Daftar Isi
Pernah nggak sih kepikiran kalau satu perempuan bisa ngubah satu desa? Nggak pake tongkat sihir, nggak pake keajaiban, cuma modal tekad, keberanian, dan… buku!
Ini cerita tentang Zafira, seorang muslimah luar biasa yang nekat melawan stigma, dihina, diancam, bahkan tempat belajarnya dihancurkan! Tapi dia? Masih berdiri, masih berjuang, dan akhirnya… dia yang menang! Penasaran gimana caranya? Baca sampai habis, janji nggak bakal nyesel!
Zafira
Cahaya di Ujung Jalan
Di sebuah desa kecil bernama Nurul Fajar, sore itu matahari meredup perlahan. Hembusan angin membawa aroma tanah basah, tanda hujan baru saja turun. Di ujung jalan setapak, seorang perempuan berdiri menatap bangunan tua yang sudah lama kosong. Catnya mengelupas, pintunya reyot, dan jendelanya penuh debu. Tapi di mata Zafira, tempat itu bukan sekadar bangunan tak terpakai. Itu adalah harapan.
“Seriusan kamu mau pakai tempat ini, Zafira?” tanya Ilham, pemuda yang sejak tadi mengawasi gerak-geriknya. “Bukannya ini bekas gudang beras yang udah hampir roboh?”
Zafira mengangguk, menyentuh kusen pintu dengan hati-hati. “Iya. Tapi ini masih bisa dipakai. Aku bakal bersihin, perbaiki semampuku, dan mulai ngajarin perempuan-perempuan di desa buat belajar.”
Ilham terkekeh pelan, menatap atap bangunan yang bolong di beberapa bagian. “Gimana kalau pas lagi belajar tiba-tiba atapnya jatuh? Udah gitu, yakin perempuan-perempuan di sini bakal datang? Mereka aja kalau diajak ngomongin sekolah pasti langsung kabur.”
Zafira menoleh, matanya penuh keyakinan. “Mereka kabur bukan karena nggak mau belajar, Ilham. Mereka cuma belum terbiasa berpikir kalau mereka juga berhak buat dapat ilmu.”
Ilham menghela napas, menyadari bahwa perempuan ini memang tidak mudah digoyahkan. Zafira bukan tipe yang hanya berbicara tanpa tindakan. Sejak kecil, ia selalu berbeda dari kebanyakan perempuan di desa. Saat anak-anak perempuan lain bermain masak-masakan, Zafira lebih suka membaca buku-buku ayahnya yang bertumpuk di lemari kayu tua. Dan kini, ia kembali ke desa dengan misi besar.
Beberapa hari kemudian, Zafira mulai membersihkan bangunan itu seorang diri. Ia menyapu lantai yang penuh debu, menambal lubang di dinding dengan papan seadanya, dan membawa beberapa kursi kayu dari rumahnya. Namun, pekerjaan itu tak luput dari perhatian warga desa.
“Kenapa sih dia repot-repot?” gumam seorang ibu-ibu di pasar. “Udah enak sekolah tinggi, tinggal di kota, tapi malah balik ke sini buat urusan yang nggak penting.”
“Perempuan itu seharusnya nggak usah macam-macam,” timpal yang lain. “Lihat aja, dia pasti nyerah sendiri.”
Namun, omongan itu tidak membuat langkah Zafira goyah. Setiap sore, ia datang ke bangunan itu, merapikan apa yang bisa dirapikan, dan mengatur meja kursi ala kadarnya. Hingga suatu sore, seorang gadis kecil berdiri ragu di depan pintu.
“Kamu mau belajar?” tanya Zafira, tersenyum.
Gadis kecil itu, yang ternyata bernama Laila, menggigit bibirnya. “Aku… nggak bisa baca.”
“Kalau gitu, kamu datang ke tempat yang tepat.” Zafira menarik satu kursi kayu, menepuk permukaannya. “Duduk sini. Kita mulai dari yang paling dasar.”
Laila masih ragu, tapi perlahan ia melangkah masuk. Sore itu, suara lirih Laila mengucapkan huruf demi huruf menjadi awal dari perubahan yang lebih besar.
Tapi perjuangan Zafira tidak berjalan mulus. Malamnya, ketika ia pulang, dua orang tetua desa datang ke rumahnya.
“Kami dengar kamu bikin tempat belajar buat perempuan di desa ini,” ujar Pak Umar, salah satu yang dituakan.
“Iya, Pak,” jawab Zafira sopan.
Pak Umar menatapnya tajam. “Dengar ya, Zafira. Di desa ini, perempuan nggak perlu macam-macam. Cukup tahu urusan rumah tangga. Nggak usah ikut-ikutan mikirin sekolah tinggi.”
