Daftar Isi
Serius, kalau kamu baca ini sendirian, pastikan lampu nyala dan jangan nengok ke belakang. Soalnya, cerita ini bukan sekadar horor biasa—ini tipe yang bakal bikin kamu kepikiran sampai malam, apalagi kalau tiba-tiba ada suara aneh di kamar.
Kalau kamu merasa ada yang mengawasi… yaudah, jangan dipikirin. Siap buat uji nyali? Selamat datang di cerita yang nggak boleh kamu baca kalau sendirian.
Jangan Lihat ke Belakang
BISIKAN DI LEMBAH TERLARANG
Malam turun perlahan di Desa Ragasari, membungkus segala yang hidup dalam bayangan pekat. Di batas desa, di mana tanah mulai menurun menuju Lembah Sunyi, tiga pemuda berdiri dalam lingkaran cahaya senter yang gemetar.
Ardian, Saka, dan Jati—tiga sekawan yang selalu mencari tantangan baru—berdiri di bibir lembah, memandang ke bawah dengan ekspresi bercampur antara antusiasme dan kecemasan.
“Jadi kita beneran turun?” tanya Saka, mengeratkan jaketnya. Malam ini lebih dingin dari biasanya.
Ardian tertawa kecil, “Udah kepalang janji, masa takut?”
Jati diam, menatap jalan setapak yang menurun ke dalam kegelapan. Semuanya tampak normal. Hanya pepohonan yang menjulang tinggi, membentuk kanopi yang mencegah sinar bulan mencapai tanah. Namun, ada sesuatu yang aneh. Heningnya terlalu sempurna.
Tak ada suara jangkrik. Tak ada desir angin. Bahkan dedaunan yang tertiup pun seakan menolak bersuara.
“Ini… emang harusnya sesepi ini?” gumam Jati akhirnya.
Saka menelan ludah. “Mungkin hewan-hewan di sini udah tidur?”
Ardian mendengus, “Ah, kalian aja yang parno. Udah ayo, kita masuk.”
Mereka melangkah menuruni jalan setapak. Tanah di bawah kaki terasa lembab, dan ada aroma aneh di udara—campuran antara bau kayu lapuk dan sesuatu yang lebih asing, lebih busuk.
Mereka terus berjalan dalam diam, hanya ditemani suara langkah kaki di tanah. Bayangan dari senter mereka bergerak liar di antara batang-batang pohon.
Beberapa menit berlalu, dan di depan sana, sesuatu mulai terlihat di antara kabut tipis yang menggantung di dasar lembah. Sebuah rumah kayu tua.
Bangunannya besar, dengan dinding yang masih kokoh meski kusam. Pintu depannya terbuka sedikit—seperti sedang menunggu seseorang masuk.
“Nah, itu dia,” kata Ardian dengan nada puas.
“Terlalu gampang nemunya,” Jati bergumam. “Gak ada yang aneh menurut kamu?”
Saka memelototinya. “Semua tempat di sini udah aneh, Jat.”
Ardian melangkah lebih dulu, senter di tangannya menyapu dinding kayu yang dipenuhi ukiran-ukiran tak beraturan. Sekilas, pola itu tampak seperti coretan acak. Namun, semakin lama dipandang, semakin jelas bahwa ada pola tertentu dalam ukiran itu—seperti bahasa kuno yang tak mereka kenali.
“Ada orang yang pernah tinggal di sini?” tanya Saka, menyentuh salah satu ukiran.
Jati menggeleng. “Gak mungkin. Desa udah kosongin tempat ini sejak lama.”
Mereka berdiri di ambang pintu. Dari dalam, udara lebih dingin, membawa serta aroma debu dan… sesuatu yang lain.
“Aku duluan,” kata Ardian, mendorong pintu lebih lebar.
Suara engsel berderit tajam, memecah keheningan. Mereka melangkah masuk.
Rumah itu kosong. Lantainya berdebu, dindingnya retak di beberapa tempat. Hanya ada cermin besar di tengah ruangan, berdiri tegak dengan bingkai kayu yang penuh ukiran serupa dengan yang ada di dinding luar.
Saka menghela napas lega. “Cuma rumah kosong. Udah, kita bisa balik—”
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Jati menarik lengannya dengan kuat.
“Lihat cermin itu,” bisiknya.
Saka dan Ardian menoleh.
