Arwah yang Terjebak: Misi Bebaskan Wanita di Rumah Tua

Posted on

Hai, pernah nggak sih kamu ngebayangin masuk ke rumah tua yang terlihat seram, terus ketemu arwah yang butuh bantuan? Nah, di cerpen ini, kita bakal ikut petualangan Jevan dan teman-temannya yang nekat banget buat membebaskan arwah wanita yang terjebak. Siap-siap dikejutkan, ya!

 

Arwah yang Terjebak

BISIKAN DARI RUMAH KARCOSA

Di pinggiran kota yang mulai terlupakan, ada satu rumah yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya. Rumah Karcosa berdiri di sana, kesepian dalam bayang-bayang pohon beringin tua yang akarnya menjalar seperti tangan yang ingin mencengkeram. Setiap sore, matahari tenggelam lebih cepat di tempat itu, seolah takut melihat apa yang bersembunyi di dalamnya.

Tak ada yang berani melewati jalan di depan rumah itu saat malam tiba. Bahkan di siang hari pun, orang-orang lebih memilih berjalan di jalur yang lebih jauh daripada harus melintasi gerbang berkarat yang selalu tampak terbuka sedikit—seakan menunggu seseorang untuk masuk.

Namun, malam ini, keberanian anak-anak muda diuji.

“Aku masih nggak ngerti, kenapa kita harus ke sini?” suara Gilbran terdengar gelisah, meski ia berusaha menutupi nada takut di dalamnya.

“Aku penasaran,” sahut Jevan, menendang kerikil di jalur setapak. “Katanya, rumah ini punya ‘penghuni’. Aku cuma mau buktiin sendiri.”

Mereka berlima berdiri di depan pagar yang berkarat. Malam terasa lebih gelap dari biasanya, seakan lampu-lampu jalan enggan menyinari tempat itu. Angin berembus dari celah-celah pohon, membawa aroma lembab dan sesuatu yang… membusuk.

“Dengar, kan? Angin di sini aneh,” bisik Mila, satu-satunya perempuan di kelompok itu. Tangannya mencengkeram lengan jaketnya sendiri, berusaha menenangkan diri.

“Cuma angin, Mi. Kamu terlalu takut,” Rian menyeringai, meski matanya terus mengawasi jendela lantai dua rumah itu.

Jevan menghela napas, lalu menekan gerbang dengan tangan. Berkarat dan berat, tapi anehnya, ia bergerak dengan mudah.

Seperti ada yang membukakannya dari dalam.

Gilbran mundur selangkah. “Aku serius, Jev. Ini nggak perlu kita lakuin. Kalau ada yang lihat, kita bisa dituduh nyelonong ke properti orang.”

Jevan terkekeh. “Siapa yang bakal lihat? Udah dua puluh tahun rumah ini kosong.”

Tak ada yang membantah, tapi ketakutan mereka terasa lebih nyata dari sebelumnya. Satu per satu mereka melewati gerbang, berjalan di atas tanah yang penuh dengan daun kering.

Mila menggigit bibirnya, lalu berkata lirih, “Aku dengar ada yang bilang, kalau rumah ini—”

Sebuah bisikan memotong kalimatnya.

“Jangan masuk…”

Suara itu pelan, seolah berembus tepat di telinga mereka, namun datang dari segala arah.

Mila langsung meraih lengan Rian. “D-Dengar itu?!”

“Apa?” Rian menoleh. “Aku nggak dengar apa-apa.”

Gilbran menegang. “Aku dengar.”

Sejenak, mereka saling berpandangan. Jevan, yang tadinya tampak percaya diri, kini menelan ludah.

Angin kembali berembus. Kali ini, aroma busuk semakin kuat.

Jevan menarik napas panjang. “Kalau takut, kalian bisa pergi. Aku mau lihat ke dalam.”

Mila langsung menahan tangannya. “Jev, ini bukan ide bagus!”

Tapi Jevan mengabaikannya. Dengan langkah ragu, ia menaiki tangga kayu di beranda rumah. Langkahnya bergema, seolah ada seseorang yang berjalan bersamanya.

Lalu…

KREEEEKKKK…

Pintu depan terbuka sendiri.

Tak ada yang bergerak.

