Kisah Inspiratif Raka: Dari Penjual Gorengan Menjadi Penerima Beasiswa

Posted on

Hallo, guys! Siapa sangka, dari seorang anak kecil yang jualan gorengan di pinggir jalan, bisa jadi sosok inspiratif yang bikin kita semua terharu? Yuk, simak cerita Raka yang menunjukkan bahwa perjuangan dan ketekunan pasti membuahkan hasil. Siap-siap baper, ya!

 

Kisah Inspiratif Raka

Hujan di Hari Kepergian Ayah

Langit kelabu sejak pagi, seolah sudah tahu akan ada duka yang datang. Hujan turun perlahan, membasahi tanah yang kini dipenuhi orang-orang berbaju hitam. Di halaman rumah kecil di ujung gang, sebuah keranda kayu diletakkan di tengah, dikelilingi pelayat yang datang dengan wajah muram.

Di sana, seorang bocah lelaki berdiri kaku. Bajunya sedikit kebesaran, celananya menggantung, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya kosong menatap tubuh yang terbujur kaku di hadapannya, dibalut kain putih yang menyisakan wajah pucat.

“Aku harus kuat,” bisik Raka dalam hati, meski suaranya hanya bergema di dalam dirinya sendiri.

Di sisi lain, seorang wanita menangis tersedu, tangannya bergetar meraih wajah lelaki yang kini tak lagi bisa berbicara. Itu ibunya. Ia sudah menangis sejak tadi, tapi air matanya belum juga habis.

“Kenapa secepat ini?” Suara ibunya lirih, nyaris tenggelam di antara suara rintik hujan. “Kamu janji mau lihat Raka lulus sekolah, kamu janji mau nemenin aku sampai tua…”

Tidak ada yang menjawab. Tidak akan pernah ada jawaban.

Beberapa kerabat mencoba menenangkan, tapi wanita itu tetap terduduk di tanah, menggenggam tangan suaminya yang mulai dingin. Raka melihat semua itu. Dadanya sesak, tapi tidak ada air mata yang keluar dari matanya.

“Raka,” seorang lelaki dewasa berjongkok di sampingnya. Itu pamannya, adik ayahnya. “Kalau mau nangis, nangis aja. Kamu nggak apa-apa, Nak.”

Raka hanya menggeleng. Ia tidak ingin menangis. Ia tidak ingin terlihat lemah. Jika ia menangis, ibunya pasti akan semakin hancur.

Paman itu menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengusap kepala bocah itu dengan lembut.

“Kamu anak yang kuat,” gumamnya pelan.

Tak lama, suara azan berkumandang dari masjid kecil di dekat rumah. Itu pertanda, waktu perpisahan semakin dekat. Orang-orang mulai bersiap, beberapa pria dewasa mengangkat keranda, sementara suara tangis kembali pecah dari ibunya.

“Jangan pergi…” wanita itu berbisik, meski semua orang tahu permintaannya tidak akan dikabulkan.

Langkah demi langkah membawa tubuh yang tak lagi bernyawa itu pergi dari rumah. Raka mengikuti di belakang, berjalan di antara kaki-kaki orang dewasa yang jauh lebih besar darinya.

Hujan turun semakin deras, membasahi tanah yang akan menjadi rumah terakhir bagi lelaki yang dulu setiap malam memeluknya sebelum tidur.

Raka menunduk, menatap kuburan yang perlahan tertutup tanah. Jemarinya mengepal lebih erat.

“Ayah,” katanya pelan, hampir tak terdengar. “Aku nggak akan nangis. Aku janji.”

Tapi entah kenapa, matanya mulai panas.

 

Langkah Kecil di Jalan yang Berat

Malam itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Hujan sudah reda, menyisakan suara tetesan air dari atap yang bocor. Lampu ruang tamu masih menyala, tapi tidak ada suara televisi, tidak ada suara gelak tawa, tidak ada suara ayah yang biasanya mengajak Raka bercanda sebelum tidur.

Di sudut ruangan, ibunya duduk dengan mata sembab. Pandangannya kosong menatap foto ayah yang kini diletakkan di atas meja kecil, diapit lilin yang menyala redup. Sejak mereka pulang dari pemakaman, wanita itu belum berbicara banyak. Hanya diam, seolah jiwanya tertinggal di liang lahat bersama suaminya.

Raka berdiri di ambang pintu, memandang ibunya yang tampak rapuh. Perlahan, ia melangkah mendekat.

“Ibu udah makan?” tanyanya pelan.