Di dalam cermin, mereka bertiga memang ada di sana. Tapi ada yang tidak beres. Refleksi mereka bergerak lebih lambat.
Ardian mengangkat tangan—bayangannya mengikuti… terlambat satu detik.
Saka mundur selangkah. “Apa-apaan ini?”
Jati menelan ludah. “Kita harus keluar.”
Ardian menggeleng. “Tenang, ini cuma efek kaca tua—”
Mendadak, senter mereka berkedip. Cahaya redup, lalu mati total.
Gelap.
Dan di dalam kegelapan, sesuatu berbisik.
“Kalian datang terlambat…”
Suara itu tidak berasal dari mereka.
Lalu, lampu senter kembali menyala.
Dan mereka melihatnya.
Bayangan mereka di cermin… tersenyum.
CERMIN YANG LAPAR
Jati melangkah mundur terlebih dahulu, tubuhnya kaku seperti baru saja disiram air es. Saka menahan napas, matanya membelalak melihat pantulan mereka di dalam cermin. Bayangan itu tersenyum.
Bukan senyum biasa—bukan milik mereka. Bibir refleksi mereka tertarik lebih lebar, terlalu lebar, terlalu tidak wajar.
Ardian mengeraskan rahangnya. “Ini cuma ilusi—”
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, pantulannya di cermin tiba-tiba bergerak sendiri. Refleksi Ardian mengangkat tangan lebih dulu, lalu yang asli menyusul.
“Apa-apaan ini?” Saka tersentak.
Jati berusaha menarik Ardian, tapi temannya itu tetap terpaku di tempatnya. Tangannya gemetar saat menunjuk ke cermin. “Lihat… lihat refleksi kita.”
Saka dan Jati menatap lebih saksama. Lalu mereka menyadarinya.
Sesuatu telah berubah.
Bukan hanya ekspresi senyum yang tidak semestinya. Baju mereka di dalam cermin… kotor oleh noda gelap.
Darah.
Jati mundur beberapa langkah, tapi kakinya seperti ditarik oleh bayangan yang mengendap di lantai. Ia buru-buru menepis rasa takutnya dan menarik lengan Ardian. “Keluar. Sekarang.”
Namun, saat mereka hendak berbalik, suara langkah kaki berasal dari dalam cermin.
Terdengar empat langkah.
Padahal mereka hanya bertiga.
Saka menelan ludah, tangannya mencengkeram senter erat-erat. Ia merasa harus memastikan sesuatu—harus melihat siapa yang membuat langkah keempat itu.
Dan ketika ia menoleh kembali ke cermin… ada sosok lain berdiri di belakang mereka.
Seorang gadis kecil, rambutnya panjang dan berantakan menutupi sebagian wajahnya. Bajunya lusuh, seolah sudah berpuluh tahun tidak pernah diganti.
Ia berdiri di dalam cermin.
Dan yang lebih menyeramkan, pantulan mereka bertiga kini menoleh ke arahnya—seakan mereka di dalam cermin bisa melihatnya.
Saka hampir berteriak. Jati menariknya lebih kuat.
“Keluar sekarang, goblok!”
Ardian masih terpaku, matanya menatap cermin dengan ekspresi kosong. “Dia…” bisiknya.
“Kita nggak peduli!” Jati menggeram. Ia meraih kerah Ardian dan menariknya. “Ayo pergi!”
Dan saat itulah, gadis di dalam cermin bergerak.
Dengan cara yang seharusnya tidak bisa dilakukan manusia.
Tangannya menyentuh permukaan kaca, lalu mendorong tubuhnya keluar.
Suara pecahan kaca tidak terdengar. Tidak ada suara apa pun—hanya rasa dingin yang langsung menyelimuti ruangan, menyusup ke tulang mereka.
Gadis itu berhasil keluar.
Ia kini berdiri tepat di belakang mereka.
Dan sebelum salah satu dari mereka sempat berteriak, ruangan itu mendadak berputar.
Gelap.
Dan yang mereka sadari berikutnya…
Mereka bukan lagi di tempat yang sama.
PENJAGA LEMBAH
Ardian terbangun lebih dulu.
Matanya mengerjap dalam gelap, tubuhnya terasa berat seolah ada beban besar menindih dadanya. Udara di sekitarnya dingin dan lembab, berbau tanah basah yang menyengat. Ia mencoba bergerak, tapi sesuatu terasa salah.
