Daftar Isi
Pernah nggak sih kepikiran buat kuliah di luar negeri? Kayaknya keren banget, ya? Tapi di balik itu, ada perjuangan yang nggak main-main, apalagi kalau kamu seorang muslimah yang harus tetap teguh berpegang pada iman dan nilai-nilai Islam di negeri orang.
Cerita ini bakal ngebawa kamu ke perjalanan seorang muslimah yang nggak cuma ngejar ilmu, tapi juga harus menghadapi berbagai tantangan sambil tetap menjaga ibadah dan prinsipnya. Siap-siap, karena kisahnya nggak cuma inspiratif, tapi juga penuh kejutan!
Azzahra
Jejak Kecil Menuju Mimpi Besar
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah hijau dan pepohonan rimbun, seorang gadis kecil duduk bersimpuh di depan meja kayu, jemarinya telaten menyusuri lembaran Al-Qur’an yang mulai lusuh. Cahaya lampu minyak menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat. Suara jangkrik bersahutan di luar rumah, seakan menjadi latar bagi bisikan hafalan yang keluar dari bibir mungilnya.
“Azzahra, sudah malam. Besok dilanjutkan lagi, ya?” suara lembut seorang wanita memecah kesunyian. Ibunya berdiri di ambang pintu, mengusap kepala anak perempuannya dengan penuh kasih.
“Tunggu sebentar, Bu. Aku hampir selesai menghafal ayat ini,” jawab Azzahra tanpa mengalihkan pandangannya.
Ibunya tersenyum, menggeleng kecil, lalu duduk di samping putrinya. “Kamu rajin sekali. Ibu bangga.”
Azzahra menutup Al-Qur’an perlahan, lalu menatap ibunya dengan mata berbinar. “Bu, nanti kalau aku sudah besar, aku mau sekolah tinggi-tinggi sampai ke luar negeri! Aku mau belajar banyak hal dan ngajarin anak-anak di sini biar bisa sekolah juga.”
Ibunya tertawa kecil, merapikan kerudung putrinya yang sedikit miring. “Mimpi yang besar, Nak. Tapi kalau kamu sungguh-sungguh, insyaAllah ada jalannya.”
Sejak kecil, Azzahra memang berbeda. Ia lebih senang duduk di antara buku-buku dibanding bermain di luar rumah. Saban hari, ia menunggu tukang koran yang lewat di desanya hanya untuk membaca berita atau sekadar melihat dunia dari lembaran kertas yang terbatas. Di sekolah, guru-gurunya selalu menyebut namanya sebagai salah satu murid terbaik.
Namun, desa kecil tempatnya tinggal bukanlah tempat yang mendukung cita-citanya. Kebanyakan anak perempuan di sana hanya sekolah hingga SMP, lalu dinikahkan atau bekerja membantu keluarga. Azzahra sering mendengar komentar sinis setiap kali ia bicara soal mimpinya.
“Sekolah tinggi buat apa? Perempuan akhirnya bakal di dapur juga.”
“Nggak usah mimpi terlalu jauh, Zahra. Nanti sakit kalau jatuh.”
Setiap kali mendengar itu, hatinya perih. Tapi, ia tidak membiarkan keraguan orang lain menghalangi langkahnya.
Suatu hari, di kelasnya yang sederhana, Pak Rahmat—guru Bahasa Inggris favoritnya—datang dengan sebuah pengumuman yang membuat semua murid terdiam.
“Anak-anak, ada kesempatan beasiswa ke luar negeri untuk yang berprestasi. Ini kesempatan langka, terutama buat kalian yang dari desa. Kalau ada yang mau mencoba, saya akan bantu.”
Mata Azzahra berbinar. Ia menggenggam ujung mejanya erat, menoleh ke arah sahabatnya, Siti, yang juga tampak terkejut.
“Pak, beasiswanya ke mana?” tanyanya penuh antusias.
“Banyak pilihannya. Ada ke Timur Tengah, Eropa, bahkan Amerika. Tapi saingannya ketat. Harus punya nilai bagus, aktif berorganisasi, dan tentu saja, harus bisa bahasa asing,” jawab Pak Rahmat.
Azzahra menelan ludah. Ia tahu persis bahwa dirinya tidak berasal dari keluarga kaya yang bisa dengan mudah membiayai sekolah di luar negeri. Tapi ini, ini adalah pintu yang selama ini ia cari.