Wanita itu tidak langsung menjawab. Hanya suara nafasnya yang terdengar. Setelah beberapa detik, barulah ia menggeleng pelan.

“Kamu juga belum makan, kan?” lanjutnya dengan suara lemah.

Raka diam. Ia memang belum makan, tapi ia tidak merasa lapar. Rasanya seperti ada yang mengganjal di dadanya, membuat setiap suapan makanan terasa sia-sia.

“Ibu bikinin nasi goreng ya?” tawar ibunya tiba-tiba. Ia mencoba tersenyum, tapi hasilnya justru terlihat menyedihkan.

“Nggak usah, Bu. Aku nggak lapar,” jawab Raka.

Wanita itu menatap anaknya lama sebelum akhirnya menunduk dan menggigit bibirnya sendiri, seolah menahan sesuatu yang ingin keluar.

“Kita harus tetap makan, Raka,” katanya akhirnya. “Kita nggak boleh sakit.”

Raka tidak menjawab. Ia tahu ibunya berusaha kuat, sama seperti dirinya. Tapi, melihat ibunya seperti itu membuat hatinya semakin nyeri.

Malam semakin larut, tapi tidur tidak semudah biasanya. Raka berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar yang penuh noda air karena bocor. Biasanya, jika ia sulit tidur, ayahnya akan datang, duduk di tepi ranjang, dan mulai bercerita tentang masa kecilnya yang penuh petualangan.

Sekarang, tidak ada siapa-siapa.

Raka menarik selimut sampai ke dagu, matanya mulai panas lagi, tapi ia menahan air mata itu sekuat tenaga. Ia janji tidak akan menangis.

Hari-hari setelahnya tidak lebih mudah. Kehilangan satu orang di rumah membuat segalanya berubah. Tidak ada lagi yang berangkat kerja di pagi hari dan pulang membawa oleh-oleh kecil untuknya. Tidak ada lagi yang menenangkan ibunya ketika wanita itu mulai kelelahan menghadapi kehidupan.

Dan yang paling terasa—tidak ada lagi yang menjadi tulang punggung keluarga.

Ibunya mulai bekerja lebih keras. Setiap pagi, ia pergi ke rumah orang untuk mencuci pakaian, lalu pulang sore hari dengan wajah lelah. Sering kali tangannya memerah karena terlalu lama terendam air sabun, tapi ia tidak pernah mengeluh.

Raka melihat semua itu. Dan di dalam hatinya, ia mulai merasa bahwa ia juga harus melakukan sesuatu.

Maka, pada suatu siang setelah pulang sekolah, ia duduk di samping ibunya yang sedang merapikan tumpukan baju orang lain.

“Bu, aku bisa bantu cari uang.”

Wanita itu langsung menoleh, kaget. “Kamu ngomong apa?”

Raka menatap ibunya serius. “Aku bisa jualan, Bu. Atau bantu orang lain buat dapat uang. Biar Ibu nggak capek sendirian.”

Ibunya menghela napas panjang. “Kamu masih kecil, Nak. Tugas kamu sekolah, bukan cari uang.”

“Tapi aku bisa, Bu. Aku nggak mau Ibu kerja sendirian sampai kecapekan kayak gini.”

Wanita itu diam. Matanya menatap anaknya dengan tatapan sendu, seolah ingin menolak, tapi tidak bisa.

Akhirnya, setelah beberapa detik sunyi, ia mengusap kepala anaknya pelan. “Ibu nggak mau kamu kesusahan, Nak.”

“Aku nggak kesusahan, Bu. Aku cuma pengen bantu.”

Ibunya tersenyum kecil, tapi matanya berkaca-kaca. Ia menarik Raka ke dalam pelukannya, merapatkan anak itu dalam dekapannya yang hangat.

“Kamu anak baik…” bisiknya pelan.

Raka tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata dalam pelukan ibunya, mencoba menenangkan diri.

Karena ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Tapi ia juga tahu, ia tidak sendiri. Ada ibunya, ada perjuangan yang harus dilanjutkan, dan ada ayah di dalam hatinya, yang pasti ingin melihatnya tetap berdiri, meski sambil menangis.

 

Kaki Kecil yang Mulai Berlari

Siang itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Raka berdiri di depan sebuah warung kecil di ujung gang, membawa kantong plastik berisi beberapa bungkus gorengan yang ia beli dari Bu Narti, tetangga yang setiap pagi berjualan di depan rumah.

Langkahnya mantap menuju halaman sekolah. Anak-anak lain berlarian riang, ada yang bermain kelereng, ada yang bercanda sambil duduk di tangga kelas. Raka tidak ikut bermain. Ia punya tujuan lain.

