Daftar Isi
Pernah denger larangan jangan lihat ke belakang? Empat orang nekat masuk ke rumah tua dan berpikir itu cuma tantangan biasa. Tapi sesuatu di dalamnya nggak suka kedatangan mereka. Bisikan, langkah kaki, dan bayangan di sudut ruangan mulai terasa nyata. Malam itu, satu kesalahan kecil berubah jadi teror mematikan.
Jangan Lihat ke Belakang
Undangan dari Rumah Kosong
Malam sudah jatuh ketika empat remaja itu berdiri di depan rumah tua yang nyaris terlupakan oleh waktu. Cahaya bulan redup memantul di jendela-jendela berdebu, sementara angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun kering. Rumah itu berdiri dengan megah namun rapuh, catnya terkelupas, dan kusen pintunya terlihat lapuk.
“Oke, ini kelihatan lebih seram dari yang aku bayangkan,” Mira berbisik, merapatkan jaketnya seolah itu bisa melindunginya dari aura kelam rumah tersebut.
“Lagian, kenapa sih kita harus ke sini malam-malam?” Jovan menambahkan, tangannya menyusup ke dalam saku hoodie-nya. Matanya memandangi pintu rumah yang sedikit terbuka, seperti mengundang mereka masuk.
Erlan tersenyum kecil, penuh percaya diri seperti biasa. “Karena kalau siang, rasanya nggak menantang. Kalian udah baca kan, cerita soal rumah ini? Katanya ada sesuatu yang terkunci di dalamnya.”
“Iya, dan sesuatu itu mungkin tikus gede atau ular,” Ghina menyahut santai, tapi ada sedikit antusiasme di matanya.
Mira menghela napas, melirik rumah itu dengan waspada. “Kalau rumah ini punya penghuni beneran gimana? Kita bisa dituduh masuk tanpa izin.”
Erlan tertawa pendek. “Mira, rumah ini udah kosong bertahun-tahun. Pemiliknya aja entah ke mana. Udah, ayo masuk sebelum aku berubah pikiran.”
Tanpa menunggu jawaban, Erlan mendorong pintu dengan pelan. Engsel tua berderit panjang, menambahkan efek dramatis pada suasana. Udara dingin menyambut mereka, membawa aroma kayu tua dan debu yang menumpuk selama bertahun-tahun.
Di dalam, ruangan itu terasa lebih besar dari yang terlihat dari luar. Perabotan berantakan, kursi-kursi tua tertutup kain putih yang sudah menguning. Sebuah cermin besar berdiri di sudut, pantulannya buram karena debu.
“Wah, kayak rumah di film horor,” Ghina berkomentar, tangannya menyentuh permukaan meja tua yang berdebu. “Serius, tempat ini bisa dipakai syuting.”
Jovan mengusap tengkuknya, matanya masih waspada. “Kita cari apa sih sebenernya? Hantu? Artefak misterius? Atau sekadar pengalaman serem?”
Erlan mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter. “Ada satu ruangan di lantai atas yang selalu terkunci. Katanya, itu tempat yang paling aneh di rumah ini. Kita lihat ke sana.”
Mira memelototi Erlan. “Kenapa harus ke yang paling aneh? Ruangan biasa aja nggak cukup?”
“Justru di sana letak keseruannya,” Erlan menepuk bahu Mira. “Kalau kamu takut, kamu bisa tunggu di sini.”
Mira mendengus kesal. “Nggak mau. Aku ikut.”
Mereka mulai berjalan menuju tangga kayu yang mengarah ke lantai atas. Langkah mereka menimbulkan suara gemeretak yang menggema di ruangan. Semakin mereka naik, semakin terasa sepi. Seolah rumah itu menelan semua suara selain langkah mereka sendiri.
Begitu sampai di lantai atas, mereka berdiri di lorong panjang yang gelap. Lampu gantung di langit-langit sudah lama mati, menyisakan bayangan yang bergerak di dinding saat senter mereka menyapu sekeliling.
Mira menggigil. “Aku nggak suka tempat ini. Rasanya kayak ada yang ngeliatin.”
Jovan menelan ludah, mencoba tetap tenang. “Jangan mikir yang aneh-aneh.”
Ghina, yang berada di depan, menunjuk sebuah pintu tua di ujung lorong. “Itu dia, kan?”