Pintu itu menganga lebar, seperti mulut yang siap menelan mereka. Dari dalam, kegelapan menanti—begitu pekat, seolah rumah itu telah lama menelan cahaya.

Mila menutup mulutnya, takut berteriak. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa sakit.

“A-Aku nggak mau ke dalam,” gumam Gilbran.

Jevan menoleh ke mereka. Meski keringat mengalir di pelipisnya, ia tetap menantang mereka dengan tatapan penuh keberanian—atau mungkin kebodohan.

“Kalian nggak perlu masuk. Aku cuma mau lihat sebentar.”

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah masuk.

Rian mengumpat. “Brengsek, kenapa dia selalu sok berani?”

Gilbran menghela napas gemetar. “Kalau dia kenapa-kenapa, kita yang bakal nyesel.”

Mereka bertiga akhirnya saling pandang, sebelum akhirnya mengikuti Jevan ke dalam rumah.

Begitu kaki mereka melewati ambang pintu, udara berubah drastis. Suasana di dalam terasa berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di langit-langit. Debu memenuhi udara, membuat dada terasa sesak.

Mila menggenggam jaketnya erat-erat. “Jev, ini gila. Kita harus keluar.”

Jevan melangkah lebih dalam, menyentuh meja tua yang tertutup debu. “Ini cuma rumah kosong, Mi. Nggak ada apa-apa di sini.”

Gilbran menyalakan senter ponselnya, mengarahkan cahaya ke sekeliling ruangan. Lukisan-lukisan tua masih tergantung di dinding, beberapa di antaranya sobek, dan beberapa lainnya… seolah mata di dalam lukisan itu mengikuti mereka.

Lalu, terdengar suara.

Tap. Tap. Tap.

Langkah kaki… dari lantai atas.

Semua terdiam.

Mila menelan ludah. “Ada orang lain di sini?”

Jevan menatap ke atas, ke arah tangga tua yang membentang ke lantai dua. Cahaya senter tidak bisa mencapai ujungnya.

“Kita… kita harus keluar,” suara Gilbran bergetar.

Tapi sebelum ada yang bisa bergerak, ketukan terdengar dari lantai atas.

Tok… Tok… Tok…

Mila langsung mundur, tubuhnya gemetar hebat. “Jev, aku mohon… kita pergi.”

Jevan terdiam. Napasnya berat, tapi matanya terpaku ke atas.

Dan kemudian, mereka semua melihatnya.

Di ujung tangga, seseorang berdiri di sana.

Siluetnya samar, gaun panjangnya menyapu lantai. Rambutnya tergerai berantakan, dan wajahnya…

Gelap. Terbakar.

Mila menahan jeritan di tenggorokannya.

Sosok itu tak bergerak, tak bersuara. Tapi perlahan, tangannya mulai mengangkat, menunjuk ke arah mereka.

Dan saat itu juga, suara tawa kecil terdengar dari sudut ruangan.

Cekikik. Cekikik.

Mila tak bisa menahan diri lagi. Ia menjerit keras.

Seketika, lampu ponsel mereka berkedip mati.

Ruangan itu tenggelam dalam kegelapan total.

Lalu… suara langkah kaki berlari ke arah mereka.

Tap. Tap. Tap.

Sesuatu turun dari tangga dengan kecepatan yang mustahil.

Dan sebelum mereka bisa lari, sesuatu berbisik tepat di telinga mereka.

“Kalian datang… terlalu jauh.”

 

SOSOK DI JENDELA LANTAI DUA

Kegelapan menyelimuti mereka dengan cepat, menyelipkan rasa panik yang tak terperikan. Semua terdengar berantakan; jeritan Mila, detak jantung yang membahana, dan suara langkah kaki yang terus mendekat. Dalam kekacauan itu, hanya ada satu hal yang terlintas di benak mereka—lari.

Jevan berbalik, menggapai tangan Gilbran dan Mila. “Ke pintu! Cepat!” teriaknya, suara penuh ketakutan menggantikan keberaniannya.

Gilbran menarik Mila, berusaha menemukan jalan kembali ke pintu. Namun, di saat mereka berlari, suara tawa kecil itu terdengar lagi, kini lebih dekat dan lebih mengerikan. Seakan ada yang mengawasi, menunggu untuk melihat reaksi mereka.

“Ke mana?!” teriak Gilbran, suara paniknya melawan deru napas mereka yang bercepat.

