Daftar Isi
Siapa sangka, berpetualang ke dunia lain bisa bikin kamu merinding? Nah, cerpen ini bakal ngebawa kamu menyusuri jalan gelap penuh misteri, di mana kegelapan dan harapan saling beradu. Siap-siap aja baper sama ketegangan yang bikin kamu pengen terus baca!
Tersesat di Dunia Lain
BISIKAN DARI KEGELAPAN
Malam di hutan belakang kota selalu tampak lebih gelap dari tempat lain. Udara di sana lebih dingin, dan setiap suara yang terdengar seakan menggema lebih panjang dari seharusnya. Meski begitu, tidak sedikit orang yang berani melangkahkan kaki ke dalamnya, entah karena penasaran atau hanya sekadar ingin membuktikan bahwa desas-desus yang beredar hanyalah cerita kosong.
Seseorang pernah berkata, “Jangan sekali-kali masuk sendirian.” Tapi siapa yang percaya? Hutan ini hanyalah hamparan pepohonan tua yang membisu, sama seperti hutan lain yang ada di dunia ini.
Namun, bagi orang yang sudah melewatinya… hutan ini bukan sekadar tempat biasa.
Langkah kaki yang semula mantap mulai melambat. Angin bertiup, membawa aroma tanah lembap dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan pohon-pohon tinggi menjulang seperti tangan kurus yang hendak mencengkeram langit, membuat siapa pun yang berjalan di bawahnya merasa seolah-olah sedang diawasi.
“Aku gak suka tempat ini,” suara seseorang pecah di antara senyap. Suaranya terdengar berat, hampir seperti berbisik, seakan takut sesuatu akan mendengar.
“Kamu penakut, ya?” seseorang lainnya menjawab, berusaha menutupi rasa gelisah dengan nada bercanda.
“Bukan gitu. Cuma… kayak ada yang aneh.”
Langkah mereka terhenti. Jalan setapak yang tadi mereka lalui tampak berbeda. Padahal, mereka hanya berjalan lurus, tapi tiba-tiba dahan-dahan pohon terlihat lebih rapat, seakan membentuk dinding alami yang tidak ada sebelumnya.
“Kamu yakin ini jalannya?”
“Hah? Mestinya iya. Tapi kok… aneh ya?”
Hening.
Angin bertiup pelan, membuat dedaunan kering di tanah bergeser sedikit. Tidak ada suara binatang, tidak ada suara malam yang biasa terdengar di hutan. Seakan semua kehidupan di sana telah dihisap habis.
Lalu, sesuatu berbisik.
Lirih. Dekat.
Seperti ada seseorang yang bernafas tepat di belakang telinga.
Salah satu dari mereka menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.
“Kamu denger gak?” Suaranya mulai gemetar.
“Dengar apa?”
“…Bisikan.”
Mereka berpandangan. Tidak ada angin, tapi daun-daun di dahan bergoyang pelan. Perlahan, gerakannya semakin intens, seperti ada sesuatu yang bergerak di antara pepohonan.
“Kita balik aja.”
“Iya… ayo.”
Mereka berbalik, tetapi jalannya tidak ada. Yang ada hanya barisan pohon yang rapat, seperti tidak pernah ada jalur di sana.
“Gak mungkin… Barusan kita lewat sini, kan?”
Dada mereka naik turun, napas mulai tidak beraturan.
Di kejauhan, samar-samar terdengar suara langkah kaki. Lembut, tapi konstan. Mendekat.
“Siapa itu?” suara mereka hampir berbisik, tapi tidak ada jawaban.
Langkah kaki itu semakin dekat.
Lalu, di antara celah pohon yang gelap, sesuatu muncul.
Sosok tinggi, kurus, diam, tanpa wajah.
Dan mereka tahu, mereka sudah terlambat.
JALAN YANG MENGHILANG
Tidak ada yang bergerak.
Udara terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan dada mereka perlahan-lahan. Sosok itu masih berdiri di antara celah pepohonan—tinggi, kurus, tidak memiliki wajah. Diam, seolah menunggu.
“Aku gak suka ini…,” suara itu terdengar hampir tak bersuara.
“Ayo lari,” bisik yang lain.
Mereka mundur perlahan, berusaha menghindari suara langkah yang kini semakin banyak. Daun-daun kering berdesir, pohon-pohon seakan bernafas, bergeser sedikit demi sedikit, merapat lebih dekat.
Satu langkah ke belakang.
Dua langkah.
Tiga.
Lalu…
“LARI!”
Mereka berhamburan ke arah yang berlawanan, tidak peduli lagi ke mana kaki melangkah. Nafas mereka memburu, dada terasa sesak, tetapi ketakutan lebih besar dari kelelahan.
Langkah kaki di belakang semakin cepat.
Ranting-ranting patah. Daun-daun beterbangan. Suara berat menyeret sesuatu di tanah terdengar makin jelas.
Lalu, semuanya berhenti.
Salah satu dari mereka tersandung, jatuh tersungkur ke tanah. Napas tersengal, tangan gemetar saat mencoba bangkit. “Tunggu… jangan tinggalin aku!”
