Daftar Isi
Hai, kamu pernah ngerasa nggak sih, kayak ada yang ngikutin kamu pas hujan? Nah, cerita ini bakal ngebawa kamu masuk ke dunia misterius yang bikin merinding! Siapa sih gadis di bawah hujan itu? Kenapa dia terus muncul? Yuk, simak ceritanya dan siap-siap merinding!
Misteri Gadis Hujan
LAMPU JALAN YANG BERKEDIP
Hujan turun tanpa ampun malam itu. Air menggenang di jalanan berbatu, menciptakan pantulan lampu kota yang terlihat berkilauan, namun sekaligus suram. Bau tanah basah bercampur dengan udara dingin yang menyusup hingga ke tulang. Angin berembus, membawa serta dedaunan yang gugur dan beterbangan di sepanjang trotoar yang kosong.
Ardan memutar volume radio mobilnya lebih pelan. Musik yang biasanya menenangkan kini terasa seperti latar dari sebuah film horor. Ia baru saja kembali dari luar kota, dan perjalanan pulang kali ini terasa lebih melelahkan daripada biasanya. Matanya mulai terasa berat, tapi ia tetap memfokuskan pandangan ke jalan.
Jalanan begitu sepi. Hanya ada dirinya dan mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan. Tidak ada pejalan kaki. Tidak ada kendaraan lain yang melintas. Hujan semakin deras, membuat wiper mobilnya bekerja ekstra keras untuk memberikan sedikit jarak pandang.
Dan saat itulah ia melihatnya.
Di pertigaan jalan yang remang-remang, tepat di bawah satu-satunya lampu jalan yang berkedip-kedip, berdiri seseorang. Seorang gadis.
Tubuhnya diam membeku, dengan kepala sedikit menunduk. Rambut panjangnya basah, menutupi hampir seluruh wajahnya. Gaun putih tipis yang ia kenakan kuyup, menempel di tubuh kurusnya yang tampak pucat di bawah cahaya redup lampu jalan.
Ardan mengerutkan kening. Pikirannya langsung penuh dengan tanda tanya.
Seorang gadis? Di tengah hujan sederas ini? Sendirian?
Tangannya refleks menarik tuas sein, lalu menepi dengan perlahan. Ia mengamati gadis itu dari balik kaca mobilnya, mencoba mencari alasan logis untuk kehadiran sosok tersebut. Bisa saja dia tersesat. Atau sedang menunggu seseorang.
Ardan membuka kaca mobil sedikit. Suara hujan langsung menyergap telinganya. Udara dingin menerobos masuk ke dalam mobil, membuat bulu kuduknya berdiri.
“Halo?” suaranya terdengar agak ragu.
Gadis itu tidak bereaksi.
Ardan melirik sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan tidak ada rumah di dekat pertigaan itu. Satu-satunya bangunan terdekat adalah toko kelontong kecil yang sudah tutup sejak beberapa jam lalu.
“Hey, kamu denger aku, kan?” tanyanya lagi, sedikit lebih keras.
Masih tidak ada jawaban.
Hanya suara hujan yang terus mengguyur jalanan.
Ardan mulai merasa ada yang tidak beres. Ia melirik jam di dashboard mobilnya. 23.47. Sudah hampir tengah malam.
“Kenapa dia diem aja?” gumamnya pelan.
Ia menghela napas, lalu membuka pintu mobil. Sepatu sneakers-nya langsung terbenam dalam genangan air dingin. Ia melangkah mendekat, mencoba melihat wajah gadis itu lebih jelas.
Jarak mereka tinggal beberapa langkah ketika gadis itu perlahan mengangkat kepalanya.
Ardan langsung terdiam.
Separuh wajah gadis itu akhirnya terlihat. Kulitnya pucat, nyaris kebiruan. Matanya… kosong. Tidak ada ekspresi. Tidak ada emosi. Hanya tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ardan merasakan hawa dingin menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Sesuatu yang membuat instingnya menjerit, menyuruhnya untuk segera pergi.
Lampu jalan tiba-tiba berkedip lebih cepat. Sekali. Dua kali.
Lalu—padam.
Seketika, jalanan menjadi gelap total.