“Aku—aku lupa jalannya!” Mila menggenggam tangan Rian, matanya membesar saat melihat bayangan yang bergerak cepat di sudut mata.

Dengan cepat, Jevan mengarahkan senter ke sudut gelap. Di sana, di ujung lorong, terlihat sosok itu kembali—wanita berpakaian putih dengan wajah yang kabur, seolah dilapisi kabut.

“Lihat!” teriak Mila, menunjuk ke arah sosok itu.

“Ayo, pergi!” Jeritan Jevan menggema di dalam ruangan, tapi saat mereka berbalik, sosok itu sudah berada di depan mereka, matanya yang kosong menatap tajam, seakan menembus ke dalam jiwa mereka.

“Kalian datang… jauh dari rumah,” bisik sosok itu, suaranya dingin seperti es.

Semua terdiam, terpesona oleh tatapan mata yang tak terlihat. Rian, yang paling berani di antara mereka, mencoba bergerak maju. “Kami tidak bermaksud mengganggu, kami—”

Namun, kalimatnya terputus saat sosok itu mengangkat tangan, jari telunjuknya menunjuk langsung ke Rian. “Kau harus membayar harga. Tidak ada yang pergi sebelum ada yang membayar.”

Suara itu begitu dalam, seperti teroris dari kedalaman yang terasing. Gilbran dan Mila menempel pada dinding, wajah mereka pucat seakan kehilangan semua warna.

“Tidak! Kami tidak mau!” Mila berteriak, melangkah mundur.

Tapi sosok itu tidak bergerak, hanya menunggu dengan tatapan kosong yang menakutkan.

Di luar, malam semakin pekat, suara angin di luar rumah mengeluarkan jeritan seolah merespons suasana di dalam. Rian menarik napas dalam-dalam, merasa keberanian dalam dirinya kembali. “Kami tidak akan membayar apa pun! Kami hanya ingin keluar!”

“Tidak ada yang bisa keluar tanpa membayar. Kalian harus membantu aku.” Suara itu menuntut, seakan menyerap kekuatan dari ketakutan mereka.

“Tapi kami tidak tahu caranya!” jawab Gilbran, jari-jarinya bergetar. “Kami hanya anak-anak muda yang penasaran!”

Sosok itu tampak berpikir sejenak, lalu wajahnya perlahan-lahan mulai terlihat. Sebuah senyuman tipis muncul di bibirnya, dan itu lebih menakutkan daripada saat ia marah. “Ada satu cara, tapi itu bukan tanpa risiko.”

“Apa?” tanya Jevan, hatinya berdegup kencang.

“Kau harus menemukan sesuatu yang hilang dariku.” Suara itu menjadi tenang, seperti air yang mengalir lembut. “Sebuah benda yang kuperoleh dari cinta terakhirku.”

Mila menatap Jevan, jelas ada kekhawatiran di wajahnya. “Apa itu?”

“Batu permata, berbentuk hati. Temukan itu, dan kau bisa pergi.”

“Di mana?” tanya Gilbran, penasaran meski ketakutan masih membayangi.

“Di ruangan ini. Tapi hati-hati, ada banyak jebakan yang akan menunggu kalian.”

Rian bersikap tegas. “Kami tidak bisa mempercayainya. Apa jaminan kami bisa pergi?”

“Tidak ada jaminan,” sosok itu menjawab. “Tapi jika kalian mencoba, jika kalian berani menghadapi kegelapan ini, mungkin ada harapan.”

Jevan menatap mata sosok itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa simpati. “Kami akan mencarinya,” ucapnya, suara mantap meski gemetar.

“Jika kalian gagal…”

Sosok itu tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi aura di sekeliling mereka menjadi semakin berat, seolah seluruh rumah memprotes keputusan itu.

Mereka berempat akhirnya memutuskan untuk membagi tugas. Rian dan Mila pergi ke kiri, mencari di ruang tamu yang dipenuhi dengan barang-barang tua, sementara Jevan dan Gilbran menyusuri lorong menuju ruang belakang.

“Ini gila, Mi,” bisik Rian, membuka lemari yang berdebu. “Apa kita benar-benar percaya sama dia?”

Mila menggeleng, hatinya berdebar. “Aku tidak percaya. Tapi kita tidak punya pilihan lain.”

