Daftar Isi
Hai, guys! Pernah nggak sih kalian merasa hidup ini berat banget setelah kehilangan orang tercinta? Nah, cerpen ini bakal bawa kalian ke dalam kisah Nandika, anak yang harus berjuang menemukan impian dan harapan setelah ditinggal ayahnya. Siap-siap baper dan terinspirasi, ya!
Kursi Kayu yang Kosong
Langit sore berwarna jingga kemerahan, seolah ikut berkabung atas kepergian seorang pria yang begitu dicintai keluarganya. Angin mengayunkan ranting pohon jambu di halaman rumah sederhana itu, menciptakan suara gemerisik yang samar-samar terdengar.
Di teras, ada sebuah kursi kayu tua. Kursi itu biasanya tidak pernah kosong di jam-jam seperti ini. Biasanya, seorang pria dengan wajah teduh duduk di sana, menikmati secangkir teh hangat sambil tersenyum melihat anaknya yang pulang sekolah. Tapi kali ini, kursi itu kosong. Dan kosongnya terasa begitu menyakitkan.
Dari dalam rumah, seorang bocah laki-laki melangkah keluar. Kakinya ragu-ragu, tapi akhirnya ia berdiri di depan kursi kayu itu. Diam. Menatapnya lama.
“Nandika,” suara seorang wanita terdengar dari balik pintu.
Bocah itu menoleh. Ibunya berdiri di ambang pintu, wajahnya letih, matanya sembab. Sudah berhari-hari seperti itu, sejak kepergian pria yang biasanya duduk di kursi kayu itu.
“Kamu belum makan, kan?” tanya wanita itu pelan.
Nandika tidak menjawab. Ia hanya menunduk, memperhatikan ujung sandalnya yang menekan tanah.
Sang ibu melangkah mendekat, duduk di kursi kayu yang kosong itu. Tangan kurusnya terulur, mengusap kepala putranya dengan lembut.
“Aku udah masak sup ayam, makanan kesukaan kamu,” lanjutnya.
“Aku nggak lapar.”
Jawaban itu membuat hati sang ibu semakin perih. Ia menarik napas panjang, menahan air mata yang ingin jatuh lagi. Sudah cukup ia menangis. Jika ia terus seperti ini, bagaimana dengan anaknya?
“Kamu nggak boleh gini terus, Nak.”
“Ayah juga suka sup ayam,” gumam Nandika lirih.
Sang ibu tersenyum tipis, meski hatinya semakin sesak. “Iya. Makanya, kamu harus makan. Kalau Ayah masih di sini, dia pasti bakal makanin sup ayam sampai kuahnya habis. Terus dia bakal godain aku, bilang kalau masakanku nggak seenak buatan nenek.”
Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, sudut bibir Nandika sedikit terangkat. Ia ingat betul bagaimana Ayah selalu menggoda Ibu seperti itu.
“Tapi pada akhirnya, Ayah selalu nambah porsi,” lanjut ibunya, mencoba menyelipkan sedikit kehangatan di antara kesedihan mereka.
Nandika masih diam. Tangannya mengusap sandaran kursi kayu itu, seolah sedang membayangkan seseorang masih duduk di sana.
“Bu… Kenapa Ayah pergi secepat itu?”
Sang ibu terdiam. Matanya kembali memerah, tapi ia menahan tangisnya. Ia tahu pertanyaan itu pasti akan keluar suatu saat.
“Kita nggak pernah tahu kapan seseorang harus pergi, Nak,” jawabnya lirih. “Tapi kita tahu satu hal… Ayah nggak benar-benar pergi. Dia ada di sini,” tangan wanita itu menyentuh dada Nandika, tepat di atas jantungnya.
Bocah itu menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan yang hampir keluar. “Tapi aku masih butuh Ayah… Aku masih pengen cerita ke Ayah soal sekolah, soal temen-temenku, soal cita-citaku…”
Sang ibu menarik napas panjang, berusaha menemukan kata-kata yang tepat.
“Kamu masih bisa cerita ke Ayah, Nak. Lewat doa.”
Nandika menoleh, menatap wajah ibunya yang masih terlihat rapuh, tapi berusaha kuat. “Doa?”
