Musim Berburu Sudah Dimulai: Kengerian di Hutan Malam

Posted on

Musim berburu udah dimulai. Tapi tunggu dulu… siapa yang sebenernya jadi pemburu di sini? Felbran dan timnya masuk ke hutan buat berburu, tapi yang mereka temuin bukan cuma mangsa biasa.

Ada sesuatu di dalam gelap, sesuatu yang lebih cepat, lebih kuat… dan mereka mungkin aja bukan predator di permainan ini. Siap-siap ngerasain ketegangan yang bakal bikin jantung deg-degan!

 

Musim Berburu Sudah Dimulai

Jejak di Tanah Berlumpur

Kabut masih menggantung di atas tanah saat sekelompok pria berjalan perlahan ke dalam hutan Arverne. Udara dingin menggigit kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk yang menguar dari permukaan lembah. Burung-burung yang biasanya berkicau di pagi buta justru memilih diam, seakan takut membangunkan sesuatu yang tertidur di dalam gelapnya pepohonan.

Di depan rombongan, seorang pria tua bernama Renquald berhenti di atas tanah yang lembab. Tangannya yang kasar mengusap janggut putihnya sebelum berlutut, memperhatikan sesuatu yang terbenam di dalam lumpur. Jejak kaki. Besar, lebih besar dari jejak serigala yang pernah ia lihat sebelumnya.

“Lihat ini,” gumamnya. Suaranya dalam, berat, terdengar lebih seperti peringatan daripada ajakan bicara.

Felbran, pemuda paling muda di antara mereka, melangkah mendekat. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Cuma jejak binatang, kan?” Nada suaranya santai, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Renquald tidak langsung menjawab. Ia menelusuri jejak itu dengan jari-jarinya, merasakan cekungan dan kedalamannya. Lalu, dengan suara rendah, ia berkata, “Kalau ini jejak binatang, maka kita bukan pemburu pertama yang melihatnya.”

Beberapa pemburu lain mulai berdengung, saling bertukar pandang dengan cemas. Namun, Felbran tertawa kecil dan berdiri tegak. “Kamu ini terlalu banyak dengar cerita lama, Renquald.”

Pria tua itu mendongak, menatap Felbran dengan sorot yang sulit ditebak. “Aku berburu di hutan ini sebelum kamu lahir, Nak. Dan kalau kamu pintar, kamu bakal lebih banyak mendengar dan lebih sedikit bicara.”

Felbran hanya mengangkat bahu dan melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Yang lain mengikutinya, meskipun beberapa dari mereka mulai menggenggam erat gagang pisau atau memperbaiki posisi senapan di punggung mereka.

Langkah kaki mereka meredam di atas tanah basah. Seiring mereka berjalan semakin dalam, hutan terasa semakin… sepi. Bukan hanya tidak ada burung, tapi juga tidak ada suara ranting patah, tidak ada hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan.

Sunyi.

Seorang pemburu bernama Ghallen berhenti dan mengusap tengkuknya. “Aku nggak suka ini,” gumamnya.

Felbran menoleh. “Apa? Takut?”

Ghallen tidak menjawab. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seakan mencari sesuatu yang tak terlihat. Ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma… ngerasa hutan ini aneh. Biasanya ada suara burung hantu, jangkrik, atau apa pun. Sekarang malah…”

“Hening,” sela Renquald. “Itu artinya mereka tahu ada sesuatu di sini yang nggak boleh dibangunkan.”

Semua terdiam.

Lalu, suara gemerisik terdengar.

Ghallen dengan cepat mengangkat senapannya, menajamkan pandangannya ke semak-semak. Yang lain pun ikut siaga, jantung mereka berdegup lebih cepat. Felbran menghunus pisaunya, mengamati pergerakan samar di balik pepohonan.

“Jangan tembak dulu,” bisik Renquald.

Perlahan, Felbran mendekati semak-semak itu. Tangannya yang kokoh mengangkat belukar yang menghalangi pandangan—dan yang ia temukan membuat bulu kuduknya meremang.

Seekor rusa terkapar di tanah, tubuhnya sobek dari leher hingga perut. Isi perutnya berceceran, dan yang lebih mengerikan, matanya masih terbuka—membeku dalam ekspresi ketakutan yang mendalam.

Tapi yang membuat para pemburu mundur bukanlah kondisi rusa itu.

Di atas tubuhnya, di tanah yang berlumpur, ada jejak kaki yang sama seperti yang Renquald lihat sebelumnya.