Sementara itu, di ruangan belakang, Jevan dan Gilbran memeriksa setiap sudut, menggesek debu yang menempel di permukaan meja tua.

“Aku benci rumah ini,” bisik Gilbran, merasa keringat menetes di dahinya. “Apa mungkin kita bisa menemukan batu itu?”

“Harus bisa,” Jevan menjawab, bertekad. “Kita tidak bisa kembali tanpa menemukannya.”

Lalu, mereka berdua melihat ke arah sudut ruangan yang paling gelap. Di sana, terlihat sebuah kotak kayu kecil. Jevan maju, rasa ingin tahunya membakar langkahnya.

Ketika dia membuka kotak itu, sebuah cahaya redup menyinari ruangan. Di dalamnya, sebuah batu permata berbentuk hati berkilau, memantulkan cahaya samar.

“Aku menemukannya!” teriak Jevan, terkejut sekaligus bersemangat.

Gilbran mendekat, melihat batu itu dengan mata berbinar. “Akhirnya!”

Tetapi saat mereka mengangkat batu itu, suara tawa mengerikan terdengar lagi, lebih kuat dari sebelumnya. “Kalian seharusnya tidak menyentuhnya!”

Tangan mereka seolah terjebak, tidak bisa melepaskan batu itu, saat suara itu melingkari mereka.

“Kau sudah membuat pilihan, dan kini kau harus membayar harga!”

Sementara itu, Mila dan Rian di ruang tamu berusaha mencari jalan keluar, saat mendengar teriakan Jevan.

“Mila, ayo! Kita harus bantu mereka!”

Mila mengangguk, menahan napas dan bersama-sama mereka menuju ke suara itu.

Mereka berlari kembali ke ruang belakang. Ketika mereka tiba, Jevan dan Gilbran sudah terjepit dalam kegelapan, wajah mereka terlihat pucat.

“Mau kemana kalian?!” teriak Mila, melihat ketegangan di wajah kedua sahabatnya.

“Batu ini… kita tidak bisa lepas!” Jeritan Jevan terdengar putus asa.

“Kenapa tidak?” Rian bertanya, matanya berkilau dengan kekhawatiran.

Tawa itu semakin keras, mengisi seluruh ruangan. “Batu itu adalah kunci! Tapi kalian tidak cukup berani untuk memegangnya!”

Rian merasa gelisah. “Apa yang harus kita lakukan?”

“Cobalah untuk melepasnya! Kita harus bersatu!” jawab Mila, mencoba memberikan harapan.

Keempatnya berkumpul, mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik batu permata itu. Suara tawa di sekitar mereka semakin menjadi-jadi, mengguncang dinding rumah.

“Ayo! Tarik!” teriak Jevan, berusaha fokus pada batu yang kini bergetar hebat.

“Berhenti! Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!” Suara itu bergema, tapi semakin mereka berusaha, semakin kuat aura kegelapan itu menyerang.

Akhirnya, dengan segenap tenaga, mereka menarik batu itu hingga terdengar suara retakan.

Dengan satu tarikan kuat, batu itu terlepas dari genggaman mereka, terlempar ke dinding dan mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Dalam sekejap, sosok itu muncul, menggelepar, terjebak antara dua dunia.

“Tidak! Jangan!”

Suara itu menjadi jeritan, tetapi sebelum mereka sempat merasakan kemenangan, cahaya batu permata itu memancarkan gelombang yang menghantam mereka.

Semua terasa gelap kembali, dan mereka mendapati diri mereka terjatuh di lantai dingin.

Ketika cahaya kembali redup, mereka tersadar di tempat yang sama, tetapi sosok itu kini tergeletak di sudut ruangan, wajahnya terlihat lebih jelas—seakan terlepas dari kutukan.

“Kenapa… kalian datang?” tanyanya dengan suara lemah.

“Aku… kami datang untuk membantu!” Jevan berkata, napasnya tersengal.

“Tapi harganya…” suara sosok itu mulai memudar. “Kalian… harus pergi sebelum terlambat.”

Dengan cepat, Gilbran menggenggam tangan Mila, berlari menuju pintu. Rian mengikuti, memanggil Jevan.

