Daftar Isi
Oke, dengerin baik-baik. Ada satu rumah tua di ujung kota yang udah lama kosong. Katanya sih, dulu ada keluarga yang tinggal di sana, tapi suatu malam, mereka semua hilang tanpa jejak. Sampai sekarang, nggak ada yang tahu ke mana mereka pergi.
Udah banyak orang yang coba cari tahu, tapi setiap kali ada yang masuk, mereka nggak pernah balik dengan cerita yang lengkap. Gimana kalau kali ini, kita denger kisah dari tiga orang yang nekat masuk… dan nggak pulang dengan cara yang sama?
Misteri Rumah Tua
PINTU YANG TAK PERNAH TERTUTUP
Udara malam di Durnham terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tebal menyelimuti jalanan berbatu yang sepi, menciptakan suasana yang seolah datang dari dimensi lain. Di ujung jalan, berdiri Hollow Manor—sebuah rumah tua yang tak tersentuh oleh waktu, dengan dinding kusam yang diselimuti akar-akar liar. Jendelanya seperti mata kosong yang mengintai siapa saja yang berani mendekat.
Tiga orang berdiri di depan gerbang besinya yang berkarat. Vasquez Alden, pria dengan jaket kulit hitam yang sudah lusuh oleh perjalanan, berdiri paling depan. Matanya tajam menelusuri rumah itu, seakan mencoba membaca rahasia yang tersembunyi di balik dindingnya.
Di sebelahnya, Neve Callister menarik napas panjang. “Jujur aja, aku gak nyangka rumah ini bakal sebesar ini. Aku kira cuma rumah tua biasa.”
Soren Vayne, yang berdiri sedikit di belakang, menyelipkan tangannya ke dalam saku. “Iya, dan biasanya rumah tua biasa gak punya reputasi bisa bikin orang hilang tanpa jejak.”
Vasquez tidak menjawab. Dia meraih rantai yang mengunci gerbang, mencoba menggoyangkannya. Besi tua itu berkarat, tapi tidak terkunci.
“Gerbangnya gak dikunci?” tanya Neve, sedikit terkejut.
“Ini lebih buruk dari yang aku kira,” jawab Vasquez pelan. “Kalau rumah ini memang ditinggalkan selama lebih dari seratus tahun, kenapa gak ada yang berani menguncinya?”
Tidak ada yang menjawab. Mereka bertiga bertukar pandang sebelum akhirnya Vasquez mendorong gerbang itu. Suara gesekan besi yang melawan waktu terdengar menusuk telinga, menciptakan gema yang terasa ganjil di udara malam yang sunyi.
Mereka melangkah masuk.
Pintu depan Hollow Manor menjulang tinggi, dengan ukiran rumit yang sudah termakan usia. Vasquez menyentuhnya, merasakan permukaan kayunya yang dingin. Di tengah pintu itu, sebuah papan logam berkarat bertuliskan “Hollow Manor, 1823.”
“Kita masuk?” tanya Soren, suaranya terdengar sedikit ragu.
Vasquez mengetuk pintu itu sekali. Tidak ada respons.
Dua kali.
Tiga kali.
Neve mengangkat alis. “Kalau gak ada yang jawab, kita pulang aja?”
Sebelum ada yang bisa menjawab, pintu itu berderit terbuka sendiri.
Soren mengumpat pelan. “Oke, itu serem.”
Neve menelan ludahnya. “Mungkin angin?”
Vasquez menatap ke dalam. “Kita gak bakal tahu kalau cuma berdiri di sini.”
Dia melangkah masuk.
Di dalam, rumah itu terasa jauh lebih luas daripada yang terlihat dari luar. Dinding-dindingnya tinggi, dihiasi lukisan-lukisan besar yang sudah pudar. Lantai kayu tua berderit di bawah langkah mereka, menciptakan gema samar yang terdengar aneh di tengah keheningan.
Lilin-lilin di dinding masih menyala.
Neve langsung menyadarinya. “Oke, itu bukan pertanda bagus.”
Soren menyipitkan mata. “Kalau gak ada yang tinggal di sini, siapa yang nyalain lilin?”
Tidak ada yang menjawab. Vasquez menelusuri ruangan utama, memperhatikan detail setiap sudutnya. Perabotan-perabotan tua tertutup debu, tapi tidak ada sarang laba-laba. Seolah-olah seseorang merawat tempat ini, tapi tidak benar-benar tinggal di sini.
Dan di tengah ruangan, ada meja bundar.