Namun kali ini, jejak itu basah.

Dan darahnya masih segar.

 

Hutan yang Menahan Napas

Felbran masih berdiri membeku, matanya terpaku pada jejak kaki yang bercampur darah. Napasnya memburu, bukan karena takut, tapi karena rasa penasaran yang bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—naluri bahwa ada sesuatu di sini yang tidak boleh mereka ganggu.

Renquald melangkah mendekat, wajahnya tetap tenang meskipun matanya penuh perhitungan. Ia merunduk, meraba jejak itu dengan jemarinya. Darahnya masih hangat.

“Makhluk ini masih dekat,” katanya, nyaris berbisik.

Ghallen mengencangkan genggaman pada senapannya. “Kalau masih dekat, kenapa kita nggak dengar apa pun?”

Tak ada yang menjawab.

Angin bertiup pelan, membawa bau logam yang lebih menyengat. Felbran mendongak, mencoba melihat lebih jauh ke dalam hutan, tapi yang ia lihat hanyalah pepohonan yang berdiri rapat, menciptakan dinding gelap yang seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya.

Lalu, lonceng kecil di leher salah satu anjing pemburu mulai bergetar pelan.

Semua orang membeku.

Anjing itu berdiri dengan bulu tengkuknya tegak, matanya menatap kosong ke dalam kegelapan. Rahangnya mengeluarkan geraman rendah, bukan sekadar peringatan, tapi seolah ingin menahan sesuatu agar tidak keluar dari tenggorokannya.

Tiba-tiba, anjing itu melolong keras.

Secepat kilat, Renquald menarik Felbran mundur. “Jangan bergerak!” bisiknya tajam.

Dari dalam hutan, suara gemerisik terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Lebih berat. Seakan ada sesuatu yang besar sedang bergerak mengelilingi mereka.

Ghallen mengangkat senapannya, mencari target. “Sial, ini bukan rusa,” desisnya.

Felbran menarik pisaunya lebih erat. Ia mencoba fokus, mencoba melihat apa pun yang bersembunyi di balik pepohonan. Tapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang bergerak cepat, lebih cepat dari apa pun yang seharusnya ada di hutan ini.

Lalu, sesuatu bergerak di atas mereka.

Daun-daun berguguran saat cabang-cabang pohon bergoyang liar. Para pemburu langsung mengangkat senjata, tapi tidak ada yang tahu harus menembak ke mana.

Renquald menggeram. “Lari.”

“Tapi—” Felbran membuka mulut, tapi kalimatnya terputus ketika suara itu datang.

Suara daging terkoyak.

Semua orang menoleh ke arah anjing pemburu.

Dan anjing itu sudah tidak ada lagi.

Tali yang tadi melingkar di lehernya terayun pelan, masih terikat di batang pohon kecil. Ujungnya putus, seakan sesuatu telah menariknya dengan paksa.

Darah segar berceceran di tanah.

Felbran merasakan dadanya naik turun lebih cepat. Ia menelan ludah, lalu menoleh ke arah yang lain. “Apa yang barusan—”

“Tutup mulutmu dan lari,” Renquald mendesis, suaranya terdengar lebih seperti perintah daripada saran.

Tak ada yang bertanya lagi.

Mereka berlari.

Tanah lembab di bawah kaki mereka berceceran lumpur dan darah. Napas mereka memburu, tapi tidak ada yang cukup bodoh untuk menoleh ke belakang. Suara ranting patah terdengar di belakang mereka—bukan suara kaki manusia, tapi lebih berat. Lebih cepat.

Felbran menggigit bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak melambat. Ia tahu satu hal yang selalu ditekankan dalam berburu: jangan jadi yang paling lambat.

Tapi kemudian, di antara suara langkah kaki mereka yang memburu, sesuatu berubah.

Hutan yang tadinya gelap menjadi lebih gelap.

Bukan karena matahari tenggelam, tapi karena sesuatu menutupi cahaya.

Felbran mendongak—dan jantungnya nyaris berhenti.

Di atas mereka, di antara cabang-cabang pohon yang menjulang tinggi, sesuatu bergerak. Besar. Cepat. Nafasnya berat, menggetarkan udara.

Dan matanya…

Sepasang mata merah menyala menatap langsung ke arah mereka.

 

Mata Merah di Kegelapan

Udara mendadak membeku. Felbran tidak bisa bergerak. Kakinya terasa seolah tertanam di tanah berlumpur, jantungnya berdebar kencang, berdentam seperti genderang perang di dalam dadanya.