Pintu itu berbeda dari yang lain. Kayunya lebih gelap, dengan ukiran aneh di bagian atasnya. Gagang pintunya terbuat dari besi yang berkarat, dan di tengahnya terpasang gembok besar yang terlihat sudah sangat tua.
Erlan mendekat dan menyentuh gembok itu. Ia mengernyit. “Aneh… Kenapa gemboknya kelihatan rapuh banget, padahal katanya nggak ada yang pernah bisa masuk ke sini?”
Ghina melipat tangan di dada. “Mungkin cuma mitos. Coba tarik, siapa tahu langsung kebuka.”
Erlan mengangguk, lalu menarik gagang pintu dengan hati-hati.
Tapi sebelum ia sempat mencoba lebih jauh…
Terdengar suara langkah kaki dari belakang mereka.
Langkah pelan. Teratur. Seperti seseorang sedang mendekat.
Mira menegang, menahan napas. Jovan langsung menoleh ke belakang, mengarahkan senternya ke lorong gelap yang baru saja mereka lewati.
Tidak ada siapa-siapa.
Tapi suara langkah itu masih ada.
Bahkan semakin dekat.
Dan saat itu juga, gembok di pintu tua tiba-tiba jatuh ke lantai dengan suara keras.
Langkah di Lantai Atas
Suara gembok jatuh ke lantai masih menggema di lorong yang sunyi. Keempatnya terpaku, napas tertahan di tenggorokan. Erlan menelan ludah, tangannya masih menggenggam gagang pintu yang kini tak lagi terkunci.
“Itu… jatuh sendiri?” Mira berbisik, matanya melebar.
“Atau ada yang ngelepasin?” Jovan menambahkan, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Hening. Tak ada yang menjawab. Hanya suara desir angin yang masuk melalui jendela pecah di ujung lorong.
Ghina menghembuskan napas keras, mencoba membuang ketegangan. “Oke, ini serem. Tapi kita udah sampai di sini, masa nggak masuk?”
Erlan mengangguk, meski sedikit ragu. Perlahan, ia mendorong pintu kayu itu.
Engselnya mengeluarkan bunyi melengking tajam, seolah tak pernah digerakkan selama bertahun-tahun. Udara di dalam terasa lebih dingin dari bagian rumah lain, membawa aroma kayu lapuk dan sesuatu yang asing—sesuatu yang mengingatkan pada ruangan yang terlalu lama tertutup tanpa cahaya.
Mereka melangkah masuk, satu per satu. Senter dari ponsel mereka menyapu sekeliling ruangan.
Tak seperti ruangan lain yang berantakan, tempat ini justru terlihat… rapi.
Di tengahnya, ada sebuah meja dengan kursi tua di depannya. Di atas meja itu, ada sesuatu yang seketika menarik perhatian mereka—sebuah buku harian tua dengan sampul kulit yang mulai mengelupas.
“Siapa yang ninggalin ini?” Mira bertanya, hampir berbisik.
Ghina berjalan mendekat, menyingkirkan lapisan debu di sampul buku itu. Ada sesuatu yang tertulis di bagian depan dalam huruf yang sedikit pudar:
“Jangan baca kalau tidak ingin melihat apa yang aku lihat.”
Hening.
Jovan tertawa kaku. “Oke, ini kayak peringatan di film-film yang selalu diabaikan sama tokoh utama sebelum mereka nyesel.”
Erlan memutar matanya. “Jovan, kita kan bukan di film.”
Ia mengulurkan tangan dan membuka buku itu.
Halaman pertama penuh dengan tulisan tangan rapi, meski tintanya sudah mulai pudar.
“Hari ini aku mendengar langkah-langkah lagi di lorong. Aku yakin tidak ada siapa-siapa di rumah ini selain aku. Tapi setiap malam, suara itu datang, mendekat, sampai di depan pintuku… dan berhenti. Aku takut. Aku ingin pergi dari sini, tapi aku tidak bisa. Aku tidak boleh meninggalkan rumah ini. Jika aku pergi… dia akan ikut.”
Jovan bergidik. “Siapa ‘dia’?”
Ghina menelusuri halaman-halaman berikutnya, tapi banyak yang tulisannya sudah sulit dibaca. Beberapa kata saja yang masih bisa mereka tangkap.