Lantai di bawahnya bukan lantai kayu rumah itu. Ia tidak lagi berada di sana.
Ini tanah.
Ardian menoleh dan melihat Jati dan Saka tergeletak di dekatnya. Keduanya masih tidak sadarkan diri. Tapi ada yang lebih mengerikan.
Mereka tidak sendirian.
Di sekeliling mereka, bayangan-bayangan tinggi berdiri dalam diam. Mereka tampak seperti manusia, tapi tubuh mereka terlalu kurus—tulang-belulang menonjol di bawah kulit pucat mereka. Mata mereka kosong, hanya rongga hitam yang dalam.
Dan yang paling mengerikan: mereka tidak punya mulut.
Ardian menahan napas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kini berdebar kencang. Ia mengguncang bahu Jati. “Bangun!” bisiknya.
Jati mengerang pelan sebelum akhirnya membuka mata. Begitu melihat sosok-sosok di sekitar mereka, wajahnya langsung pucat.
“Apa-apaan itu…” suaranya tercekat.
Saka pun mulai siuman, dan begitu ia sadar di mana mereka berada, ia hampir berteriak. Ardian buru-buru menutup mulutnya.
“Jangan berisik,” desisnya.
Saka menelan ludah, matanya memandang sekeliling dengan panik. “Kita… kita di mana?”
Jati mengamati lingkungan sekitar. Kabut tipis menggantung di udara, membuat pemandangan tampak samar. Pepohonan di sini lebih tinggi dan lebih gelap, menjulang seperti raksasa yang mengawasi mereka.
“Ini bukan tempat tadi,” gumamnya.
Ardian mengangguk. “Kita nggak di rumah itu lagi. Tapi kita juga nggak di desa.”
Saka meremas rambutnya, mencoba berpikir jernih. “Gimana caranya kita bisa ke sini?”
Sebelum ada yang bisa menjawab, salah satu makhluk tanpa mulut itu bergerak.
Ia melangkah maju, kepalanya sedikit miring, seakan mengamati mereka. Lalu, suara berbisik terdengar di udara.
Bukan berasal dari makhluk itu.
Tapi dari suatu tempat di sekitar mereka.
“Jangan takut… kalian dipilih…”
Jati menegang. “Siapa itu?!”
Makhluk-makhluk itu tidak menjawab. Tapi tiba-tiba, salah satu dari mereka mengulurkan tangannya.
Dan menunjuk ke belakang mereka.
Ardian menoleh.
Di sana, berdiri di antara pepohonan, gadis kecil itu.
Tapi kali ini, wajahnya terlihat lebih jelas.
Ia memiliki mata hitam legam, terlalu besar untuk wajahnya. Bibirnya pucat, dan tubuhnya tampak lebih kotor, seperti baru keluar dari tanah.
Ia tersenyum—senyum kecil yang tidak menyentuh matanya.
“Kalian harus pergi sekarang,” katanya dengan suara yang datar, hampir tanpa emosi.
Ardian menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Gadis itu melangkah lebih dekat. Makhluk-makhluk tanpa mulut langsung mundur, menjauh darinya.
Ia mengangkat tangan, menunjuk ke dalam hutan. “Jangan lihat ke belakang. Jangan berhenti berjalan.”
Saka menatapnya curiga. “Kenapa kami harus percaya kamu?”
Gadis itu menoleh padanya, senyumnya menghilang.
“Karena kalau kalian tetap di sini… mereka akan menggantikan kalian.”
Dan saat itulah, makhluk-makhluk tanpa mulut mulai bergerak.
Mereka merunduk, tangan-tangan kurus mereka terangkat ke arah Ardian, Jati, dan Saka.
Dan wajah-wajah tanpa mulut itu—mulai berubah.
Bentuknya perlahan mencair, meremukkan tulang wajah mereka sendiri…
Sampai mereka memiliki wajah yang sama persis dengan Ardian, Jati, dan Saka.
Seolah-olah… mereka adalah cerminan baru.
Dan mereka ingin mengambil tempatnya.
PENGGANTI
Jati menarik napas pendek. Makhluk-makhluk itu semakin dekat.
Mereka berjalan tertatih, tapi setiap langkahnya seperti membuat udara di sekitar semakin berat. Seolah-olah realitas sendiri bergeser untuk mengakomodasi kehadiran mereka.