Sepasang mata merah itu tidak berkedip.

Ghallen yang berlari di depan tiba-tiba berhenti. Ia menarik napas kasar, tangannya gemetar saat mengangkat senapan. “Renquald… apa yang kita hadapi?” suaranya lebih serak dari biasanya.

Renquald tidak menjawab.

Ia tidak punya jawaban.

Makhluk itu masih bersembunyi di atas pohon, bergerak tanpa suara, menunggu. Felbran tidak tahu apakah itu bagian dari strategi berburu atau hanya permainan bagi makhluk tersebut.

Lalu, ranting di atas kepala mereka patah.

Sesuatu jatuh dari atas.

Tubuh anjing pemburu yang tadi menghilang terhempas ke tanah. Hancur.

Felbran mundur selangkah. Bukan karena jijik, tapi karena ia sadar sesuatu—anjing itu sudah tidak memiliki kepala.

“Lari,” Renquald berbisik sekali lagi, tapi kali ini suaranya tidak mengandung perintah.

Hanya ketakutan.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, makhluk itu turun dari ketinggian.

Bayangannya melesat, lebih cepat dari yang bisa diantisipasi mata manusia. Felbran hanya bisa melihat sekilas—cakar panjang berkilat di bawah rembulan, tubuhnya besar, tapi lincah seperti predator malam yang lahir untuk berburu.

Dan itu memang sedang berburu.

Ghallen mengangkat senapannya dan menembak tanpa ragu.

Peluru pertama meledak di udara.

Felbran menahan napas, berharap makhluk itu tumbang, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Makhluk itu bergerak terlalu cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah berpindah tempat, meninggalkan bayangan buram di antara pohon-pohon.

“Tembak lagi!” Ghallen berteriak.

Renquald mengangkat senapannya, menarik pelatuknya dengan keyakinan penuh.

DOR!

Peluru kedua ditembakkan.

Kali ini peluru itu mengenai sesuatu.

Makhluk itu terdorong mundur beberapa langkah, terdengar erangan rendah—bukan pekikan kesakitan, melainkan suara geraman marah.

Felbran bisa melihatnya lebih jelas sekarang.

Tinggi. Besar. Lebih besar dari manusia mana pun.

Bulunya hitam pekat, menyatu dengan kegelapan malam. Cakar di kedua tangannya panjang dan tajam, meneteskan sesuatu yang tidak bisa dipastikan apakah itu darah atau bisa.

Dan wajahnya…

Felbran ingin percaya bahwa itu binatang.

Tapi terlalu banyak hal yang membuatnya ragu.

Mulutnya penuh dengan taring, memanjang seperti serigala, tapi matanya…

Matanya adalah mata yang memahami.

Mata yang sadar.

Makhluk itu menoleh ke arah Renquald yang masih menodongkan senapan.

Ia mengeluarkan suara… hampir seperti tawa.

Dan sebelum ada yang bisa bereaksi, ia melompat.

Renquald tidak sempat menghindar.

Makhluk itu menerjangnya dengan kekuatan yang tidak wajar. Senapan Renquald terlempar, tubuhnya terhuyung, dan dalam sekejap—

CRACK!

Suara tulang yang patah terdengar begitu jelas.

Renquald terhempas ke tanah. Ia tidak berteriak. Tidak bergerak.

Felbran tidak bisa berpikir.

Ghallen berteriak marah, menembak lagi dan lagi, tapi makhluk itu sudah tidak berada di tempat yang sama.

Ia sudah lenyap di antara bayangan pepohonan, menghilang seperti kabut.

Tapi semua orang tahu—ia masih di sana.

Masih mengintai.

Felbran merangkak ke arah Renquald yang tergeletak tak bergerak. Tangannya gemetar saat menyentuh pundaknya.

“Renquald?”

Tak ada jawaban.

Tapi napasnya masih ada. Lemah.

Ghallen menggertakkan giginya. “Kita harus keluar dari hutan ini. Sekarang.”

Felbran menoleh ke sekeliling. Hutan terasa lebih sunyi dari sebelumnya, seakan semua makhluk lain tahu apa yang sedang berburu malam ini dan memilih untuk diam.

Ia tahu mereka tidak bisa kabur begitu saja.

Makhluk itu belum selesai berburu.

Dan mereka masih mangsanya.

