Misteri Saudara Kembar Sara: Teror dari Arwah yang Tak Tenang

Posted on

Punya saudara kembar itu seru, katanya. Bisa saling berbagi, bisa saling memahami tanpa banyak bicara. Tapi gimana kalau kembaranmu sudah meninggal… dan dia masih ada di sampingmu setiap malam?

Ini bukan cerita biasa tentang saudara kembar. Ini kisah tentang Sara dan Naira—dua saudari yang seharusnya terpisah oleh kematian, tapi ternyata masih terikat oleh sesuatu yang lebih kuat. Sesuatu yang menyeret Sara ke dalam kegelapan. Berani baca sampai habis?

 

Misteri Saudara Kembar Sara

Bisikan di Malam Hari

Malam sudah larut, tapi Sara masih belum bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata terbuka lebar, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang merayapi tubuhnya. Suasana di kamar terasa berbeda—lebih dingin dari biasanya.

Perlahan, ia menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh wajahnya, meninggalkan celah kecil untuk bernapas. Tapi itu tidak membantu. Rasa gelisah semakin menjadi-jadi, membuatnya menggeliat resah di atas ranjang.

Lalu, terdengar sesuatu.

“Sara…”

Suara lirih itu mengalir seperti bisikan angin di telinganya.

Jantung Sara hampir melompat keluar. Ia menahan napas, memastikan kalau itu hanya suara dalam kepalanya. Tapi tidak. Suara itu nyata.

Dengan tangan gemetar, ia menyingkap selimut dan memaksakan diri untuk melihat sekeliling kamar. Tidak ada siapa-siapa. Lemari di sudut ruangan berdiri kokoh seperti biasa. Meja belajarnya masih rapi, hanya ada beberapa buku yang bertumpuk. Jendela tertutup, dan tirai sedikit bergoyang, mungkin karena angin.

Ia menelan ludah.

“Sara…”

Bisikan itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat.

Bulu kuduknya berdiri. Ia langsung duduk di ranjang, jantungnya berdegup kencang. “Siapa?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Tidak ada jawaban.

Hening.

Tapi Sara tahu ia tidak sendirian.

Perlahan, ia menoleh ke cermin besar yang terletak di sebelah lemari. Napasnya tercekat.

Di sana, dalam pantulan cermin, berdiri seorang gadis.

Wajahnya pucat, rambut panjangnya tergerai berantakan. Mata kosong itu menatapnya dari dalam cermin, bibirnya membentuk senyum tipis yang membuat darah Sara membeku.

Naira.

Tangannya gemetar saat menutupi mulutnya, menahan jeritan yang hampir meluncur keluar. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, sosok di dalam cermin bergerak.

Naira mengangkat satu tangan, jari-jarinya yang kurus menunjuk ke arah Sara.

“Aku kangen, Sara…”

Tubuh Sara langsung membeku. Ia ingin lari, tapi tubuhnya seakan menolak untuk bergerak.

“Naira…” suaranya nyaris tak terdengar.

Sosok di dalam cermin masih tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh di sana. Senyum itu semakin lebar, terlalu lebar. Wajahnya mulai berubah, menjadi lebih pucat, lebih mengerikan.

Lalu, tiba-tiba cermin itu bergetar.

BRAK!

Cermin retak. Garis-garis pecahan menyebar di permukaannya seperti jaring laba-laba, tapi pantulan Naira tetap ada. Tidak bergeming.

Sara terhuyung mundur, napasnya tersengal.

Lalu suara itu terdengar lagi, kali ini dari belakangnya.

“Aku selalu di sini, temanin kamu…”

Sara menjerit.

Ia berlari keluar kamar, menabrak pintu dengan kasar hingga hampir terjatuh. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu, membukanya dengan panik, dan berlari menuju kamar ibunya di ujung lorong.

Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu kamar ibunya dan langsung memeluk wanita itu yang masih terlelap di ranjang.

“Sara?” Ibu mengerjap bingung, suaranya serak karena baru terbangun. “Ada apa?”

Sara tidak menjawab. Tubuhnya masih gemetar, dan napasnya tersengal.