Di atasnya, tertata rapi sembilan kunci tua.
Soren mendekati meja itu. “Oke… ini aneh. Kenapa ada kunci sebanyak ini?”
Neve mengamati setiap kunci dengan hati-hati. Semuanya terlihat antik, dengan ukiran simbol-simbol aneh di pegangannya.
“Biasanya, kalau ada kunci, pasti ada pintu yang harus dibuka,” gumam Vasquez.
Dia menelusuri ruangan dengan tatapan tajam. Tidak ada lemari besar, tidak ada pintu lain yang terlihat mencolok. Rumah ini hanya memiliki satu pintu masuk, dan sejauh ini, mereka belum melihat satu pun kunci atau gembok yang membutuhkan sembilan kunci ini.
Neve menyentuh salah satu kunci. “Mungkin ini semacam teka-teki?”
Soren melipat tangan. “Atau mungkin jebakan.”
Vasquez menatap sekeliling. “Satu cara untuk tahu.”
Dia mengambil salah satu kunci.
Hening.
Tidak ada yang terjadi.
Tapi saat Vasquez hendak meletakkan kembali kunci itu, mereka mendengar suara.
Pelan.
Jauh.
Seperti suara langkah kaki dari lantai atas.
Neve membeku. “Kalian dengar itu?”
Soren langsung menatap tangga yang mengarah ke lantai dua. “Kita gak sendirian di sini.”
Vasquez menghela napas, menyelipkan kunci yang dia pegang ke dalam saku. “Kalau ada orang lain di sini, kita harus cari tahu siapa.”
Soren menggeleng pelan. “Atau apa.”
Neve merapatkan jaketnya, berusaha menghalau rasa dingin yang tiba-tiba menyelinap ke tulangnya.
Mereka bertiga menatap tangga tua yang menjulang di depan mereka.
Di atas sana, sesuatu menunggu.
Dan pintu Hollow Manor… tidak pernah tertutup.
DELAPAN PETI, SATU NAMA
Langkah mereka terdengar pelan di sepanjang tangga kayu yang berderit di bawah beban tubuh. Hollow Manor masih diam, seakan menahan napas, menunggu sesuatu terjadi. Vasquez berjalan paling depan, diikuti Neve yang terus melirik ke belakang, sementara Soren menggenggam ponselnya dengan erat—meski mereka semua tahu, di tempat seperti ini, sinyal bukanlah sesuatu yang bisa diandalkan.
Di puncak tangga, lorong panjang menyambut mereka. Cahaya lilin di dinding bergetar pelan seiring hembusan angin dingin yang entah berasal dari mana.
“Gak ada pintu yang kebuka,” gumam Neve, suaranya hampir berbisik.
Soren mengangguk. “Tapi tadi kita denger suara langkah kaki.”
Vasquez tidak berkata apa-apa. Dia menelusuri lorong itu dengan hati-hati, memperhatikan setiap detail—dinding kayu yang retak, potret-potret tua yang tergantung miring, dan bayangan mereka sendiri yang memanjang di lantai.
Di ujung lorong, ada sebuah pintu tua. Lebih besar dari yang lain, dengan ukiran simbol-simbol aneh yang mirip dengan yang ada di kunci yang mereka temukan sebelumnya.
Neve menelan ludah. “Jangan bilang… kita harus masuk ke sana.”
Vasquez meraih gagang pintu itu dan mencoba membukanya.
Terkunci.
Dia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kunci yang dia ambil tadi dari meja di bawah. Saat dia memasukkan kunci itu ke lubangnya, terdengar suara klik halus, dan pintu terbuka sendiri, perlahan.
Udara di dalam ruangan itu lebih dingin dari yang mereka bayangkan.
Dan di tengahnya, ada delapan peti mati.
“Ini… makin aneh.” Soren melangkah masuk, mengamati peti-peti itu satu per satu. Semuanya berjejer rapi di atas lantai kayu tua, dengan ukiran yang sudah pudar termakan usia.
Neve menghela napas berat. “Kita baru aja masuk ke rumah kosong yang gak seharusnya kita datengin, dan sekarang kita berdiri di ruangan penuh peti mati. Cerdas.”
Vasquez berlutut di depan salah satu peti, matanya memperhatikan ukiran di bagian atasnya. Alistair Crowe.
Dia beralih ke peti lain.
Nama yang sama.
Begitu juga yang berikutnya.
Soren menatap Vasquez. “Semua punya nama yang sama?”
Vasquez mengangguk. “Alistair Crowe.”