“Dua ribu dapet tiga gorengan!” teriaknya lantang.

Beberapa anak menoleh, sebagian ada yang tertarik dan mendekat.

“Beneran, Rak?” tanya seorang bocah yang lebih kecil darinya.

“Iya, ambil aja. Aku udah pilih yang enak-enak,” jawabnya sambil menyodorkan kantong plastiknya.

Beberapa tangan kecil mengambil gorengan, lembaran uang receh berpindah ke genggaman Raka. Ia mengamati lembaran itu dengan perasaan bangga. Ini bukan uang pemberian, ini hasil tangannya sendiri.

Sejak hari itu, Raka mulai berjualan gorengan di sekolah. Setiap pagi sebelum berangkat, ia mampir ke rumah Bu Narti untuk membeli dagangan. Uang yang ia dapat, sebagian ia simpan di celengan plastik, sebagian lagi ia berikan ke ibunya.

“Ini buat Ibu,” katanya suatu malam sambil menyerahkan beberapa lembar ribuan yang kusut.

Wanita itu menatapnya lama, lalu menarik napas pelan. “Raka…”

“Nggak apa-apa, Bu. Aku seneng jualan,” kata Raka cepat, takut ibunya akan menolak lagi.

Ibunya akhirnya mengambil uang itu, tapi matanya berkaca-kaca. Ia tidak berkata banyak, hanya mengusap kepala anaknya lama sekali, seolah ingin memastikan bahwa anak kecil ini benar-benar ada di hadapannya.

Namun, hidup tidak pernah berjalan mulus.

Suatu hari, ketika sedang menjajakan gorengan di halaman sekolah, seorang anak laki-laki bertubuh besar tiba-tiba menubruknya dari belakang.

Brak!

Kantong plastik di tangan Raka terlempar, gorengan-gorengannya berjatuhan ke tanah yang penuh debu.

“Eh, Raka jualan buat apa sih? Mau jadi tukang gorengan ya?” tawa bocah itu sambil menunjuk-nunjuk Raka. Beberapa anak lain ikut tertawa.

Raka merasakan dadanya panas, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia berjongkok, memunguti gorengannya satu per satu, meniupinya pelan meski ia tahu sudah tidak bisa dijual lagi.

“Kasian banget, masa anak kecil disuruh cari uang?” lanjut anak itu dengan nada mengejek.

Raka menegakkan punggungnya, menatap anak itu dengan mata yang tidak goyah.

“Aku jualan buat bantu Ibuku,” katanya dengan suara tenang.

Tawa anak-anak itu perlahan mereda. Mereka saling berpandangan, seolah baru menyadari sesuatu.

Tapi bocah besar tadi hanya mendengus. “Halah, alasan aja. Orang kayak kamu nggak bakalan bisa sukses!”

Raka mengepalkan tangannya. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa ia bisa sukses, bahwa ia tidak lemah. Tapi ayahnya pernah bilang, kadang diam adalah pilihan yang lebih kuat.

Jadi, ia memilih diam.

Ia mengambil gorengan terakhirnya, memasukkannya ke dalam kantong, lalu pergi tanpa melihat ke belakang.

Di perjalanan pulang, langkahnya terasa lebih berat. Ada yang mengganjal di dadanya, perasaan yang selama ini ia tahan rapat-rapat.

Tapi saat tiba di rumah, saat melihat ibunya menyambutnya dengan senyum lelah, ia tahu ia tidak boleh menyerah.

Ia menghela napas panjang, menatap uang hasil jualannya hari itu.

“Aku bakal terus maju,” bisiknya pelan. “Biarpun orang lain nggak percaya, aku tahu Ayah pasti percaya.”

Di luar, langit mulai berwarna jingga. Hari itu mungkin berat, tapi besok, ia akan bangkit lagi.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Hari-hari berlalu, dan Raka semakin terbiasa dengan rutinitas barunya. Ia tidak hanya berjualan gorengan di sekolah, tetapi juga membantu ibunya di rumah. Ia belajar memasak nasi dan mengolah sayur, membantunya saat kembali dari bekerja. Meskipun lelah, ia merasa puas. Setiap kali melihat senyum di wajah ibunya, hatinya dipenuhi kebahagiaan.