Ardan tersentak mundur, jantungnya berdetak kencang. Tangannya dengan panik meraba-raba kantong celananya, mencari ponselnya untuk menyalakan senter.
Tapi sebelum sempat melakukannya, lampu jalan kembali menyala.
Dan gadis itu sudah menghilang.
Ardan membeku di tempat. Napasnya tercekat. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari sosok itu, tapi yang terlihat hanya jalanan basah yang kosong.
Gadis itu lenyap. Begitu saja.
Hujan masih turun deras. Lampu jalan kembali berkedip-kedip, seperti sekarat. Di tengah kesunyian, Ardan bisa merasakan sesuatu yang mengawasinya.
Dengan jantung yang masih berdebar keras, ia bergegas kembali ke dalam mobil dan menutup pintu rapat-rapat. Tangannya sedikit gemetar saat menyalakan mesin mobil.
Ia harus pergi dari sini. Sekarang juga.
Tapi saat hendak menginjak pedal gas, sesuatu membuatnya terpaku.
Kaca spion tengah.
Jantungnya terasa berhenti berdetak.
Di dalam bayangan buram kaca yang dipenuhi tetesan air hujan, sesuatu sedang duduk di kursi belakang mobilnya.
Sosok itu.
Gadis tadi.
Masih dengan rambut basah yang menutupi sebagian wajahnya.
Masih dengan gaun putih yang kini lebih basah dari sebelumnya.
Dan matanya yang kosong… menatap langsung ke arahnya.
SOSOK DI KURSI BELAKANG
Jantung Ardan seakan berhenti berdetak. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bercampur dengan rasa takut yang mulai menguasai tubuhnya. Tangannya mencengkeram setir erat-erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya ilusi.
Tidak. Ini tidak nyata. Ini pasti hanya bayangan hujan yang menipu matanya.
Dengan napas tersengal, Ardan perlahan menoleh ke kursi belakang.
Kosong.
Tidak ada siapa-siapa.
Dada Ardan naik turun cepat. Ia menelan ludah. Kaca spion pasti hanya mempermainkan pikirannya. Ya, itu pasti efek dari hujan deras, pencahayaan buruk, dan kelelahan.
Berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang masih menggelayuti dadanya, ia menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menjauh dari pertigaan itu.
Namun, beberapa meter kemudian, suara berdecit pelan terdengar dari belakang. Seperti kain basah yang bergeser di atas jok mobil.
Ardan membeku.
Ia tidak ingin menoleh. Ia tidak ingin melihat ke kaca spion lagi.
Tapi suara itu semakin jelas.
Srek… srek… srek…
Perlahan, bulu kuduknya berdiri. Napasnya semakin berat. Tangannya sedikit gemetar di atas setir.
Tiba-tiba, udara dalam mobil terasa lebih dingin. Seperti ada sesuatu yang menyusup masuk. Aroma lembab yang asing menyeruak, bercampur dengan bau hujan yang masih menempel di jaketnya.
Lalu… suara napas itu terdengar.
Dekat.
Sangat dekat.
Tepat di belakang telinganya.
“Hhhhh…”
Ardan menginjak rem mendadak!
Mobil berdecit keras di atas aspal basah. Dada Ardan naik turun, matanya membelalak lebar. Tangannya mencengkeram setir dengan tenaga penuh.
Napas itu… bukan napasnya sendiri.
Ketakutan yang membuncah membuatnya refleks menoleh ke belakang.
Dan di sana… di tengah kabin mobil yang remang… seseorang memang ada.
Sosok itu duduk di tengah kursi belakang, tepat di antara dua jok. Tubuhnya masih basah kuyup, rambut panjangnya meneteskan air ke jok mobil. Gaun putihnya yang menempel ketat di tubuhnya kini tampak lebih gelap, seperti telah lama direndam dalam air.
Namun, yang paling membuat Ardan ingin berteriak adalah wajahnya.
Mata kosong itu kini tertuju padanya. Pandangan kosong, tanpa emosi, tanpa kehidupan. Bibir pucatnya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar.
“Pergi…” suara Ardan nyaris tidak terdengar.
Sosok itu tidak bergerak. Tidak berkedip.