Ibu meraba dahinya. “Kamu demam?”

Sara menggeleng cepat. “Ibu… aku lihat Naira,” suaranya nyaris berbisik, seakan takut kalau Naira masih bisa mendengar.

Ibu terdiam. Wajahnya berubah muram, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya menarik Sara dalam pelukan dan membelai rambutnya dengan lembut.

“Sudah, Sayang, mungkin kamu hanya mimpi buruk,” ucap Ibu dengan suara menenangkan.

Tapi Sara tahu.

Itu bukan mimpi.

Dan ia juga tahu, malam ini bukan akhir dari segalanya.

Naira masih ada.

Masih menunggu.

Masih menghantuinya.

 

Bayangan di Sudut Kamar

Sara tidak tahu bagaimana akhirnya ia bisa tertidur di kamar ibunya. Yang ia tahu, saat matanya terbuka, langit di luar sudah berwarna oranye, pertanda fajar hampir tiba.

Ia menarik napas dalam, berusaha mengusir rasa takut yang masih melekat di dadanya. Tapi bayangan Naira di cermin semalam masih jelas dalam ingatannya.

“Aku lihat Naira, Bu… Dia ada di cermin…”

Kalimat itu menggema di benaknya. Ia melirik ke sebelah, melihat ibunya yang masih terlelap.

Dengan hati-hati, ia bangkit dari ranjang. Kepalanya masih terasa berat, mungkin karena kurang tidur. Tapi ada sesuatu yang lebih mengganggunya.

Perasaan itu.

Perasaan bahwa seseorang sedang mengawasinya.

Ia menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka. Koridor rumah terlihat gelap, tapi ia bisa merasakan kehadiran sesuatu di sana.

Sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Jantungnya berdebar keras. Ia tahu betul bahwa hanya ada dirinya dan ibunya di rumah ini. Ayah sudah lama meninggal, dan ia tidak punya saudara lagi.

Setidaknya, tidak di dunia ini.

Pelan-pelan, ia melangkah keluar kamar. Setiap langkah terasa berat, seakan ada sesuatu yang menahannya. Saat melewati ruang tamu, ia menahan napas.

Ruang tamu itu terasa… salah.

Kursi-kursi masih berada di tempatnya, jendela tertutup, dan televisi mati. Tidak ada yang aneh. Tapi atmosfernya begitu menekan.

Lalu, matanya tertuju pada cermin besar di dinding dekat rak buku.

Retaknya sudah menghilang.

Sara membelalakkan mata. Semalam, ia jelas melihat cermin itu retak setelah pantulan Naira berubah mengerikan. Tapi sekarang, cermin itu kembali utuh, seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Jari-jarinya mengepal.

Ini bukan kebetulan.

Ia menelan ludah, lalu menguatkan diri untuk mendekat. Langkahnya terasa begitu pelan, seakan waktu bergerak lebih lambat.

Ia berhenti tepat di depan cermin. Bayangannya sendiri menatap balik dengan wajah lelah dan mata sembab. Tidak ada pantulan Naira.

Sara menghela napas, setengah lega. Mungkin semalam memang hanya mimpi buruk.

Tapi sebelum ia sempat berpaling, sesuatu di cermin bergerak.

Bayangan hitam.

Bukan bayangannya.

Sara membeku. Bayangan itu berdiri di sudut belakang ruangan, tidak memiliki wajah, hanya sosok gelap yang tak berbentuk.

Ia menoleh ke belakang.

Tidak ada siapa-siapa.

Tapi saat ia kembali menatap cermin, bayangan itu lebih dekat.

Jantungnya hampir berhenti.

Ia mundur selangkah, lalu…

Cermin itu bergetar.

Gemetar kecil pada awalnya, lalu semakin kuat hingga terdengar suara berderak pelan. Sara menahan napas, kakinya mundur dengan sendirinya.

Lalu sesuatu muncul di dalam cermin.

Tangan.

Tangan kurus dan pucat dengan kuku panjang mencakar permukaan cermin dari dalam, seakan berusaha keluar.