“Mereka bilang aku gila…”
“Aku melihatnya di cermin…”
“Pintu itu… jangan dibuka…”
Mata mereka terpaku pada kalimat terakhir yang masih bisa terbaca dengan jelas di halaman terakhir:
“Dia masih di sini.”
Saat itu juga, sesuatu berdentum keras di luar ruangan.
Seperti ada yang berlari di lorong.
Jovan langsung mematikan senter ponselnya, disusul Mira dan Ghina. Mereka menahan napas, mendengarkan dengan waspada.
Langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Semakin cepat.
Tiba-tiba, Mira mencengkram lengan Ghina dengan erat. “Itu bukan suara kita, kan?”
Tak ada yang menjawab.
Karena mereka semua tahu jawabannya.
Langkah itu bukan milik mereka.
Dan yang lebih buruk lagi—
Langkah itu berhenti tepat di depan pintu.
Buku Harian yang Tidak Boleh Dibaca
Hening.
Empat pasang mata menatap pintu yang kini seperti memiliki nyawa sendiri. Tak ada yang berani bergerak, bahkan untuk sekadar menarik napas lebih dalam.
Jovan menatap yang lain dengan ekspresi penuh ketakutan. “Kalian denger itu, kan?” bisiknya nyaris tanpa suara.
Mira mengangguk cepat, genggamannya di lengan Ghina semakin erat.
Langkah kaki yang tadi berlari di lorong kini benar-benar diam di depan pintu. Tak ada suara. Tak ada gerakan.
Tapi mereka tahu—sesuatu ada di sana.
Perlahan, Ghina meraih ponselnya lagi dan menyalakan senter. Erlan menelan ludah, sebelum akhirnya menguatkan diri dan meraih gagang pintu.
“Erlan, jangan—” Mira baru saja berbisik, tapi terlambat.
Pintu terbuka dengan satu dorongan pelan.
Dan yang mereka lihat di baliknya hanya lorong kosong.
Tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada apa-apa.
Jovan menghembuskan napas kasar. “Gila, gue udah mikir bakal ada sesuatu berdiri di depan pintu.”
Erlan melangkah keluar dengan hati-hati, menyorotkan cahaya ke kanan dan kiri. Tak ada yang aneh. Rumah itu masih dalam keadaan yang sama seperti saat mereka masuk.
Tapi sesuatu terasa… berbeda.
Ghina kembali melirik buku harian tua yang masih terbuka di atas meja. Dengan hati-hati, ia membalik halaman berikutnya.
Namun kali ini, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengerikan.
Di lembar yang kosong sebelumnya, kini ada tulisan baru.
Tulisan yang jelas-jelas tidak ada di sana beberapa menit lalu.
“Kalian tidak seharusnya ada di sini.”
Mata Mira membesar. “Siapa yang nulis ini?!”
Jovan menggeleng cepat. “Nggak mungkin! Buku ini kan udah tua, siapa yang bisa tiba-tiba nulis sesuatu di sini?!”
Erlan meraih buku itu dan membolak-balik halamannya dengan cemas. Semua tulisan sebelumnya tampak pudar dan tua, tapi tulisan terakhir itu…
Tulisannya lebih segar.
Seperti baru saja dituliskan sekarang.
Dan sebelum mereka bisa berkata apa-apa lagi, sesuatu berubah di dalam ruangan itu.
Suhu turun drastis, membuat kulit mereka merinding. Cahaya ponsel berkedip aneh, seperti ada gangguan.
Dan di cermin tua yang tergantung di sudut ruangan—
Ada bayangan seseorang.
Bayangan itu tidak menyerupai mereka.
Bayangan itu berdiri di sana, menghadap mereka.
Diam.
Mira mencengkeram lengan Ghina dengan kuat. “Kalian lihat itu, kan?” suaranya bergetar.
Ghina tidak menjawab. Jovan menelan ludah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Dan kemudian—
Bayangan itu bergerak.
Tidak seperti refleksi biasa.
Bayangan itu maju selangkah.
Padahal tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak.
Bayangan itu menoleh ke arah mereka.
Dan tersenyum.
Cahaya ponsel mereka padam bersamaan.
Ruangan menjadi gelap gulita.
Mira menjerit, tapi suara itu seperti tertelan oleh keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.
