
Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan. Beberapa orang yang tadinya keras mulai tertunduk, menyadari bahwa mereka terlalu larut dalam persaingan sampai lupa tujuan sebenarnya.
Pak Sarman mengangguk setuju. “Jadi, apa kita mau terus saling serang, atau kita mau cari solusi yang lebih baik?”
Salah seorang pemuda yang sebelumnya ikut berdebat mengangkat tangan. “Aku setuju kalau pemilihan tetap dilanjutkan. Tapi aku juga setuju kalau kita nggak usah pakai cara kotor.”
Perlahan, satu per satu warga mulai mengangguk. Bahkan Toni dan Arman, yang tadinya paling keras, akhirnya menghela napas panjang dan mengiyakan.
Musyawarah itu berhasil.
Pemilihan akan tetap berjalan. Tapi kali ini, bukan sebagai ajang adu kekuatan, melainkan sebagai upaya mencari yang terbaik untuk desa.
Namun, meskipun suasana mulai tenang, satu pertanyaan besar masih menggantung di benak semua orang.
Siapakah yang akan keluar sebagai pemenang?
Kemenangan yang Sesungguhnya
Pemilihan diadakan dua hari setelah musyawarah besar. Sejak pagi, balai desa sudah dipenuhi warga. Semua datang dengan wajah penuh antusias, jauh berbeda dari suasana panas beberapa hari lalu.
Kotak suara sudah disiapkan di tengah ruangan, diawasi langsung oleh beberapa tokoh desa yang memastikan pemilihan berjalan adil. Setiap warga yang datang akan diberikan selembar kertas untuk memilih antara dua kandidat: Banyu atau Raka.
Banyu berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati suasana dengan perasaan campur aduk. Dia bisa melihat Raka di sisi lain, tampak santai seperti biasa, meskipun tatapan matanya sesekali mengarah ke warga yang sedang memberikan suara.
Sementara itu, Tama berdiri di dekat pintu masuk, mengawasi jalannya pemilihan dengan wajah serius.
Setelah beberapa jam, semua warga yang berhak memilih telah memasukkan suara mereka. Saatnya penghitungan dimulai.
Pak Sarman maju ke depan, membuka kotak suara, dan mulai membaca hasilnya satu per satu.
“Banyu.”
“Raka.”
“Raka.”
“Banyu.”
Suasana hening. Semua orang menahan napas setiap kali nama dibacakan. Suara yang masuk terus bertambah, menunjukkan pertarungan yang ketat.
Hingga akhirnya, kertas terakhir diangkat.
Pak Sarman menghela napas sebelum mengumumkan hasilnya.
“Dengan selisih hanya dua suara… Ketua Karang Taruna yang baru adalah… Banyu.”
Sejenak, ruangan terasa hening. Lalu, terdengar tepuk tangan yang perlahan semakin ramai.
Banyu masih terdiam. Dia tahu kemungkinan menang selalu ada, tapi mendengar namanya disebut tetap membuatnya terkejut.
Raka berjalan mendekat dan mengulurkan tangan. “Selamat,” katanya dengan senyum kecil.
Banyu menatapnya sejenak sebelum menjabat tangan itu. “Terima kasih. Aku nggak akan bisa sampai sini tanpa kamu.”
Raka mengangkat bahu. “Jangan pikir ini selesai. Aku masih di sini buat bantu kamu kalau perlu.”
Tama yang sejak tadi mengamati hanya tersenyum tipis. “Nah, gitu baru benar. Kalian berdua bukan lawan. Kalian rekan.”
Banyu menatap semua warga yang masih berdiri mengelilinginya. Ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini bukan soal siapa yang lebih hebat. Yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa tetap bersatu.
Dia lalu mengambil langkah maju dan berbicara dengan suara lantang.
“Aku berterima kasih karena sudah dipercaya untuk memimpin. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa melakukan ini sendirian.” Banyu menoleh ke arah Raka. “Aku ingin Raka tetap jadi bagian dari karang taruna. Aku butuh dia, dan kita semua butuh dia.”
Raka terkejut. “Maksud kamu…?”
“Aku ingin kamu jadi wakil ketua,” kata Banyu tegas.
Semua orang terdiam sebelum akhirnya terdengar suara tepuk tangan lagi, kali ini lebih keras. Beberapa warga berseru mendukung keputusan itu.
Raka mendengus kecil sebelum tersenyum. “Baiklah. Tapi kalau aku lihat kamu malas-malasan, aku nggak bakal segan marahin kamu.”
“Sepakat.”
Hari itu, bukan hanya Banyu yang menang. Desa mereka juga menang. Mereka membuktikan bahwa pemimpin bukan tentang siapa yang lebih kuat, lebih kaya, atau lebih populer.
Pemimpin adalah mereka yang bisa mendengar, menghargai, dan menyatukan.
Dan hari itu, musyawarah yang mereka lakukan benar-benar menjadi jawaban.
Pada akhirnya, bukan soal siapa yang duduk di kursi pemimpin, tapi gimana semua bisa tetap bareng-bareng setelah pemilihan selesai. Banyu menang, tapi Raka nggak kalah.
Justru, desa mereka dapet lebih dari sekadar ketua baru—mereka dapet bukti kalau musyawarah itu bukan sekadar omong kosong. Kalau aja di dunia nyata semua bisa mikir kayak gini, mungkin banyak hal bakal lebih damai, ya?