Zafira menggenggam tangannya di bawah meja. “Tapi, Pak… Islam sendiri ngajarin kalau menuntut ilmu itu kewajiban, baik laki-laki maupun perempuan.”
Pak Umar mendengus. “Jangan pakai dalil buat menentang kebiasaan di desa ini.”
Suasana menjadi tegang. Namun, sebelum Pak Umar bisa bicara lebih jauh, ayah Zafira, Pak Rahmat, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara.
“Ilmu nggak pernah salah, Umar,” katanya tenang. “Yang salah itu kalau kita melarang orang buat belajar.”
Pak Umar menatap tajam, lalu berdiri. “Terserah kalian. Tapi jangan salahkan kami kalau nanti perempuan-perempuan di desa ini jadi nggak tahu batasnya.”
Begitu mereka pergi, Zafira menarik napas panjang. Ia tahu, ini baru permulaan. Masih banyak tantangan yang menunggunya. Tapi ia tidak akan mundur. Karena di matanya, cahaya perubahan sudah mulai menyala, meski baru sekecil lilin di tengah kegelapan.
Dan ia bersumpah, cahaya itu akan terus menyala.
Melawan Arus Tradisi
Sejak malam itu, desas-desus tentang Zafira menyebar semakin luas di desa Nurul Fajar. Ada yang menganggapnya keras kepala, ada yang mulai resah, dan ada pula yang diam-diam mengaguminya. Tapi yang jelas, ia tidak lagi hanya sekadar “anak perempuan Pak Rahmat”—ia kini menjadi sorotan utama.
Namun, Zafira tak punya waktu untuk memikirkan omongan orang. Ia tetap datang setiap hari ke rumah belajarnya, kini sudah ada lima anak perempuan yang rutin datang, termasuk Laila. Mereka masih belajar dengan buku-buku bekas yang ia bawa dari kota, tapi semangat mereka membuat Zafira yakin bahwa ini adalah langkah yang benar.
Namun, semakin terang cahayanya, semakin besar pula bayangan yang mengintai.
Suatu siang, ketika Zafira baru saja mengatur meja kursi, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki bergegas. Seorang bocah laki-laki berlari terengah-engah ke arahnya.
“Kak Zafira! Laila dipukuli bapaknya!”
Zafira tertegun. Jantungnya mencelos. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju rumah Laila.
Di depan rumah kecil yang sudah tua itu, seorang pria bertubuh kekar berdiri dengan wajah merah padam. Di hadapannya, Laila menangis tersedu, memegangi lengannya yang memar.
“Apa yang kamu lakukan ke anakmu?” Zafira bertanya, suaranya berusaha tetap tenang meski hatinya terbakar amarah.
Pria itu, Pak Hasan, mendelik. “Kamu tanya aku? Aku ini bapaknya! Aku yang atur dia!”
“Tapi kenapa harus dipukul?”
“Karena dia ikut-ikutan kamu! Aku udah bilang, perempuan nggak perlu sekolah!” bentaknya. “Kamu ini, Zafira, bawa pengaruh buruk ke desa ini! Perempuan di sini harusnya di rumah, bukan belajar baca-tulis yang nggak ada gunanya!”
Zafira mengepalkan tangannya. “Pak Hasan, Laila masih kecil. Dia berhak belajar, sama seperti anak-anak lain. Kalau dia bisa baca, bisa nulis, nanti dia bisa punya masa depan yang lebih baik.”
Pak Hasan mendengus. “Masa depan macam apa? Perempuan itu ujung-ujungnya tetap di dapur!”
Zafira menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. “Kalau memang perempuan nggak perlu sekolah, kenapa Rasulullah SAW sendiri mendukung pendidikan perempuan? Kenapa istri-istrinya, seperti Aisyah, adalah wanita yang paling cerdas?”
Pak Hasan terdiam. Mulutnya terbuka seakan ingin membantah, tapi tak ada kata yang keluar.
Sementara itu, beberapa warga desa mulai berkumpul, tertarik dengan keributan itu. Mereka saling berbisik, sebagian tampak ragu, tapi ada juga yang mengangguk pelan mendengar kata-kata Zafira.
Seorang ibu muda yang berdiri di antara kerumunan akhirnya angkat suara. “Anakku juga nggak bisa baca. Kalau belajar di tempat Zafira, dia bisa pintar seperti anak kota, kan?”
Pak Hasan menatap tajam ke arah ibu itu, tapi semakin banyak warga yang mulai bergumam.
“Selama ini aku cuma bisa tanda tangan pakai cap jempol,” kata seorang bapak tua. “Kalau anak perempuanku bisa baca, nanti dia nggak perlu malu kayak aku.”