“Sara…”

Bisikan itu datang lagi. Tapi kali ini, bukan hanya di telinganya. Suara itu bergema di seluruh ruangan.

Tanpa pikir panjang, Sara berlari.

Ia hampir tersandung saat melewati ruang makan, lalu dengan panik menarik pintu kamar ibunya.

“Bu! Bu, bangun!” suaranya gemetar.

Ibunya mengerjap, tampak bingung. “Sara? Ada apa?”

Sara tidak bisa menjawab. Napasnya terputus-putus, tubuhnya masih gemetar hebat.

Ibunya bangun, menyentuh bahunya dengan lembut. “Kamu mimpi buruk lagi?”

Sara menggeleng cepat. “Tidak, Bu. Aku lihat sesuatu di cermin. Ada… ada sesuatu di sana!”

Ibunya terdiam, tatapannya berubah aneh.

“Sara,” ucapnya pelan. “Kamu yakin?”

Sara menatap ibunya, bingung dengan pertanyaan itu. “Tentu saja aku yakin! Aku lihat tangan seseorang—bukan, bukan seseorang, tapi sesuatu! Bu, aku nggak gila, aku tahu apa yang aku lihat!”

Ibunya masih diam. Tapi kali ini, raut wajahnya terlihat lebih berat. Seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ragu.

Lalu, akhirnya ia menarik napas panjang.

“Sudah waktunya kamu tahu, Sara,” katanya pelan. “Tentang Naira.”

Sara terdiam.

“Kita semua tahu Naira meninggal karena sakit,” lanjut Ibunya. “Tapi ada sesuatu yang tidak pernah aku ceritakan padamu. Sesuatu yang terjadi sebelum dia pergi…”

Sara menahan napas.

Ibunya menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran.

“Naira… tidak hanya sakit, Sara. Dia berubah. Dan sebelum dia meninggal… dia mengatakan sesuatu yang membuatku takut sampai sekarang.”

Sara menelan ludah. “Apa?”

Ibunya menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Dia bilang, dia tidak akan pergi sendirian.”

 

Naira Belum Pergi

Ruangan terasa lebih dingin setelah kata-kata itu keluar dari mulut ibunya.

“Dia bilang, dia tidak akan pergi sendirian.”

Sara menatap ibunya tanpa berkedip, mencoba mencerna kalimat itu. “Apa maksudnya, Bu?”

Ibunya menundukkan kepala, tangannya gemetar saat menggenggam kain selimut. “Sejak kecil, kamu dan Naira selalu bersama. Dia tidak pernah bisa jauh darimu. Kalian seperti dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan.”

Sara mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Tapi… sebelum dia meninggal, dia mulai berubah,” lanjut ibunya, suaranya terdengar berat. “Dia mulai bicara sendiri di kamarnya, tertawa tanpa alasan, dan sering menatap ke cermin… seolah ada seseorang di sana yang hanya bisa dilihatnya.”

Sara merinding. Itu persis seperti yang terjadi padanya sekarang.

“Semakin hari, dia makin aneh.” Mata ibunya berkaca-kaca. “Lalu suatu malam, dia berkata… dia tidak akan pergi sendirian.”

Sara merasakan dadanya sesak. “Bu, kenapa Ibu baru bilang sekarang?”

Ibunya menggigit bibir, menatapnya penuh rasa bersalah. “Aku pikir semuanya sudah berakhir. Aku pikir… setelah dia pergi, dia akan tenang. Tapi kalau dia kembali… berarti dia belum selesai.”

Selesai? Selesai dengan apa?

Sara ingin bertanya, tapi suara lirih menghentikan pikirannya.

“Sara…”

Sara membeku. Itu bukan suara ibunya. Itu suara yang sama seperti yang ia dengar di cermin semalam.

Dengan gerakan lambat, ia menoleh ke arah pintu kamar.

Di sanalah dia.

Naira.

Berdiri di lorong, rambut panjangnya menutupi sebagian wajah. Gaun tidurnya masih sama seperti terakhir kali sebelum ia meninggal. Wajahnya pucat, tapi senyum di bibirnya begitu familiar—senyum yang pernah Sara lihat ratusan kali.