Sang ibu mengangguk. “Doa itu jembatan kita sama orang-orang yang udah pergi. Setiap kali kamu kangen Ayah, ceritain aja semua ke dia. Ayah mungkin nggak bisa jawab, tapi dia pasti dengar.”
Angin sore bertiup lebih dingin. Matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan. Nandika memejamkan mata sejenak.
Ia ingin percaya, tapi hatinya masih berat. Namun, saat melihat ibunya yang berusaha tegar, ia tahu—ia tidak boleh terus tenggelam dalam kesedihan.
“Aku masuk dulu, Bu,” katanya akhirnya.
Sang ibu tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca. “Ayo, kita makan sup ayam dulu. Kali ini, Ibu nggak mau kalah sama buatan nenek.”
Nandika tersenyum tipis. Ia tahu, meski tak lagi ada suara tawa Ayah di rumah ini, ia masih punya Ibu. Dan ia harus kuat.
Karena hidup harus terus berjalan.
Cita-Cita yang Tertahan
Sekolah terasa berbeda.
Sejak kepergian Ayah, langkah Nandika menuju kelas lebih lambat, lebih berat. Ia tidak lagi bersemangat seperti dulu. Jika biasanya ia langsung mengeluarkan buku saat tiba di bangkunya, kini ia hanya menatap jendela, membiarkan suara teman-temannya mengalir begitu saja.
Di depan kelas, Bu Rahayu, wali kelasnya, menulis sesuatu di papan tulis. Huruf-huruf kapur putih membentuk kalimat yang membuat dada Nandika semakin sesak.
“Cita-Citaku di Masa Depan.”
“Baik, anak-anak. Hari ini kita akan menulis tentang cita-cita masing-masing,” kata Bu Rahayu sambil berbalik menghadap murid-muridnya. “Tuliskan apa yang ingin kalian capai saat dewasa nanti. Kenapa kalian memilih cita-cita itu, dan siapa yang menginspirasi kalian.”
Beberapa teman sekelasnya langsung bersorak riang.
“Aku mau jadi dokter!” seru Gilang.
“Aku mau jadi arsitek kayak Ayahku,” kata Rendi.
“Aku mau jadi guru supaya bisa nyuruh murid-murid ngerjain PR banyak!” timpal Sari, disambut tawa teman-temannya.
Namun, di bangkunya, Nandika hanya menggenggam pensilnya erat-erat. Dadanya terasa kosong.
Dulu, jawaban pertanyaan ini mudah. Ia ingin menjadi insinyur seperti Ayah. Ia ingin membangun rumah-rumah besar dan gedung-gedung tinggi, seperti yang selalu Ayah ceritakan padanya.
Tapi sekarang, Ayah sudah tidak ada.
Apa masih ada gunanya?
“Nandika?” suara Bu Rahayu membuyarkan lamunannya.
Bocah itu menoleh, mendapati guru itu menatapnya lembut.
“Kamu sudah tahu ingin menulis apa?”
Nandika menelan ludah. Teman-temannya ikut melihat ke arahnya, beberapa berbisik pelan.
Tangannya menggenggam pensil lebih kuat. “Aku… belum tahu, Bu.”
Bu Rahayu tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Tidak apa-apa. Kalau kamu butuh waktu, pikirkan dulu baik-baik, ya?”
Nandika mengangguk pelan.
Ia tahu jawabannya. Ia tahu ia masih ingin menjadi insinyur seperti Ayah. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Seolah dengan mengakui cita-cita itu, ia harus menerima kenyataan bahwa Ayah tidak akan pernah ada untuk melihatnya berhasil.
Sepulang sekolah, Nandika berjalan sendirian. Biasanya, ia akan berlari kecil menuju rumah, membayangkan Ayah sudah menunggunya di teras. Tapi sekarang, langkahnya terasa lebih lambat.
Di depan rumah, kursi kayu tua itu masih ada di tempatnya. Tetap kosong.
Nandika berdiri di sana cukup lama sebelum masuk ke dalam. Di meja makan, Ibunya sudah menyiapkan makan siang.
“Kamu kelihatan capek, Nak,” kata sang Ibu lembut. “Gimana sekolahnya?”