Sejak hari itu, ia semakin giat belajar. Ia membaca buku-buku berbahasa Inggris yang dipinjamkan Pak Rahmat, menonton video ceramah dalam bahasa Arab dari ponsel sederhana yang ia miliki, dan melatih kepercayaan dirinya untuk berbicara di depan umum.
Namun, jalan menuju mimpi tidak pernah mudah.
Satu tahun berlalu, dan pengumuman beasiswa yang dinantinya akhirnya tiba. Ia mengajukan aplikasinya dengan penuh harapan. Malam sebelum pengumuman, ia bahkan salat tahajud dengan air mata mengalir di pipinya.
“Ya Allah, jika ini memang baik untukku, mudahkanlah jalanku. Jika tidak, lapangkan hatiku untuk menerima takdir-Mu.”
Keesokan harinya, namanya ada di daftar penerima beasiswa.
Azzahra terdiam cukup lama saat melihat namanya tertulis di layar ponsel Pak Rahmat. Bibirnya bergetar, tangannya terasa dingin. Siti, yang berdiri di sampingnya, langsung memeluknya erat.
“Kamu keterima, Zahra! MasyaAllah, kamu berhasil!”
Tangisnya pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tak percaya bahwa impiannya yang selama ini hanya sebatas doa kini menjadi nyata.
Tapi ini baru permulaan.
Perjalanan panjang akan segera dimulai.
Istanbul dan Ujian Kesabaran
Langit Istanbul menjelang senja tampak begitu menawan, memancarkan semburat jingga yang memantul di selat Bosporus. Azzahra berdiri di balkon asrama, menatap hiruk-pikuk kota yang terasa begitu asing. Udara dingin menyentuh kulitnya, berbeda jauh dari kehangatan kampung halamannya.
Hari pertama di negeri orang terasa lebih sulit dari yang ia bayangkan.
“Kamu kenapa, Zahra?” suara Amina, teman sekamarnya yang berasal dari Malaysia, membuyarkan lamunannya.
Azzahra tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, cuma masih agak canggung aja. Rasanya belum percaya kalau aku benar-benar di sini.”
Amina tertawa kecil. “Biasanya memang gitu. Aku pun dulu begitu. Tapi, lama-lama kamu pasti terbiasa.”
Hari-hari pertama Azzahra di Istanbul dipenuhi dengan adaptasi yang melelahkan. Kampusnya luas, jauh lebih besar dari sekolah di desanya. Bahasa Turki yang dulu hanya ia pelajari dari aplikasi kini harus digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan makanan pun jadi tantangan tersendiri—rindu dengan masakan ibunya mulai terasa sejak hari pertama.
Suatu pagi, ia duduk di kelas dengan buku catatan terbuka di depannya. Dosen yang berbicara cepat dengan aksen khas membuatnya kesulitan menangkap materi. Ia mencatat sebisanya, tapi tetap merasa tertinggal.
Setelah kuliah usai, ia menghela napas panjang. “Ya Allah, aku nggak ngerti setengah dari yang beliau bilang,” gumamnya pelan.
“Kamu nggak sendiri, kok,” ujar seorang mahasiswi asal Mesir, Layla. “Aku juga masih struggling di beberapa bagian.”
Azzahra tersenyum kecil. Setidaknya, ia bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan.
Tantangan lain datang dari cuaca yang mulai memasuki musim dingin. Tubuhnya yang terbiasa dengan tropis harus beradaptasi dengan udara yang menusuk tulang. Suatu malam, ia terbangun karena kedinginan, meskipun sudah membungkus dirinya dengan selimut tebal.
Sambil menggigil, ia bangkit dan mengambil wudhu untuk salat tahajud. Airnya begitu dingin hingga terasa menyakitkan di kulitnya.
“Ya Allah, aku nggak boleh menyerah. Aku nggak boleh lemah,” bisiknya setelah sujud terakhir.
Hari demi hari berlalu, dan Azzahra mulai menemukan ritmenya. Ia bergabung dengan komunitas mahasiswa Muslim yang membantunya dalam banyak hal—mulai dari memahami materi, menemukan tempat makan halal, hingga memperkuat spiritualitasnya.
Namun, ujian sejati datang ketika jadwal ujian pertamanya tiba.
Malam sebelum ujian, ia belajar hingga larut. Rasa cemas terus menghantuinya. Ia tahu, jika gagal, ia bisa kehilangan beasiswa.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya.
“Nak, jangan terlalu memaksakan diri. Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan masuk ke hati yang gelisah. Baca doa, minta pertolongan-Nya. Ibu selalu doakan dari sini.”
Azzahra tertegun. Matanya memanas.