Yang lain menoleh. Wajahnya pucat. Ia ingin membantu, tetapi matanya menangkap sesuatu di belakang temannya.
Sosok itu… lebih dekat sekarang.
Tidak ada suara. Tidak ada langkah. Seolah-olah ia hanya muncul begitu saja di sana.
“B-Berdiri! Cepat!”
Tapi tubuh itu terlalu kaku, terlalu lemah untuk bergerak.
Lalu, sosok itu mulai melangkah.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tanah di bawahnya menghitam, membusuk seperti daging yang telah lama mati.
Tangan gemetar mencoba meraih sesuatu—apa saja—untuk membantunya bangun. Tapi yang tersentuh justru sesuatu yang basah dan dingin.
Bukan tanah.
Bukan batu.
Sesuatu yang berdenyut.
Ia menarik tangannya seketika, terengah-engah. Tapi sesuatu mulai muncul dari dalam tanah. Jemari kurus, panjang, dengan kuku yang tajam. Merayap, mencoba keluar.
Lalu, dari balik bayangan pohon… bisikan itu kembali.
Lebih keras.
Lebih dekat.
Lebih nyata.
Dan kali ini, mereka mengerti apa yang dikatakan.
“Kalian tidak akan pergi dari sini.”
SOSOK TANPA WAJAH
Ketika bisikan itu menyentuh telinga, jantung mereka seolah terhenti. Tubuh yang terjatuh perlahan-lahan bangkit, tetapi ketakutan telah merasuk ke dalam diri. Apa yang mereka lihat di hadapan mereka adalah sesuatu yang tidak dapat dicerna akal sehat.
Sosok tinggi itu kini berada di depan mereka, menjulang tanpa wajah, tetapi aura gelapnya menghipnotis. Kegelapan itu seakan menggenggam jiwa mereka, menarik mereka lebih dalam ke dalam dunia yang tidak ingin mereka masuki.
“Gak… gak mungkin ini nyata,” salah satu dari mereka terbatuk, suaranya hampir hilang.
Sosok itu bergerak pelan, tidak terburu-buru, seolah menikmati ketakutan yang menghinggapi dua anak muda di hadapannya. Setiap gerakannya meninggalkan jejak kabut hitam, seolah dia sendiri adalah bagian dari kegelapan itu.
“Hati-hati, kita harus pergi!”
Tetapi langkah tidak kunjung terangkat. Tubuh mereka seperti terikat oleh ikatan tak terlihat, mengunci mereka dalam ketakutan yang tidak berujung.
“Siapa kamu?” suara itu terdengar bergetar, tetapi ada keberanian di dalamnya.
Tidak ada jawaban, hanya bisikan yang kembali berputar di sekitar mereka. Suara yang menyatu dengan angin malam, meluncur dari mulut sosok itu, “Kau datang ke sini dengan niat, dan sekarang… sekarang, aku akan mengujimu.”
Kedua anak itu saling berpandangan, pertanyaan menggantung di udara. Uji apa? Bagaimana cara melarikan diri dari tempat ini?
Sosok itu melangkah lebih dekat, dan saat itu, bayangan dari kegelapan itu mulai membentuk lingkaran di sekeliling mereka, menutup jalan satu-satunya yang tersisa.
“Jangan biarkan dia mendekat!” teriak salah satu dari mereka, suaranya serak.
Tetapi tubuh itu sudah terlanjur melangkah maju, menembus batas ketakutan. Tangan yang kurus mulai meraih, tetapi seperti ada tembok tak terlihat yang membentengi sosok itu dari jangkauan mereka.
“Aku akan memberimu satu pilihan,” suara itu kembali bergetar di udara. “Selesaikan teka-teki ini, dan mungkin, kalian bisa pergi. Atau, tinggal di sini selamanya…”
Hati mereka berdegup kencang, seakan waktu terhenti. Teka-teki? Apa maksudnya?
“Dengarkan baik-baik,” sosok itu melanjutkan, seakan bisa merasakan ketidakpastian di antara mereka. “Apa yang bisa bergerak tanpa kaki, bersuara tanpa mulut, dan melihat tanpa mata?”
Pertanyaan itu menggantung, menghantui, dan menciptakan suasana mencekam.
“Bisa jadi… angin?” salah satu dari mereka mencoba menjawab, namun nada suaranya menunjukkan keraguan.
“Bukan!” Suara sosok itu memekakkan telinga, seperti petir yang menggelegar di malam yang sunyi.
“Hati-hati, jangan terburu-buru,” suara lain menasihati, tetapi mereka masih terhimpit dalam kebingungan.
Suasana semakin mencekam. Bayangan-bayangan di sekitar mulai bergerak, menari-nari, seakan tertawa akan kebodohan mereka.
“Jika kalian tidak bisa menjawab, aku akan mengambil satu dari kalian,” sosok itu mengancam.
“Jangan! Kami akan… kami akan menjawab!”
“Waktu terus berjalan,” bisikan itu semakin mendekat, seakan menggelitik di telinga.
Keringat dingin mengalir di dahi. Sekarang, pilihan satu-satunya adalah menemukan jawaban.