Di tengah kegelapan, suara langkah kaki terdengar lagi.
Tapi kali ini—
Langkah itu berasal dari dalam ruangan.
Jangan Lihat ke Belakang
Gelap.
Tak ada yang bisa mereka lihat selain kegelapan pekat yang menyelimuti ruangan.
Suara langkah itu semakin dekat.
Tiap pijakannya terdengar jelas di lantai kayu tua yang berderit.
Ghina menggenggam tangan Mira erat, tubuhnya bergetar hebat. Di sebelah mereka, Jovan dan Erlan berdiri kaku, tak berani bergerak.
Lalu, dari dalam kegelapan—
Ada suara napas.
Pelan. Berat. Seperti seseorang berdiri sangat dekat dengan mereka.
Erlan mencoba menyalakan senter ponselnya lagi, tapi jari-jarinya gemetar. Cahaya berkelap-kelip, lalu mati lagi.
“Sial… sial… kenapa nggak nyala?!” bisiknya panik.
Mira ingin menangis, tapi ia menutup mulutnya rapat-rapat. Di tengah kekacauan ini, suara seretan perlahan terdengar di belakang mereka.
Seolah sesuatu sedang bergerak… mendekat.
Jovan meremas bahu Erlan. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”
Ghina mengangguk cepat. Dengan jantung berdebar, ia meraih Mira dan mulai meraba-raba di kegelapan, mencari jalan keluar.
Lalu, sesuatu berbisik tepat di telinga mereka.
“Jangan lihat ke belakang.”
Darah mereka membeku.
Suara itu bukan suara mereka.
Suara itu bukan milik siapa pun yang ada di ruangan ini.
Mira mulai menangis pelan, tubuhnya membeku di tempat.
“M-Mira… ayo…” Ghina berbisik, menariknya pelan.
Mereka semua tahu.
Apapun yang ada di belakang mereka… tidak boleh mereka lihat.
Langkah-langkah kaki itu semakin dekat. Nafas dingin terasa di tengkuk mereka.
Jovan mencengkeram tangan Erlan dengan erat, berbisik hampir tanpa suara. “Jangan lihat.”
Ghina menggigit bibirnya.
Satu langkah lagi.
Dua langkah lagi.
Mereka hampir mencapai pintu.
Lalu, Mira melakukan kesalahan.
Ia menoleh.
Dan saat itu juga—
Ia menjerit sekencang-kencangnya.
Suara jeritannya menggema di seluruh ruangan. Erlan, Jovan, dan Ghina tersentak panik, tapi mereka tidak berani melihat apa yang Mira lihat.
Mata Mira melebar penuh ketakutan, bibirnya bergetar tanpa suara.
Lalu, dalam satu kedipan mata—
Mira menghilang.
Seperti ditelan oleh kegelapan.
Jovan berteriak dan hampir saja menoleh, tapi Ghina menariknya dengan kasar. “LARI!!!”
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga menerobos keluar dari ruangan itu. Erlan menendang pintu hingga terbuka lebar, mereka berlari menyusuri lorong, menuruni tangga dengan terburu-buru.
Pintu depan masih terbuka.
Mereka berlari sekencang mungkin, menerobos keluar dari rumah tua itu tanpa menoleh ke belakang.
Begitu mereka keluar, udara malam yang dingin langsung menyergap. Jovan terjatuh di tanah, napasnya tersengal. Erlan dan Ghina juga tersungkur, tubuh mereka lemas oleh ketakutan.
Rumah itu kembali sunyi.
Tidak ada suara langkah kaki. Tidak ada bisikan.
Tidak ada Mira.
Ghina memandangi pintu rumah tua itu dengan napas tersengal. “M-Mira…” suaranya pecah.
Jovan menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar.
Erlan hanya bisa duduk di tanah, terdiam.
Mereka telah keluar.
Tapi Mira tidak.
Dan jauh di dalam rumah itu—
Di balik kegelapan yang pekat—
Seseorang tertawa.
Masih berani masuk ke rumah kosong sendirian? Ingat, sesuatu mungkin sedang mengawasi tanpa kamu sadari. Satu kesalahan bisa membuatmu terjebak selamanya. Jangan lihat ke belakang, atau semuanya akan berakhir di sana. Tapi… apa kamu yakin sekarang nggak ada yang berdiri di belakangmu?