Ia menutup bukunya perlahan, mengambil air wudhu, lalu bersujud dalam ketenangan.
Keesokan harinya, dengan keyakinan yang lebih kuat, ia menghadapi ujian pertamanya di negeri orang.
Cahaya dalam Gelapnya Perjuangan
Salju pertama tahun ini turun dengan lembut di jalanan Istanbul. Butiran putih kecil menari di udara sebelum akhirnya menyentuh tanah, menciptakan hamparan putih yang indah di sepanjang trotoar dan atap-atap bangunan tua. Namun, keindahan itu tak banyak berarti bagi Azzahra malam ini.
Di dalam kamar asrama yang remang, ia duduk di depan meja belajar dengan wajah penuh tekanan. Hasil ujian pertamanya sudah keluar, dan nilai yang tertera di layar laptopnya membuat hatinya mencelos.
Bukan nilai yang buruk, tetapi juga jauh dari yang ia harapkan.
“Aku sudah belajar keras… Kenapa masih belum cukup?” gumamnya, matanya terasa panas.
Amina, yang baru masuk ke kamar, langsung menyadari ada sesuatu yang salah. “Zahra, kamu kenapa?”
Azzahra menghela napas panjang, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Nilai ujian aku… Nggak sebaik yang aku harapkan.”
Amina menatapnya dengan lembut, lalu duduk di sampingnya. “Zahra, ini baru ujian pertama. Kamu nggak boleh terlalu keras sama diri sendiri. Kita masih punya banyak kesempatan untuk belajar dan memperbaiki.”
“Tapi, aku takut gagal, Min…” suaranya bergetar. “Aku takut nggak bisa bertahan di sini.”
Amina menepuk pundaknya. “Dulu aku juga pernah merasa seperti itu. Tapi kamu tahu apa yang aku pelajari? Perjalanan menuntut ilmu itu nggak pernah mudah. Kalau mudah, semua orang pasti bisa melakukannya. Kamu hanya perlu terus maju, satu langkah dalam satu waktu.”
Kata-kata Amina mengingatkan Azzahra pada pesan ibunya semalam. Ia menarik napas dalam, berusaha meredakan ketegangan yang menyesakkan dadanya.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya bangkit. “Kamu benar, Min. Aku nggak boleh menyerah.”
Malam itu, Azzahra kembali mengambil wudhu dan menumpahkan segala kegelisahannya dalam doa. Dalam sujud panjangnya, ia meminta kekuatan agar bisa terus bertahan di jalan yang telah ia pilih.
Hari-hari berlalu, dan Azzahra mulai membangun kebiasaan baru. Ia lebih sering berdiskusi dengan teman-temannya, mencatat ulang materi dengan lebih rapi, dan melatih kemampuannya berbicara dalam bahasa Turki dengan lebih percaya diri.
Namun, tantangan lain datang tanpa diduga.
Suatu hari, ia menerima email dari kampus yang mengabarkan bahwa salah satu kelasnya akan mengadakan presentasi dalam bahasa Turki di depan para dosen dan mahasiswa lainnya.
Tangan Azzahra gemetar saat membaca email itu. “Ya Allah… Aku bahkan belum lancar berbicara, bagaimana mungkin aku bisa presentasi?”
Layla, yang duduk di sebelahnya di kantin, ikut membaca email tersebut. “Ini memang sulit, tapi kita bisa latihan bersama.”
Azzahra mengangguk lemah. Malam itu, ia dan Layla berlatih berulang kali di kamar asrama. Ia membaca teksnya dengan gugup, lidahnya masih terasa kaku saat mengucapkan beberapa kata.
Namun, ia tetap berusaha.
Pada hari presentasi, ia berdiri di depan kelas dengan tangan gemetar. Matanya menatap sekeliling, melihat dosen dan teman-temannya yang menunggu.
Ia menarik napas dalam-dalam. Aku sudah berlatih. Aku sudah berusaha. Sekarang aku hanya perlu melangkah.
Dengan suara yang masih sedikit bergetar, ia mulai berbicara. Kalimat-kalimatnya terangkai perlahan, dan meskipun ada beberapa kesalahan, ia tetap melanjutkan tanpa ragu.
Ketika presentasi berakhir, kelas hening sejenak sebelum akhirnya terdengar tepuk tangan kecil dari sudut ruangan. Salah satu dosen tersenyum dan berkata dalam bahasa Turki, “Bagus sekali, Azzahra. Kamu masih perlu banyak latihan, tapi kamu sudah sangat berani. Teruslah belajar.”