Pak Hasan mendecakkan lidah, wajahnya merah padam. Ia tahu, posisinya semakin terpojok.
Dengan dengusan kesal, ia menarik Laila ke dalam rumah dan membanting pintu. Tapi Zafira tahu, ini bukan akhir. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Hari demi hari berlalu, dan perlahan, semakin banyak perempuan yang datang ke rumah belajar Zafira. Bukan hanya anak-anak, tapi juga beberapa ibu-ibu muda yang penasaran. Mereka datang diam-diam, takut suami mereka marah, tapi tetap datang.
Namun, setiap kemajuan selalu menghadapi rintangan. Suatu sore, ketika Zafira baru saja menyelesaikan pelajaran, seorang anak laki-laki berlari menghampirinya dengan wajah panik.
“Kak Zafira! Rumah belajarnya… dihancurin orang!”
Zafira terkejut. Ia berlari secepat mungkin ke arah bangunan itu.
Sesampainya di sana, ia mendapati pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak. Meja-meja terbalik, buku-buku berserakan, dan papan tulis yang selama ini ia gunakan sudah pecah berantakan.
Di sudut ruangan, Laila berdiri gemetar, menatap dengan mata berkaca-kaca. “Mereka datang malam tadi, Kak…”
Zafira mengepalkan tangan, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Ia menatap reruntuhan kecil di hadapannya. Tapi ia tidak akan menyerah.
Karena cahaya perjuangan ini tidak boleh padam.
Bara yang Tak Padam
Pagi itu, desa Nurul Fajar gempar. Rumah belajar Zafira hancur. Semua orang tahu, tapi tak ada yang berani bicara siapa pelakunya.
Zafira berdiri di tengah reruntuhan itu, tangannya gemetar. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, ini bukan sekadar perusakan biasa. Ini peringatan.
Tapi siapa pun yang melakukannya, mereka salah besar jika mengira ia akan menyerah.
Laila, yang berdiri di sampingnya, menggigit bibirnya dengan wajah marah. “Kita harus lapor ke Pak Kepala Desa, Kak.”
Zafira menggeleng pelan. “Belum tentu ada yang mau membela kita.”
Laila mengepalkan tangan. “Tapi ini nggak adil! Kamu cuma mau ngajarin kami, tapi mereka malah—”
Zafira menatap anak itu. “Laila, perubahan selalu butuh pengorbanan. Kalau kita mau berjuang, kita harus siap menghadapi tantangan.”
Laila terdiam, tapi matanya bersinar penuh tekad.
Sore itu, Zafira pergi menemui satu-satunya orang yang bisa membantunya.
Pak Rahmat, ayahnya.
Di teras rumah, lelaki tua itu duduk dengan tatapan tajam. “Jadi, kamu masih belum kapok?”
Zafira berdiri tegak. “Bukan kapok atau nggak, Ayah. Ini soal kebenaran.”
Pak Rahmat menghela napas. “Zafira, kamu tahu sendiri, orang-orang di desa ini masih belum bisa menerima cara berpikirmu.”
“Ayah,” Zafira menatap ayahnya dalam-dalam. “Kalau bukan kita yang memulai perubahan, siapa lagi? Kalau aku menyerah, anak-anak perempuan di desa ini akan terus hidup tanpa harapan. Dan aku nggak mau itu terjadi.”
Pak Rahmat diam lama. Lalu, ia berkata pelan, “Apa kamu tahu siapa yang merusak rumah belajarmu?”
Zafira menelan ludah. “Aku nggak tahu pasti, tapi aku punya dugaan.”
Pak Rahmat menghela napas berat. “Hati-hati, Nak. Orang yang tersudut bisa melakukan apa saja.”
Zafira tersenyum kecil. “Aku tahu, Yah. Tapi aku nggak akan mundur.”
Malam itu, Zafira duduk di halaman rumahnya, menatap bintang-bintang di langit. Ia memikirkan langkah selanjutnya.
Ia tak bisa hanya diam. Rumah belajar memang sudah hancur, tapi bukan berarti perjuangannya selesai.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki mendekat.
“Kak Zafira.”
Zafira menoleh dan melihat Laila berdiri di sana, diikuti oleh empat gadis lainnya.
“Kami nggak mau berhenti belajar, Kak,” kata salah satu dari mereka.
Zafira tersenyum. “Kita nggak akan berhenti.”
“Tapi rumah belajarnya sudah hancur…”
Zafira bangkit berdiri. “Kalau satu tempat dihancurkan, kita buat tempat lain. Kalau mereka merusak bangunan, kita belajar di tempat yang nggak bisa mereka sentuh.”