Dan yang lebih mengerikan… wajah-wajah itu kini menyerupai mereka bertiga.
Ardian melihat sosok yang kini memiliki wajahnya sendiri tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah ia buat.
“Kita harus lari sekarang,” bisik Ardian.
Tanpa menunggu lebih lama, mereka bertiga langsung berlari ke dalam hutan.
Pepohonan di sekitar terasa seperti bergerak, ranting-ranting merentangkan diri, akar-akar mencuat dari tanah seakan berusaha menghalangi mereka. Tapi mereka terus berlari, meskipun setiap langkah terasa semakin berat, seakan gravitasi sendiri berusaha menarik mereka kembali ke tanah.
Di belakang, suara langkah kaki berlari mengejar. Makhluk-makhluk itu tidak berhenti.
Jati menggigit bibirnya, paru-parunya terasa terbakar. “Kita nggak bisa terus kayak gini!”
Gadis kecil itu muncul kembali, berjalan dengan langkah ringan di antara mereka. Ia menoleh dengan ekspresi kosong.
“Sudah kubilang, jangan lihat ke belakang.”
Tapi terlambat.
Saka, tanpa sadar, melirik sedikit ke belakang.
Dan tiba-tiba, tubuhnya terhenti.
Seolah sesuatu telah mencengkeramnya dari dalam. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku di tempat.
“SAKA!!”
Ardian dan Jati berhenti, tapi sebelum mereka bisa mendekatinya—sesuatu terjadi.
Dari dalam bayangan, sesuatu keluar dari tubuh Saka.
Dirinya sendiri.
Makhluk yang menyerupai Saka muncul dari dalam bayangannya sendiri, tubuh aslinya langsung jatuh ke tanah seperti boneka yang kehilangan jiwanya.
Yang tersisa adalah Saka lain.
Ia menoleh, tersenyum seperti bukan dirinya sendiri.
“Sekarang aku yang akan pergi.”
Lalu ia berlari ke depan, bersama mereka.
Meninggalkan tubuh asli Saka di belakang.
Jati ingin berlari kembali, ingin menariknya, ingin mengguncang tubuh temannya itu dan membawanya pergi. Tapi gadis kecil itu menarik lengannya dengan cengkeraman yang dingin.
“Jangan. Dia sudah tidak ada di sana lagi.”
Air mata Jati menggenang di matanya. Ini tidak adil.
Ardian mengepalkan tangannya. “Sialan!”
Mereka ingin berjuang. Mereka ingin melawan. Tapi mereka tahu… mereka tidak akan menang.
Jadi mereka terus berlari.
Sampai akhirnya, di ujung hutan yang gelap, mereka melihat sesuatu—sebuah celah tipis di udara, seperti robekan dalam realitas.
Cahaya samar mengintip dari baliknya.
Pintu keluar.
Mereka tidak berpikir dua kali. Mereka menerobos celah itu.
Dan tiba-tiba, mereka terjatuh.
Ketika mereka membuka mata, mereka kembali berada di depan rumah tua itu.
Angin dingin berhembus. Sunyi.
Saka tidak ada.
Ardian dan Jati saling berpandangan. Mata mereka kosong, otak mereka berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Rumah di depan mereka kini tampak… biasa saja.
Tak ada lagi kesan menyeramkan. Tak ada lagi kehadiran jahat.
Tapi mereka tahu… mereka kehilangan sesuatu.
Atau seseorang.
Jati menoleh ke Ardian, suaranya bergetar. “Ini nyata, kan?”
Ardian menatap tangannya sendiri—masih bergetar. Ia mengangguk. “Nyata.”
Hening.
Dan di dalam hutan, di antara pepohonan yang bergoyang pelan, sesosok Saka berdiri.
Ia menatap mereka dengan senyum yang terlalu asing.
Bukan Saka yang mereka kenal.
Dan ia berbalik, melangkah kembali ke dalam kegelapan.
Udah selesai? Tapi kok rasanya masih ada yang kurang, ya? Masih ada yang ngikutin kamu dari tadi? Coba cek lagi, deh. Siapa tahu… bukan cuma kamu yang baca cerita ini.
Kalau nanti malam tiba-tiba dengar suara aneh atau ada bayangan yang kayaknya nggak pernah ada sebelumnya… anggap aja sugesti. Atau mungkin… bukan.