 

Pemburu yang Diburu

Langit malam semakin gelap. Bulan tertutup awan, meninggalkan bayangan hitam pekat yang menelan seluruh hutan. Felbran bisa merasakan keringat dingin membasahi punggungnya saat ia menatap Renquald yang masih terbaring di tanah, napasnya lemah.

Ghallen mengencangkan genggamannya pada senapan, rahangnya mengeras. “Kita harus angkat dia sekarang.”

Felbran tahu itu tidak akan mudah. Renquald tidak mungkin bisa berjalan sendiri, dan setiap detik yang terbuang hanya akan semakin memperburuk keadaan mereka.

Suara ranting yang patah menggema di kejauhan.

Felbran menoleh cepat.

Makhluk itu masih ada di sekitar mereka. Mengintai.

Ia dan Ghallen saling berpandangan, memahami satu hal yang sama—mereka tidak akan bisa lari.

Ghallen menaruh senapan di punggungnya, kemudian berjongkok untuk mengangkat Renquald ke pundaknya. “Kita cari tempat bertahan,” bisiknya. “Jalan ke luar hutan terlalu jauh.”

Felbran mengangguk.

Mereka bergerak secepat mungkin, menyusuri tanah lembap yang dipenuhi akar-akar pohon. Napas Ghallen berat, tapi ia tetap melangkah tanpa ragu.

Felbran menahan napas, matanya terus mencari bayangan di antara pepohonan.

Kemudian, terdengar suara geraman.

Dekat.

Terlalu dekat.

DOR!

Felbran reflek menembak ke arah suara. Tapi pelurunya hanya mengenai batang pohon.

Makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal, berputar di sekitar mereka, membuat kebingungan.

Tiba-tiba sesuatu melintas di sampingnya.

Felbran menoleh tepat waktu untuk melihat bayangan besar itu melompat dari dahan pohon, langsung ke arah mereka!

Ghallen berteriak dan mendorong Felbran ke samping.

Brakk!

Makhluk itu menghantam tanah tepat di tempat mereka berdiri.

Felbran terjatuh dengan keras, tubuhnya terasa nyeri saat menabrak akar pohon. Ia mencoba mengangkat senapan, tapi makhluk itu lebih cepat.

Dalam hitungan detik, Felbran terkesiap melihat cakar besar melayang ke arahnya—

DOR!

Sebuah tembakan meledak di udara.

Makhluk itu tersentak mundur.

Ghallen berdiri dengan senapan masih mengarah ke depan, dadanya naik-turun.

Tapi makhluk itu…

Ia masih hidup.

Tembakan itu hanya membuatnya semakin marah.

Felbran tahu mereka tidak akan menang dengan cara ini.

Lalu, tiba-tiba…

Renquald bergerak.

Felbran terkejut melihatnya bangkit perlahan, meski sekujur tubuhnya penuh luka. Tapi yang membuatnya lebih kaget adalah ekspresi Renquald.

Ia tidak takut.

Ia menatap makhluk itu dengan tatapan kosong… seperti seseorang yang baru saja mengerti sesuatu yang seharusnya tidak ia pahami.

Dan ia tersenyum tipis.

Felbran tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dalam sekejap, Renquald mengangkat tangan ke arah makhluk itu.

“…Sudah cukup,” bisiknya.

Felbran dan Ghallen membeku.

Makhluk itu… berhenti.

Geramannya mereda. Mata merahnya menatap Renquald, seolah memahami sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya.

Hening.

Kemudian, makhluk itu mundur selangkah.

Lalu dua langkah.

Tanpa peringatan, ia berbalik dan berlari ke dalam hutan, menghilang begitu saja di antara bayangan pepohonan.

Felbran tidak bisa berkata-kata.

Ghallen hanya berdiri diam, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Renquald tersenyum samar.

“Musim berburu sudah selesai,” katanya pelan.

Felbran menelan ludah.

Ia tidak tahu apa yang baru saja mereka hadapi.

Tapi satu hal yang pasti—mereka bukan pemburu malam ini.

Mereka hanya buruan yang dibiarkan hidup.

Untuk sementara.

 

Malam itu, mereka selamat… tapi bukan karena menang. Makhluk itu pergi bukan karena takut, tapi karena membiarkan mereka hidup. Untuk sekarang. Besok? Minggu depan? Atau saat musim berburu dimulai lagi? Siapa tahu. Satu hal yang pasti: mereka bukan lagi pemburu. Mereka cuma buruan yang menunggu giliran.

Leave a Reply