Mereka saling berpandangan. “Di mana?”
Zafira menatap ke atas.
“Di masjid.”
Keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, Zafira dan gadis-gadis itu duduk di serambi masjid. Dengan cahaya lilin, mereka membaca dan menulis di atas kertas yang tersisa.
Tak ada meja, tak ada kursi, hanya tikar lusuh dan semangat yang tak padam.
Hari-hari berlalu, dan pelan-pelan, semakin banyak gadis yang datang. Beberapa ibu-ibu mulai bergabung, membawa anak-anak mereka.
Namun, tak semua orang senang melihat ini.
Suatu malam, ketika Zafira baru saja selesai mengajar, ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan masjid.
Pak Hasan.
Pria itu menatapnya tajam. “Jadi sekarang kamu ngajarin mereka di masjid?”
Zafira tak mundur. “Bukankah masjid tempat mencari ilmu?”
Pak Hasan mendengus. “Jangan pakai dalil untuk membenarkan kelakuanmu.”
“Bukan aku yang membenarkan, Pak Hasan. Rasulullah yang mengajarkan.”
Pria itu terdiam. Sorot matanya penuh amarah, tapi ia tak bisa membantah.
Zafira tahu, ini belum selesai.
Perjuangan masih panjang.
Cahaya yang Tak Padam
Pagi itu, Zafira berjalan melewati jalanan desa dengan kepala tegak. Warga yang dulu memandangnya dengan curiga kini mulai menatapnya dengan hormat, meskipun masih ada beberapa yang enggan menerima kehadirannya.
Di serambi masjid, belasan gadis sudah duduk melingkar, buku-buku lusuh di tangan mereka. Mereka belajar dalam diam, penuh semangat, seakan tak ada yang bisa menghentikan mereka.
Namun, Zafira tahu, musuhnya belum menyerah.
Malamnya, ketika semua orang sudah tidur, Zafira mendengar suara gaduh dari luar.
Begitu ia keluar rumah, matanya membelalak.
Masjid.
Seseorang telah melempari bagian depan dengan batu dan cat merah. Di dinding, coretan kasar terlihat jelas:
“Perempuan bukan pemimpin!”
Hatinya mencelos. Namun, ia menenangkan diri. Ia sudah menduga ini akan terjadi.
Dari belakang, suara Pak Rahmat terdengar, “Mereka makin berani.”
Zafira menoleh. “Aku juga.”
Keesokan harinya, Zafira berdiri di depan warga desa. Kali ini, ia tak bersembunyi. Ia menatap mereka satu per satu.
“Aku tahu ada di antara kalian yang masih menganggap aku ini pembangkang,” suaranya tegas. “Tapi satu hal yang pasti, aku bukan musuh kalian. Aku hanya ingin anak-anak perempuan kita bisa membaca, menulis, dan memahami hidup lebih baik.”
Beberapa orang berbisik, tapi tak ada yang berani menyanggah.
Pak Hasan maju, suaranya masih sarat dengan amarah. “Kamu pikir perempuan butuh sekolah? Tugas mereka itu di rumah, bukan sibuk belajar ini-itu!”
Zafira tersenyum tipis. “Kalau perempuan butuh ilmu untuk mendidik anak-anaknya, apakah mereka tidak berhak belajar?”
Pak Hasan terdiam.
Pak Rahmat maju. “Sudahlah, Hasan. Kau tahu dia benar.”
Suasana hening.
Kemudian, seorang ibu berdiri. “Anakku ikut belajar sama Zafira. Sekarang dia bisa baca Quran sendiri. Aku bangga padanya.”
Lalu, seorang lelaki muda ikut berbicara. “Adikku sekarang bisa berhitung. Dia bantu ibuku di warung.”
Satu per satu, warga mulai bersuara.
Pak Hasan menggertakkan giginya, tapi ia tahu, ia kalah.
Hari demi hari berlalu, dan pelan-pelan, rumah belajar baru berdiri di tanah kosong dekat masjid.
Tak ada lagi ancaman.
Tak ada lagi lemparan batu.
Yang tersisa hanyalah suara anak-anak yang belajar dengan semangat, tanpa rasa takut.
Dan di tengah mereka, Zafira berdiri tegak.
Cahayanya tak pernah padam.
Jadi, siapa bilang perempuan nggak bisa bikin perubahan? Zafira udah buktiin kalau satu tekad kuat bisa ngalahin seribu rintangan. Ilmu nggak kenal batasan, nggak peduli gender, umur, atau tempat. Selama masih ada orang yang mau belajar, selama masih ada orang yang mau berjuang, cahaya itu nggak akan pernah padam. Dan hei, kalau Zafira bisa, kenapa kita nggak?