Tapi ada sesuatu yang salah.

Mata itu.

Matanya tidak memiliki cahaya, seperti boneka tanpa jiwa.

Sara mundur tanpa sadar, tangannya mencengkeram erat selimut tempat tidurnya. “Bu…” suaranya bergetar.

Ibunya tidak bereaksi. Sara melirik ke samping dan menyadari sesuatu yang membuat darahnya berdesir—ibunya tidak melihat Naira.

Jadi… hanya dia yang bisa melihatnya.

“Aku kangen kamu, Sara.”

Darahnya terasa membeku.

Langkah Naira pelan, seakan ia melayang, mendekati kamar. Wajahnya tetap tersenyum, tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang terasa salah.

Seperti sesuatu yang bukan lagi manusia.

“Sara, ada apa?” tanya ibunya, bingung dengan ekspresi takut di wajah anaknya.

Sara tidak menjawab. Ia tidak bisa. Ia hanya bisa memandangi kembaran yang sudah mati itu, yang sekarang berdiri hanya beberapa langkah darinya.

Naira menunduk sedikit, seakan memperhatikannya lebih dekat.

Lalu ia berbisik.

“Aku sudah menunggumu.”

Secepat kilat, lampu kamar mati.

Ruangan langsung gelap gulita.

Ibunya menjerit, memeluk Sara erat. “Apa yang terjadi?!”

Sara ingin bicara, tapi tenggorokannya tercekat. Di antara kegelapan, ia bisa melihat sesuatu.

Naira.

Bukan di lorong lagi.

Sekarang ia ada di dalam kamar.

Tepat di sebelah ranjang.

Jantung Sara berdegup kencang. Ia bisa merasakan napas dingin di wajahnya, bisa mencium aroma tanah basah yang begitu kuat.

Suara berbisik terdengar lagi, tapi kali ini bukan hanya satu suara.

Ada banyak.

Suara-suara samar yang berdesir di udara, bergema di dalam kepalanya.

“Ikutlah dengannya.”
“Dia sudah menunggu.”
“Jangan tinggalkan dia sendiri.”

Sara menggigit bibirnya, menahan rasa panik yang membuncah di dadanya.

“Tidak…” bisiknya nyaris tanpa suara.

Cahaya kilat menyambar di luar jendela, menerangi ruangan untuk sesaat.

Dalam sekejap itu, Sara melihat sesuatu yang membuat tubuhnya lumpuh.

Naira kini ada di atas ranjang.

Menatapnya dengan mata kosong.

Dan dalam bisikan yang lebih jelas dari sebelumnya, ia berkata—

“Sara… aku akan membawamu pulang.”

 

Pulang Bersama Naira

Tubuh Sara gemetar, napasnya tersengal, dan di kepalanya, suara-suara itu masih berbisik.

“Ikutlah dengannya.”
“Jangan tinggalkan dia sendiri.”
“Dia sudah menunggumu.”

Naira duduk di atas ranjang, rambut panjangnya jatuh menutupi sebagian wajah pucatnya. Matanya kosong, tapi ada sesuatu di dalam tatapannya yang begitu kuat menarik Sara—sesuatu yang mengundang.

“Aku sudah menunggumu lama sekali, Sara…”

Ibunya mengguncang tubuhnya. “Sara! Ada apa?! Kamu kenapa?!”

Suara ibunya terdengar jauh. Seakan-akan Sara sudah bukan lagi di dunia ini.

Udara di kamar berubah semakin dingin, embusan napas Sara pun berasap. Cahaya di luar mulai redup, seolah bulan pun enggan menerangi malam ini.

Naira mengulurkan tangannya.

“Pulang bersamaku.”

Jantung Sara berdegup kencang. Jari-jari Naira yang kurus dan dingin nyaris menyentuh tangannya.

Sara ingin melawan. Ia ingin berteriak. Tapi sesuatu di dalam dirinya juga ingin mengikuti Naira.

Mereka selalu bersama, bukan?

Mereka berbagi segalanya sejak lahir.

Kenapa sekarang harus berpisah?