Neve menatap peti-peti itu dengan ekspresi ngeri. “Jangan bilang ini orang yang sama.”
Soren mengusap tengkuknya. “Kalau iya, berarti ada delapan mayat yang semuanya adalah Alistair Crowe?”
Tidak ada yang tahu harus menjawab apa.
Vasquez menatap peti pertama. “Satu cara buat tahu.”
Neve menoleh cepat. “Jangan bilang kamu mau buka salah satunya.”
Vasquez tidak menjawab. Dia mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh tutup peti yang terasa dingin seperti es.
Dan saat dia mencoba mengangkatnya—
BAM!
Pintu di belakang mereka tertutup sendiri dengan keras.
Neve tersentak mundur, sementara Soren langsung berbalik. “Sial. Ini gak bagus.”
Vasquez menggeram pelan, melepaskan tangannya dari peti. “Seseorang gak mau kita ada di sini.”
Neve menelan ludah. “Atau sesuatu.”
Soren mencoba membuka pintu, tapi tidak bisa. “Kita dikunci dari luar.”
Vasquez menyentuh satu peti lagi, kali ini lebih kuat. Dan tepat saat dia mencoba menggesernya, suara berderak pelan terdengar dari dalam peti-peti itu.
Neve langsung mundur lebih jauh. “Kalian denger itu?”
Soren diam. Dia juga mendengar suara itu.
Seperti… sesuatu yang bergerak.
Dari dalam peti.
Neve menutup mulutnya, matanya membulat ketakutan. “Jangan bilang… ada sesuatu di dalam sana.”
Suara berderak itu semakin keras. Peti di depan Vasquez bergetar pelan.
Lalu—
“Klik.”
Tiba-tiba, satu peti terbuka sedikit.
Dan dari celahnya, sesuatu bergerak di dalam.
Vasquez mundur, sementara Soren dan Neve berdiri kaku, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sesuatu yang gelap perlahan keluar dari peti itu.
Dan saat Vasquez akhirnya melihat apa yang ada di dalamnya, darahnya langsung membeku.
Peti itu kosong.
Tapi ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Sesuatu yang tak terlihat.
Dan sebelum mereka sempat bereaksi, suara lain terdengar—
Langkah kaki.
Bukan dari luar.
Bukan dari peti.
Tapi dari dalam ruangan itu.
Neve membisik. “Kita gak sendirian.”
Vasquez mengencangkan rahangnya. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”
Tapi pintu masih terkunci.
Dan sesuatu mulai mendekat.
SESUATU YANG TAK TERLIHAT
Soren mengutuk di bawah napasnya, jari-jarinya meraba kenop pintu yang tak mau bergerak. Kunci tak ada, pintu tak bergeming. Napas Neve tersengal-sengal, matanya menatap peti yang terbuka dengan ngeri.
Vasquez berdiri tegak di tengah ruangan, matanya menajam, mencoba menangkap apa pun yang bergerak dalam kegelapan. Tapi tak ada apa-apa di sana—hanya bayangan yang bergetar di dinding akibat cahaya lilin yang semakin melemah.
Namun, mereka tahu sesuatu ada di sana.
Langkah-langkah itu semakin mendekat. Tidak cepat, tidak tergesa-gesa. Tapi ritmenya aneh, seperti seseorang yang berjalan tanpa alas kaki di atas lantai kayu, dengan jeda yang tidak teratur.
Neve menggigit bibirnya. “Siapa di sana?”
Tak ada jawaban.
Langkah-langkah itu terus maju.
Soren mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter dan mengarahkannya ke tengah ruangan. Tidak ada yang terlihat. Hanya peti yang terbuka setengah. Hanya lantai kosong. Hanya mereka bertiga.
Tapi suara langkah itu tidak berhenti.
Malah makin dekat.
Lalu, brakk!
Peti mati di sudut ruangan mendadak terjungkal sendiri.
Neve menjerit kecil, dan Vasquez langsung menariknya ke belakang.
“Ada sesuatu di sini,” gumam Soren, suaranya rendah.
Mereka bertiga mundur perlahan, menempel ke pintu, napas mereka satu-satunya suara yang terdengar selain langkah tak kasatmata itu.
Lalu, sesuatu terjadi.
Cahaya lilin di dinding satu per satu padam.
Neve menahan napas. “Jangan bercanda… jangan bercanda…”
Dan ketika lilin terakhir padam—
Semuanya menjadi gelap gulita.
Keheningan menyeruak.