Mereka semua berlari, menembus kegelapan yang menyelimuti rumah itu. Kembali menuju jalan yang aman, ke dunia di luar rumah tua yang penuh misteri.

Tetapi sebelum mereka sampai ke pintu, suara sosok itu terdengar lagi, terdengar semakin jauh.

“Kalian tidak akan selamat jika tidak kembali!”

Mereka tidak berhenti, tidak menoleh, terus berlari hingga terjebak dalam cahaya bulan yang menanti di luar.

 

MELINTASI BAYANG-BAYANG

Keempatnya berlari menembus lorong sempit rumah tua itu, mengikuti jejak cahaya bulan yang memantul dari jendela di ujung. Kaki mereka terasa berat, seakan tanah di bawahnya menghisap langkah mereka. Ada rasa panik yang semakin menyelimuti dada mereka, tubuh mereka seakan ditarik ke belakang, terperangkap dalam suasana yang semakin mencekam.

Namun, mereka tidak berhenti. Mereka harus keluar—keluar dari rumah yang penuh dengan bayang-bayang dan kutukan. Jevan, yang memimpin, terus mengarahkan mereka ke pintu depan, berharap bisa merasakan angin malam yang segar di luar sana. Tapi, semakin mereka berlari, semakin mereka merasakan bahwa sesuatu tidak beres.

“Apa yang terjadi?” tanya Gilbran, matanya keliling mencari sesuatu yang tak terlihat.

“Ada yang salah…” jawab Jevan, napasnya terengah-engah. “Kita belum sampai ke pintu!”

Mila menoleh ke belakang, matanya berkilat cemas. “Kita… kita gak semakin dekat dengan pintu itu, kan?”

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat terdengar dari belakang mereka. Semakin lama, semakin dekat. Mereka menoleh bersamaan, berharap bisa melihat siapa yang mengikuti mereka. Tapi, yang terlihat hanyalah kegelapan—kegelapan yang menutupi semua jejak mereka.

“Tidak ada siapa-siapa!” seru Rian, matanya melirik ke dinding yang semakin menghitam.

Namun, suara itu semakin jelas. Seolah ada yang mengamati mereka, berjalan tepat di belakang mereka tanpa suara. Setiap langkah diikuti oleh gelombang dingin yang semakin menghantui.

Mereka berlari lebih cepat. Mereka tidak bisa berhenti.

“Ayo! Satu lagi langkah!” Jevan berteriak.

Dan saat mereka akhirnya mencapai pintu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pintu itu—yang sebelumnya terbuka dengan mudah—sekarang terkunci rapat. Bahkan saat Jevan mengulurkan tangan untuk menarik gagangnya, pintu itu tidak bergerak sedikit pun.

“Gila! Ini kunci!” teriaknya, berusaha memutar gagang pintu yang seolah tak ingin memberi jalan keluar.

“Kenapa?! Kenapa pintu ini terkunci?” Mila mengerang.

Rian, yang sudah tidak tahan lagi, menendang pintu dengan kakinya. “Kita harus keluar dari sini!”

Namun, meski tendangannya keras, pintu itu tetap tidak bergerak. Malah, sesuatu yang lebih aneh terjadi—suara tawa itu kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya, menggema di seluruh rumah, menyusup ke setiap sudut.

“Kalian pikir bisa pergi begitu saja?” suara itu berbisik dengan tawa yang menyeramkan.

Mereka berhenti sejenak, wajah mereka pucat. Suara itu tidak hanya datang dari satu arah—tapi dari semua sisi. Seakan rumah itu berbicara, menertawakan mereka, mempermainkan rasa takut mereka.

“Kenapa… kenapa kita tidak bisa keluar?” tanya Gilbran, panik, menatap pintu yang seolah menghalangi jalan mereka.

“Karena kalian belum cukup membayar…” suara itu bergema, makin dalam, makin gelap.

Mila menatap Jevan. “Kita harus mencari cara. Ada sesuatu yang kita lewatkan.”

Jevan mengangguk, matanya berkeliling, mencoba menangkap tanda-tanda apa pun yang bisa memberi petunjuk. Dan tiba-tiba, dia melihatnya. Di dinding di samping pintu, ada sebuah gambar yang terukir dalam bayangan gelap. Gambar itu seperti simbol—sebuah lingkaran dengan titik di tengahnya.

“Apa itu?” Jevan berbisik, mendekat.