Ardan mencoba mengendalikan dirinya. Ini tidak mungkin nyata. Ini tidak masuk akal.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya di dashboard, menyalakan senter, dan menyorot ke kursi belakang.
Dan saat cahaya menyentuh kursi itu…
Kosong.
Tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada air yang menetes.
Tidak ada jejak keberadaan gadis itu.
Dada Ardan terasa sesak. Ia langsung membanting ponselnya ke jok samping, menyalakan mesin mobil lagi, dan tancap gas tanpa peduli apa pun.
Hujan masih deras, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah keluar dari tempat ini secepat mungkin.
Namun, saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi, sesuatu yang lain terjadi.
Dari kaca depan yang dipenuhi rintik hujan, Ardan melihat sesuatu berdiri di tengah jalan.
Seseorang.
Seseorang yang sudah pernah ia lihat sebelumnya.
Seseorang yang seharusnya tidak berada di sini.
Sosok itu.
Gadis itu.
Berdiri diam, menatapnya dengan mata kosong.
Dan kali ini, bibirnya yang pucat melengkung dalam senyuman.
BISIKAN DI TELINGA
Mobil melaju kencang, tetapi Ardan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok yang berdiri di tengah jalan. Hujan masih mengguyur, tetapi bayangan gadis itu tampak jelas di antara riuhnya bunyi air. Senyumnya… senyuman yang membuat darahnya berdesir ketakutan.
Ardan menekan rem sekuat tenaga, mobil meluncur ke samping dan hampir kehilangan kendali. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, telinganya berdenging.
“Hentikan!” teriaknya, meski ia tahu tidak ada siapa pun di sana yang bisa mendengarnya.
Tapi sosok itu tidak bergerak. Ia tetap berdiri di tengah jalan, seolah menunggu.
Dari jarak dekat, Ardan melihatnya lebih jelas. Gaun putih yang sudah kotor dan kuyup, rambut basah yang menutupi sebagian wajah, dan mata… oh, matanya. Tatapan itu menembus, mengoyak rasa tenang yang tersisa dalam hatinya.
Mobilnya berhenti dengan suara berdecit. Ardan terhuyung keluar dari mobil, kakinya terasa lemas. Hujan mengguyur tubuhnya, tapi dingin itu tak seberapa dibandingkan dengan ketakutan yang menyelimuti jiwanya.
“Siapa kamu?” suara Ardan pecah di tengah deru hujan.
Gadis itu tetap berdiri, senyumnya semakin lebar, tetapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Hanya ada bisikan pelan, seperti angin yang menerpa daun.
“Pergi dari sini!” Ardan berteriak, suaranya serak.
Dan seolah mendengar panggilan itu, gadis itu mulai bergerak perlahan, menghampiri Ardan. Langkahnya ringan, hampir tidak bersuara, namun keberadaannya membuat bulu kuduk Ardan merinding.
“Ardan…” bisikan itu meluncur lembut ke telinganya, seolah menggema di dalam pikirannya.
Dia terkejut. Bagaimana gadis itu tahu namanya?
“Ardan…” Suara itu berlanjut, meluncur dalam nada menggoda, “Kau tidak perlu takut. Aku hanya ingin bicara.”
“Berhenti!” teriak Ardan, tapi suaranya mulai goyah. Ia mundur langkah demi langkah, mencoba menjauh dari sosok itu.
Namun gadis itu hanya tersenyum, langkahnya semakin cepat. “Kau tidak mengingatku? Kita pernah bertemu…”
“Tidak! Aku tidak mengenalmu!” Ardan berusaha menepis rasa takut yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya.
Hujan semakin deras, mengaburkan pandangannya. Dalam kekacauan itu, Ardan merasa bingung, seolah terjebak dalam pusaran waktu yang tidak ia pahami.
“Coba ingat, Ardan. Di taman… saat kau meninggalkanku…”
Rasa panik mulai menjalar. Ardan tidak bisa memikirkan apa yang dimaksud gadis itu. Apa yang pernah terjadi? Kenapa ia tidak bisa mengingat?
“Tidak… pergi! Jangan dekati aku!”