Mereka bisa merasakan udara di ruangan ini berubah, lebih dingin, lebih berat.
Lalu, suara itu terdengar lagi.
Tapi kali ini, bukan langkah kaki.
Napas.
Seseorang bernapas.
Tepat di depan mereka.
Soren merasakan bulu kuduknya berdiri. “Vasquez…”
Vasquez diam, matanya menajam, meski gelap membuatnya tak bisa melihat apa pun. Dia hanya bisa mendengar—deru napas yang pelan, terlalu dekat, seakan ada seseorang berdiri di antara mereka.
Lalu, sesuatu menyentuh bahunya.
Sesuatu yang dingin.
Refleks, Vasquez mundur dan mengayunkan tangannya.
Tak menyentuh apa pun.
Soren meraba-raba saku jaketnya, mencari korek api yang selalu ia bawa. Tangannya gemetar, tapi akhirnya ia menemukannya. Ia gesekkan batang korek itu dengan cepat.
Ceklek!
Api kecil menyala di ujung korek, menyorot wajah Vasquez dan Neve yang berdiri tegang. Tapi mereka bukan satu-satunya yang ada di sana.
Di belakang Vasquez—
Tepat di sampingnya—
Ada sesuatu.
Sesuatu yang tak memiliki wajah.
Neve menjerit keras, dan api di korek itu padam lagi.
Gelap.
Soren terjatuh ke lantai, napasnya memburu. Neve tak bisa berhenti gemetar. Vasquez berdiri diam, jantungnya berdetak kencang, kepalanya mencoba memahami apa yang baru saja mereka lihat.
Sesuatu ada di dalam ruangan ini.
Dan sesuatu itu tidak ingin mereka pergi.
Mereka harus keluar. Sekarang.
Vasquez meraba-raba dinding, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa membantu mereka kabur. Tangannya akhirnya menyentuh sesuatu yang aneh. Tekstur kayu, tapi terasa lebih kasar.
Ia menyentuhnya lebih teliti—sebuah papan kecil yang bisa digeser.
Tanpa pikir panjang, ia menarik papan itu dengan sekuat tenaga.
Terdengar bunyi berderak.
Udara dingin tiba-tiba menyusup dari celah yang baru terbuka di dinding.
“Ada jalan keluar!” seru Vasquez.
Neve dan Soren langsung berlari mendekat. Tanpa ragu, mereka bertiga masuk ke celah sempit itu, membiarkan kegelapan di belakang mereka.
Tapi sebelum Vasquez melangkah masuk—
Ia menoleh ke belakang.
Di ruangan yang kini hanya diterangi cahaya samar dari celah dinding, ia melihat sesuatu berdiri di antara peti-peti itu.
Sebuah sosok tinggi, dengan tubuh hitam seperti bayangan, tanpa wajah.
Ia hanya berdiri di sana.
Diam.
Menatap mereka—meski tak memiliki mata.
Lalu, dengan gerakan yang tidak wajar, sosok itu mengangkat tangannya yang panjang dan kurus.
Dan menunjuk mereka.
Vasquez tak menunggu lebih lama. Ia langsung masuk ke dalam celah dan menarik papan itu kembali menutupi mereka.
Brakk!
Semuanya gelap lagi.
Tapi mereka tahu—mereka belum aman.
Sesuatu masih mengikuti mereka.
MEREKA TAK PERNAH PERGI
Jalan setapak di balik dinding sempit itu gelap, hanya cukup untuk mereka bertiga berjalan berdesakan. Udara di dalam terasa lembap, bau kayu lapuk dan tanah basah menusuk hidung.
Vasquez meraba-raba dinding dengan tangan, merasakan tekstur kasar yang sepertinya sudah lama tak tersentuh manusia. “Jalan ini pasti mengarah ke luar,” gumamnya.
Soren mengangguk, meski dalam gelap tak ada yang bisa melihat. “Semoga.”
Neve tetap diam, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak bisa menghilangkan bayangan sosok tinggi hitam tanpa wajah itu dari pikirannya.
Lalu, sesuatu terjadi.
Di belakang mereka, terdengar bunyi gesekan.
Sreeeek…
Mereka berhenti berjalan.
Tak ada yang berani berbicara.
Neve menelan ludahnya. “Tolong bilang kalau itu bukan yang kupikirkan.”
Soren mengeluarkan ponselnya lagi, menyalakan senter. Cahaya putih dari layar menyinari jalan di depan mereka—jalur kayu yang terus membentang dalam kegelapan.