Mila juga melihatnya, matanya melebar. “Itu—itu seperti simbol yang ada di batu permata itu!”

Rian mendekat, terpesona. “Apa maksudnya? Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang itu.”

Tiba-tiba, suara itu terdengar lagi, lebih tajam. “Jangan pernah mencoba… karena tidak ada yang bisa mengubah nasib kalian!”

Keringat dingin menetes dari dahi mereka. Mereka merasa seolah dikelilingi oleh bayangan yang terus bergerak, menekan mereka ke dalam kegelapan.

Jevan memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan dirinya. “Simbol itu… mungkin ada hubungannya dengan kutukan di rumah ini.”

“Tapi apa maksudnya? Dan apa yang harus kita lakukan?” tanya Mila, suara bergetar.

“Aku tidak tahu…” Jevan mulai mengacak-acak tasnya, mencari petunjuk apapun. “Tapi… mungkin kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang wanita itu. Tentang siapa dia sebenarnya.”

“Jangan kita hanya berpikir tentang diri kita sendiri!” Rian bersuara, wajahnya penuh tekad. “Kita harus menghentikan ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja.”

Jevan mengangguk. “Aku setuju. Kita harus menyelesaikan ini. Apa pun yang terjadi.”

Di saat itu, suara itu muncul lagi, lebih keras dari sebelumnya. “Kalian pikir bisa menghentikan apa yang sudah dimulai?”

Namun kali ini, tawa itu terdengar lebih jauh, seperti bergerak menjauh. Seakan sosok itu mulai menghilang.

“Kalian tidak akan selamat hanya dengan berlari….”

Suasana yang sebelumnya menegang kini berubah menjadi sunyi. Mereka memandang satu sama lain, bingung. “Apa yang terjadi?” tanya Gilbran, suaranya lirih.

“Ada apa ini?” Mila merasakan ada sesuatu yang berubah di udara.

“Jevan, ini—ini dia!” teriak Rian, menunjuk ke gambar di dinding yang mulai bersinar samar.

Dengan cepat, Jevan mendekati gambar itu, memeriksa lebih dekat. Gambar lingkaran dengan titik di tengahnya seakan hidup, berputar perlahan seperti roda waktu. Saat Jevan menyentuhnya, sesuatu yang tak terduga terjadi.

BANG!

Tiba-tiba, dinding di sekitar mereka bergetar hebat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang mencoba menahan mereka. Pintu yang terkunci sebelumnya kini mulai berderak.

“Waktumu habis.”

Mereka berempat saling berpandangan, penuh kebingungan. Tapi saat itu, tanpa bisa dihentikan, pintu itu akhirnya terbuka, memberikan mereka sebuah celah menuju kebebasan. Tapi, di balik celah itu, ada sesuatu yang lebih menyeramkan menanti.

JALAN KELUAR

Pintu yang terbuka lebar di depan mereka seolah mengundang. Di baliknya, sebuah lorong gelap menghampar, dipenuhi kabut tipis yang menyelimuti udara dengan rasa dingin yang menusuk tulang. Meski demikian, ada cahaya samar di ujung lorong, seakan menjadi harapan di tengah kegelapan yang melingkupi mereka.

Jevan memimpin langkah, diikuti Mila, Rian, dan Gilbran. Ketika mereka melangkah masuk, suara bergetar itu masih terdengar samar, menciptakan gema yang menakutkan. Kalian tidak seharusnya ada di sini!”

“Jangan pedulikan suara itu! Kita harus terus maju!” seru Jevan, berusaha menguatkan teman-temannya.

Cahaya di ujung lorong semakin mendekat. Saat mereka bergerak maju, mereka melihat bahwa cahaya itu berasal dari sebuah ruangan besar yang penuh dengan barang-barang antik dan lukisan-lukisan kuno. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu tua yang dikelilingi kursi-kursi yang tampak usang.

“Ini tempat apa?” tanya Rian, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu dan ketakutan.

“Sepertinya ini ruang tamu atau semacamnya,” jawab Mila, mendekati salah satu lukisan yang menggantung di dinding. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita cantik dengan mata tajam, yang seolah mengikuti setiap gerakan mereka.

“Aku merasa kita sedang diawasi,” bisik Gilbran, merinding.