Azzahra merasa dadanya menghangat. Itu mungkin bukan pujian terbesar, tapi bagi seseorang yang pernah takut untuk berbicara, itu adalah sebuah pencapaian besar.
Malam itu, ia menatap langit Istanbul yang dipenuhi cahaya bintang. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Masih banyak rintangan yang menunggu, tetapi kini ia lebih percaya diri untuk menghadapinya.
Kepulangan yang Mengajarkan Makna
Waktu berlalu begitu cepat. Seakan baru kemarin Azzahra menjejakkan kaki di tanah Istanbul, memulai perjalanan panjangnya menuntut ilmu. Kini, setelah tiga tahun penuh perjuangan, ia berdiri di depan cermin mengenakan toga hitam dengan syal hijau muda yang melambangkan fakultasnya.
“Aku benar-benar berhasil…” bisiknya lirih.
Tangannya merapikan hijab dengan hati-hati. Rasa syukur membuncah dalam dadanya. Semua rintangan, kesulitan bahasa, tugas-tugas yang menumpuk, dan ujian berat akhirnya membawanya ke titik ini.
Di luar aula, Amina, Layla, dan teman-temannya sudah berkumpul. Mereka saling berpelukan, tertawa, dan mengabadikan momen dengan ponsel masing-masing.
“Kita berhasil, Zahra!” seru Layla, matanya berbinar-binar.
Azzahra tersenyum lebar. “Alhamdulillah. Perjalanan kita luar biasa, ya?”
Amina menepuk pundaknya. “Luar biasa. Dan ini baru permulaan.”
Beberapa minggu setelah wisuda, Azzahra kembali ke Indonesia.
Ia berdiri di pintu kedatangan bandara, matanya mencari sosok yang paling dirindukannya. Dan di sana, berdiri ibunya dengan air mata yang menggenang di pelupuk.
“Zahra…”
Tanpa pikir panjang, Azzahra berlari dan memeluk ibunya erat. Harumnya masih sama—wangi yang selalu membuat hatinya tenang.
“Umi, aku pulang…” bisiknya, suaranya tercekat.
“Alhamdulillah, nak. Umi bangga sekali sama kamu.”
Ayah dan adik-adiknya juga menyambutnya dengan senyum hangat. Dalam perjalanan pulang, Azzahra tak henti-hentinya menceritakan pengalaman-pengalamannya.
Namun, satu hal yang belum ia ceritakan.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga, ibunya duduk di sampingnya di ruang tamu. “Zahra, kamu sudah punya rencana?”
Azzahra menarik napas. “Aku ingin mengajar, Mi. Aku ingin berbagi ilmu dengan orang lain, terutama untuk muslimah di Indonesia.”
Ibunya tersenyum penuh kebanggaan. “Kamu tahu, itu cita-cita yang sangat mulia. Tapi yang lebih penting, kamu harus selalu ingat satu hal.”
“Apa itu, Mi?”
“Jangan biarkan ilmu menjauhkanmu dari Allah. Ilmu harusnya mendekatkan kita pada-Nya.”
Kata-kata itu terpatri dalam benaknya.
Hari-hari berlalu, dan Azzahra mulai mengajar di sebuah sekolah dan aktif dalam komunitas pendidikan bagi perempuan muslimah.
Ia berdiri di depan kelas, memandang wajah-wajah penuh semangat di hadapannya.
“Dulu, aku juga pernah merasa takut, merasa nggak mampu. Tapi aku belajar satu hal: kalau kita berpegang teguh pada niat yang baik dan tetap berusaha, insyaAllah selalu ada jalan.”
Para siswi tersenyum, matanya berbinar mendengar kisahnya.
Saat itulah Azzahra menyadari bahwa perjalanannya belum selesai. Ia mungkin sudah kembali ke tanah air, tapi perjuangannya menuntut ilmu dan menyebarkannya akan terus berlanjut.
Dan ia siap menghadapinya, selangkah demi selangkah.
Jadi, udah lihat kan? Menuntut ilmu ke luar negeri bukan cuma soal keliling dunia atau gaya-gayaan, tapi juga tentang perjuangan, keteguhan iman, dan gimana kita bisa bawa pulang ilmu buat kemaslahatan banyak orang.
Azzahra berhasil melewati semuanya—tapi ini bukan akhir, karena perjalanan menebar manfaatnya baru aja dimulai. Siapa tahu, besok giliran kamu yang jadi inspirasi buat banyak orang?