Nandika duduk di kursinya, menatap piring di depannya tanpa nafsu makan. “Tadi di kelas disuruh nulis cita-cita…”
Ibunya terdiam sejenak sebelum bertanya pelan, “Terus, kamu nulis apa?”
“Aku nggak nulis apa-apa.”
Sang ibu menatap wajah putranya yang tampak lelah, bukan karena kelelahan fisik, tapi karena sesuatu yang lebih dalam.
“Kamu masih mau jadi insinyur, kan?” tanyanya hati-hati.
Nandika tidak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu pelan.
Sang ibu tersenyum tipis, lalu meraih tangannya, menggenggamnya erat.
“Nak, cita-cita itu nggak akan hilang cuma karena orang yang menginspirasimu nggak ada lagi di sini,” katanya lembut. “Justru, kamu harus lebih semangat, supaya suatu hari Ayah bisa bangga dari sana.”
Nandika menunduk, merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokannya. “Tapi… Ayah nggak bakal lihat, Bu.”
Sang ibu mengusap tangannya lembut. “Ayah mungkin nggak bisa lihat dengan matanya. Tapi aku yakin, dia tetap bisa melihat kamu dengan hatinya.”
Keheningan mengisi ruangan.
Di luar, matahari mulai turun, langit berubah oranye keemasan. Nandika menatap jemari ibunya yang menggenggam tangannya erat. Ada sesuatu dalam kata-kata ibunya yang perlahan membuat hatinya lebih ringan.
Mungkin benar.
Mungkin Ayah masih melihatnya.
Mungkin, suatu hari nanti, jika ia benar-benar menjadi insinyur seperti yang ia impikan, Ayah akan tersenyum bangga, di mana pun ia berada.
Nandika menghela napas, lalu mengangguk pelan.
“Aku bakal nulis cita-citaku sekarang,” katanya.
Sang ibu tersenyum. “Bagus. Tapi sekarang, makan dulu, ya?”
Nandika tersenyum kecil, untuk pertama kalinya sejak lama.
Mungkin, hidup memang tidak akan sama lagi. Tapi itu bukan berarti ia harus berhenti berjalan.
Ia masih punya cita-cita yang harus diperjuangkan.
Langit Senja dan Harapan
Langit sore di halaman belakang rumah Nandika dipenuhi warna jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan ranting-ranting pohon jambu di sudut halaman. Suasana tenang, tetapi tidak dengan hati Nandika.
Di depannya, kertas tugas tentang cita-cita sudah terbuka di atas meja kayu. Pensil yang ia genggam hanya bergerak pelan, menuliskan satu kata lalu berhenti lagi.
Insinyur.
Ia menatap tulisan itu lama. Ada perasaan ragu yang masih menggantung di dadanya. Apa benar ini jalan yang harus ia tempuh? Apa benar ia bisa mencapainya?
Suara langkah kaki mendekat.
“Nandika, masih di luar?”
Ia menoleh. Kakaknya, Raka, berdiri di ambang pintu.
Raka baru pulang dari kampus. Bajunya masih beraroma matahari, rambutnya agak berantakan karena perjalanan pulang. Ia berjalan mendekat, melihat kertas di meja.
“Kamu nulis tugas?”
Nandika mengangguk pelan.
Raka mengambil kursi dan duduk di sampingnya, membaca tulisan di kertas itu. Seketika, senyuman tipis terukir di wajahnya. “Insinyur, ya? Sama kayak Ayah.”
Nandika menggigit bibirnya, tidak menjawab.
“Kamu ragu?” Raka bertanya, nada suaranya lembut.
Hening sejenak. Angin sore kembali bertiup pelan.
Nandika akhirnya membuka suara, suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut, Kak.”
Raka menunggu.
“Ayah udah nggak ada. Aku takut kalau aku gagal, kalau aku nggak bisa sehebat Ayah, kalau—”
“Kamu nggak perlu jadi sehebat Ayah,” potong Raka dengan tenang.
Nandika menatap kakaknya, bingung.
“Yang penting, kamu jadi dirimu sendiri. Ayah nggak akan pernah minta kamu jadi seperti dia. Dia pasti cuma mau lihat kamu bahagia dengan pilihanmu sendiri.”