“Tenang, kita akan menemukan jalan keluar,” kata Jevan, sambil melangkah ke arah meja. Di atasnya, ada sebuah buku tua yang terbuka. Saat Jevan mendekat, tulisan di dalamnya mulai berkilau. “Ini… buku tentang sejarah rumah ini.”

Mila berlari menghampiri, melihat ke arah buku tersebut. “Apa yang tertulis di sana?”

Jevan membaca dengan suara pelan, “Dikatakan bahwa rumah ini dijaga oleh arwah seorang wanita yang tidak pernah menemukan kedamaian… Dia menjadi penunggu rumah ini, dan siapapun yang mencoba meninggalkan akan terjebak selamanya.”

Mendengar itu, wajah mereka semakin pucat. Rian berbisik, “Jadi… kita harus mencari cara untuk membebaskannya?”

“Aku rasa begitu,” jawab Jevan. “Mungkin dia hanya ingin dibebaskan dari kutukan ini.”

Mila tiba-tiba menjerit, “Lihat! Di dinding!”

Mereka semua menoleh, dan mendapati bayangan wanita itu muncul di balik lukisan. Wajahnya tampak sedih, namun matanya memancarkan harapan. “Bebaskan aku…” suaranya berbisik, nyaring namun lembut.

“Bebaskan dari apa?” tanya Jevan, berusaha berbicara dengan suara tenang.

“Dari kesedihan dan rasa sakit,”jawab wanita itu, suaranya bergetar. “Aku terperangkap di sini karena kesalahan yang dibuat orang lain. Aku tidak ingin membalas dendam. Aku hanya ingin pergi.”

Jevan menggenggam tangan teman-temannya. “Bagaimana kita bisa membantumu?”

Wanita itu menunjuk ke buku. “Bacalah mantra itu. Itu satu-satunya cara.”

Jevan membuka buku dan melihat sebuah mantra kuno yang terukir. “Kita harus melakukannya bersama-sama. Siap?”

Mereka mengangguk. Dengan suara kompak, mereka mulai mengucapkan mantra itu. Suara mereka menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan energi yang tak terlihat. Kabut di sekitar mereka mulai berkumpul, dan cahaya dari ruangan itu semakin terang.

Ketika mantra itu mencapai puncaknya, ruangan bergetar hebat. Gema suara wanita itu semakin kuat, “Akhirnya…”

Tiba-tiba, cahaya memancar dari arah wanita itu, menyelimuti mereka semua dalam cahaya hangat. Dan saat kilauan itu memudar, mereka merasakan sesuatu yang berbeda. Wanita itu tersenyum, wajahnya kini tenang dan damai.

“Terima kasih…” suaranya berbisik sebelum sosoknya mulai menghilang, meninggalkan jejak cahaya yang berkilau.

Ketika cahaya itu lenyap, suasana seketika menjadi sunyi. Lorong gelap yang mereka lalui kini tampak lebih cerah. Pintu keluar kembali terbuka, dan mereka melihat bintang-bintang bersinar di langit malam yang gelap.

Mereka saling menatap, terkejut namun lega. “Kita berhasil!” seru Mila, merangkul teman-temannya dengan penuh sukacita.

“Dan kita bisa pergi!” Rian menambahkan, sorot mata penuh rasa syukur.

Ketika mereka melangkah keluar, mereka merasakan angin malam yang segar menerpa wajah mereka, seakan menyambut mereka kembali ke dunia luar. Rumah tua itu berdiri di belakang mereka, tidak lagi menakutkan, melainkan seperti tempat yang telah terbebaskan dari beban masa lalu.

“Kita harus ingat ini,” kata Jevan, menatap ke arah rumah. “Bahwa setiap tempat memiliki cerita, bahkan yang paling menyeramkan sekalipun.”

Dengan langkah pasti, mereka meninggalkan rumah tua itu, menapaki jalan pulang yang kini terasa lebih cerah, lebih hidup.

 

Jadi, gimana? Seru banget kan petualangan mereka? Kadang, hal yang paling menakutkan bisa jadi cerita yang bikin kita terharu. Ingat, setiap tempat punya cerita, dan kita mungkin aja bisa jadi bagian dari cerita itu. Jangan lupa share pengalaman kamu kalau pernah ketemu yang kayak gini!

Leave a Reply