Sosok itu terus mendekat, kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Dia bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya, semakin mencekam saat gadis itu mengulurkan tangan, seolah ingin menyentuhnya.
“Ardan, tolong…” suara itu semakin dalam, penuh harapan, “Aku tidak ingin sendirian.”
Kepala Ardan berputar. Segala yang terjadi terasa tidak nyata. Dia ingin melarikan diri, tetapi kakinya seolah terbenam di tanah. Hujan menghujam tubuhnya, tetapi rasa takut membuatnya beku.
“Kenapa kau tidak ingat?” Gadis itu bertanya dengan nada menyentuh, tetapi matanya tetap kosong. “Apa kau benar-benar melupakan kita?”
Dalam sekejap, kenangan samar-samar melintas di benaknya. Taman, senyum gadis itu, tawa yang terekam dalam memori. Namun semuanya terasa kabur, seolah terhalang kabut tebal.
“Siapa kamu?” Ardan berteriak lagi, kini suaranya pecah.
Dia mundur, mengabaikan air yang membasahi sepatunya, terjebak dalam ketakutan yang semakin dalam.
“Ardan…” bisik gadis itu lagi, lebih keras, lebih memaksa. “Bantu aku… aku tidak bisa pergi.”
Bulu kuduk Ardan meremang. Dalam momen itu, saat mata mereka bertemu, ia merasakan sesuatu yang asing. Rasa sakit, penyesalan, dan kesedihan mengalir dalam tatapan gadis itu.
Tapi tidak peduli seberapa dalam perasaannya, Ardan tahu dia harus pergi. Dia tidak bisa terjebak dalam ilusi ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” Ardan berbalik dan berlari kembali ke mobilnya.
Di tengah hujan yang terus mengguyur, suara gadis itu memanggilnya kembali, mengiris telinga, membuatnya hampir terjatuh.
“Ardan! Kembali! Jangan tinggalkan aku!”
Suaranya terdengar seperti jeritan, menciptakan gema yang mengisi ruang di antara mereka. Ardan membuka pintu mobil, melompat masuk, dan menyalakan mesin secepat mungkin.
Dengan tangan bergetar, ia menginjak pedal gas dan meluncur pergi dari tempat itu, sementara suara gadis itu semakin jauh, hilang ditelan deru hujan.
Tapi saat ia melirik kaca spion, gadis itu sudah tidak ada.
Hanya hujan yang terus mengguyur, dan perasaan aneh yang mengganggu pikirannya.
ISAKAN DI TENGAH HUJAN
Mobil melaju kencang menembus malam, tetapi pikiran Ardan tetap terperangkap di antara kenyataan dan kengerian yang baru saja ia alami. Hujan masih mengguyur tanpa henti, seolah mendesak semua rasa takut dan keraguan yang menguasai jiwanya.
Dia memacu mobil, berusaha menjauh dari kejadian yang baru saja berlangsung, namun bayangan gadis itu terus menghantuinya. Setiap kali ia melirik ke kaca spion, seolah-olah gadis itu masih berdiri di sana, menunggu, menatapnya dengan tatapan kosong dan menyedihkan.
Di tengah perjalanan, Ardan berusaha menenangkan dirinya. Dia butuh penjelasan. Butuh jawaban. Kenapa sosok itu terus mengganggu pikirannya? Siapa dia sebenarnya?
Saat akhirnya dia berhenti di pinggir jalan, Ardan menatap keluar. Hujan terus menerus menetes, tetapi ketenangan malam menjelang tampak samar di balik tirai air. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ketakutannya.
“Bisa enggak sih, sekali ini,” bisiknya pada diri sendiri, “aku tahu siapa dia?”
Dia meraih ponselnya dan mencari-cari nomor kontak lamanya. Akhirnya, dia menemukan nama yang sudah lama terlupakan: Aurel. Gadis yang pernah mengisi harinya dengan tawa dan keceriaan, sebelum semuanya hancur karena kesalahpahaman yang tidak pernah bisa dia jelaskan.
Ardan ingat saat dia meninggalkan Aurel di taman, berusaha menjauh dari perasaannya yang semakin dalam. Dan kini, perasaannya kembali menghantuinya, muncul dalam wujud sosok menyeramkan di tengah hujan.