Tidak!

Sara mengerjap. Pikirannya mendadak jernih. Tidak, ini salah! Naira sudah mati!

“Jangan dengarkan dia, Sara!” Ibunya menjerit panik. Ia meraih sesuatu dari laci, lalu dengan tangan gemetar, ia meraih pergelangan Sara dan menggenggamnya erat.

Seketika, rasa hangat menjalar di tubuh Sara.

Kilatan cahaya menyambar di dalam pikirannya.

Kenangan-kenangan bermunculan—tawa Naira saat mereka bermain bersama, suara lembutnya ketika memanggil Sara, dan tatapan penuh kasih sayangnya.

Tapi di balik semua itu… ada sesuatu yang lain.

Kilasan terakhir sebelum Naira meninggal.

Matanya yang penuh ketakutan. Tangannya yang meraih sesuatu di udara.

Dan suaranya.

“Sara… tolong aku…”

Sara terkejut. Itu berbeda dari apa yang selalu ia dengar. Selama ini Naira berbisik lembut, seakan ingin membawanya pergi. Tapi di kenangan itu… Naira memohon pertolongan.

Seolah dia bukan ingin mengambil Sara… tapi ingin diselamatkan.

Sebuah kesadaran menyentak Sara.

Naira tidak sedang mencoba menjemputnya.

Naira sedang terperangkap.

“Naira…” suara Sara bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan. Ia menggenggam benda yang diberikan ibunya—liontin kecil milik Naira yang dulu sering mereka bagi bersama.

Mata Naira membesar. Cahaya aneh melintas di dalamnya, seakan ia baru menyadari sesuatu.

“Pulanglah, Naira,” bisik Sara. “Pulang ke tempat yang seharusnya.”

Naira menggigit bibir. Tubuhnya mulai bergetar. Cahaya di dalam kamar semakin redup, dan suara-suara berbisik semakin keras.

“Jangan biarkan dia pergi.”
“Dia milik kita.”
“Dia harus tetap di sini.”

Tiba-tiba, ruangan terasa seperti runtuh. Angin dingin berputar-putar, menciptakan pusaran bayangan di sekitar Naira.

Dia berusaha menggapai Sara, tapi tangannya menembus udara, seakan tubuhnya mulai kehilangan bentuknya.

Mata Sara berkaca-kaca.

“Naira…”

Untuk pertama kalinya, wajah Naira tidak lagi seram. Ia tidak lagi terlihat seperti sosok yang ingin menakuti atau membawa Sara pergi.

Ia hanya terlihat… sedih.

Sebuah air mata jatuh dari matanya.

“Sara…” suaranya gemetar. “Aku takut…”

Sara tersenyum kecil, meski air mata juga mengalir di pipinya. “Aku tahu… tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini.”

Liontin di tangannya bersinar terang.

Dan dalam sekejap, bayangan yang mengelilingi Naira lenyap.

Angin berhenti berputar. Suara-suara itu menghilang.

Naira menatap Sara untuk terakhir kalinya, lalu tersenyum lembut—senyum yang selama ini Sara rindukan.

Kemudian, dalam hembusan angin terakhir… tubuhnya menghilang.

Sara menutup matanya.

Sunyi.

Tidak ada suara. Tidak ada hawa dingin.

Hanya kehangatan.

Ia membuka mata. Kamar kembali normal. Lampu menyala. Udara terasa lebih ringan.

Dan ibunya memeluknya erat, menangis tanpa suara.

Sara mengalihkan pandangannya ke cermin.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Naira… sudah pergi.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun… Sara benar-benar sendirian.

Dan entah kenapa, itu tidak lagi terasa menakutkan.

 

Kadang, yang pergi belum tentu benar-benar pergi. Kadang, yang kita kira menakutkan… sebenarnya hanya ingin didengar. Tapi satu hal yang pasti, kalau suatu malam kamu merasa ada seseorang duduk di samping ranjangmu, jangan buru-buru menoleh. Bisa jadi dia bukan manusia. Dan kalau dia tersenyum… semoga saja itu bukan pertanda buruk.

Leave a Reply