Nandika terdiam. Ia tahu Raka tidak asal bicara. Kakaknya itu juga merasakan kehilangan yang sama, meski tidak pernah menunjukkan kesedihan sejelas dirinya.
Raka tersenyum kecil. “Kamu masih ingat nggak, dulu Ayah pernah bilang apa?”
Nandika mengerutkan kening.
“‘Jangan takut untuk jatuh, karena yang penting adalah selalu bangun lagi.'”
Kata-kata Ayah dulu memang selalu terdengar sederhana, tapi sekarang, Nandika menyadari maknanya lebih dalam.
“Nggak ada perjalanan yang mudah,” lanjut Raka. “Tapi kamu nggak sendirian, Dik. Ada Ibu, ada aku, ada banyak orang yang sayang sama kamu.”
Nandika menunduk, merasakan sesuatu yang hangat di dadanya. Ia sudah terlalu sibuk merasakan kehilangan sampai lupa bahwa masih banyak orang yang mendukungnya.
Raka berdiri, mengacak rambut adiknya dengan lembut. “Udah sore, masuk yuk.”
Nandika tersenyum kecil. Ia melipat kertas tugasnya, memasukkannya ke dalam tas. Saat berdiri, ia menoleh ke langit senja yang perlahan berubah ungu.
Mungkin, masih ada jalan panjang di depannya. Mungkin, akan ada banyak tantangan yang harus ia hadapi.
Tapi untuk pertama kalinya setelah kehilangan Ayah, ia merasa yakin.
Ia akan melangkah.
Ia akan mengejar impiannya.
Dan ia akan melakukannya dengan hati yang lebih kuat.
Melangkah dengan Cahaya Baru
Beberapa bulan telah berlalu sejak Nandika memutuskan untuk benar-benar mengejar impiannya. Meski masih ada hari-hari di mana ragu menyelinap, ia terus melangkah. Setiap kali merasa goyah, ia mengingat kata-kata Raka dan pesan Ayah yang selalu menjadi pijakan.
Di meja belajarnya, buku-buku teknik berserakan. Angka-angka dan rumus memenuhi halaman-halaman yang ia pelajari dengan tekun. Malam ini, ia sedang menyelesaikan persiapan untuk ujian seleksi masuk sekolah teknik terbaik di kotanya.
“Nandika, sudah makan?” suara Ibu terdengar dari luar kamar.
“Sebentar lagi, Bu!” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari kertasnya.
Beberapa menit kemudian, Raka muncul di pintu.
“Kamu nggak capek?” tanyanya sambil menyandarkan tubuh di kusen pintu.
Nandika meregangkan tangan, menghela napas panjang. “Capek, sih. Tapi kalau aku berhenti, nanti aku nyesel.”
Raka tersenyum bangga. “Itu baru adikku.”
Malam itu, Nandika tidur dengan perasaan campur aduk. Besok adalah hari ujian. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, tapi ia sudah siap menghadapi semuanya.
Keesokan harinya, di depan gedung tempat ujian berlangsung, Nandika berdiri diam. Tangan dalam saku celana, matanya menatap lurus ke depan.
“Udah siap?” Raka menepuk bahunya pelan.
Nandika mengangguk. Ia menatap langit yang cerah, seolah Ayah sedang melihatnya dari atas sana.
“Doakan aku, Yah,” gumamnya dalam hati sebelum melangkah masuk ke gedung ujian.
Hari itu menjadi awal dari perjalanan barunya. Perjalanan yang ia jalani bukan lagi dengan kesedihan, tetapi dengan harapan.
Ia tahu, Ayah mungkin tidak bisa melihatnya secara langsung, tapi jejak langkahnya akan selalu membawa pesan Ayah bersamanya.
Ia tidak sendiri.
Ia tidak takut lagi.
Ia siap untuk melangkah.
Jadi, buat kalian yang masih berjuang dengan kehilangan, ingatlah bahwa setiap langkah yang kalian ambil adalah bentuk cinta untuk orang-orang yang kita sayangi. Jangan pernah berhenti mengejar mimpi, karena siapa tahu, masa depan yang cerah menunggu di depan sana. Keep shining, guys!