“Suara,” akhirnya, suara lembut itu muncul. “Kita tidak tahu itu jawabannya. Kita hanya perlu berpikir.”
“Tapi apa?”
“Coba pikirkan dengan baik… Sesuatu yang tidak bisa kita lihat, tetapi ada di sekitar kita. Berpikir seperti itu.”
Mereka terdiam, berusaha merangkai semua petunjuk dalam pikiran. Ada sesuatu yang bisa menghubungkan semua ini.
Akhirnya, di ujung pikirannya, satu kata muncul.
“Angin!”
“Benar,” sosok itu menyatakan, suara itu tidak lagi menakutkan. “Tapi tidak hanya angin. Ada sesuatu di sekitarmu yang kau abaikan.”
Suasana tenang sejenak, tetapi ketegangan belum sepenuhnya hilang.
“Jadi… apa itu?”
Sosok itu tersenyum, tetapi senyum itu tidak ada di wajahnya, hanya bayangan kelam.
KEBEBASAN ATAU KETIDAKPULANGAN
Kegelapan di sekeliling mulai menggerogoti harapan. Bayangan sosok tanpa wajah itu bergetar, seakan menunggu dengan sabar jawaban yang akan menentukan nasib mereka. Ketika keheningan melanda, mereka berusaha menggali lebih dalam ke dalam diri, mencari satu kata yang tepat untuk melepaskan diri dari ikatan ini.
“Fajar!” salah satu dari mereka tiba-tiba berteriak. “Fajar! Kita selalu melupakan cahaya yang datang setelah gelap!”
Sosok itu terdiam, sepertinya terkejut dengan jawaban yang tiba-tiba muncul. “Cahaya yang datang setelah gelap… menarik.”
Kegelapan di sekelilingnya bergetar, seolah berpikir, tetapi kemudian senyum kelam itu kembali muncul. “Dan apakah kamu percaya bahwa fajar dapat mengalahkan kegelapan?”
Satu pertanyaan yang menguji keyakinan mereka.
“Ya! Fajar selalu muncul setelah malam! Selalu ada harapan!” suara itu menggelegar, berusaha menyalakan semangat di antara ketakutan.
“Benarkah?”
Suasana di sekitar mereka berubah. Bayangan-bayangan itu mulai bergerak lebih agresif, seakan marah akan keyakinan yang muncul. “Kau berani mengatakan harapan ada di tempat ini?”
Mereka saling berpandangan, tetapi ada sesuatu yang mengalir dalam diri mereka—semangat untuk bertahan. “Tanpa harapan, kita tidak bisa hidup. Kegelapan hanya sementara, dan fajar akan selalu datang!”
“Fajar!” sosok itu melanjutkan, suara itu semakin mendekat. “Jika itu yang kau inginkan, buktikan pada dirimu sendiri!”
Dengan itu, bayangan-bayangan di sekitar mereka mulai bergetar, menciptakan angin yang lebih kuat, mendorong mereka ke belakang. Mereka terhuyung-huyung, tetapi semangat tidak padam.
Matahari tidak terlihat, tetapi mereka bisa merasakannya. Perasaan hangat di dalam hati, perasaan bahwa mereka bisa berlari menuju sesuatu yang lebih baik.
“Kalau kami bisa berlari, kami akan menemukan fajar!” teriak salah satu dari mereka, suara itu penuh harapan.
Tanpa pikir panjang, mereka mulai berlari, mengabaikan semua ketakutan di belakang. Bayangan gelap menghalangi jalan, tetapi setiap langkah terasa lebih ringan.
Angin berhembus, membawa aroma tanah segar, dan di kejauhan, cahaya samar mulai terlihat.
“Ke arah sana! Itu dia!”
Mereka berlari lebih cepat, melawan segala sesuatu yang menghalangi. Kegelapan di belakang berteriak, suara itu memanggil, tetapi tidak ada lagi yang dapat menghentikan mereka.
Dan saat mereka melintasi batas kegelapan, cahaya itu semakin cerah. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh, seperti dipeluk oleh harapan yang telah lama hilang.
“Ini dia!” teriak salah satu dari mereka, air mata haru mengalir di pipi.
Dengan satu lompatan terakhir, mereka melangkah keluar dari kegelapan. Dan saat mereka mendarat di tanah yang sejuk, suara bisikan itu menghilang, digantikan oleh kicauan burung dan sinar matahari yang menerpa wajah.
Tersesat di dunia lain akhirnya berakhir. Kegelapan itu kini tinggal kenangan, dan mereka tersenyum melihat ke depan. Ada kehidupan yang menanti di luar sana, tanpa ancaman, tanpa rasa takut.
Mereka tahu, harapan selalu ada, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.
Cahaya fajar telah menanti, dan mereka tidak akan pernah kembali lagi.
Jadi, setelah semua ketegangan dan misteri, ternyata harapan selalu bisa bawa kita pulang. Semoga cerita ini bikin kamu nggak cuma merinding, tapi juga ngerasa kalau fajar pasti datang setelah malam yang paling gelap. Yuk, terus berani bermimpi dan jangan takut menghadapi kegelapan!