Suatu sore, saat Raka selesai berjualan, ia melihat sekelompok anak berkumpul di taman dekat sekolah. Suara tawa dan riuh mereka menarik perhatiannya. Raka menghampiri, penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

Ketika ia mendekat, ia melihat anak-anak itu sedang mengadakan lomba lari. Pelatih sekolah mereka berdiri di depan, membagikan medali kepada para pemenang. Raka teringat betapa ia dulu sangat menyukai lari, bagaimana ia ingin menjadi juara. Namun, seiring waktu, impian itu terlupakan.

Salah satu temannya, Dika, melihatnya dan melambaikan tangan. “Raka! Ikut lomba, yuk! Seru!”

Raka ragu sejenak. Ia tidak ingin mengganggu waktunya, tapi suara semangat dari teman-temannya membuatnya merasa tertarik. “Tapi aku sudah capek,” jawabnya.

“Nggak masalah! Kita semua juga capek, tapi seru kok!” Dika membujuk. “Ayo, coba aja!”

Setelah sedikit berpikir, Raka akhirnya setuju. Ia bergabung, dan dengan semangat, ia berlari mengikuti jejak teman-temannya. Jarak lomba tidak jauh, tetapi saat ia berlari, ia merasakan kebebasan, seolah semua beban di pundaknya menghilang.

Ketika garis finish terlihat di depan, Raka memacu kakinya, berusaha lebih cepat. Semua suara sorakan semakin keras, dan dalam sekejap, ia melintasi garis finish. Tidak ada medali yang ia dapatkan, tetapi ia merasakan kebanggaan yang lebih besar—kebanggaan atas keberaniannya untuk mencoba, meski dalam keadaan lelah.

Di rumah malam itu, Raka menceritakan pengalamannya pada ibunya. Ia berbicara tentang lari, tentang tawa teman-temannya, dan betapa bahagianya ia bisa ikut serta.

“Raka, kamu luar biasa,” ibunya berkata dengan senyum bangga. “Nggak hanya berjualan, kamu juga bisa berprestasi.”

Perasaan hangat mengalir dalam diri Raka. Ia tahu, semua usaha yang ia lakukan bukan hanya untuknya, tetapi untuk ibunya. Setiap kali melihat ibunya tersenyum, semangatnya semakin membara.

Namun, ada satu hal yang membuatnya ingin berjuang lebih keras. Raka ingin mengubah hidupnya. Ia ingin mendapatkan beasiswa di sekolah menengah atas, ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik untuk membangun masa depan. Ia tidak ingin hanya menjadi tukang gorengan.

Dengan tekad yang semakin kuat, Raka mulai belajar lebih giat. Ia memanfaatkan setiap kesempatan di sekolah, belajar dari teman-temannya, bahkan meminta bantuan guru ketika ada materi yang sulit. Ia memahami bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak mau menyerah.

Hari demi hari, Raka berusaha keras. Ia belajar dengan giat, berjualan dengan penuh semangat, dan membantu ibunya tanpa henti. Dalam hatinya, ia tahu, setiap langkah kecilnya adalah bagian dari perjuangan besar.

Akhirnya, saat pengumuman beasiswa tiba, jantungnya berdebar kencang. Ia berdiri di antara ribuan siswa lainnya, mendengarkan nama-nama yang disebutkan. Ketika nama Raka disebut sebagai salah satu penerima beasiswa, gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan. Raka tidak bisa menahan air matanya. Ia merasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

Malam itu, ia pulang dengan medali beasiswa di lehernya dan senyum lebar di wajahnya. Ia menemukan ibunya sedang menunggu di depan rumah, dan begitu melihat Raka, ibunya langsung memeluknya erat.

“Raka, kamu berhasil! Ibu bangga!”

Mendengar kata-kata itu, Raka merasakan kembali harapan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Semua jerih payah dan air mata, semua harapan dan impian, kini berbuah manis. Ia tahu perjalanan ini baru saja dimulai. Masih banyak tantangan di depan, tetapi ia tidak akan pernah melupakan satu hal—ia tidak sendirian.

Dengan ayahnya yang selalu mengawasi dari atas dan ibunya yang menjadi pilar kekuatannya, Raka melangkah maju. Ia akan terus berlari, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keluarga yang dicintainya. Karena ia percaya, di setiap langkah, selalu ada cahaya yang menuntun di ujung jalan.

 

Jadi, gitu deh, guys! Raka udah buktiin kalau dengan semangat dan usaha, semua impian bisa dicapai. Gak peduli seberapa berat perjalanan yang harus dilalui, yang penting tetap berjuang dan percaya sama diri sendiri. Siapa tahu, kamu bisa jadi seperti Raka, kan? Jadi, terus semangat, ya!

Leave a Reply