Dengan ragu, dia mengetik pesan.
“Aurel, aku butuh bicara.”
Saat menekan tombol kirim, detak jantungnya kembali cepat. Apakah Aurel akan membalasnya? Apakah dia bahkan mau mendengarnya setelah semua yang terjadi?
Hujan masih terus mengguyur, dan Ardan merasa terjebak dalam badai perasaannya sendiri. Dalam ketidakpastian, ponselnya berbunyi.
Pesan balasan dari Aurel masuk: “Di mana kamu?”
Rasa lega dan cemas bersamaan mengalir dalam dirinya. Dengan cepat, dia membalas, “Di pinggir jalan dekat taman. Kita perlu bicara.”
Tidak lama setelah itu, Aurel muncul, basah kuyup dengan tatapan waspada. Ardan bisa melihat matanya berbinar saat ia menghampiri, tetapi senyum yang seharusnya muncul justru tertahan di bibirnya.
“Kenapa kamu memanggilku?” tanyanya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
“Aku… aku tidak bisa mengeluarkan sosok itu dari pikiranku. Dia terus mengikutiku,” Ardan menjelaskan, suaranya bergetar. “Aurel, aku butuh tahu siapa dia.”
Aurel terdiam sejenak, tatapannya menembus jauh ke dalam diri Ardan. “Itu… itu aku,” jawabnya, suaranya pelan dan penuh harap. “Saat kita berpisah, aku merasa… terjebak. Sejak saat itu, aku tidak bisa pergi.”
Rasa dingin menjalar di seluruh tubuh Ardan. Kenyataan ini terasa begitu menyakitkan, dan kepingan-kepingan ingatan kembali memenuhi pikirannya. Dia teringat senyum Aurel, tawa ceria mereka, dan saat dia pergi, meninggalkan semua kenangan itu.
“Aku minta maaf,” kata Ardan, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tidak tahu kamu merasa seperti ini. Aku tidak bisa melanjutkan setelah kita berpisah.”
Aurel mendekat, tatapan matanya lembut. “Satu-satunya cara untuk melepaskanku adalah dengan mengingat kita. Mengingat semua yang kita alami.”
Air hujan mulai mereda, seakan alam pun mengerti kelegaan yang mulai terasa di hati Ardan. “Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa melakukannya?”
“Biarkan aku berbicara padamu. Mari kita kenang kembali semua yang terjadi, agar aku bisa pergi dengan tenang.”
Ardan mengangguk, berusaha merangkul semua kenangan yang menyakitkan itu. Dalam sekejap, mereka mulai berbicara, berbagi tawa dan cerita masa lalu yang menyedihkan dan manis.
Hujan berhenti, meninggalkan jejak basah di tanah. Sambil berbicara, Ardan merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada beban yang terangkat dari dadanya, dan sosok gadis di belakangnya mulai memudar, seolah mendengar perbincangan mereka.
“Aku selalu mengingatmu,” bisik Ardan, suaranya penuh haru. “Maafkan aku karena pergi. Aku tidak pernah bermaksud melupakanmu.”
Aurel tersenyum, dan dalam senyumnya, Ardan melihat sesuatu yang lain—kedamaian.
“Sekarang aku bisa pergi. Terima kasih, Ardan,” kata Aurel, suara lembutnya mengalun di tengah malam yang tenang.
Dalam sekejap, sosok itu menghilang. Ardan merasakan hembusan angin lembut yang menerpa wajahnya, dan dengan itu, sebuah rasa lega memenuhi hatinya.
Malam itu, di tengah sisa hujan yang mulai berhenti, Ardan memahami bahwa terkadang, melepas sesuatu berarti menghadapi ketakutan yang tersimpan di dalam hati. Dan dengan itu, ia bisa melangkah maju, membawa kenangan Aurel bersamanya, tanpa rasa takut lagi.
Gimana? Serem banget kan? Ternyata, terkadang yang kita anggap hantu itu cuma kenangan yang belum kita selesaikan. Jangan takut buat ngadepin masa lalu, karena kadang, itu yang bikin kita bisa melangkah lebih jauh. Sampai jumpa di cerita selanjutnya yang nggak kalah seru!