Tapi ketika ia membalikkan ponselnya untuk menyinari belakang—
Tak ada apa-apa.
Tidak ada sosok hitam. Tidak ada tangan panjang. Tidak ada wajah kosong.
Hanya kegelapan yang pekat.
Mereka saling berpandangan.
Tapi sebelum bisa bernapas lega—
Sreeeek…
Bunyinya lebih keras kali ini. Lebih dekat.
Neve tersentak mundur. “Itu masih ada, kan?”
Soren menggigit bibir. “Aku nggak mau tahu, tapi kita harus terus jalan.”
Mereka bertiga melanjutkan langkah dengan lebih cepat, hampir berlari. Jalur sempit itu mulai menurun, seperti membawa mereka ke bawah tanah. Udara semakin dingin. Semakin berat.
Dan di belakang mereka, suara langkah itu semakin cepat.
Tak lagi menyeret.
Tapi berlari.
Dug-dug-dug-dug!
Neve hampir berteriak, tapi Vasquez menarik tangannya. “Jangan lihat ke belakang!”
Mereka terus berlari, menelusuri lorong yang seolah tak berujung.
Tiba-tiba, Vasquez melihat sesuatu di ujung lorong. “Cahaya! Aku lihat cahaya!”
Benar. Ada cahaya samar dari celah-celah kayu di depan mereka. Jalan keluar!
Mereka berlari secepat mungkin, mendekati sumber cahaya itu.
Namun, sebelum mereka bisa sampai—
Brakk!
Sesuatu menghantam dinding belakang mereka.
Gema suara itu mengguncang lorong, diikuti suara kayu berderak seolah ada sesuatu yang memaksa masuk.
Neve berteriak. “Lebih cepat!”
Vasquez menendang dinding kayu di depan mereka. Kayu itu lapuk dan langsung retak. Soren membantunya, memukulnya dengan sisa tenaga.
Brak!
Celah di dinding semakin besar, cukup untuk mereka menerobos keluar.
Satu per satu, mereka memanjat ke luar. Neve jatuh tersungkur di tanah. Soren menyusul, menarik Vasquez keluar dengan kasar.
Udara segar langsung menyergap mereka.
Mereka keluar di halaman belakang rumah tua itu, tepat di antara semak-semak yang lebat. Bulan menggantung di langit, sinarnya redup tapi cukup untuk memperlihatkan bahwa mereka kini berada di luar.
Aman.
Atau setidaknya… mereka pikir begitu.
Soren menoleh ke belakang, ke celah yang baru saja mereka terobos.
Kosong.
Tak ada siapa-siapa di sana.
Tak ada sosok hitam.
Tak ada yang mengejar mereka.
Hanya lorong kayu yang kini kosong dan sunyi.
Mereka bertiga berdiri, napas masih memburu.
Vasquez mengusap wajahnya. “Kita harus pergi dari sini.”
Neve mengangguk cepat.
Tanpa membuang waktu, mereka berlari menjauh dari rumah tua itu. Melewati halaman penuh ilalang, menyeberangi pagar kayu yang hampir roboh, hingga akhirnya sampai di jalan setapak berbatu yang membawa mereka kembali ke peradaban.
Beberapa jam kemudian, mereka duduk di kafe kecil di pinggiran kota.
Tak ada yang berbicara.
Neve hanya menatap kosong cangkir kopinya yang sudah dingin.
Soren memandangi tangannya yang masih gemetar.
Vasquez sesekali melirik ke jendela, memastikan tak ada sesuatu yang mengikuti mereka.
Akhirnya, Soren bersuara. “Kita nggak bakal cerita soal ini ke siapa pun, kan?”
Neve menggeleng. “Orang-orang nggak bakal percaya.”
Vasquez terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk. “Kita tutup cerita ini.”
Hening.
Mereka sepakat untuk melupakan semua ini.
Tapi jauh di dalam hati mereka, mereka tahu satu hal.
Mereka mungkin sudah meninggalkan rumah tua itu…
Tapi sesuatu di dalam sana…
Mungkin belum meninggalkan mereka.
Mereka udah keluar. Udah selamat. Udah berjanji nggak bakal ngomongin ini lagi. Tapi masalahnya, ada beberapa misteri yang nggak bisa ditinggalin begitu aja.
Ada beberapa rahasia yang nggak mau dilepaskan. Jadi, kalau kamu suatu hari ngerasa ada bayangan hitam di pojokan kamar? Atau langkah kaki yang nggak ada pemiliknya? Bisa jadi… mereka masih bersamamu.


